"Ibu jual Riani?" Riani berkata setengah berbisik.
"Gak ada yang jual kamu, Ri. Kebetulan ada yang tertarik sama kamu dan mau kasih uang dengan catatan kamu jadi simpanan dia. Jangan jadi gadis bodoh, Ri! Kita selama ini udah hidup susah. Mungkin ini cara tuhan buat ngangkat drajat hidup kita!" Tuti berkata sambil menatap tajam pada Riani."Tuhan ngangkat derajat kita? Aku tidak ngerti sama jalan pikiran ibu. Bu, ini tuh dosa besar. Ibu sadar engga?" Air mata meleleh di wajah ayu gadis itu."Ri? Ayo kita duduk, Nak!" Tuti berpura-pura bersikap lembut.Tuti menuntun putri sambungnya itu untuk duduk di kursi panjang yang ada di pelataran rumah sakit. Tuti merasa jika Riani harus di bujuk secara baik-baik. Riani pun patuh. Tak lupa ia menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya dengan ibu jari."Ri, selama ini memang ibu selalu menghina, marah-marah sama bapak kamu. Tapi percayalah, Ri. Ibu sangat sayang sama Bapak. Ibu sayang sama dia walau Bapak kamu udah gak normal kaya kita," Tuti memelaskan suaranya."Ibu tidak tega lihat Bapak kamu kaya gini, Ri. Kira-kira biaya operasinya saja tiga puluh juga. Belum cek yang lainnya dan juga biaya rawat inap. Dari mana kita dapat uang segitu, Ri?" Tuti berusaha membujuk Riani dengan halus."Kamu pengen Bapak kamu tidak tertolong, Ri?" Tuti berpura-pura menangis.Pertahanan Riani pun runtuh kembali. Ia kembali terisak. Riani tidak bisa membayangkan jika ayahnya pergi dari sisinya. Hanya Andi satu-satunya keluarga bagi Riani. Walaupun Gita adalah adik seayah dengannya, tapi gadis itu tidak pernah menghormati Riani sebagai kakaknya. Andi juga adalah alasan untuk Riani semangat mencari nafkah dan menjalani hidup yang terasa sangat berat."Ibu, aku mau Bapak selamat. Tapi tidak sengan menjadi simpanan seorang pria, Bu. Itu dosa, Bu. Ingat azab!" Riani menangis terisak. Merasa tidak terima jika dirinya harus berakhir menjadi wanita tidak benar."Terus, kamu punya uang buat biaya rumah sakit Bapak kamu?" Tuti mulai jengah dengan sikap Riani."Akan Riani usahakan, Bu. Kita bisa klaim dulu Jasa Rah*rdja karena Bapak adalah korban kecelakaan," Riani berkata dengan optimis."Ya udah, sana kamu urus aja, Ri!" Tuti mempersilahkan."Kalau gitu Riani tanya dulu ke bagian informasi ya, Bu? Semoga ada jalan!" Riani bangkit dari duduknya san berjalan meninggalkan Tuti di sana."Coba aja, Ri!" Tuti tersenyum sinis.****Riani berjalan dengan lemas menuju ruang IGD. Ia baru saja mendapatkan penjelasan dari bagian informasi. Seorang staff informasi memberikan penjelasan kepada Riani, jika untuk mengklaim jasa rah*rdja harus ada surat keterangan dari kepolisian, surat keterangan dokter dan juga kwitansi pembayaran dari rumah sakit. Itu artinya Riani memang harus menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk biaya pengobatan ayahnya."Bagaimana lagi ini?" Riani berjalan dengan gontai. Tuti yang melihat Riani datang hanya menaikan sudut bibirnya."Sama siapa lagi aku harus meminta bantuan? Kenapa ujian ini terasa sangat berat?" Lirih Riani sembari menghapus air matanya yang seolah tiasa henti keluar dari matanya."Gimana, Ri? Bisa?" Tuti berdiri dari duduknya."Engga, Bu," jawab Riani pendek. Kemudian ia