Beranda / Romansa / Dear, Pak Dokter / meet you (again)

Share

meet you (again)

Penulis: Riri riyanti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.

Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.

Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.

Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?

Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan dirinya pada kursi tunggu terdekat. Ini akan memakan waktu yang lama, sebab ia adalah pasien terakhirnya. Gadis itu duduk dengan tidak nyaman, tangannya kembali meremas pusat rasa sakit di perutnya.

'Bisa-bisa aku pingsan lebih dulu sebelum menemui dokter itu!' batinnya.

Dan ... setelah waktu yang cukup lama bagi Reanna, akhirnya nama gadis itu dipanggil oleh seorang suster dengan sebuah map di tangannya.

"Pasien atas nama Reanna Anggoro."

Setelahnya, gadis itu bangkit dan mengekori langkah perawat berbaju putih itu.

***

"Selamat malam, Dok." Reanna menyapa seorang dokter yang sedang memeriksa sebuah map yang suster tadi berikan padanya.

"Malam. Atas nama Reanna Anggoro?"

Saat dokter itu mendongak, seketika Reanna terdiam menatapnya.

Sungguh, ini di luar ekspektasinya. Ia mengira jika dokter yang akan ditemuinya adalah dokter tua yang mengenakan kacamata tebal seperti dokter yang ia sempat temui tadi.

Tapi ini ... bahkan untuk beberapa saat ia melupakan ketampanan Kalandra.

"Keluhannya ... kram perut, benar?" dokter tampan berambut pirang itu kembali bertanya, memastikan.

"Benar, Dok."

Setelah itu, dokter yang ber-nametag Nathanael Adams itu kembali memeriksa hasil pemeriksaan awal milik Reanna; rekam medisnya.

"Di sini tertulis, Anda sudah telat datang bulan selama tiga hari." Kacamata yang dikenakan dokter itu sedikit berkilat ketika menatap Reanna. Namun, hal itu tidak menutupi iris mata biru yang ada di baliknya.

"Siklus haid saya memang sering kacau, Dok." Reanna menjawabnya. Entah kenapa setelah bertemu dr. Adams rasa sakit di perutnya sedikit mereda. Ia bersyukur akan hal itu.

Dokter itu terlihat meneliti raut wajah di depannya. Entah bagaimana ia merasa familier dengan gadis di depannya. Ia lantas melepas kacamatanya, menatap Reanna dengan serius.

"Apa ... kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mendengarnya Reanna merasa terkejut.

"Bertemu? Sepertinya tidak, Dok." Mustahil ia pernah menemuinya. Reanna baru pertama kali ini menemui dokter kandungan selama hampir dua puluh tiga tahun usianya.

Dokter tampan itu hanya mengedikkan bahu mendengar jawaban Reanna. Ia kembali memakai kacamata bacanya. "Mungkin cuma perasaan saya saja. Saya merasa kita pernah bertemu di suatu tempat."

"Benarkah?" Reanna kembali bertanya. Kali ini ia tidak menutupi keterkejutannya. Apakah wajahnya sangat pasaran?

"Kita lanjut ke pemeriksaan saja." Namun, dokter itu segera mengalihkan pembicaraan. "Silakan ke toilet dan bawa sampel urine Anda ke sini." Lanjut dokter itu, yang seketika membuat mata cantik Reanna membola.

Untuk apa ia membawa sampel urine?

"Tunggu, apa maksudnya ini?" rasa kagum yang pada awalnya tumbuh, sekarang musnah seketika. Ia menatap dokter itu dengan alis menukik, marah. "Anda mengira saya hamil?! Saya ini masih gadis, Dokter. Saya belum menikah!"

Yah, perempuan yang sedang PMS memang emosinya gampang meledak.

Melihat respons tidak menyenangkan dari pasiennya, dokter itu jadi mengingat sesuatu tentang gadis yang ia temui di pub. Tingkah laku gadis di depannya ini sama bar-barnya.

"Ah, sekarang saya baru ingat," ucap dr. Adams tiba-tiba. Kemudian ia melirik perawat yang berdiri di samping kursinya. "Suster, tolong keluar sebentar, saya ada urusan pribadi dengan pasien ini."

Suster itu membungkukkan badannya sebelum pergi meninggalkan Reanna dan dokter yang terus menatap gadis itu dengan geram.

Setelah tubuh suster itu raib di balik pintu, dokter tampan itu kembali melepas kacamatanya. Kedua mata biru itu menatap sengit pada wajah memerah karena marah gadis di hadapannya.

"Kamu gadis gila yang semalam di pub itu 'kan?!" nada formalnya hilang seketika.

