“Rossa itu teman kuliahku. Dia membuka semacam biro jodoh dengan klien orang-orang terkenal. Nah, sudah dua tahun ini dia ditunjuk untuk menangani acara Dating with Celebrity. Pernah dengar?”
Maxim menggeleng dengan cepat. “Apa memang orang-orang terkenal merasa perlu bantuan seseorang untuk mencari jodoh?” tanyanya tak percaya. “Koreksi aku kalau salah. Seingatku, kita masih punya satu saudara laki-laki yang kebetulan juga aktor terkenal. Darien Tito Arsjad lebih tepat untuk dicarikan jodoh. Dan Mbak tahu sendiri kalau dia sudah bertahun-tahun tidak pernah mengenalkan kekasihnya pada kita. Apa tidak cemas?”
Maureen tidak mempedulikan komentar adiknya. “Intinya, acara itu mempertemukan orang-orang terkenal dengan teman kencan yang sudah diseleksi ketat. Pokoknya, keinginan si selebriti, akan penuhi. Maksudku, yang berkaitan dengan kriteria pasangan kencan yang diidamkan. Setiap minggu, satu episode ditayangkan. Tidak sedikit yang kemudian berlanjut hingga menjalani hubungan serius, lho!”
Maxim mulai bahwa kalau kakaknya melebih-lebihkan. Itu adalah tipikal si sulung klan Arsjad. Mungkin karena tahu Maxim tidak percaya, Maureen pun menyebut nama seorang bintang sinetron yang namanya asing di telinga Maxim. Dan meski sang adik sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan, Maureen tidak putus asa.
“Tadi siang Rossa menghubungiku. Dia baru tahu kalau Maxim Fordel Arsjad yang menjadi salah satu Bujangan Paling Diidamkan versi majalah The Bachelor, adalah adikku.”
Maxim menggeram pelan. “Julukan konyol itu kudapatkan gara-gara Mbak.”
Maureen mengibaskan tangan di depan wajahnya, meminta agar Maxim tidak bicara dulu. “Aku belum selesai, Max! Sabarlah dulu.” Maureen menatap adiknya. “Jadi, Rossa ingin memintamu bergabung dalam salah satu episode Dating with Celebrity. Acara ini sedang populer, lho! Ratingnya cukup tinggi untuk ukuran sebuah reality show. Aku....”
“Aku sudah tahu apa yang mau Mbak sampaikan! Tidak setiap saat ada makcomblang terkenal yang memintaku bergabung di acaranya. Ini juga menjadi semacam promosi gratis untuk Buana Bayi. Bayangkan bagaimana ibu-ibu muda di luar sana akan berlomba-lomba mengoleksi sepatu prewalker Buana Bayi karena terpesona dengan salah satu desainernya,” Maxim menirukan gaya Maureen dengan total.
Tawa sang kakak pecah di udara. Maxim terpaksa menunggu hingga kakaknya bisa bicara lagi dengan suara normal. Wajahnya cemberut, menunjukkan ketidaksukaan yang transparan. Kadang dia berpikir, bagaimana bisa dia begitu berbeda sifat dibanding ketiga saudaranya? Yang lain adalah orang-orang santai yang tak gampang terintimidasi. Maxim adalah pengecualian.
“Aku tidak membutuhkan makcomblang untuk mencarikanku pasangan, Mbak!” cetus Maxim. “Aku masih sanggup mendapatkan kekasih tanpa bantuan siapa pun.”
Maureen mengabaikan kata-kata adiknya. “Oh ya, aku mau mengoreksi komentarmu soal Darien tadi. Seingatku, kamu bahkan sudah lebih lama sendirian dibandingkan dia. Anggap saja ini aktivitas selingan di antara kesibukanmu.”
“Aku kan tidak harus membawa gadis yang kukencani ke depan kalian,” bantah Maxim.
“Ah, kenapa sih kamu selalu salah paham? Declan jauh lebih pengertian dibanding kamu. Dia pasti mau mengikuti acara semacam ini. Anggap saja sebagai salah satu usaha untuk mencari pengalaman baru. Tapi buat kamu, segalanya bisa disalahartikan,” keluh Maureen.
