Home / Romansa / Dear, Pak Dokter / premenstrual syndrome

Share

premenstrual syndrome

Author: Riri riyanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya.

"Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.

Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha.

"Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap.

"Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melenguh sambil mengigau. Tangan kirinya mengusap jejak air liur di pipinya. Reanna mengernyit jijik dibuatnya.

"Hey, Sha ... bangun sekarang! Ada yang harus kamu jelaskan padaku!" Reanna menguatkan guncangannya di tubuh Tisha, agar sahabatnya itu segera bangun. Ia sedikit kesal dengan sifat sahabatnya yang tukang tidur.

Dan usaha Reanna akhirnya membuahkan hasil. Mata gadis yang tidur di sisinya itu perlahan terbuka.

"Nghh? Oh, Rea?" Tisha mengucek matanya saat menatap wajah sahabatnya, kemudian menguap sebelum membangkitkan diri dari posisi nyamannya. "Kamu sudah bangun."

Reanna menatap Tisha dengan sebal. "Aku menunggu penjelasanmu."

Tisha sedikit melakukan peregangan pada tubuhnya sebelum menjawab pertanyaan Reanna. Dan hal itu sukses membuat Reanna berdecak tidak sabar.

"Ya, baiklah. Kamu mabuk berat dan menampar lelaki tak dikenal semalam," ungkap Tisha apa adanya.

Mendengar jawaban itu, sukses membuat Reanna mengerutkan kening tidak percaya.

"A-apa? Aku? Mabuk? Kenapa bisa? Bukankah kamu memesankanku cola?" tanya Reanna bertubi-tubi. Ia mulai ingat jika semalam ia dan Tisha datang ke kelab malam, dan seingatnya ia sama sekali tidak menyentuh alkohol; ia tidak tahan dengan minuman seperti itu.

"Kamu salah mengambil minumanku, Bodoh! Aku memesan minuman beralkohol tapi kamu mengira itu es teh," jelas Tisha pada akhirnya. Kedua tangannya bersedekap, menatap sebal pada wajah terkejut Reanna.

"Ya Tuhan ..." Reanna menutup mulutnya kaget. Pantas saja ia bisa mabuk, ternyata ia melupakan momen itu. "L-lalu bagaimana? Apa yang terjadi padaku selanjutnya?" sungguh, firasatnya buruk saat menanyakan hal itu.

Ah, Reanna jadi teringat saat pertama kalinya ia mencoba alkohol bersama Tisha. Ia menjadi pemain sirkus di depan banyak orang kala itu, dan sukses mempermalukan dirinya sendiri. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menyentuh minuman laknat tersebut.

Tapi apa ini? Apakah hal memalukan itu terulang kembali?

"Kamu menjadi bahan tontonan semalam. Aku melihatnya sendiri." Tisha tertawa terbahak di tengah ucapannya. Sedangkan Reanna membatu, firasat buruknya benar. "Kamu menempel-nempel pada lelaki itu. Kamu mengira jika lelaki itu adalah Kalandra. Kamu bilang 'aku mencintaimu, Kalandra~ Aku mencintaimu~' hahaha, lucu sekali," lanjut Tisha dengan ekspresi yang membuat Reanna bergidik ngeri. Ia seakan tak percaya jika ia benar-benar melakukan hal yang diceritakan oleh sahabatnya.

Reanna meraung dalam hati. Betapa memalukannya hal yang sudah ia perbuat!

"Semua itu gara-gara kamu, Sha! Kamu yang mengajakku ke pub! Aku ini sedang patah hati!" ucap Reanna dengan kesal. Ia kembali menatap wajah tidak bersalah itu dengan sebal. Kedua pipinya menggembung lucu saat gadis itu marah.

"Aku 'kan hanya mencoba menghiburmu. Mana aku tahu kalau akan menjadi seperti itu?" Tisha hanya mengedikkan bahunya acuh, kemudian mengalihkan pandangannya dari sang sahabat. Sejujurnya ia memang sedikit merasa bersalah, tapi gengsi untuk mengakuinya.

Reanna menghela napas panjang setelahnya.

"Ya sudahlah ..." ucap gadis itu pada akhirnya. Ia terdiam, benaknya tengah mengingat sesuatu. Sepertinya ... ada sesuatu yang kurang.