"Anda bilang saya apa?! Gadis gila?!" Reanna bangkit, lantas mendekatkan wajahnya dengan kening berkerut pada wajah tampan dokter di depannya. "Hey, jaga ucapan Anda ya, Dok! Tidak sepantasnya seorang dokter berkata seperti itu pada pasiennya!" Lanjutnya dengan nada bicaranya yang naik satu oktaf.

"Seharusnya kamu juga jaga kelakuanmu. Tidak baik bagi seorang gadis menempel-nempel pada pria dewasa seperti saya." Dokter itu menatap jengkel pada Reanna, kedua tangannya bersedekap sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kamu bahkan mencoba mencium saya semalam."

Setelah mendengar pengakuan dokter itu, seketika amarah Reanna menghilang. Berganti dengan rasa terkejut serta malu yang begitu dalam. Wajahnya masih memerah, tetapi kali ini karena malu yang tak bisa ia sembunyikan.

"B-benarkah? J-jadi ... yang dikatakan Tisha benar? Anda orangnya?" tanya Reanna, seakan tidak percaya. Ia memundurkan dirinya dan menjatuhkan diri di kursi yang tadi ia duduki. Mata cantiknya menatap kosong pada mata biru di hadapannya.

"Ya." Dokter itu menjawab singkat. Tidak tahu kenapa, ia justru melebih-lebihkan kejadian semalam. Gadis itu memang menempel padanya seperti perangko, tetapi gadis itu sama sekali tidak berusaha menciumnya.

Ah, tapi biar saja, toh gadis itu tidak mengingatnya.

"Astaga ..." Reanna menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. "Maafkan saya, Dok. Saya tidak tahu. Semalam benar-benar di luar kendali saya." Gadis terlihat benar-benar menyesal.

Namun, ternyata dokter itu masih begitu kesal padanya.

"Kamu lihat bekas merah ini?" dokter itu menunjuk bekas merah yang saat ini terlihat membiru di pipinya. "Ini perbuatanmu."

Melihat apa yang ditunjukkan sang dokter, membuat gadis itu menunduk malu sekaligus merasa bersalah di saat yang bersamaan.

"Saya benar-benar minta maaf, Dok. Maafkan saya." Reanna mendongak. "A-anda boleh melaporkan saya ke polisi jika Anda mau."

dr. Adams terlihat menghela napas panjang setelah melihat ketulusan sang gadis meminta maaf padanya. "Ya sudahlah ... tidak perlu. Berhubung kejadian itu bertepatan dengan ulang tahun saya, saya maafkan kamu."

Reanna mendongak dengan cepat setelah mendengarnya. Ia seakan menemukan oasis di tengah padang pasir yang tandus. "Sekali lagi terima kasih, Dokter. Dan ... selamat ulang tahun, meskipun sedikit telat."

"Thanks."

"Kalau boleh tahu, ulang tahun yang ke berapa, Dok?" Reanna memberanikan diri untuk beradu pandang pada dokter tampan itu.

"Tiga lima. Memangnya kenapa kamu bertanya?"

Reanna kembali dibuat terkejut mendengar jawaban dokter di hadapannya. "Wah, saya sama sekali tidak menyangka umur Anda segitu. Anda jauh terlihat lebih muda dari umur anda yang sebenarnya."

Yah, pada awalnya Reanna mengira jika dr. Adams ini sepantaran dengan mantan tunangannya, Kalandra yang saat ini berusia dua puluh tujuh tahun, hampir empat tahun jarak usia pria itu dengan dirinya.

"Berhenti basa-basinya. Setelah ini kamu harus ikut dengan saya."

Entah sudah ke berapa kali Reanna terkejut dengan ucapan dokter tampan nan awet muda di depannya ini.

"Huh? Ke mana?" Ia ... tidak akan diculik 'kan?

"Ke rumah saya. Kamu sedang mencari tasmu, bukan?"

Dan ... Reanna merasa disiram air dingin nan menyejukkan setelahnya. Tanpa dijelaskan pun ia mengerti jika dokter itulah yang menemukan tas—beserta isinya—miliknya.

"Iya, benar. Syukurlah ... saya kira sudah hilang."

"Semalam kamu meninggalkannya di meja bartender, dan tadi pagi saya lupa membawanya. Seharusnya malam ini saya berniat ke counter handphone untuk membuka kunci layar handphonenya, supaya saya bisa menghubungi nomor di dalamnya dan mengembalikan handphonemu. Tapi, syukurlah jika kita sudah bertemu," jelas dokter itu panjang lebar.

Seulas senyum lega terukir begitu saja pada bibir tipis Reanna.

"Terima kasih, Dok. Sekali lagi terima kasih ... ternyata Anda sangat baik. Maafkan saya yang tadi sempat menilai Anda buruk." Gadis itu berkali-kali membungkuk berterima kasih pada sang dokter.

"Makanya jangan sekali-sekali menilai orang hanya dari luarnya saja. Kita lanjutkan pemeriksaan?"