mendudukan dirinya di kursi tunggu.Riani tengah bergelut dengan hatinya sendiri. Apakah Riani harus mengambil tawaran Tuti? Hatinya seakan memberontak. Riani tidak rela dirinya menjadi simpanan dari pria hidung belang. Tapi logikanya seakan memaksa Riani untuk menerima tawaran dari Tuti. Tidak ada cara lain saat ini untuk menolong Andi.Seorang perawat kemudian keluar dari pintu IGD menemui Riani dan juga Tuti."Bu, setelah hasil evaluasi dari laboratorium dan dokter. Pak Andi harus segera melakukan operasi hari ini keadaan beliau saat ini sedang dalam kondisi kritis. Sudah mengurus semua administrasinya?" Perawat tadi bertanya kembali karna operasi harus segera dilaksanakan."Kami belum mengurus administrasinya, Sus!" Riani menjawab karena Tuti hanya berdiam diri."Keadaan Bapak sedang kritis. Operasi harus segera dilaksanakan. Keluarga harus segera mengurus segala administrasinya," perawat itu memasang mimik wajah yang serius. Kemudian ia berlalu masuk kembali ke dalam ruangan IGD. Mungkin perawat itu harus menyiapkan operasi yang akan Andi lakukan."Gimana, Ri? Semua keputusan ada di kamu," ucap Tuti. Ia yang sudah memiliki uang DP dari Kenzo belum mau membayar biaya rumah sakit Andi. Tuti takut Riani masih tidak mau dan ia harus berurusan dengan Om Deni alias Kenzo jika perjanjian mereka batal.Riani terdiam cukup lama. Ia sangat paham nyawa ayahnya kini sedang dipertaruhkan. Tapi bagaimana lagi ia harus bersikap?"Apa jika Riani mau menjadi simpanan pria itu, pria itu akan membayar biaya rumah sakit Bapak?" Riani bertanya dengan suara putus asanya. Kali ini ia harus melakukan pengorbanan yang sangat besar. Mengapa nasib baik selalu tak berpihak padanya?"Tentu sana, Ri. Dia mau bayar biaya rumah sakit sekarang juga," wajah Tuti memancarkan kebahagiaan. Kini sisa uang 800 juta seakan sudah ada di pelupuk matanya."Baiklah, Riani mau. Tolong segera minta orang itu untuk membayar semua biaya rumah sakit Bapak," Riani berkata dengan suara bergetar. Ia sudah tidak memiliki pilihan apapun lagi."Makasih Ri udah mau berkorban untuk keluarga kita. Ibu hubungi dulu Om Deninya," Tuti merogoh ponsel di tangannya. Ia harus segera menghubungi Gita agar mentransfer uang untuk biaya pengobatan Andi. Gita sendiri sudah tahu apa yang terjadi, karena saat ia mendapat uang transfer dari Kenzo, Gita langsung menelfon Tuti."Bu, ini pengirim uang atas nama Kenzo Wijaya. Ibu tahu kan dia siapa?" Gita memberitahu ibunya saat di telfon tadi."Pengusaha sukses itu?" Tanya Tuti tak percaya."Iya, Bu. Nama pengirim uang itu adalah Kenzo Wijaya," Gita kembali melapor."Halah gak mungkin, Git. Mungkin nama anak pria tua bangka itu sama dengan pengusaha muda Kenzo Wijaya. Nama Kenzo Wijaya gak cuma satu kan di negara kita?" Tuti menepis kecurigaan Gita."Iya sih ibu bener. Jadi, ibu jual si Riani sama pria tua?" Gita cekikikan.Gadis itu seolah tidak memiliki belas kasih kepada kakak perempuan yang selalu membanting tulang untuk keperluan hidupnya. Gita memang membenci Riani, karena ia selalu menganggap Riani adalah anak kesayangan Andi. Gita merasa cemburu Andi selalu mengspesialkan Riani sedari mereka kecil."Iya. Nanti kamu bisa diem di rumah dengan nyaman. Dia akan ngelayanin pria tua di apartemen. Si Gita bakal jadi wanita simpanan tua bangka beristri," cicit Tuti.Begitulah percakapan ibu dan anak itu saat Tuti baru sampai ke rumah sakit.