Ah, ia ingat sekarang!

Bukankah semalam ia membawa tas?

Mata cantiknya lantas memperhatikan ke sana dan kemari, mencari benda tersebut.

"Ngomong-ngomong, di mana tasku?" tanya Reanna kemudian saat ia tidak menemukan apa yang ia cari di sekitarnya.

"Tas apa?" Tisha kembali menatap Reanna dengan pandangan bertanya.

"Tas yang kubawa semalam, Tisha!" Reanna meraung frustrasi. Firasat buruknya kembali muncul.

"Astaga!"

"Jangan bilang kamu meninggalkannya di sana?" Reanna melirik jengkel dengan ekor matanya.

"Aku tidak ingat jika kamu membawa tas. L-lagi pula semalam sangat kacau, aku jadi lupa. Maafkan aku ya, Re?" dan Tisha akhirnya meminta maaf juga. Kali ini ia memang benar-benar merasa bersalah.

Reanna menggigiti kukunya; tanda ia sedang khawatir, pasalnya ada benda penting di dalam tas itu. Ia takut jika benda tersebut hilang.

"Lalu bagaimana? Ada handphoneku di sana."

Tisha menatap ke sana-kemari, ia juga bingung harus bagaimana. Pengunjung kelab malam semalam sangat banyak, kemungkinan kecil jika benda tersebut tidak lenyap.

"K-kita akan mencarinya nanti malam. Semoga saja ada pegawai yang menyimpan tas itu."

***

"Papa cakit?" Kia menaruh sendok makannya. Mata bulat besar nan berkilau itu tak lepas memperhatikan wajah ayahnya. Benak gadis kecil yang memiliki rambut dan warna mata yang senada dengan milik sang ayah itu bertanya-tanya, bahkan keningnya berkerut lucu ketika sedang berpikir.

Tentu pertanyaan dari putrinya membuat sang ayah mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang ia bawa pada wajah cantik Kia.

"Kenapa, Sayang?" tanya Nathan. Anaknya ini memang perhatian sekali dengan dirinya. Meskipun masih sangat kecil, tetapi Kia begitu jeli jika ada yang berubah ataupun salah pada dirinya. Ah, sepertinya putri kecilnya ini mendewasa sebelum waktunya.

"Pipinya meyah." Kia menunjuk pipi ayahnya. "Kata Bibi, waktu Kia cakit demam wajah Kia juga meyah, Papa."

"Oh, ini?" Nathan memegang pipinya, kemudian tersenyum pada Kia. "Ini tidak apa-apa, hanya ... digigit nyamuk." Pria itu beralasan. Tidak mungkin 'kan kalau dia berkata itu bekas tamparan? Yah, meskipun tidak bisa ia pungkiri jika bekas merah itu masih terasa sedikit ngilu. "Kia khawatir?" tanyanya kemudian.

"Iya. Kia 'kan cayang cama Papa." Kia menjawab dengan bersemangat. Kedua mata biru itu bercahaya ketika menatapnya. Membuat sang ayah tidak tahan lagi untuk tidak mencium pipi bulat itu.

"Papa juga sayang, seratus kali lebih banyak sama Kia." Nathan mencium pipi seperti bakpao itu dengan gemas, bergantian kanan dan kiri. Tentu saja ia sangat menyayangi putrinya. Dialah satu-satunya peninggalan mendiang sang istri yang paling berharga baginya. Bahkan ia pun akan rela jika harus mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan buah hatinya.

"Kia ceyibu kayi lebih cayang Papa." Kia menjawab. Kedua lengan kecilnya melingkari leher sang ayah saat pria itu hendak menyudahi ciuman sayangnya. Kini gantian putrinya lah yang mencium pipinya. Tepatnya pada luka bekas tamparan gadis di kelab malam tadi malam. "Dah ... cembuh. Cudah Kia obati, Papa."

Nathan hanya terkekeh saat Kia meniup-niup bekas ciumannya sendiri. "Astaga, anak siapa ini? Kenapa pintar sekali menggombal, huh?" ujarnya, kemudian menggelitiki pinggang anaknya dengan gemas, seiring keluarnya tawa kencang yang mengalun ceria pada gendang telinganya.