Maxim meringis. “Tentu saja playboy aktif seperti Declan tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini. Tapi aku bukan si bungsu yang tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan waktu dengan menyelamatkan dunia,” bantahnya.
Kini, Maureen menatap Maxim dengan serius. “Ini cuma acara reality show, Max! Demi Tuhan! Kamu hanya perlu memilih satu orang teman kencan di antara beberapa pilihan. Selanjutnya, bersenang-senanglah! Kalaupun setelah kencan pertama tidak ada yang menarik, kamu bebas untuk mengakhiri, kok! Seperti yang kubilang tadi, anggap saja sebagai semacam refreshing. Atau mencari teman, barangkali.”
Maxim sudah siap dengan bantahannya. “Kalau begitu cara refreshing atau mencari teman, kurasa hidup ini sudah berubah begitu rumit. Aku tidak mau, Mbak!”
Meski berusaha menolak mati-matian Maxim melupakan satu hal. Kemampuan membujuk Maureen yang luar biasa. Hingga kurang dari dua puluh lima menit kemudian, pria itu cuma bisa mengangguk tidak berdaya.
“Oke, aku akan menerima telepon Rossa. Tapi kalau setelahnya hidupku malah mengalami kekacauan, aku akan membuat Mbak menderita seumur hidup. Penderitaan pun harus dibagi, tidak boleh ditanggung sendiri,” ancam Maxim dengan suara tak berdaya.
“Setuju,” balas Maureen seraya buru-buru meninggalkan ruang kerja sang adik. Mungkin takut jika Maxim akan berubah pikiran dan kembali menolak ajakan Rossa. Begitu pintu ditutup, Maxim menarik dasinya dengan gerakan kasar. Alhasil, kulit lehernya malah terasa pedih. Kepalanya pun kian berdenyut.
Maxim menyumpah-nyumpah dalam hati. Hari ini sepertinya menjadi hari yang sangat menyiksa baginya. Lelaki itu berusaha mengais memori, mengingat mimpi apa yang menghias tidurnya tadi malam. Dia cemas, apakah sudah ada pertanda akan situasi buruk yang harus dihadapinya hari ini? Namun sepertinya tidak ada. Semuanya terasa normal dan baik-baik saja tadi pagi. Sayang, begitu melihat sampul majalah The Bachelor di atas mejanya, semua memburuk untuk Maxim.
Tidak sampai seperempat jam setelah Maureen meninggalkan ruangannya, Maxim menerima telepon dari Rossa. Barusan dia menyempatkan diri mencari informasi tentang perempuan itu di internet. Dan data yang didapatnya membuat Maxim tercengang. Rossa yang konon makcomblang terkenal itu ternyata belum menikah! Padahal perempuan itu sudah nyaris berumur tiga puluh lima tahun.
Namun Maxim menyimpan fakta itu dalam benaknya. Dia bersyukur karena mampu menahan diri agar tidak menghina orang yang ingin mencarikannya jodoh itu dengan status kelajangan Rossa. Hanya saja Maxim merasakan ironi yang menggelikan. Seseorang ingin mencarikanmu jodoh, sementara dia sendiri belum memiliki pasangan. Wah!
“Maxim, saya Rossa, teman Maureen. Tadi Maureen sudah menjelaskan secara singkat tentang acara Dating with Celebrity, kan? Saya akan menemui kamu untuk menjelaskan lebih detail soal acara ini. Saat ini, saya hanya ingin memastikan kalau kamu sudah setuju untuk terlibat,” ucap Rossa tanpa bertele-tele.
Maxim bertahan dari godaan hebat untuk membanting teleponnya. Belum apa-apa dia sudah merasa bahwa Rossa ini perempuan yang tangguh dan ... agak menyebalkan. Tidak jauh berbeda dengan Maureen.