*****Riani bisa bernafas dengan lega. Operasi Andi sudah dilakukan sejam yang lalu. Kini ia tinggal menunggu Andi di ruang pemulihan dan masuk kamar rawat inap. Ada perasaan senang, terharu dan juga kesedihan yang mendalam saat Andi baru selesai di operasi. Riani kini teringat bahwa hidup barunya akan segera dimulai."Ri, Om Deni nyuruh kamu ke apartemen sekarang. Ini alamatnya," Tuti memberikan secarcik kertas kepada Riani tempat nomor apartemen yang Kenzo huni."Ibu," bibir Riani tampak bergetar."Ini sudah perjanjian, Ri. Jika kamu mangkir, Om Deni bakal hancurin keluarga kita. Om Deni bukan orang sembarangan," Tuti seolah memberikan ancaman di setiap perkataannya."Kalau aku pergi, bagaimana dengan Bapak?" Riani melihat kaca ruang pemulihan."Tenang aja. Bapak ibu yang jaga. Kamu pergi aja," usir Tuti kembali."Tapi, Bu-""Ri, sebaiknya kamu pergi. Kalau kamu macem-macem, Bapak kamu yang bakal jadi korban!" Suara Tuti meninggi."Kenapa harus aku, Bu? Kenapa bukan Gita?" Suara Riani terdengar menyayat hati."Karena kamu anak tertua, Ri. Kamu yang harus bertanggung jawab untuk keluarga kita. Udah kamu langsung pergi. Ibu udah pesenin taksi online buat kamu. Bilang makasih ke ibu, karena ibu gak nyuruh kamu naik angkot.""Tapi tolong, Bu! Jaga Bapak dengan baik. Riani bakal hancurin semuanya kalau ibu abai sama Bapak," Riani mengancam."Kamu gak percaya sama ibu, Ri? Tenang aja, Bapak kamu aman sama Ibu. Ini nomor plat mobil taksi online kamu. Dan satu lagi, bilang kalau kamu yang pengen jadi simpanan dia. Jangan bawa-bawa ibu! Kalau kamu bawa-bawa Ibu, Bapak kamu yang ngurus siapa? Ibu takut dibawa-bawa," Tuti mempertegas."Iya, Bu," Riani berjalan meninggalkan Tuti."Hahaha, rasain kamu, Ri!" Tuti menyeringai jahat. Ia merasa tidak rugi sudah membayar biaya rumah sakit Andi seharga 55 juta, karena Kenzo akan mentransfer kembali uang 800 juta padanya.Gadis malang itu berjalan gontai menuju halaman rumah sakit. Taksi online yang dipesankan Tuti melesat ke alamat yang tertera di aplikasi. Riani terus menangis di dalam mobil. Hari hari, angan-angan dan cita-citanya kini pupus sudah. Belum melakukan apapun, Riani merasa sudah jiji dengan tubuhnya sendiri.Di sinilah Riani berada. Matanya tengah menatap pintu apartemen yang akan menjadi tempat kenestapaan hidupnya yang baru. Riani melangkah mundur, berusaha menyelamatkan tubuh dan harga dirinya. Tapi sekelebat wajah ayahnya hadir di pelupuk mata. Akan seperti apa jadinya jika Riani kabur dari pria yang ia ketahui bernama Om Deni? Riani meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Jadi, akan seperti ini kah akhir hidupnya? Setetes air mata menetes dari matanya yang sayu. Riani menatap bel dengan sangat lama. Tangannya yang gemetar kemudian memencet bel apartemen mewah itu.Ceklek...Pintu terbuka. Akan tetapi, Riani tidak melihat pria ber*ngsek itu. Riani memindai ruangan dari depan pintu. Ingin melihat pria keji yang akan menghancurkan hidupnya. Tapi ia tidak melihat siapa pun di sana."Masuk!" Suara bariton pria membuyarkan lamunan Riani. Dadanya seakan dihimpit oleh batu yang amat besar di dasar jurang yang dalam. Dadanya sangat sesak bak tenggelam di Palung Mariana. Riani meneguk salivanya,