"Kyahaha ... ahaha ... Papa geyi! Cudah ah ..." Kia meronta saat ayahnya mengangkat tubuh kecilnya pada pangkuannya yang nyaman.

"Salah sendiri kamu menggemaskan."

Kia hanya tertawa lebar setelahnya.

"Baiklah. Lanjutkan makanmu. Papa berangkat kerja dulu, ya?" Nathan kembali mendudukkan Kia pada kursinya, kemudian mencium puncak kepala putrinya.

"Iya, Papa. Dadaahhhh ...."

***

Reanna menatap puas hasil karyanya merangkai beberapa tangkai bunga daisy menjadi sebuket bunga yang sangat cantik. Ini adalah pesanan ke sekian kali yang ia kerjakan hari ini. Sebuket bunga putih nan cantik yang akan menjadi wedding bouqeet untuk pengantin wanita.

Daisy putih bermakna cinta setia dan kepolosan. Tak heran jika banyak pria yang menggunakan bunga daisy putih disaat melamar gadis pujaannya, dan sebagai bunga tangan yang akan selalu digenggam mempelai wanita pada saat pernikahan nanti tentunya.

Gadis cantik itu tersenyum, tangan kanannya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ah, ia jadi berkhayal pada pernikahannya kelak. Jika ia menikah nanti, apakah ia juga akan menggenggam buket seperti ini?

Namun, sebelum pikirannya melantur ke mana-mana ia segera menggelengkan kepalanya. Kepala dengan rambut sekelam malam itu menunduk, kemudian tersenyum masam.

'Itu tidak mungkin. Bahkan calonnya saja tidak ada.' batinnya.

Setelahnya, gadis itu kembali memfokuskan pikirannya pada pekerjaannya. Ah, buketnya sudah jadi sekarang. Ia hanya perlu memasang plastic wrappingnya, dan pekerjaan akan selesai.

Tetapi, saat gadis itu mencoba bangkit dari posisi duduknya, ia memekik. Tiba-tiba saja perutnya terasa kram, dan itu sakit sekali. Ia mengurungkan niatnya untuk berdiri dan kembali duduk di kursinya. Bertepatan dengan itu, Tisha datang.

"Sha, aku istirahat sebentar, ya?" Reanna berucap, kedua tangannya meremas pelan perutnya.

Tisha menghentikan langkah kakinya, ia memperhatikan Reanna. Sahabatnya itu terlihat sedang tidak baik.

"Kamu kenapa, Re? Kamu pucat." Tisha mendudukkan diri di samping sang sahabat.

Reanna terlihat meringis kesakitan. "Ugh, entahlah. Perutku sakit sekali," ungkapnya.

"Kamu punya asam lambung?" Tisha kembali bertanya.

"Tidak. Akhhh!" ringisan Reanna semakin kuat, seiring menguatnya rasa sakit di perutnya.

Tentu saja hal itu membuat Tisha memandang khawatir pada Reanna.

"Mungkin kamu akan datang bulan, Re. Kamu selalu kesakitan jika mendekati tanggal merahmu, bukan?" Tisha berasumsi, sebagai sahabat ia tahu jika Reanna selalu mengalami premenstrual syndrome saat mendekati haid.

Sedangkan Reanna terdiam, mengingat tanggal berapa ia mendapatkan haid bulan lalu. Setelahnya, ia baru menyadari jika ia sudah melewatkan tanggalnya, bahkan sudah telat beberapa hari. Jadwal menstruasinya memang tidak pernah teratur sejak dulu.

"Beristirahatlah ... biar aku saja yang melanjutkan pekerjaanmu," lanjutnya Tisha.

"Sebelumnya tidak pernah sesakit ini. Ugh, sakit sekali." Reanna kembali meremas perutnya, membuat sahabatnya menjadi lebih khawatir dari sebelumnya.

"S-sepertinya kamu harus ke rumah sakit, Re. Aku akan mengantarmu." Tisha hendak bangkit, tetapi tangan Reanna segera menahannya.

"Kamu tak perlu mengantarku, Sha. Aku akan ke rumah sakit nanti setelah kerjaan ini selesai. Pesanan hari ini sedang banyak, maaf aku tidak bisa membantumu sampai selesai."