"Baiklah." Reanna mengangguk dan kembali menduduki kursinya dengan nyaman.

.

Bersambung...

Bab terkait

  • Dear, Pak Dokter   Kia Adams

    Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha

  • Dear, Pak Dokter   curahan hati

    "Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak

  • Dear, Pak Dokter   dr. Nathanael Adams

    Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser

  • Dear, Pak Dokter   be friends

    Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan

  • Dear, Pak Dokter   baby sitter

    Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car

  • Dear, Pak Dokter   sang mantan

    Nathan menatap sebuah map di tangannya, membaca segala informasi tentang pasien yang duduk di hadapannya itu dengan teliti. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus sebahu itu terlihat pucat."Nona Olivia Atmaja. Anda datang sendirian?" pria itu menatap tepat pada mata pasiennya. Ia sedikit heran, pasalnya kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya ke sini selalu di dampingi suami mereka, apalagi dengan keadaan wanita di hadapannya yang terlihat sedang tidak baik."Iya, Dok. Calon suami saya sedang sibuk akhir-akhir ini." Jawab pasien yang bernama Olivia itu dengan senyuman canggung.'Hamil di luar pernikahan rupanya.' Nathan membatin.Ia tidak habis pikir, entah kenapa di jaman sekarang kasus seperti ini sering sekali ia temui.Pria itu menggeleng singkat. Yah, itu memang bukan menjadi urusannya. Ia hanya merasa miris saja, apalagi ia memiliki seorang anak perempuan. Jujur saja ia merasa khawatir.Ia segera mengenyahkan pemikiran tersebut dari kepalanya, dan kembali fokus pa

  • Dear, Pak Dokter   Kalandra Adi Sucipta

    Keheningan menyelimuti mereka, hanya alunan musik lembut yang mendominasi seisi mobil tersebut. Sedangkan gadis kecil yang sedari tadi aktif itu kini telah tertidur nyenyak di kursi belakang. Mereka baru saja pulang dari makan malam beberapa menit yang lalu, mungkin saja Kia kelelahan.Reanna menatap dalam diam jalanan di depannya, sesekali mata indah itu melirik pada pria yang sedang fokus menyetir dengan tenang di sampingnya.Entah kenapa di mata gadis itu, dr. Adams terlihat begitu tampan saat wajahnya terlihat serius mengemudi. Apalagi dengan pencahayaan yang minim, rahang itu terlihat lebih tegas, sedangkan hidungnya begitu mancung. Sosok di sampingnya terlihat seperti patung pahatan yang begitu sempurna di kedua matanya.Yah, Reanna hanya merasa kagum. Tidak lebih.Bukankah wajar jika seorang perempuan menyukai lelaki tampan?Gadis itu segera memalingkan pandangannya kembali pada jalanan yang terlihat lengang itu ketika menyadari mata biru sang pria sedikit melirik ke arahnya. Ia

  • Dear, Pak Dokter   terlalu peka

    Reanna menatap pantulan wajahnya pada kaca meja rias di depannya. Gadis itu terlihat begitu menyedihkan. Kantung matanya terlihat begitu gelap, matanya pun bengkak. Ya, ia menangis semalaman setelah pulang dari kafe tadi malam. Lagi-lagi ia gagal untuk tidak menangisi lelaki itu, sesuai janjinya pada dirinya sendiri.Bertemunya ia dengan Kalandra seakan membuka kembali luka lama. Semua kenangan indahnya bersama pria itu terus berputar di kepala, dan berakhir dengan ingatan buruknya tentang pengkhianatan, dan tentang kehamilan Olive.Ia kembali memperhatikan wajahnya sekali lagi, kemudian mengoleskan concealer pada bawah matanya, berusaha menutupi jejak kesedihannya.Namun, suara dentingan bel rumahnya yang tiba-tiba berbunyi membuat Reanna tersentak. Tidak biasanya. Ia memang jarang menerima tamu, apalagi di pagi buta seperti ini.Ia segera menaruh wadah kosmetiknya di atas meja, kemudian bangkit dan melangkah menuju pintu depan, melihat siapa yang datang ke kediamannya sepagi ini.Da

Bab terbaru

  • Dear, Pak Dokter   extra - 4

    "Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk

  • Dear, Pak Dokter   extra - 3

    "Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri

  • Dear, Pak Dokter   extra - 2

    "Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang

  • Dear, Pak Dokter   extra - 1

    "Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem

  • Dear, Pak Dokter   bukan akhir cerita, tapi awal bahagia

    "Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba

  • Dear, Pak Dokter   perasaan yang terbalaskan

    "Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t

  • Dear, Pak Dokter   mengganjal

    "Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela

  • Dear, Pak Dokter   titik temu

    "Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de

  • Dear, Pak Dokter   red rose

    [Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r

DMCA.com Protection Status