"Selangkah saja kamu keluar dari kamarku, lihat apa yang akan terjadi dengan ayahmu esok hari!" Ancam Kenzo yang membuat langkah Riani terhenti seketika."Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" Riani mencoba menantang pria tampan itu. Ia masih belum tahu apa yang bisa teman SMA nya itu lakukan."Benar kamu ingin tahu?" Kenzo terbangun dari kasur empuk itu. Langkahnya mendekat ke arah Riani. Riani semakin waspada dengan pergerakan yang Kenzo buat."Kamu tidak akan bisa macam-macam!" Riani menggelengkan kepalanya."Aku bisa membuat ayahmu dijemput malaikat maut esok hari," Kenzo berbisik di telinga Riani."Apa maksudmu?" Riani terkesiap mendengar ucapan Kenzo."Kamu lupa aku memiliki banyak uang? Asal kamu tahu, rumah sakit tempat ayahmu di rawat adalah milik kakekku. Aku tinggal menyuruh seseorang untuk menyuntikan sesuatu pada infusan ayahmu. Dan Duaaarrr! Kamu akan melihat ayahmu di ruang jenazah," Kenzo tersenyum miring menikmati raut wajah ketakutan Riani."Jangan, Kenzo! Aku mohon
Tuti dan Gita kini sedang ada di Mall yang ada di pusat kota. Mereka kini sedang berbelanja dengan uang yang diberikan oleh Kenzo. Sisa uang yang mereka peroleh senilai 145 juta, karena Kenzo memang memberi DP 200 juta untuk membeli Riani. 55 juta Tuti pergunakan untuk biaya rumah sakit suaminya."Bu, kapan si pria tua itu bakal transfer sisanya?" Ucap Gita sembari menenteng banyak sekali belanjaan di tangannya. Ia memang membeli banyak sekali barang hari ini."Engga tau. Biarin aja dulu beberapa hari ini. Biar si Riani muasin dia dulu. Nanti dua hari lagi Ibu chat si Om Deni biar dia cepet transfer sisanya," jawab Tuti yang kini tengah mengelus rambutnya yang baru saja di smoothing."Jangan kelamaan ya, Bu? Gita pengen beli mobil," Gita tersenyum membayangkan dirinya menyetir kuda besi dan memamerkannya di hadapan teman-temannya."Iya. Kamu tenang aja ya, Nak! Ibu pasti bikin kamu seneng," Tuti mengelus rambut putrinya."Makasih ya, Bu? Gita sayang sama ibu," Gita tersenyum senang."
Riani masih memberontok dengan sekuat tenaga untuk keluar dari kungkungan tubuh orang yang ia benci itu. Kulit mulus Riani seakan membuat gairah Kenzo naik seketika. Ia yang belum pernah berciuman atau pun bercinta dengan seorang gadis seperti kehilangan akal sehatnya. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenzo seolah tidak bisa lagi membedakan antara dendam dan juga nafsu. "Kenzo, aku mohon!" Lirih Riani ketika Kenzo melepas pakaian gadis itu dengan tatapan berkabut."Tidak usah sok jual mahal. Aku akan membuktikan sendiri apa benar jika kamu masih suci!" Ucap Kenzo sebelum mencium kembali bibir Riani.Riani mati-matian terbebas dari ciuman yang menurutnya menjijikan itu. Ia begitu tidak menyangka bibirnya bisa bersentuhan dengan orang yang selalu menghina ayahnya sedemikian rupa."Aku memang sudah tidak suci, maka lepaskan aku!" Bohong Riani setengah memelas."Aku akan menilai sendiri. Bukankah aku sudah membayarmu?" Kenzo menyeringai sebelum ia menyatukan tubuhnya dan tubuh Riani.
