Share

Dear, Pak Dokter
Dear, Pak Dokter
Author: Riri riyanti

awal kisah

Author: Riri riyanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Will you marry me?"

Pipi gadis itu memerah, bersamaan dengan kedua telapak tangannya menutupi bibir berlipstik nude miliknya. Wajah jelita itu terlihat begitu terkejut sekaligus bahagia di saat yang hampir sama kala kedua mata indahnya menatap sebuah cincin bertahtakan permata kecil berwarna putih yang ditujukan oleh sebuah tangan besar untuknya.

"Baby, kenapa diam saja?" suara lelaki itu kembali terdengar kala sang gadis hanya termangu, seakan khawatir jika lamaran tersebut akan di tolak oleh pemilik paras cantik tercintanya; kekasihnya.

Tak lama, terdengar tawa renyah yang meluncur dari bibir tipis sang gadis, ujung jemari lentiknya terlihat mengusap kedua butir air bening di kedua sudut matanya; tangis bahagia, sebelum menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya.

"Yes, I will!" gadis itu menjawab mantap. Raut wajah ayu itu tersenyum manis, seiring desahan napas lega yang terdengar dari si lelaki.

"Thanks, Rean—"

Sebelum kalimat dari sang pria terucap sempurna, suara bantingan barang terdengar cukup kencang setelahnya, seiring matinya televisi di depan gadis yang meringkuk di kaki ranjang. Tangis pilunya terdengar begitu menyesakkan.

Ia mengabaikan begitu saja benda persegi berukuran besar yang baru saja ia lempar dengan remote control, hingga asap keluar dari dalam tabungnya. Sungguh, Ia sudah tidak lagi peduli tentang bagaimana nasib televisi cembung layar dua puluh satu inchi yang ia beli dengan uang sisa gaji yang sudah susah payah ia kumpulkan selama beberapa bulan itu. Hatinya begitu sakit, bahkan lebih remuk dari keadaan benda di depannya yang kini menjadi rongsokan.

Ia baru saja menonton video amatir yang di rekam oleh tunangannya saat lelaki itu melamarnya, beberapa bulan yang lalu. Ia sangat bahagia kala itu, di mana hubungan mereka sebagai sepasang kekasih akan segera berubah menjadi pasangan suami-istri, ikatan cinta yang telah lama mereka bina akan segera bermuara pada hubungan serius; pernikahan.

Bagaimana tidak? Mereka sudah empat tahun lamanya berpacaran, empat tahun merajut impian bersama, empat tahun menghadapi suka dan duka, empat tahun dalam tawa dan air mata. Dan sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga yang seutuhnya.

Yah, setidaknya itulah impiannya.

Nyatanya impian terkadang tak sejalan dengan kenyataan.

Gaun malam berwarna kelam cantik itu masih melekat di tubuhnya. Polesan makeup waterproof masih setia menempel pada wajah yang kini penuh derai air mata. Ia masihlah terlihat jelita meskipun kedua pipinya terdapat jejak hitam bekas maskaranya yang luntur. Rambut lurus nan berkilau itu terlihat kusut tak teratur.

Seharusnya ia pulang dari makan malam bersama sang kekasih dengan meninggalkan rasa bahagia. Tapi, siapa sangka yang terjadi justru sebaliknya?

Ia hancur sehancur-hancurnya. Marah semarah-marahnya. Dan kecewa, itu hal yang paling mendominasi perasaannya. Ia tak sedikit pun menyangka jika lelaki yang amat ia cintai dan percaya akan dengan tega mengkhianatinya.

'Dia hamil anakku.'

Suara frustrasi lelaki itu kembali berputar di kepalanya, sukses kembali memporak porandakan hatinya, meremas kuat jantungnya hingga ia merasa sesak.

Dengan isakan yang tertahan, ia menekuk lutut, memeluk kakinya, menenggelamkan wajah dengan sejuta kesedihan itu pada kedua lengannya. Benaknya kembali mengingat setiap serpihan memori indah bersama Kalandra, tunangannya, sebelum ia akan mengubur dalam-dalam segalanya.

Ya, ia akan menangis sepuasnya malam ini, dan ia berjanji keesokan harinya ia akan menjadi gadis yang lebih kuat lagi. Ia tidak akan lagi menangisi kisah cintanya yang berakhir menyedihkan ini.