Tisha terdiam, menatap Reanna dengan intens seakan memastikan keadaan sahabatnya itu dalam keadaan baik-baik saja atau tidak. Ia sangat ingin mengantarkan Reanna, tapi seperti kata Reanna tadi, pekerjaan hari ini lumayan banyak, ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Baiklah," ucap Tisha pada akhirnya. "Kamu tidak perlu memaksakan diri, Re. Jika perlu bantuan, mintalah padaku." Gadis itu menepuk ringan pundak sahabatnya sebelum kembali pada kursi yang biasa ia duduki saat bekerja.

"Iya, terima kasih atas perhatiannya. Kamu memang satu-satunya sahabatku."

.

Bersambung...

Related chapters

  • Dear, Pak Dokter   meet you (again)

    Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri

  • Dear, Pak Dokter   Kia Adams

    Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha

  • Dear, Pak Dokter   curahan hati

    "Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak

  • Dear, Pak Dokter   dr. Nathanael Adams

    Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser

  • Dear, Pak Dokter   be friends

    Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan

  • Dear, Pak Dokter   baby sitter

    Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car

  • Dear, Pak Dokter   sang mantan

    Nathan menatap sebuah map di tangannya, membaca segala informasi tentang pasien yang duduk di hadapannya itu dengan teliti. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus sebahu itu terlihat pucat."Nona Olivia Atmaja. Anda datang sendirian?" pria itu menatap tepat pada mata pasiennya. Ia sedikit heran, pasalnya kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya ke sini selalu di dampingi suami mereka, apalagi dengan keadaan wanita di hadapannya yang terlihat sedang tidak baik."Iya, Dok. Calon suami saya sedang sibuk akhir-akhir ini." Jawab pasien yang bernama Olivia itu dengan senyuman canggung.'Hamil di luar pernikahan rupanya.' Nathan membatin.Ia tidak habis pikir, entah kenapa di jaman sekarang kasus seperti ini sering sekali ia temui.Pria itu menggeleng singkat. Yah, itu memang bukan menjadi urusannya. Ia hanya merasa miris saja, apalagi ia memiliki seorang anak perempuan. Jujur saja ia merasa khawatir.Ia segera mengenyahkan pemikiran tersebut dari kepalanya, dan kembali fokus pa

  • Dear, Pak Dokter   Kalandra Adi Sucipta

    Keheningan menyelimuti mereka, hanya alunan musik lembut yang mendominasi seisi mobil tersebut. Sedangkan gadis kecil yang sedari tadi aktif itu kini telah tertidur nyenyak di kursi belakang. Mereka baru saja pulang dari makan malam beberapa menit yang lalu, mungkin saja Kia kelelahan.Reanna menatap dalam diam jalanan di depannya, sesekali mata indah itu melirik pada pria yang sedang fokus menyetir dengan tenang di sampingnya.Entah kenapa di mata gadis itu, dr. Adams terlihat begitu tampan saat wajahnya terlihat serius mengemudi. Apalagi dengan pencahayaan yang minim, rahang itu terlihat lebih tegas, sedangkan hidungnya begitu mancung. Sosok di sampingnya terlihat seperti patung pahatan yang begitu sempurna di kedua matanya.Yah, Reanna hanya merasa kagum. Tidak lebih.Bukankah wajar jika seorang perempuan menyukai lelaki tampan?Gadis itu segera memalingkan pandangannya kembali pada jalanan yang terlihat lengang itu ketika menyadari mata biru sang pria sedikit melirik ke arahnya. Ia

Latest chapter

  • Dear, Pak Dokter   extra - 4

    "Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk

  • Dear, Pak Dokter   extra - 3

    "Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri

  • Dear, Pak Dokter   extra - 2

    "Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang

  • Dear, Pak Dokter   extra - 1

    "Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem

  • Dear, Pak Dokter   bukan akhir cerita, tapi awal bahagia

    "Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba

  • Dear, Pak Dokter   perasaan yang terbalaskan

    "Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t

  • Dear, Pak Dokter   mengganjal

    "Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela

  • Dear, Pak Dokter   titik temu

    "Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de

  • Dear, Pak Dokter   red rose

    [Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r

DMCA.com Protection Status