Riani tengah berkutat dii dapur apartemen Kenzo. Apartemen pria itu memang sangatlah luas dan besar. Terdapat beberapa fasilitas yang ada di dalam apartemen. Kenzo memang sengaja membeli apartemen premium sebagai tempat hunian barunya. Kenzo memang baru pindah dari rumahnya selama tiga bulan ini. Pria itu sangat benci di atur oleh sang Mama dalam segala hal. Itulah yang melatar belakangi Kenzo membeli sebuah apartemen dengan suite yang begitu luas dan nyaman."Semoga aku tidak salah memasak," Riani bergumam ketika ia memutuskan untuk membuat ayam keremes dan sup bayam.Ketika selesai memandikan Kenzo, Riani memang langsung diberi tugas untuk memasak. Kenzo benar-benar memperlakukannya bak pembantu. Pikiran Riani kemudian menerawang jauh kepada ayahnya. Bagaimana kini kabar ayahnya? Apakah kondisi cinta pertamanya itu sudah membaik? Apakah Tuti menunggui ayahnya saat di rumah sakit? Riani begitu merindukan ayahnya. Saking sakitnya menahan rindu, mata Riani pun memanas. Ia menangis ters
Kondisi Andi semakin hari semakin membaik walau ia kini hanya berbaring di atas kasur rumah sakit. Tuti dan Gita tidak pernah menunggui Andi di rumah sakit. Mereka sedang bersenang-senang menghamburkan uang dari Kenzo. Dokter yang melakukan visit ke ruangan Andi pun sangat iba melihat pria itu. Andi seperti seorang pria yang sebatang kara di dunia ini, tanpa ada yang menungguinya saat di rawat di rumah sakit. Bahkan untuk makan, Andi di suapi oleh perawat yang berjaga. Untuk urusan buang air kecil dan buang air besar, perawat memasangkan diapers lansia pada Andi."Riani!" Gumam Andi saat ia terbangun dari tidurnya. Air matanya menetes dari sudut matanya. Walau pun dirinya sakit gangguan jiwa, tapi Andi sangat ingat jika Riani adalah putri kesayangannya. Matanya semakin layu ketika melihat kursi tunggu di samping ranjangnya masih kosong juga."Bapak berharap kamu ada di sini. Kamu ke mana, Nak?" Isak Andi dengan suara yang memilukan.Andi terus menangis terisak seorang diri di ruangan
Ardy dan Yogi sedang menghabiskan waktunya di apartemen milik Kenzo. Kedua pria itu adalah sahabat baik Kenzo sedari SMA. Walaupun berbeda keperibadian, nyatanya hubungan pertemanan mereka masih terajut baik hingga kini."Katanya elu beli si Riani? Mana dia engga ada di sini tuh!" Ardy celingukan mencari keberadaan teman SMA nya itu."Ya bener lah," Kenzo menyeruput Vanila Latte yang baru ia buat."Ya terus mana? Gue engga lihat tuh batang hidungnya!" Seloroh Ardy lagi tidak percaya."Tunggu-tunggu! Kalian ngomongin siapa sih?" Yogi yang baru pulang dari Yunani terheran-heran."Itu si Riani, teman SMA kita. Yang anaknya di Bapak ODGJ," Jawab Ardy sembari menyesap kopi yang ada di dalam gelasnya. Sesekali Ardy menghisap vape yang ia bawa dan meniupkan asapnya ke udara."Gue udah bilang, jangan ngerokok di depan gue!!" Kenzo berkata dengan marah. Ia memang tidak pernah suka berdekatan dengan seorang perokok. Biasanya Ardy tidak akan berani merokok di hadapan pria pemarah itu."What? Si