***

"Sedang apa?" pria itu menghampiri seorang wanita yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjangnya; sedang serius membaca sebuah buku. Tangan kanan wanita itu sedang membuka sebuah halaman dari buku yang ia pegang.

Wanita itu mendongak, menatap pria yang baru saja memasuki kamar mereka, kemudian tersenyum manis.

"Kamu melihatnya sendiri, Sayang." Ia menunjukkan sampul bukunya.

Pria itu tersenyum saat mengetahui jika buku yang dibaca sang istri tak lain adalah buku tentang tata cara mengasuh anak. Ia tahu, istrinya sangat antusias menyambut kelahiran bayi pertama mereka.

"Tidurlah. Tidak baik ibu hamil tidur larut malam." Pria itu membelai dengan sayang rambut halus wanitanya, kemudian ikut berbaring di sisinya.

"Baiklah. Aku akan jadi istri penurut malam ini." Wanita itu menurut, ia menutup buku yang lumayan tebal itu kemudian meletakkannya di atas meja yang berada di sisi tempat tidur mereka.

"Kemarilah." Pria itu merentangkan tangannya.

Tentu rentangan tangan besar itu disambut oleh senyum malu-malu sang istri, sebelum wanita itu menenggelamkan tubuhnya pada pelukan hangat suaminya; itu merupakan posisi favoritnya.

"Kamu tahu, tempat ternyaman untuk tidurku di mana, Sayang?" wanita itu bertanya dalam dekapan suaminya, tentu hal itu memancing senyuman jahil keluar dari bibir merah kecokelatan si pria.

"Di mana, hm?" pria itu pura-pura tidak tahu. Ia segera mendaratkan sebuah ciuman sayang pada puncak kepala wanitanya. Entah Kenapa ia sangat merindukan momen tersebut. Ia ... seperti sudah lama sekali tidak melakukan hal tersebut pada Istrinya.

"Di sini. Dadamu adalah bantal ternyaman bagiku, Nathan." Wanita itu berucap dengan jari lentiknya menyentuh pelan dada bidang sang suami.

Nathanael Adams, pria berambut pirang itu terkekeh ringan, tangannya yang bebas mengacak pelan rambut panjang lembut istri dalam dekapan, "Yah ... begitu pula denganku. Sepertinya akan terasa aneh jika tidak ada kamu dalam pelukanku saat tidur. Seperti ini." Ia mengeratkan pelukannya.

Namun, di detik berikutnya ia terdiam, Ia merasa seperti pernah melakukan hal itu di masa lalu. Tetapi ia memilih mengabaikannya.

"Tapi kamu harus terbiasa seperti itu, Sayang."

Pria itu sedikit terkejut saat istrinya justru mendorong dadanya, kemudian menatap protes pada mata birunya.

Pria itu mengerutkan keningnya tak suka. "Kenapa berkata begitu?"

"Dia." Sang wanita meraih tangan suaminya, mengarahkannya pada perutnya yang buncit. "Jika bayi kita lahir nanti, semua akan berubah, Sayang. Dia akan menjadi prioritas kita. Kamu harus mulai terbiasa tidur tanpa memelukku," ungkapnya kemudian.

Pria itu tetap tidak merubah mimik wajahnya. Namun, tangan besar itu mulai membelai sayang tempat calon anaknya yang sedang berkembang.

"Aku akan tetap memelukmu, saat anak kita sudah terlelap adalah giliranku." Ia tersenyum menang di akhir kata, dengan tatapannya yang tak lepas dari wajah cantik istrinya. Ia tak tahu mengapa, tapi perasaannya ingin terus memandangi wajah itu. Ia merasa sudah sangat lama merindukannya.

"Kamu ini ...." kini giliran sang istri yang mengacak kasar rambut pirangnya. Dan pria itu hanya bisa tertawa menanggapinya.

"Apakah sudah waktunya?" tanya pria itu saat menyadari betapa besarnya kandungan sang istri, usapannya tak berhenti.

Seketika bola mata wanita itu meredup kemudian menunduk, menatap tangan suaminya yang membelai sayang tempat janinnya berkembang. Ia terlihat bimbang.

"Sebenarnya ada sedikit hal yang mengganggu pikiranku, Nathan," ungkapnya dengan sedikit ragu.

