“Selamat pagi, Ken. Apa kamu sudah sarapan? Mukamu pucat dan lingkaran hitam di bawah matamu itu cukup mencolok,” komentar Neala begitu melihatnya. Gadis itu mendekat ke arah Kendra sebelum kembali bicara dengan suara rendah. “Aku yakin, kamu pasti cuma tidur beberapa jam dan nyaris bangun kesiangan.”
Kendra mengangguk. “Kamu sih enak. Kemarin pulang tepat waktu. Sementara aku, baru tengah malam sampai di rumah. Dan ya, aku memang belum sempat sarapan. Aku bahkan lupa kalau manusia normal harus mengisi perutnya pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor,” canda Kendra.
Neala buru-buru mendorong punggung gadis itu ke arah mejanya. “Kalau begitu, biar kuambilkan sarapan. Kamu duduk dulu dan menarik napas dengan santai. Jangan mirip ibu-ibu beranak tujuh yang tergopoh-gopo menyelesaikan semua pekerjaannya.”
“Terima kasih, La,” gumam Kendra tulus. Gadis itu menuruti saran Neala untuk segera duduk di kursinya.
Kendra pun mulai larut dengan kesibukannya. Gadis itu sibuk memindai puluhan foto yang tergeletak di mejanya. Segala jenis perempuan cantik ada di sana. Kemudian matanya membaca dengan detail persyaratan yang diinginkan si selebriti. Tinggi minimal 170 sentimeter, usia maksimal 25 tahun, kulit putih dan mulus, gigi rapi, wajah bebas jerawat, memiliki pekerjaan yang mapan, masih lajang, dan belum pernah menikah.
Kendra tersenyum miris saat menyadari hanya bagian usia serta masih lajang dan belum pernah menikah itu saja yang bisa dipenuhinya. Dia nyaris muntah membaca deretan persyaratan itu. Jelas terlihat betapa tinggi tuntutan si selebriti. Ketika melirik nama yang tertera di depan berkas itu, Kendra menelan ludah. Nigel Sukandar.
Pria itu adalah model top dengan tinggi lebih dari 190 sentimeter dan dikenal sangat suka bergonta-ganti pasangan. Nigel salah satu makhluk berhormon testosteron paling rupawan yang mungkin pernah dilihat Kendra seumur hidup. Meski dia belum pernah melihat Nigel secara langsung.
“Kamu lagi menyeleksi foto untuk siapa?” Neala mendekat sambil menyodorkan segelas susu dan selembar roti gandum polos. Menu sarapan yang sangat sering disantap Kendra. Dan Neala kadang berbaik hati mengambilkan untuk Kendra jika gadis itu datang dengan terburu-buru.
Satu lagi yang disukai Kendra dari pekerjaannya di The Matchmaker adalah pantri yang selalu dipenuhi makanan untuk sarapan. Mulai dari yang berlemak tinggi hingga yang rendah kalori. Sedangkan untuk makan siang, ada layanan katering yang melayani. Rossa berusaha keras menyediakan semua yang dibutuhkan karyawannya.
“Oh Neala, apa jadinya aku tanpa kamu di dunia ini?” desah Kendra seraya mengambil alih gelas dari tangan sahabatnya. Lalu setengah porsi susu pun berpindah ke perutnya.
“Cih, gombalanmu itu tidak akan menyentuh hatiku,” Neala membungkuk di belakang Kendra. “Siapa selebritinya?”
“Nigel.” Sorot penuh pemahaman bisa dilihat Kendra di mata temannya hanya dengan menyebut satu nama itu. “Dan aku merasa malang untuk semua peserta ini. Kali ini, kamu harus ada di pihakku. Silakan baca,” Kendra mengangsurkan lembaran persyaratan. Hanya dalam hitungan detik dia mendengar Neala menirukan suara geraman rendah.
“Makin lama, para selebriti itu merasa makin tinggi saja. Tiap kali membaca syarat teman kencannya, makin mengerikan. Lagi pula, untuk apa si Nigel ini ikutan? Sudah jelas kalau dia tidak tertarik berkomitmen,” omel Neala.
“Aku cuma memenuhi syarat untuk usia dan kelajangan. Poin yang bisa kamu penuhi malah lebih banyak, La. Tidak tertarik untuk ikut?”
Neala menegakkan tubuh sambil mencibir kesal. “Kurasa, andai di dunia ini dia menjadi laki-laki terakhir, aku memilih untuk tetap melajang seumur hidup. Aku tidak tahu, orang ini sedang mencari teman kencan atau boneka pajangan?”