Riani membawa ranselnya ke rumah sakit dan menemani kembali ayahnya di sana. Hati Riani sedikit resah, ia takut Kenzo melakukan hal yang buruk pada keluarganya. Riani menatap Andi yang sedang tertidur. Air matanya kembali menetes. Riani merasa sangat sedih karena ia tidak menemani sang ayah setelah operasi. Riani pun menghapus air matanya saat pintu kamar Andi dibuka oleh seseorang."Bu, tadi dokter sudah visit lagi. Hari ini Bapak Andi sudah boleh pulang ya?" Ucap seorang perawat sembari membawa kursi roda, obat dan juga surat kontrol agar Andi kembali memeriksakan dirinya seminggu kemudian."Boleh pulang?" Mata Riani berbinar. Setidaknya jika ia mengurus Andi di rumah, biaya yang dikeluarkan akan minim. Menunggu di rumah sakit seperti ini Riani harus membeli makanan dan minuman di luar."Iya. Bapak Andi boleh pulang hari ini. Saya lepas infusnya ya, Bu?" Perawat itu berucap dengan ramah. Riani mengangguk dan memeprhatikan perawat yang melepas infus dari tangan Andi. Andi yang sedang
Mobil Kenzo tiba di sebuah daerah yang sangat asri. Wilayahnya terdiri dari pegunungan yang begitu hijau dan sejuk. Tak lama hamparan sawah semakin memanjakan mata. Ya, mobilnya kini sudah sampai di kampung halaman Andi, ayah dari Riani. "Terima kasih Kakak masih mau mengajakku pergi!" Gita menangis terisak. Kenzo terdiam. Hatinya merasa sesak. Apakah ini benar benar hari perpisahan mereka? Kenzo melirik Riani. Wanita itu terlihat tidak bergairah Semenjak kepergian sang ayah, keceriaan Riani seolah hilang tak berbekas. "Kakak masih punya nurani," Riani berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Satu sisi hatinya yang lain, Riani begitu marah pada Gita. Akan tetapi, bagaimana pun Andi tak akan senang bila ia meninggalkan sang adik di kota. Terlebih ia sudah tidak memiliki tempat bernaung dan sanak saudara yang bisa menyayangi. Hanya dirinya kini yang dimiliki oleh Gita. Riani berharap Gita dapat merubah segala sikap buruknya dan berubah menjadi pribadi yang baik. Keduanya k
Meski enggan melepaskan, akan tetapi Kenzo tidak memiliki alasan untuk menahan wanita itu lebih lama di sisinya. Kenzo yang sudah menyukai Riani pun seolah tak rela dengan perpisahan mereka. Akan tetapi, ingin menahan pun Kenzo sudah tak mempunyai ancaman agar Riani mau berada di sisinya. "Ada Shakilla yang akan menggantikanku," ucap Riani yang membuat Kenzo menggelengkan kepalanya. Riani seakan tak peduli. Ia segera membawa kopernya keluar dari apartemen Kenzo. Pria jangkung itu terlihat mencekal tangannya dan menghadap jalan wanita cantik itu. Langkah Riani pun terhenti karena cekalan dari mantan bosnya. "Setidaknya biarkan aku mencarikan tempat tinggal yang nyaman untukmu. Kau mau ke mana malam-malam seperti ini? Di luar kejam, Ri. Tidak akan ada yang berbaik hati padamu," ucap Kenzo. "Aku bisa pergi ke mana pun yang aku mau. Kau tak perlu khawatir, aku mempunyai uang yang cukup," Riani seakan tak ingin tergoyahkan untuk pergi dari sana. "Tolong biarkan aku mengantarmu! S
Riani menatap gundukan tanah yang penuh dengan bunga berwarna warni di atasnya. Wanita cantik itu mengusap nisan sang ayah dengan air mata yang terus berderai. Kini orang yang selalu ia perjuangkan kebahagiaannya sudah pergi."Bagaimana Riani menjalani hidup ini tanpa Bapak?" Riani memeluk nisan sang ayah dan menangis tersedu-sedu.Kenzo, Yogi dan Ardi yang hadir pun hanya berdiri di belakang Riani. Mereka menundukan kepalanya. Perasaan bersalah lebih mendominasi diri Kenzo. Dirinya memberikan perawat yang lalai