Home / Romansa / Dear, Pak Dokter / salah sasaran

Share

salah sasaran

Author: Riri riyanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ingar-bingar terdengar memekakkan telinga Reanna. Pria dan wanita berbaju kurang bahan memenuhi penglihatannya sejauh mata indah itu memandang. Ia menyapukan tatapannya ke segala penjuru ruangan temaram nan penuh sorot lampu warna-warni itu, dan ia merasa tidak cocok duduk di sini.

Ia memakai pakaian yang masih bisa dikatakan wajar, tidak terlalu seksi menurutnya. Ia hanya memakai gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan dan menguncir tinggi rambut gelapnya. Namun, entah mengapa mata para pria yang ada di sana terasa selalu memperhatikannya. Ia merasa tidak nyaman.

Gadis itu meraih tas tangannya, mengambil handphone dari dalamnya. Ia berpikir dapat membunuh waktu dengan bermain telepon genggam miliknya, sembari menunggu Tisha kembali. Sahabatnya itu sedang memesankan minuman untuk mereka.

"Segelas Coca-Cola untukmu, dan segelas Long Island Ice Tea untukku."

Ucapan Tisha sedikit membuatnya kaget, sahabatnya itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Tentu Reanna segera kembali memasukkan handphonenya ke dalam tas kecil yang berwarna senada dengan gaunnya di atas meja.

"Terima kasih," ucap gadis manis itu saat melihat Tisha meletakkan dua buah gelas berkaki dengan warna cairan yang hampir mirip itu di atas meja mereka.

"Kamu ingin turun ke sana?" Tisha menunjuk ke lantai dansa, banyak pria dan wanita sedang meliukkan tubuhnya menikmati alunan musik di bawah sana.

"Tidak," jawab Reanna, singkat. Ia tidak mungkin mau turun ke sana saat kedua matanya tanpa sengaja menangkap seorang pria dan wanita saling bercumbu di antara banyak pasangan lainnya. Ia risi.

"Lalu, kenapa kamu diam saja? Setidaknya ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu." Tisha menatap penuh perhatian pada sahabatnya. Tangan kanannya terulur, menggenggam tangan kiri Reanna yang ada di atas meja. "Kita ini masih bersahabat 'kan, Re?"

Reanna terdiam cukup lama, ia menimbang-nimbang apakah harus menceritakan masalahnya pada Tisha atau tidak. Jujur saja hatinya pun sudah terlalu lelah menyimpan kisah menyedihkan itu untuk dirinya sendiri. Mungkin jika ia membaginya dengan sang sahabat, hatinya akan merasa lebih baik, pikirnya.

"Sebenarnya aku bingung, Sha." Gadis itu mendongak, membalas tatapan Tisha. "Kemarin semuanya masih baik-baik saja, tidak ada yang aneh dengan perilakunya. Tapi—" ucapan Reanna terpotong oleh sesak yang tiba-tiba kembali meremas dadanya.

Melihat hal itu, Tisha mempererat genggaman tangannya, menguatkan. Reanna menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-kata, berusaha membuang sesak yang memenuhi paru-parunya.

"Wanita yang tadi siang bersamanya sedang hamil, Sha. Dia menghamili wanita itu. Sulit sekali aku mempercayainya." Pada akhirnya gadis itu menangis. Niatnya untuk tak lagi menghabiskan air mata untuk lelaki itu gagal sudah.

Mata Tisha membola, tangan kanannya secara refleks menutup mulutnya. Ia speechless.

"Aku tidak menyangka lelaki dingin seperti Kalandra bisa melakukan hal seperti itu." Tisha terlalu terkejut mendengar fakta itu dari mulut Reanna, sehingga ia tidak bisa berkata-kata. Biar bagaimanapun, Kalandra terlihat seperti lelaki baik-baik selama ini di matanya.

Mungkin jika ia berada di posisi Reanna, ia tidak akan sekuat gadis itu. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya ngilu.

"Katakan padaku, apa salahku, Sha?! Selama ini aku selalu setia padanya. Aku tidak pernah menuntut apa pun darinya, meskipun itu hanya sekedar memintanya menemuiku. Aku mengerti betapa sibuknya ia bekerja. Tapi ternyata ...." Reanna kembali tersedu, dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya. "Kenapa dia jahat sekali padaku?" gadis itu meratap pedih. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang memerah karena menangis.

Tisha hanya mampu menatap Reanna dengan prihatin. Ia sangat tahu bagaimana sakit hatinya gadis itu. Padahal mereka sudah bertunangan, dan setahu Tisha mereka juga sudah merencanakan pernikahan di akhir tahun ini. Yah, meskipun ia juga tahu jika Kalandra belum secara resmi bertemu keluarga Reanna.

Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Menghamili wanita lain? Astaga ... Tisha masih tidak menyangka jika Kalandra sebrengsek itu.

Tisha mengusap punggung bergetar Reanna, berusaha meredakan tangis pilunya. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.

"Kamu mengenal wanita itu, Re?" setelah keheningan yang cukup lama di antara mereka, Tisha kembali bertanya.

Reanna menghapus jejak air matanya setelah ia sudah merasa lebih tenang. Ia tidak akan menangis lagi setelah ini.

"Namanya Olive. Setahuku, dia teman sekantor Kalandra. Entahlah," jawab Reanna. Tangan kanannya mengambil salah satu minuman di atas meja, lantas meminumnya hingga tandas. Setelahnya, ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu kembali ke tempat semula dengan keras. "Fuaahhhhh!"

Sedangkan Tisha tampak melongo melihat Reanna meminum minuman itu dengan rakus. Ia merasakan firasat buruk.

