Reanna menatap pantulan wajahnya pada kaca meja rias di depannya. Gadis itu terlihat begitu menyedihkan. Kantung matanya terlihat begitu gelap, matanya pun bengkak. Ya, ia menangis semalaman setelah pulang dari kafe tadi malam. Lagi-lagi ia gagal untuk tidak menangisi lelaki itu, sesuai janjinya pada dirinya sendiri.Bertemunya ia dengan Kalandra seakan membuka kembali luka lama. Semua kenangan indahnya bersama pria itu terus berputar di kepala, dan berakhir dengan ingatan buruknya tentang pengkhianatan, dan tentang kehamilan Olive.Ia kembali memperhatikan wajahnya sekali lagi, kemudian mengoleskan concealer pada bawah matanya, berusaha menutupi jejak kesedihannya.Namun, suara dentingan bel rumahnya yang tiba-tiba berbunyi membuat Reanna tersentak. Tidak biasanya. Ia memang jarang menerima tamu, apalagi di pagi buta seperti ini.Ia segera menaruh wadah kosmetiknya di atas meja, kemudian bangkit dan melangkah menuju pintu depan, melihat siapa yang datang ke kediamannya sepagi ini.Da
"Saya rasa kamu lebih cantik," ucap Nathan tanpa sadar. Kalimat yang sederhana, namun sudah berhasil membuat kedua belah pipi Reanna merona. Gadis itu bergerak canggung, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan kikuk. Sungguh, dirayu oleh duda tampan beranak satu di depannya ini begitu berefek besar padanya, apalagi di tempat umum begini. Restoran tempat mereka makan sedang ramai-ramainya."A-anda ini suka sekali bercanda," ucapnya."Karena saya suka melihat wajahmu memerah seperti itu," balas pria itu dengan ringan, dengan kekehan di akhir katanya.Sedangkan gadis kecil yang berada di antara mereka hanya menatap polos antara Sang ayah dan Reanna secara bergantian. Ia tidak mengerti apa yang kedua orang dewasa itu bicarakan.Reanna terdengar berdeham sebentar, mencoba mencairkan kegugupan. Setelahnya, dengan wajah yang masih memerah, gadis itu kembali mendekatkan satu suapan bubur itu pada bibir mungil Kia. Ia berusaha mengalihkan pikiran. Namun, balita itu justru meno
Tangan-tangan mungil itu terlihat sibuk mencorat-coret berbagai warna krayon pada buku gambarnya. Reanna tersenyum mengamati sebuah gambar pemandangan setengah jadi itu. Kia memang suka menggambar, ia seringkali menuangkan apa pun yang dilihatnya ke dalam coretan. Dan Reanna kagum akan hal itu. karena, yah ... sejujurnya ia sangat payah dalam menggambar. Seingatnya, ia hanya bisa menggambar matahari terbit yang diapit dua gunung kembar saat masih kecil.Hari masih pagi, dan pengunjung toko bunga itu masih sepi. Hanya Tisha yang masih mengotak-atik komputer di meja kasirnya, entah apa yang dikerjakannya.Sedangkan gadis kecil di hadapannya ini baru saja datang beberapa menit yang lalu, diantar oleh ayahnya, tentu saja. Semenjak kejadian sarapan bersama waktu itu, hari-hari Reanna berlalu tanpa air mata. Sedikit demi sedikit ia mulai membenahi hatinya, dan ia merasa semakin mudah untuk bangkit setelah adanya Kia yang selalu berada di sampingnya.Dan tentu saja ayahnya.Reanna tidak men
"Kita akan ke mana, Pak?" Reanna bertanya dari kursi belakang mobil hitam Nathan, menemani Kia yang sedang memainkan boneka kucing favoritnya. Mereka sedang berada dalam perjalanan pulang sekarang."Ada kedai es krim yang baru buka hari ini. Dan Kia sejak semalam mengajak saya makan es krim di sana," jawab Nathan di kursinya, mata biru itu menatap Reanna dari spion dalam mobilnya."Kia mau es klim!" balita itu berseru, kemudian berdiri dari kursinya—yang langsung Reanna tangkap. Gadis kecil itu begitu aktif, sehingga Reanna merasa khawatir jika Kia akan terjatuh."Kamu akan mendapatkannya sebentar lagi, Sayang." Pria itu berucap seraya kembali fokus pada jalanan padat di depannya."Yeayy~" tentu saja hal tersebut membuat Kia kembali berteriak riang."Saya pikir jika saya mengajakmu, Kia akan merasa senang," lanjut pria itu, kembali menatap pantulan wajah cantik Reanna pada kaca spion dalamnya.Sedangkan Reanna menunduk, entah kenapa ia merasa malu jika terus diperhatikan seperti itu.