dalam menjaga Andi. Jika saja Andi tidak di bawa paksa oleh Gita dan Tuti, pasti pria itu kini masih hidup."Maut, jodoh, rejeki Allah yang ngatur!!" Ucap Ardi yang seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Kenzo.Kenzo memang menceritakan semua peristiwa yang Andi alami pada kedua sahabatnya. Penyesalan dirasakan Kenzo semakin besar kala menyadari jika kini Riani sudah kehilangan sosok cinta pertamanya."Bapak!" Gita berjongkok dan mengusap nisan Andi yang satunya. Mata gadis itu
Riani telah sampai di rumah sakit tempat Andi dirawat. Wanita itu ke rumah sakit diantar langsung oleh Kenzo. Pria paruh baya itu kini tengah menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Riani mendekat ke arah pintu dengan berderai air mata. Tampak di sana Gita dan Tuti tengah terduduk di kursi yang ada di depan ruangan ICU."Kalian lagi!!" Riani menjerit dan menghampiri Tuti dan Gita.Bak kehilangan kendali, Riani langsung menjambak rambut Gita dengan beringas. Tak ia hiraukan teriakan Tuti dan Kenzo yang mencoba melerainya. Kenzo semakin keras menarik Riani dari Gita yang hanya diam tak melawan. Gadis itu terus terisak karena syok melihat kondisi Andi yang saat ini dinyatakan koma."Kamu ini anak kandungnya! Bisa-bisanya kamu culik bapak buat kamu sia-siakan! Mikir kamu, Ta! Selama ini aku dan bapak sayang sama kamu. Bapak selalu sayang dan engga pernah membeda-bedakan kita!" Teriak Riani yang tak tahan dengan tingkah adik tirinya.Jika Tuti, Riani bisa memaklumi karena wanita itu sed
Riani mencoba menelfon nomor ayahnya, tapi nomornya tidak aktif. Hal itu membuat Riani resah. Apalagi dirinya belum sama sekali melihat ayahnya yang telah diberi rumah baru oleh Kenzo. Kenzo menatap Riani dengan cemas. Entah mengapa ia belum rela jika Riani harus pergi saat ini juga. Padahal sudah ada Shakilla di sisinya seperti yang Kenzo idam-idamkan beberapa tahun ini. "Kenzo, aku ingin bertemu Bapak," Riani langsung berdiri dari duduknya. Ia memegang tangan Kenzo dengan penuh harap pria itu dapat mengantarkannya pada Andi. "Aku sedang ada urusan di kantor. Dua hari lagi aku akan mengantarkanmu ke sana," Kenzo berjanji walau ia sendiri tidak tahu pasti kapan Andi akan ditemukan. "Dua hari lagi? Mengapa sangat lama?" Riani mencebikan bibirnya. "Aku harus bekerja agar bisa menggajimu," jawab Kenzo seraya berlalu dari hadapan Riani. "Tapi kamu janji ya bawa aku ke sana dua hari lagi?" Riani mengejar Kenzo yang berjalan ke arah dapur. "Iya. Aku janji," Kenzo mengambil gel
Andi meringkuk di atas kasur usang yang ada di kontrakan istri dan anaknya. Andi memang dibawa ke kontrakan Tuti. Akan tetapi, karena takut di cari oleh Kenzo, mereka pun berpindah kontrakan dan menyewa kontrakan yang memiliki dua kamar. Uang kontrakan baru itu didapatkan karena Gita mendaftar aplikasi pinjaman online. Andi berguling ke sana ke mari. Ia terus mendengar suara orang-orang memanggil namanya. Andi mengambil bantal dan menutupi telinganya dengan harapan suara-suara itu menghilany. Andi memang menderita skizofrenia. Ia sering mendengar suara-suara yang menurutnya seperti sebuah bisikan. Akan tetapi, suara-suara itu akan menghilang jika Andi rutin meminum obat. "Bangun kamu!" Tuti membuka pintu dengan kasar dan menatap suaminya dengan nyalang. Ia terlihat membawa semangkuk nasi dan juga obat yang harus Andi minum hari ini."Ri, Riani?" Andi berharap putri sulungnya yang datang."Engga ada si Riani. Nih makan!" Tuti menyimpan nasi yang hanya di lumuri kecap itu di atas kasu