"Katakanlah."

"Anu ...." wanita itu seakan merasa berat untuk mengatakan apa yang sedang bersarang dalam angan. Ia seperti tengah menimbang-nimbang apa yang akan ia ucapkan.

"Hm?"

Wanita itu menatap kedua mata biru suaminya dengan pandangan pilu sebelum berucap. "Jika ... seandainya aku meninggal saat melahirkan, bagaimana?" sang istri bertanya takut-takut.

Kerutan di dahi Pria itu semakin dalam setelah mendengar pertanyaan istrinya. Sejujurnya ia merasa takut jika hal itu benar terjadi. Ia sangat tahu bagaimana proses melahirkan itu berlangsung, ia adalah seorang dokter kandungan.

"Jangan berkata seperti itu lagi, Anya. Aku tidak suka pertanyaanmu." Meskipun kesal, namun pria itu tetap melembutkan ucapannya. Kedua mata birunya menatap cemas kedua mata istrinya yang mulai berkaca-kaca.

"Ta-tapi aku takut ...." dan air bening yang tergenang dalam pelupuk mata wanita itu akhirnya tumpah, seiring rasa sakit yang menghujam jantung si pria kala melihat seorang yang dicintainya meneteskan air mata.

Lagi-lagi ia merasa pernah berada di posisi itu.

Mengabaikan rasa aneh dalam hatinya, pria itu segera memeluk tubuh istrinya lebih erat, berusaha membuang rasa tidak enak di dalam dada.

"Sstttt ... kamu akan baik-baik saja, oke?" ia berbisik pelan, tangannya yang bebas mengusap perlahan punggung bergetar sang istri. "Kamu harus yakin, kamu dan juga bayi kita akan selamat. Aku sangat mencintaimu. Jangan pernah berpikir sedikit pun untuk pergi lebih dulu dariku." Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibir merah kecokelatannya.

Wanita itu mengurai pelukannya, menatap teduh wajah suaminya kemudian membelai rahang tegasnya. Senyuman manis terbit dari bibirnya yang bergetar akibat menangis.

"Aku juga sangat mencintaimu, Nathan. Lebih dari apapun yang kamu tahu. Aku akan selamanya tinggal di sini." Jari lentik itu kembali menyentuh dada bidangnya.

Namun, entah mengapa senyuman itu terlihat semakin jauh dari pandangan mata birunya, seiring tubuh sang istri yang semakin tak terjangkau oleh kedua tangan besarnya. Hatinya terasa diremas.

Pria itu menatap kosong pada sosok sang istri yang terlihat memudar di hadapannya, setetes air mata turun di pipinya. Ia kini sadar bahwa ia sedang bermimpi.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Carilah penggantiku, secepatnya. Untuk anak kita." Ucapan itu terdengar menggema di telinga sang pria sebelum sosok istrinya benar-benar menghilang dari pandangan.

"Anya, jangan pergi ...."

.

.

"ANYA!"

Pria itu terduduk dengan cepat, napasnya memburu disertai keringat dingin membasahi pelipisnya. Pandangan matanya lurus ke depan, tepat di depan potret besar Anya; istrinya yang sudah meninggal hampir tiga tahun lamanya.

Ah, ia baru saja bermimpi, dan itu terasa sangat nyata.

Dan mimpi itu membuatnya mau tidak mau kembali pada kenyataan pahit di hidupnya, bahwa orang yang sangat ia cintai di dunia ini sudah tidak lagi menapaki bumi yang sama dengan dirinya. Ia kembali merindukannya, rindu yang tak akan mungkin ada penawarnya.

Pria itu mengusap wajahnya kasar, kemudian mendesah lelah. "Haahhhhhh ..."

.