Hari kembali berganti. Sapaan hangat sinar mentari pagi menyentuh lembut rambut pirang Nathan ketika pria itu keluar dari mobilnya. Setelahnya, langkah panjang itu berbalik menuju pintu lain di sisi mobil hitam itu, membukanya. Dan dari sanalah sosok gadis kecil berkepang dua itu muncul, dibopong oleh kedua lengan kekarnya menuju sebuah toko bunga yang kerap kali mereka datangi setiap harinya.Senyuman lebar itu tersungging manis pada bibir mungil Kia ketika gadis cilik itu melihat siluet seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengajaknya bermain bersama; Reanna, dari luar dinding kaca transparan di hadapannya. Sungguh, ia tak sabar untuk kembali bertemu dengannya.Tentu saja pria dewasa itu turut melengkungkan sebuah senyuman kala melihat raut ceria putrinya, kemudian tangan kanan kekarnya mendorong perlahan daun pintu di hadapan, membuat lonceng kecil di atasnya kembali berdenting kala mereka memasuki toko itu. Nathan mengacak rambut pirang si kecil dalam gendongan sembari terkekeh r
Kelopak mata cantik itu bergerak-gerak, dengan perlahan menampakkan sedikit iris mata indah milik gadis yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit yang serba putih itu. Sebelum kelompoknya terbuka sempurna, kening pucat itu mengernyit. Sinar dari cahaya lampu kamar itu menyilaukan matanya. Bibir tipis itu melenguh pelan."Ngghhhhh ...."Melihat gadis di hadapannya siuman, pria yang sedari tadi menungguinya menegakkan posisi duduknya. Wajah tampannya sedikit mendekat pada wajah pucat Reanna, meneliti setiap ekspresi wajah ayu nan pucat itu."Kamu sudah sadar, Rea." Ia menghela napas lega, setelah beberapa jam lalu sempat merasa begitu khawatir dengan keadaan gadis di hadapannya. Bahkan ia sampai membatalkan janji temunya yang tersisa untuk hari ini. Ia tidak tega meninggalkan gadis yang selama ini begitu berjasa membantunya menjaga Kia sendirian, karena ia tahu Reanna hanya tinggal seorang diri di ibu kota ini.Sementara Tisha, gadis pirang itu sedang sangat sibuk hari ini, floristnya
Suara merdu burung gereja yang bernyanyi di luar jendela sana menjadi pengiring sang surya yang mulai menampakkan kemilau sinarnya. Kelopak mata itu bergetar ketika cahaya hangat menyentuh perlahan separuh wajah sedikit pucat Reanna, yang membuat gadis itu refleks hendak mengangkat tangan kanannya, hendak menghalau pendar yang menyilaukan mata.Namun, usahanya gagal. Tangan kanannya terasa berat seakan ada sesuatu yang menindihnya. Dan ketika mata indah gadis itu hendak memeriksanya, seketika ia tertegun. Pipinya terasa memanas, diiringi dentuman jantungnya yang berdetak lebih cepat dari sebelumnya.'Pak dokter?' batinnya.Kepala dengan rambut pirang yang tampak acak-acakan adalah hal pertama yang menyambut pandangannya. Pria itu tertidur dengan menggenggam tangannya!Sungguh, jantung Reanna seakan hendak melompat dari tempatnya. Apalagi ketika dokter tampan itu mulai membuka kelopak mata, menampakkan iris biru menenangkan miliknya.Pria itu menguap kecil dengan menutupi mulutnya meng
Reanna sedikit terkejut saat menyadari bahwa ayah dari gadis kecil yang bersamanya ini tiba-tiba sudah berada di belakang mereka, seperti hantu saja. Benar, pria yang baru saja datang itu adalah dr. Adams."Ah, Pak dokter ... kapan sampai?" gadis itu bertanya dengan pandangan mata mengikuti gerakan tubuh jangkung itu—yang kini menduduki kursi di hadapan dirinya dan Kia."Sejak kalian asyik mengobrol sampai-sampai tidak menyadari kehadiran saya.""Girls time, Pak." Celetukan Reanna sukses membuat dokter tampan dengan kemeja hitam itu terkekeh.Setelahnya, pandangan mata biru dari pria dewasa itu memperhatikan putri kecilnya yang meletakkan sendok di atas piringnya yang masih setengah terisi."Sudah selesai makan, Sayang?" pria itu bertanya dengan penuh perhatian."Cuapin!" namun, bibir mungil itu justru mencebik, kemudian mendorong piringnya ke hadapan Sang ayah.Ah, manjanya sedang kambuh."Baiklah." Dan tentu saja Sang ayah menerimanya dengan senang hati. "Saya dengar dari obrolan k
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r