Rio kini telah dalam tahap penjajakan dengan seorang gadis cantik dan kaya raya yang dikenalkan oleh ayahnya. Ayahnya berkata jika gadis itu adalah pewaris dari perusahaan yang ada di ibu kota. Saat ini Rio dan gadis yang bernama Naya itu tengah makan malam di sebuah restoran fancy."Kamu manis ya?" Naya tersenyum saat ia menilik wajah Rio yang tampak dingin malam ini. Entah mengapa pria itu sangat tidak antusias dengan perkenalan mereka. Hatinya seakan tertinggal di Bali.Rio pikir ia akan segera melupakan Riani. Rio mengira jika perasaannya hanya rasa suka palsu belaka. Setelah mengetahui Riani adalah seorang asisten rumah tangga, dirinya pikir akan melupakan Riani dengan cepat. Baginya tak level sekali sang pewaris perusahaan seperti dirinya berkencan dengan gadis yang hanya seorang asisten rumah tangga. Tapi Rio salah. Riani seolah terus menari-nari di kepalanya dan mengusik hatinya yang paling dalam. Rio terus mengingat Riani. Pria itu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Rio men
Flashback....Tuti dan Gita datang ke rumah sakit tempat Andi di rawat. Mereka kecewa tatkala frontliner rumah sakit mengatakan jika Andi sudah pulang ke rumah. "Tolong apa anda tahu di mana suami saya berada? Kami adalah istri dan anaknya. Kami ingin bertemu dengan Pak Andi," Tuti menatap frontliner berjilbab biru muda itu dengan penuh harap."Mohon maaf, Ibu. Data pasien adalah rahasia rumah sakit. Kami tidak bisa memberi tahu di mana alamat pasien. Jika ibu dan adik adalah keluarganya, lantas mengapa kalian tidak tahu di mana yang bersangkutan tinggal?" Selidik Frontliner berwajah cantik itu."Nah itu masalahnya, ayahku dibawa oleh seseorang yang mengaku keluarganya. Padahal beliau sama sekali tidak memiliki keluarga lagi. Justru kami yang harus mempertanyakan kredibilitas rumah sakit ini, mengapa pasien bisa dibawa pulang oleh orang lain?" Gita yang sedari tadi berdiri di belakang Tuti maju beberapa langkah hingga kini ia berhadapan dengan frontliner itu."Semua yang mengambil pa
Kenzo tengah mengemudikan mobilnya menuju apartemen. Pria itu menatap tajam jalanan yang sudah mulai lengang karena malam sudah semakin larut. Kenzo mencengkram kemudi mobilnya, menandakan ada hal yang membuatnya tidak senang. Pria itu kemudian menepi ke pinggir jalan yang ia rasa aman untuk mengangkat panggilan dari seseorang. Kenzo langsung menggeser ikon hijau ketika melihat orang suruhannya menelfon."Bagaimana? Apa sudah ketemu?" Kenzo bertanya dengan dingin."Belum, Tuan," orang di sebrang sana menyahut dengan takut."Lalu, kenapa kamu menelfonku? Dasar bodoh!" Sungut Kenzo dengan kesal."Sepertinya Pak Andi dibawa ke pemukiman yang tidak terjangkau oleh kita," orang kepercayaan Kenzo menjawab dengan takut."Lalu? Mengapa tidak kau jangkau tempat persembunyian ibu dan anak itu? Jangkau tempat di mana dia di sembunyikan!!" Kenzo menaikan suaranya beberapa oktaf."Baik, Tuan.""Dengar! Jika dia tidak ditemukan. Kau dan anak buahmu yang akan berada dalam masalah!" Ancam Kenzo denga