**** Aku sangat grogi menanti kedatangan Bu Asya. Kenapa aku jadi seperti ini? Padahal, dulu aku sama sekali tak seperti ini. Dulu aku biasa saja meski bertemu dengan Bu Guru itu dengan masih mengenakan seragam mulungku. “Eeeem, maaf!” Sontak aku mendongak. Kukira Bu Asya sudah datang. Tapi, aku salah. Seorang wanita dewasa muncul dengan sebuah nampan di tangan. Sepertinya dia ART di rumah ini. Satu gelas minuman hangat dia letakkan di hadapanku. “Eh, Bibik, ya?” tanyaku masih kaget. “Iya, Pak, silhkan diminum dulu.” Wanita itu menjawab dengan sopan, mempersilahkan aku minum, lalu dia duduk agak jauh dariku. Loh, kok, dia malah duduk? Seolah-olah hendak menemaniku. Biarlah, terserah dia, ini rumah majikannya. Mungkin begitu protokol menerima tamu di rumah orang kaya. Si Bibik wajib menemani tamunya sampai sang mjikan keluar kamar dan menemui tamu. Aku tunggu saja. Agar tak jenuh, kualihkan tatapan ke arah jam besar yang terpasang di dinding di dekat sebuah lukisan mewah. Lu
**** Oh, ini kamar Mbak Viona, aku salah kamar. Bah, kenapa pula hati kecilku menuntun aku ke kamar ini tadi. Ini tidak benar. “Pak, kok, malah bengong! Kita duduk, yuk! Di sana, itu, ada sofa! Ada perlu apa dengan Viona? Ada masalah kah? Ada yang bisa saya bantu?” Tuhan, wanita ini … hatiku yang tadi sempat lebur karena kecewa kembali merona sepertinya. Ada debaran debaran lagi di dalam sana. Rasa itu tiba-tiba muncul kembali. Apalagi saat menatap wajah polos tanpa riasan Bu Asya. Mata teduhnya menatapku penuh tanya. Bibir ranumnya bergerak-gerak mengungkapkan kebingungannya. Seperti ini indahnya ciptaanmu ini, ya, Tuhan. Tak jadikah aku membencinya? Iya, tak jadi. Karena aku telah salah sangka. Bu Asya ternyata tak tahu apa-apa. Dia bahkan tak tahu kalau aku mencarinya. Lalu … Adi … ART itu …? Kurang ajar …! Mereka mempermainkan aku rupanya. Kenapa? “Pak, Bapak diam saja. Bapak seperti sedang marah. Apakah saya ada berbuat salah? Saya minta maaf!” Suara lembut Bu Asya meny
***** “Jadi, itu alasan kepergian Ibu ke Bandung?” tanyaku memberanikan diri menatap lekat wajah cantik itu.. “Maksud Bapak?” Dia balik bertanya, balas menatapku serius. Kutantang tatapan itu, tak mau aku menunduk. Ingin kubaca isi hati gadis ini lewat manik matanya. “Supaya Ibu tidak mengganggu hubungan saya dengan Mbak Viona, begitu, kan Ibu bilang tadi?” tegasku. Dia langsung menundukkan wajah. “Oh, maksud saya, begini. Viona itu, orangnya cemburuan. Kalau misalnya Bapak main ke sini, dan kebetulan bertemu dengan saya, dia pasti sewot,” tuturnya dengan suara sedikit bergetar. Aku tahu dia hanya beralasan, meskipun pernyataannya itu benar. Bukan itu alasannya pergi. Aku tahu pasti. “Apakah tidak ada alasan lain?” cecarku membuat wajahnya mendongak, kembali mata kami beradu. “Jangan-jangan, sebaliknya,” pancingku mengunci tatapannya. “Se-sebaliknya gimana, maksudnya?” tanyanya gugup. “Bu Asya yang sengaja menghindar karena cemburu, barangkali?” ujarku gamlang. “Eh, kok, s
***** “Ke rumah sakit Pak Dirut.” Aku berkata cepat. “Oh, tapi Papa baik-biak saja. Buat apa kita ke sana? Besok dia juga sudah pulang ke rumah, kok.” Bu Asya terlihat bingung. “Saya ingin bertemu Pak Dirut, Bu Asya, ini penting!” “Eeem, baiklah. Kita ke sana. Nanti, biar saya pamit langsung saja, kalau begitu. Oh, iya, Papa pasti senang banget bertemu Pak Bara nanti. Apalagi setelah dia tau kalau Bapak sudah bisa menerima Viona, hehehehe ….” Gadis itu tertawa. Aku hanya diam. Terserah dia mau bicara apa. Aku malas membantahnya sekarang. Toh, aku sudah tahu isi hatinya yang sebenarnya. Apapun yang terucap di bibirnya, itu tidak sama dengan isi hatinya. Aku tahu persis, kalau dia juga mencintaiku. Dan saat ini, dia sangat cemburu karena mengira aku sudah bisa menerima Mbak Viona. Tetapi dengan alasan demi kesehatan sang papa, dia rela menekan rasa cemburunya, lalu memilih menghindar. Menyembuyikan perih hatinya ke Bandung sana. Aku pastikan, dia tak akan pernah ke mana mana.