Kendra tergelitik dan gagal mencegah tawanya pecah. Neala selalu bisa meringankan paginya yang dirasa tidak nyaman.
“Kurasa, Nigel ini sedang berencana untuk membuka agency model. Siapa tahu dia mau pensiun dan alih profesi.”
Kendra merasakan tepukan halus di bahunya. “Kurasa, orang senarsis dia tidak akan mundur dari dunia model secepat itu. Selamat bekerja, Ken. Tolonglah beri kesempatan kepada cewek-cewek itu.”
Kendra membalas ucapan Neala dengan lambaian tangan. Dia mulai memilah-milah foto yang sudah dilengkapi biodata itu. Membaca satu-persatu ciri fisik yang tertulis di sana. Dengan terpaksa, gadis itu harus menyingkirkan sepertiga pelamar hanya karena masalah tinggi badan. Beberapa karena usia, warna kulit, hingga pekerjaan.
“Semoga suatu saat nanti, laki-laki bernama Nigel ini kena batunya. Minimal punya pasangan yang tidak sesuai kriteria yang dia mau,” doanya sungguh-sungguh. “Mencari teman kencan saja syaratnya luar biasa. Mungkin seharusnya dia mencantumkan juga gaji minimal, makanan favorit, keterampilan khusus, atau skor IQ,” omel Kendra.
Gadis itu tenggelam dalam pekerjaannya hingga kemudian tersadarkan oleh punggung dan leher yang pegal. Ditambah lagi dengan perutnya yang terasa lapar. Sudah pukul setengah dua belas. Dan seingat Kendra, dalam waktu delapan belas jam terakhir hanya susu dan roti dari Neala yang masuk ke dalam perutnya. Gadis itu baru saja akan mengajak Neala makan siang saat Rossa meneriakkan namanya. Bos Kendra itu juga memberi isyarat agar gadis itu masuk ke ruangannya.
Sebagai efeknya, Kendra tergopoh-gopoh bangkit dari kursinya hingga kakinya menghantam tepi meja dan membuatnya meringis kesakitan. Sembari menahan nyeri, Kendra menyeberangi ruangan dengan agak terpincang-pincang.
Rossa adalah orang yang sepertinya terobsesi dengan segala yang serba cepat. Jika sudah menurunkan sebuah perintah, maka harus dikerjakan sesegera mungkin. Kalau yang terjadi sebaliknya, jangan heran andai mendengar suara perempuan itu meninggi.
“Ada apa, Mbak?” Kendra berdiri di depan pintu yang terbuka. Rossa sedang berbicara dengan seseorang di telepon dan memberi isyarat agar gadis itu menunggu. Setelah sekian detik yang seakan membengkak menjadi berjam-jam, Rossa akhirnya bicara dengan nada memerintah yang khas.
“Kamu harus segera bergegas menemui seseorang untuk makan siang. Kamu menggantikan saya untuk menjelaskan dengan detail tentang acara Dating with Celebrity.” Rossa menunjuk ke arah jam tangannya sambil menyebutkan alamat yang harus dituju Kendra. “Kamu harus tiba di sana kurang dari setengah jam. Sebenarnya saya janji akan bertemu orang itu pukul dua belas. Tapi sepertinya sudah tidak mungkin bisa tepat waktu. Nanti saya akan menelepon dia tentang keterlambatan ini.”
Kendra sangat ingin membuka mulut dan menjelaskan bahwa bagi sebagian besar manusia di luar sana, menepati janji itu sangat penting. Bukan seenaknya membatalkan atau menunda tanpa pemberitahuan yang pantas. Namun tentu saja dia menahan diri dengan maksimal karena tahu bahwa Rossa tidak akan menyukai kritik.
“Siapa yang harus saya temui, Mbak?”
“Maxim Fordel Arsjad,” cetusnya. Meski Kendra tidak punya ide tentang siapa pemilik nama itu, dia berusaha untuk tidak menunjukkannya dan hanya mengangguk.