"Ngg ... ngomong-ngomong, kamu salah mengambil minumanmu," ungkap gadis itu dengan sudut mata sedikit berkedut. Sahabatnya yang tidak tahan alkohol itu baru saja meminum minuman yang seharusnya miliknya!

"Ah? Bukankah itu es teh?" Reanna mengerutkan keningnya tidak mengerti. Memangnya kenapa kalau ia salah meminum minuman milik Tisha? Bukankah selama ini mereka sering berbagi minuman? Namun, sejujurnya Ia merasa es teh yang ia minum ini sedikit berbeda. "Rasanya aneh."

"Es teh? Astaga, Re ... itu bukan es teh seperti yang kamu pikirkan!" Tisha menatap tajam mata Reanna, ia merasa khawatir dengan reaksi tubuh gadis itu setelah meminum minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi miliknya. Ia memperhatikan baik-baik segala ekspresi sang sahabat. Gadis berambut gelap itu sedang memegangi kepalanya. "Kamu ... baik-baik saja?"

"Kepalaku ... be-rat." Dan pada akhirnya kepala Reanna jatuh terkulai di atas meja tersebut.

"Hey, Rea!" Tisha berseru dengan panik. Ia menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Namun, tiada respons apa pun dari Reanna. Setelahnya, gadis itu segera berlari tergesa menuju pintu keluar dari tempat itu.

***

"Kamu ingin turun bersamaku?" Arvi menunjuk lantai dansa yang penuh sesak itu dengan ekor matanya.

Yah, pada akhirnya Arvi berhasil menyeret duda tampan itu ke tempat ini; kelab malam yang ia bicarakan saat ia mengunjungi ruangan praktik Nathan. Meskipun ia tahu pria pirang itu datang ke sini dengan terpaksa.

"Kamu saja," tolak Nathan. Pria itu kemudian mendudukkan diri di kursi tinggi yang ada di depan meja bartender. "Aku akan duduk dan minum di sini dengan tenang," lanjutnya.

Pria jangkung berwajah campuran negara benua Eropa itu terlihat sedikit berbincang dengan bartender yang ada di sana. Hiruk pikuk suasana di sekitarnya mengaburkan obrolan mereka.

"Yah, terserah kamu sajalah. Asal kamu yang traktir." Arvi bergumam dengan mengedikkan bahunya acuh, sebelum akhirnya tubuh besar itu menghilang dari pandangan mata biru Nathan, bersatu dengan lautan manusia di tengah sana.

***

"Ngghhhh ..." Reanna melenguh saat kesadarannya kembali. Ia mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berkali-kali lipat lebih berat dari biasanya dengan sekuat tenaga. Matanya terpejam erat dengan ringisan di bibirnya ketika kepalanya terasa sakit, seakan baru saja terbentur sesuatu. Tangan kanannya otomatis terangkat untuk memijit keningnya. "Pusing."

Ia terdiam beberapa saat, menunggu sakit kepalanya mereda. Setelahnya, ia membuka kelopak matanya perlahan, dan ia mendapati pandangannya mengabur. Reanna mengucek matanya berkali-kali agar pandangannya kembali jelas. Namun, tidak berhasil.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan dengan musik mengentak itu. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa berada di sini.

Namun, saat pandangan mata itu tanpa sengaja menangkap sesosok lelaki berkemeja biru dongker di depan sana, gadis itu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah sempoyongan, Reanna berjalan mendekati sosok itu. Ia ... merasa mengenalnya.

Ah tidak, bahkan sangat mengenalnya.

Reanna berdiri tegak tepat di samping sosok lelaki yang sedang meminum minuman berwarna merah setelah posisinya sudah begitu dekat. Gadis itu menatap tanpa berkedip, dengan matanya yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca.

"Kal, kamu jahat sekali!" Reanna berteriak pada seseorang di depannya.

Mendengar suara dari sisinya, pria itu menoleh. Mata birunya mendapati seorang gadis tengah menatapnya dengan berlinang air mata. Pria itu mengerutkan alisnya, bingung.

"Maaf?" tanya pria itu tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengenali gadis itu. Apakah gadis di depannya ini salah orang?

Namun ...

Belum selesai rasa bingungnya, pria itu dikejutkan dengan tamparan yang dilayangkan secara tiba-tiba oleh gadis di depannya. Tamparan itu sangat keras, seakan dilakukan dengan sepenuh tenaga dan emosi yang meluap-luap sehingga membuat wajah tampan itu tertoleh dengan paksa dan meninggalkan bekas merah yang sangat kentara di pipi kirinya.

.

Bersambung...

Related chapters

  • Dear, Pak Dokter   meet you

    Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna. "Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seper

  • Dear, Pak Dokter   premenstrual syndrome

    "Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen

  • Dear, Pak Dokter   meet you (again)

    Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri

  • Dear, Pak Dokter   Kia Adams

    Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha

  • Dear, Pak Dokter   curahan hati

    "Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak

  • Dear, Pak Dokter   dr. Nathanael Adams

    Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser

  • Dear, Pak Dokter   be friends

    Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan

  • Dear, Pak Dokter   baby sitter

    Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car

Latest chapter

  • Dear, Pak Dokter   extra - 4

    "Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk

  • Dear, Pak Dokter   extra - 3

    "Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri

  • Dear, Pak Dokter   extra - 2

    "Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang

  • Dear, Pak Dokter   extra - 1

    "Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem

  • Dear, Pak Dokter   bukan akhir cerita, tapi awal bahagia

    "Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba

  • Dear, Pak Dokter   perasaan yang terbalaskan

    "Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t

  • Dear, Pak Dokter   mengganjal

    "Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela

  • Dear, Pak Dokter   titik temu

    "Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de

  • Dear, Pak Dokter   red rose

    [Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r

DMCA.com Protection Status