***** Aku tak tahu harus bersyukur atau ikut mengumpat sekarang. Bersyukur karena akhirnya drama menakutkan ini akhirnya berakhir juga. Namun, kecemasan lain segera melanda. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, gelap gulita. Sepertinya kami berhenti di tengah hutan belantara. Aku tidak tahu pasti. Entah di mana mendapatkan pom bensin di tempat sunyi seperti ini. Sempurna. Kami akan terjebak di sini sampai pagi. “Bapak puas?” Bu Asya berkata begitu ketus tanpa menoleh ke arahku. “Kenapa puas, Bu? Saya malah sangat cemas, di mana kita akan mendapat bensin di tengah hutan begini, coba?” sahutku memberanikan dia menatap ke arahnya. “Bapak puas melihat Papa urung pulang ke rumah. Pak Bara puas karena papa melarangku berangkat ke Bandung esok pagi, iyakan? Bapak puas melihat semuanya jadi kacau balau, iyakan?” cecarnya masih tidak mau menoleh ke arahku. Kubiarkan dia berteriak-teriak seperti itu. Biar saja dia melampiaskan semua kekesalan hatinya. Hingga akhirnya dia tak lagi ber
**** Segera kukonsentrasikan diri. Kukembalikan kesadaran yang sempat sirna, terbang entah ke mana. Aku tak boleh lancang lagi. Kecuali ada izin darinya. Ups, pikiran apa ini. Maaf! Cintaku padanya bukan cinta nafsu. Tak akan ada kelancangan lagi. Maafkan aku. Lalu, kenapa kau tadi mencium bibirnya, Bara? Itu karena aku khilaf, eh, maksudku, aku … ku lakukan itu untuk menyadarkan dirinya. Karena saat detik tadi, kupikir hanya dengan cara itu aku bisa menyadarkan sikap ingin selalu sok berkorbannya. Ahk, aku salah. “Kenapa Bapak melakukanya?” tanyanya sesaat kemudian. Wajahnya masih bersembunyi di dadaku. Aku tahu, dia masih merasa sangat malu. “Karena cinta,” jawabku lugas, cepat, dan tanpa memikirkan Mbak Viona, papanya …, juga misinya. “Sejak kapan?” Suaranya terdengar lagi, begitu pelan, begitu lembut. “Entah, aku tidak tahu,” jawabku jujur. Ya, karena aku memang tidak tahu sejak kapan aku jatuh hati padanya. “Bagaimana dengan Viona?” lanjutnya. “Aku tidak mencintainya
**** “Tapi, Pak?” sergah Bu Asya seraya mendongak. Tatapan kami beradu. “Tapi, apa? Kamu takut Viona kenapa napa? Lantas, kenapa kamu tidak takut aku kenapa-napa? Atau, coba tanya hati kamu, jawab jujur, apakah kamu tidak kenapa-napa bila kita akhiri hubungan yang baru setengah jam kita mulai ini? Apakah kamu akan baik-baik saja?” cecarku. “Tapi Viona?” “Jawab dulu pertanyaanku!” “I-iya, Pak Bara! Aku … aku jujur, aku juga sangat sedih bila harus akhiri sekarang. Tapi, aku tak tega melihat Viona.” “Setiap penyakit pasti ada obatnya. Kita obati dia! Kalau cara yang tempuh dengan kamu mengalah terus, dia tak akan pernah sembuh! Yakinlah! Yang ada dia malah sakit! Jiwanya makin kerdil karena suka memaksakan kehendak. Tak peduli milik siapa, kalau dia ingin, maka harus. Itu salah, Asya! Selamanya dia akan tetap sakit kalau diteruskan!” “Iya, sih. Tapi … aku bingung!” “Kenapa bingung! Sekarang aku tanya, saat ini, Viona sedang pingsan, tapi, kenapa kamu membiarkan saja dia di kama
**** “Maaf, Pak. Sebenarnya kami mengikuti mobil Mbak Asya mulai dari berangkat ke rumah sakit dan pulang dari sana tadi. Tapi, kami tidak berani langsung mendekat saat mobil Mbak Asya berhenti di sini. Siapa tahu ada yang ingin Bapak bicarakan penting, makanya mencari tempat sampai sejauh ini. Kami sengaja menunggu di sana!” Salah seorang dari mereka menjelaskan, dia menunjuk ke arah belakang jalan. “Tapi, saat melihat Pak Bara dan Mbak Asya keluar dari dalam mobil, baru kami datang mendekat. Ini sudah malam sekali, bagaimana kalau kita pulang sekarang, Pak?” temannya melanjutkan. “Kami juga sudah mau pulang dari tadi, tapi bahan bakar mobil ini habis! Cepat cari bahan bakar sekitar sini!” titahku. “Siaap, baik, Pak!” *“Aku pulang, istirahatlah! Besok mengajarlah seperti biasa di kelas Bima!” ucapku saat mobil sudah memasuki halaman luas rumah pemilik perusahaan Granit terbesar itu. Enggan rasanya untuk keluar dari mobil ini. Berat sekali rasanya berpisah dengan gadis yang
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland