Maxim Fordel Arsjad mengernyit saat melihat sampul majalah gaya hidup beroplah tinggi yang masih bisa mempertahankan eksistensinya, The Bachelor. Wajahnya terpampang di sana, bersama dua orang pria lainnya. Ada judul mencolok yang juga tertera, setidaknya menurut opini Maxim. Bujangan Paling Diidamkan. Bah!
“Kenapa aku sama sekali tidak tahu kalau wawancara kemarin untuk gelar aneh ini?” komentar Maxim pada diri sendiri. Kepalanya mendadak pusing. Dia sama sekali tak membutuhkan pengakuan semacam ini. Apa hebatnya menjadi Bujangan Paling Diidamkan? Lagi pula, apa kaitannya dengan pekerjaan lelaki itu? Namun, dia tahu, marah pun percuma. Toh, semua sudah telanjur.
Dua pria yang wajahnya juga terpajang di The Bachelor adalah Malcolm Manoppo dan Jimmy Prasad. Tidak ada satu pun yang dikenal Maxim secara pribadi. Malcolm seorang atlet basket yang konon mendapat tawaran menggiurkan dari sebuah klub dan siap memecahkan rekor bursa transfer lokal. Sementara Jimmy adalah model top yang cukup sering diundang show ke luar negeri. Mereka bertiga menjalani sesi wawancara dalam waktu yang berbeda.
Maxim bukannya tidak tahu mengapa dia mendapat kehormatan diwawancarai majalah itu. Saat ini, dirinya dianggap sebagai pengusaha muda yang turut berperan besar membawa sepatu prewalker bermerek Buana Bayi mendapat perhatian publik. Buana Bayi baru diproduksi kurang dari tiga tahun tapi sudah hampir merajai angka penjualan di tanah air. Maxim sempat enggan menjalani wawancara. Karena merasa ini adalah kesuksesan kolektif. Ada tim tangguh yang berjuang untuk kesuksesan Buana Bayi, bukan cuma dirinya.
“Kalau saja aku tahu wawancara kemarin malah berujung dengan penobatan aneh semacam ini, harusnya kutolak sejak awal,” imbuhnya lagi. Sesaat kemudian Maxim merasa dirinya sudah mirip orang gila karena mengomel sendiri di ruang kerjanya.
Ponselnya berbunyi, dan Maxim mengerang dengan mencolok saat melihat nama yang tertera di layar. Sean Gumarang. Maxim terdorong untuk mengabaikan telepon itu. Namun dia tahu bahwa Sean tidak akan puas sampai bisa mengolok-oloknya setengah mati. Jadi, tidak mengangkat telepon Sean cuma menjadi semacam penundaan saja. Maxim curiga, lelaki itu malah akan muncul di kantor Buana Bayi untuk mengejeknya secara langsung.
“Halo,” Maxim tak punya pilihan selain menerima panggilan telepon itu. “Kalau kamu menelepon cuma untuk meledekku, terima kasih. Aku memang bodoh. Puas sekarang?” tanyanya, defensif.
Suara Sean yang santai sudah pasti memang dimaksudkan untuk menipu sekaligus membuat kesal sepupunya. Maxim tahu pasti itu. Dia mendengar lelaki itu berujar, “Wah, pagi-pagi sudah marah. Aku sarankan, cek tekanan darahmu ke dokter, Max! Jangan sampai kena stroke karena terlalu banyak mengikuti emosi.”
Maxim tidak terbujuk untuk meladeni Sean. “Aku banyak pekerjaan, Sean! Tidak sempat untuk bercanda,” balas Maxim ketus.
“Hei, ada tidak yang bilang kalau sekarang kamu itu makin menyebalkan?” tanya Sean ringan. “Aku tidak berniat mengganggu pekerjaanmu yang berjibun itu, kok. Aku cuma mau tahu, seperti apa rasanya jadi Bujangan Paling Diidamkan?” Tawa Sean meledak kemudian.
“Aku sudah tahu, pasti itu tujuanmu,” Maxim cemberut. “Itu julukan yang sangat memalukan. The Bachelor bilang mereka akan menerbitkan edisi khusus. Kukira cuma berisi artikel sejumlah pria lintas profesi yang dianggap sedang sukses. Astaga, ternyata....” Maxim enggan meneruskan kalimatnya. “Jadi, apa kamu sudah cukup mendengar keluhanku pagi ini?”
Maxim yakin, di mana pun Sean berada saat ini, pasti dadanya sedang dipenuhi rasa puas. Begitulah mereka berdua selama bertahun-tahun. Saling menggoda dan mengolok-olok yang lain. Meski menurut Sean belakangan ini Maxim sudah tidak sesantai dulu dan lebih banyak cemberut.
“Aku harus menyusulmu, Max! Tahun depan, aku ingin wajah dan namaku yang terpampang di sampul depan The Bachelor. Gila kalau aku nggak bisa menyaingimu. Betul-betul turun derajat,” komentar Sean lagi, diimbuhi tawa gelinya.
“Kalau kamu memang berminat, aku rela mundur dari sampul The Bachelor sekarang juga. Lebih bagus memang kamu yang menggantikanku, manusia narsis yang selalu ingin dipuja-puji,” kecam Maxim. “Kututup teleponnya, Sean. Aku sedang tak berselera mengobrol dengan siapa pun.”