“Oke, saya berangkat sekarang, Mbak. Oh ya, saya bisa minta nomor ponsel Maxim?”Rossa mengangguk cepat sambil menuliskan sederet angka di atas secarik kertas. “Semoga makan siangnya berjalan lancar. Kemarin Maxim bilang ada restoran yang enak di sekitar kantornya. Mudah-mudahan dia tidak bohong,” cetus Rossa, setengah berkelakar.Senyum Kendra langsung lenyap begitu dia membalikkan tubuh untuk meninggalkan ruangan Rossa. Sebenarnya dia ingin sekali berteriak di depan perempuan itu agar tidak memintanya menggantikan siapa pun untuk makan siang. Apalagi dengan kondisi seperti saat ini, terlambat. Karena itu artinya, Kendra akan menghadapi kesulitan. Meski dia tak tahu seberapa besarnya.Kendra tahu bahwa Rossa sedang sibuk, tapi dia tidak bisa membayangkan ada yang melupakan janji makan siang dengan cara seperti itu. Rossa bahkan tidak menunjukkan isyarat penyesalan karena harus menunda pertemuan. Bahkan boleh dibilang jika Rossa tidak amb
Maxim bisa menangkap kekagetan di mata gadis itu. Kendra, begitu nama yang tadi didengarnya, nyaris tidak bernapas selama beberapa detik. Matanya terbelalak memandang ke arah lelaki itu. Tentu saja ucapan Maxim tadi sudah mengejutkan gadis ini.“Bapak ... yang tadi berada di dalam mobil keren itu? Eh ... maksud saya di Chevrolet Colorado?” Meski agak tersendat, gadis itu berhasil juga menuntaskan kalimatnya.Maxim mengangguk. “Ya, itu saya.” Lalu dia menambahkan, “Jangan panggil saya ‘Bapak’! Cukup nama saja.”“Baik,” kata Kendra sembari mengangguk.Lelaki itu tidak berniat menjelaskan bahwa dia baru saja hendak membuka pintu dan keluar dari kendaraannya ketika mendadak ada seorang gadis yang memilih untuk berkaca di jendela mobilnya. Maxim tadi meninggalkan Buana Bayi untuk bertemu sebentar dengan ibunya yang sedang berada di rumah sakit, tidak jauh dari kantornya. Tentunya setelah Rossa m
Kendra yang malang itu pun mengerjap. “Tapi....”Maxim menggeleng tanpa ragu. “Dua hari yang lalu, kakak saya memang berhasil membujuk sehingga saya bersedia mengikuti acara ini. Setelahnya, saya bicara dengan Rossa di telepon. Bosmu itu sudah memastikan kalau hari ini kami akan bertemu untuk membahas soal itu sekaligus makan siang. Tapi apa yang terjadi kemudian?” tanya Maxim dengan gaya dramatis. “Kita sama-sama tahu, kan?”Kendra tidak terlihat benar-benar terintimidasi. Setidaknya, gadis itu masih mampu memberi balasan. “Saya tadi sudah menjelaskan situasinya. Di kantor...”“Itu bukan alasan!” suara Maxim agak meninggi. “Saya adalah orang yang sangat menghargai janji dan waktu. Tapi sepertinya Rossa tidak melakukan hal yang sama. Dia seenaknya memundurkan janji hanya beberapa menit sebelum pukul dua belas siang. Selain itu, dia malah mengutus orang lain. Nah, kalau dia saja tidak menganggap pe
Ibunya memang tergolong orang yang sangat menjaga kesehatan. Secara rutin, Cecil Arsjad mengunjungi dokter langganannya yang berpraktik di sebuah rumah sakit top, tidak terlalu jauh dari gedung perkantoran tempat Buana Bayi berada. Dan biasanya, Maxim berusaha menemani ibunya meski mendapat protes dari berbagai pihak. Termasuk dari Cecil sendiri. Akan tetapi, tidak ada yang mampu membuat Maxim berhenti melakukan itu.“Max, Mama bisa ke dokter sendiri. Toh ada Rita yang menemani ke mana-mana. Mending kamu fokus bekerja,” ucap Cecil berulang kali.“Tidak apa-apa, Ma. Aku tetap bisa fokus bekerja, kok! Aku kan cuma mengantar Mama ke dokter sesekali, bukan setiap hari,” Maxim beralasan. “Tolong, jangan larang aku.”Maxim memasuki ruangan yang menjadi tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir ini. Dia sama sekali tidak pernah menduga jika bisa begitu menyukai pekerjaannya saat ini.Sebenarnya, keluarga besar ayahnya s
Kendra memandangi teleponnya dengan bibir terbuka. Seakan ada makhluk ajaib yang siap melompat dari dalam benda itu. Gadis itu masih sulit percaya jika teleponnya baru saja ditutup dengan tidak sopan oleh Maxim. Lagi. Apakah lelaki itu memang terbiasa mengakhiri perbincangan via telepon dengan kasar?Sepanjang ingatannya, Kendra belum pernah bersua dengan makluk angkuh seperti Maxim. Lelaki itu sepertinya cuma bisa marah dan melontarkan kata-kata yang sama sekali tak enak didengar. Bagaimana bisa ada orang segalak itu?Jika menuruti kata hati dan harga dirinya yang terluka, Kendra sangat ingin merontokkan gigi Maxim. Supaya lelaki itu tidak bisa lagi memamerkan gigi rapinya. Atau sekalian saja memotong lidahnya agar takkan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain. Akan tetapi, risikonya terlalu besar. Kendra tak mau mempertaruhkan masa depannya karena lelaki itu. Dia tak sudi jika harus menghabiskan hidupnya yang berharga itu di dalam hotel prodeo.