Rossa jelas tahu bagaimana caranya memegang kendali dan tidak memberikan kesempatan pada lawan bicaranya untuk membantah. Pilihan sapaannya pun menarik. Tidak menyebut Maxim dengan “Anda”, meski ini pertama kalinya mereka berbicara. Namun malah memilih “kamu”. Tanpa dikehendaki, membuat Maxim berpikir kalau perempuan itu mengira sedang berbicara dengan bawahannya.
“Iya, saya sudah setuju,” balas Maxim dengan suara datar. Pria itu menyugar rambutnya yang tadinya rapi. Tindakan itu membuat rambut ikalnya agak berantakan. Kebiasaan buruk yang sulit untuk dihindari saat dia sedang merasa gemas atau kesal akan sesuatu.
“Baiklah kalau begitu. Sebentar!”
Jeda lebih dari lima detik. Maxim mendengar seseorang bicara di seberang, juga suara seperti kertas yang dibolak-balik.
“Saya akan menemuimu secepatnya untuk membicarakan soal ini. Sekaligus menyerahkan kontrak yang harus kamu tanda tangani. Besok sepertinya waktu yang tepat. Saya ... eh ... sebentar! Besok saya ada pekerjaan penting. Bagaimana kalau lusa saja?”
Maxim menarik napas. Perempuan bernama Rossa itu bahkan tidak bertanya apakah dia punya waktu atau tidak.
“Baiklah. Lusa lebih baik. Makan siang?” balas Maxim tanpa buang waktu.
“Ya, makan siang,” Rossa setuju.
“Di mana?”
“Apa di sana ada restoran enak?”
“Di gedung perkantoran ini? Ada banyak,” sahut Maxim.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan datang ke sana sekitar pukul dua belas. Terima kasih Maxim,” tandas Rossa sebelum telepon diputus.
Maxim menatap telepon di tangannya dengan hampa sebelum meletakkan benda itu di tempat yang seharusnya. Instingnya mengatakan bahwa dia akan menghadapi masalah besar karena membuat persetujuan itu.
Bersepakat dengan Rossa sepertinya tidak jauh berbeda dengan membuat konsensus dengan setan. Astaga! Mengapa dia bodoh sekali dan mau saja menuruti Maureen sekali lagi?
Kendra Elanith memaksakan diri membuka mata. Tangannya merayap di dinding, bergerak ke luar dari kamar dan menuju kamar mandi. Gadis itu berdoa semoga rasa kantuk yang menggelayuti kelopak matanya segera menjauh dengan siraman air dingin. Kendra baru pulang menjelang tengah malam. Dan pagi ini harus tiba di kantor tepat waktu kalau tidak ingin mendapat teguran.Beberapa bulan lagi, usia Kendra akan mencapai angka dua puluh lima tahun. Gadis itu memiliki rambut bergelombang melewati bahu, hidung sedang, mata agak sipit dengan ujung-ujung terluar agak mencuat ke atas, bibir bawah agak tebal, serta kulit kecokelatan. Tinggi badan Kendra adalah seratus enam puluh tiga sentimeter.“Ya Tuhan, tolong berikan aku tenaga ekstra agar bisa mengusir rasa kantuk yang luar biasa ini,” doa Kendra dalam hati.Kendra bekerja di sebuah biro jodoh eksklusif bernama Tha Matchmaker sejak setahun terakhir. Pendirinya adalah Rossa Mohini, memanfaatkan lingkup pergaul
“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.
“Oh ya? Kenapa?” Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.“Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Rossa memundurkan janji. Apalagi karena dia baru dihubungi hanya beberapa menit sebelum jam dua belas, janji makan siang mereka berdua. Lalu, masih ditambah karena Mbak Rossa malah memintaku yang menggantikannya untuk bertemu Maxim. Alhasil, Maxim menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersudutkan. Aku dianggap sebagai orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu,” keluhnya.“Dan aku sudah bisa menebak kelanjutannya.” Neala bersimpati. “Kamu harus membujuk Maxim supaya dia berubah pikiran, kan?”Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. “Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi....” gadis itu mengedikkan bahu tanpa daya. “Kamu lebih me
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k