Sebelum sepupunya menjawab, Maxim benar-benar mengakhiri perbincangan mereka. Dia tak peduli walau sudah pasti Sean mengomel atau mengutukinya. Maxim sedang tak memiliki energi untuk melakukan hal lain kecuali menyesali keputusannya saat bersedia diwawancarai majalah itu. Sudah pasti ini pengalaman pertama dan terakhir Maxim yang berkaitan dengan media. Lain kali, dia akan meminta pihak humas saja yang mewakilinya.
Sejak tiba di kantor pagi tadi, Maxim sudah merasa orang-orang yang ditemuinya memandang lelaki itu dengan tatapan aneh. Entah memang seperti itu atau cuma perasaannya saja. Maxim tidak pernah menyukai perhatian. Menjauh dari fokus orang-orang di sekitarnya membuat lelaki itu merasa aman. Dia setuju diwawancarai The Bachelor pun atas bujukan –tepatnya paksaan- kakak perempuannya, Maureen.
“Ayolah Max, ini cuma wawancara biasa. Anggap saja semacam promosi gratis buat Buana Bayi. Tidak semua orang mendapat kesempatan untuk tampil di majalah top, lho!” bujuk Maureen untuk kesekian kalinya.
“Tapi, bukan aku yang bertanggung jawab atas kesuksesan Buana Bayi. Masih ada banyak orang yang sudah bekerja keras sampai kita ada di posisi ini,” tolak Maxim.
“Tapi cuma kamu yang tampangnya enak dilihat. Yang lain sudah terlalu uzur,” Maureen tersenyum lebar. “Orang ingin tahu, siapa yang berada di balik Buana Bayi. Ketika tahu kalau salah satu perancang sepatu prewalker ini adalah kamu, ibu-ibu muda pasti berebut ingin membeli koleksi kita.”
Maxim sama sekali tak terkesan dengan pujian kakaknya. Dia sangat mengenal semua saudaranya, terutama Maureen yang tak sungkan untuk memanipulasi Maxim demi memuluskan cita-citanya. “Itu sama sekali tidak ada hubungannya, Mbak! Menurutku, itu alasan yang sangat mengada-ada,” bantah Maxim. “Lagi pula, kalau kamu sudah memuji-muji seperti ini, cuma membuatku makin curiga saja.”
“Tentu saja ada hubungannya! Kamu sih tidak pernah tahu bagaimana otak kaum perempuan itu bekerja. Rumit, tahu! Kami berbeda dengan kalian. Ayolah Max, jangan egois. Ini peluang bagus yang belum tentu akan kamu dapatkan lagi di masa depan. Apalagi kalau usiamu sudah bertambah tua dan pesonamu memudar. Atau setelah Declan bergabung di sini. Kamu kalah bersaing, aku jamin itu!” cerocos Maureen lagi, tak menyerah.
Ada sederet kalimat bujukan lain yang dilontarkan Maureen kepada Maxim. Saat ini Maxim baru menyadari, semua rayuan kakaknya itu cuma menyusahkannya saja. Lihat yang terjadi sekarang! Entah berapa kali Maxim memergoki kelompok-kelompok kecil karyawati berbisik-bisik saat dia berada di sekitar mereka.
Tidak cuma di kantornya saja. Melainkan juga di lantai lain gedung perkantoran yang sama dengan Buana Bayi. Sejak pagi dia mulai merasakan adanya keanehan saat menyeberangi lobi dan memasuki lift. Hal itu membuat telinga Maxim terasa gatal dan dorongan untuk memberi teguran dirasanya cukup besar. Akan tetapi, Maxim bertahan agar tidak mempermalukan diri sendiri.
Hingga sore Maxim menyibukkan diri dengan setumpuk pekerjaan. Mengabaikan rasa tidak nyaman yang merabung dan membuatnya ingin sekali menyematkan topeng di wajah, supaya tidak dikenali karyawan lain. Semakin dipikir, tampil di sampul The Bachelor malah terasa kian memalukan. Sama sekali bukan komplimen baginya.Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu memimpin departemen penjualan. Maxim adalah lelaki jangkung dengan tinggi seratus delapan puluh satu sentimeter. Berkulit putih, rambut legam nan lebat, hidung bangir, serta mata bundar dengan pupil cokelat. Lelaki itu memiliki bibir yang bentuknya menjiplak busur panah, wajah agak tirus, serta alis tebal.Maxim memiliki kemampuan merancang sepatu yang cukup jempolan. Dia menjadi bawahan langsung kakak sulungnya, yang menjabat sebagai direktur pemasaran. Hampir setahun lalu desain pertama yang dibuat Maxim dilempar ke pasaran. Seperti yang sudah diduga banyak pihak, hasil karyanya langsung mendapat perhatia
“Rossa itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?”Maxim menggeleng dengan cepat. “Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?” tanyanya tak percaya. “Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Apa tidak cemas?”Maureen tidak mempedulikan komentar adiknya. “Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Pokoknya, keinginan si selebriti, akan penuhi. Maksudku, yang berkaitan dengan kriteria pasangan kencan yang diidamkan. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak s
Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaul
“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k