“Oh ya? Kenapa?” Neala tampak lebih dari sekadar tertarik untuk membicarakan masalah itu.“Laki-laki bernama Maxim itu marah karena Mbak Rossa memundurkan janji. Apalagi karena dia baru dihubungi hanya beberapa menit sebelum jam dua belas, janji makan siang mereka berdua. Lalu, masih ditambah karena Mbak Rossa malah memintaku yang menggantikannya untuk bertemu Maxim. Alhasil, Maxim menolak untuk terlibat dalam acara Dating with Celebrity. Sementara di lain pihak, aku menjadi orang yang tersudutkan. Aku dianggap sebagai orang yang tidak bisa melakukan tugas sederhana seperti itu,” keluhnya.“Dan aku sudah bisa menebak kelanjutannya.” Neala bersimpati. “Kamu harus membujuk Maxim supaya dia berubah pikiran, kan?”Kendra mengangguk sambil kembali membaca kertas-kertas di depannya. “Aku sudah beralasan kalau pekerjaanku bertumpuk. Tapi....” gadis itu mengedikkan bahu tanpa daya. “Kamu lebih me
Minimnya waktu luang itulah yang membuat Kendra terpaksa meminta bantuan seseorang untuk membersihkan rumah dan mengurus pakaiannya. Beruntung dia mengenal banyak tetangga yang selalu siap memberi pertolongan.Kendra pun akhirnya menyerahkan salah satu kunci rumahnya kepada Suci, tetangga di sebelah rumahnya. Dia sudah mengenal Suci sejak kecil. Dan perempuan itu tidak keberatan meminjamkan pembantunya untuk memastikan rumah Kendra tetap bersih. Suci juga yang memastikan semua pakaian Kendra dicuci dan disetrika.Sebelum tidur, seperti biasa Kendra ke dapur dan memeriksa kompor. Meski dia tahu tidak akan menemukan api yang menyala di sana. Namun itu sudah menjadi kebiasaan yang melekat seperti kulit kedua. Kemungkinan besar, takkan bisa hilang.Malam itu, Kendra bermimpi dia membuat Maxim meminta maaf sambil berlutut. Saat membuka mata paginya dan teringat mimpinya, Kendra tergelak sendiri. Bahkan Tuhan pun berusaha menghiburnya dengan memberikan mimpi yang mele
Maxim terbelalak mendengar kalimat yang diucapkan Kendra dengan suara tenang itu. Belum lagi bantingan pintu yang menyusul kemudian. Gadis lancang itu baru saja menudingnya sebagai seorang pencinta sesama jenis. Meski kesal, tapi Maxim lega karena Kendra akhirnya meninggalkan ruangannya. Setelah lebih tenang, dia meminta Padma untuk masuk ke dalam ruangannya.“Kenapa kamu membiarkan gadis itu menunggu saya?” tanyanya tanpa basa-basi.“Dia yang bersikeras, Pak,” Padma membela diri. “Saya sudah berusaha memintanya pergi secara halus. Saya bilang, belum tahu kapan Bapak akan balik ke kantor. Tapi dia tak peduli dan tetap menunggu.”Maxim tahu dia sudah berlaku tidak adil jika menimpakan semua rasa frustrasinya kepada Padma. Nyatanya, utusan Rossa itu pun tergolong keras kepala. Dan mungkin tidak punya rasa malu juga. Makanya gadis itu tetap nekat untuk datang ke Buana Bayi meski Maxim jelas-jelas tak tertarik untuk menemui Kendra
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k