Bersambung...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Diego
Very good...
goodnovel comment avatar
Rendra Uyee
Keren banget ini cerita
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dear, Pak Dokter   sekeping hati yang terluka

    Merah, kuning, biru, oranye, ungu, dan berbagai warna bunga lainnya menyapa tatapan mata indah gadis itu. Reanna Anggoro namanya. Gadis itu mengumpulkan satu persatu tangkai bunga pada sebuah keranjang kecil di tangannya dengan teliti, sebelum akhirnya ia mendudukkan diri pada sebuah kursi tinggi di pojok ruangan bernuansa shaby. Tak ingin membuang waktu, tangan-tangan terampilnya memulai merangkai karangan bunga sesuai dengan pesanan yang diminta oleh pelanggannya secara online.Hari masih pagi, namun mentari masih enggan menampakkan diri. Ditambah mendung yang bergelayut di langit kelabu itu menambah suasana muram pada gadis cantik di sudut ruangan. Mata indah yang biasanya memancarkan semangat dan keceriaan itu kehilangan cahayanya, bahkan kantung mata terlihat jelas di atas pipi tirusnya. Sisa-sisa kesedihannya tadi malam masih tampak jelas di wajahnya, namun ia memaksakan diri untuk tetap bekerja. Ia butuh pengalihan. Ia tidak ingin hanya diam di rumah, dan terus menerus meratapi

  • Dear, Pak Dokter   luka itu masih terasa

    "Sepertinya kamu butuh udara segar, Re. Bagaimana kalau malam ini kita keluar?"Tisha mendudukkan diri di depan Reanna yang tengah menikmati makan siangnya dengan tenang. Saat ini mereka sedang berada di kafe yang terletak tepat di sebelah toko bunga milik Tisha. Ia dan Reanna memang sudah terbiasa makan di sana. Selain karena tempatnya yang nyaman, makanan di sana juga enak dengan harga yang tidak menguras kantong tentunya."Ke mana?" Reanna mengalihkan pandangannya dari sepiring nasi beserta lauk pauknya pada wajah Tisha tanpa minat. Sejujurnya ia sedang malas ke mana pun, banyak hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini yang membuat jiwa dan raganya merasa lelah. Ia ingin tidur lebih awal malam ini."Hmm ... ke kelab malam? Mungkin kamu butuh segelas minuman?" tawar Tisha."Kamu tahu kalau aku tidak bisa minum alkohol." Gadis manis berambut gelap itu kembali menyendokkan makanan ke mulutnya setelahnya. Ia memilih untuk lebih memerhatikan hidangan di depannya daripada wajah Tisha, be

  • Dear, Pak Dokter   salah sasaran

    Ingar-bingar terdengar memekakkan telinga Reanna. Pria dan wanita berbaju kurang bahan memenuhi penglihatannya sejauh mata indah itu memandang. Ia menyapukan tatapannya ke segala penjuru ruangan temaram nan penuh sorot lampu warna-warni itu, dan ia merasa tidak cocok duduk di sini.Ia memakai pakaian yang masih bisa dikatakan wajar, tidak terlalu seksi menurutnya. Ia hanya memakai gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan dan menguncir tinggi rambut gelapnya. Namun, entah mengapa mata para pria yang ada di sana terasa selalu memperhatikannya. Ia merasa tidak nyaman.Gadis itu meraih tas tangannya, mengambil handphone dari dalamnya. Ia berpikir dapat membunuh waktu dengan bermain telepon genggam miliknya, sembari menunggu Tisha kembali. Sahabatnya itu sedang memesankan minuman untuk mereka."Segelas Coca-Cola untukmu, dan segelas Long Island Ice Tea untukku."Ucapan Tisha sedikit membuatnya kaget, sahabatnya itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Tentu Reanna segera kembali memasukkan h

  • Dear, Pak Dokter   meet you

    Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna. "Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seper

  • Dear, Pak Dokter   premenstrual syndrome

    "Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen

  • Dear, Pak Dokter   meet you (again)

    Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri

  • Dear, Pak Dokter   Kia Adams

    Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha

  • Dear, Pak Dokter   curahan hati

    "Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak

Latest chapter

  • Dear, Pak Dokter   extra - 4

    "Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk

  • Dear, Pak Dokter   extra - 3

    "Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri

  • Dear, Pak Dokter   extra - 2

    "Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang

  • Dear, Pak Dokter   extra - 1

    "Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem

  • Dear, Pak Dokter   bukan akhir cerita, tapi awal bahagia

    "Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba

  • Dear, Pak Dokter   perasaan yang terbalaskan

    "Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t

  • Dear, Pak Dokter   mengganjal

    "Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela

  • Dear, Pak Dokter   titik temu

    "Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de

  • Dear, Pak Dokter   red rose

    [Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r

DMCA.com Protection Status