**** “Maaf, Pak. Sebenarnya kami mengikuti mobil Mbak Asya mulai dari berangkat ke rumah sakit dan pulang dari sana tadi. Tapi, kami tidak berani langsung mendekat saat mobil Mbak Asya berhenti di sini. Siapa tahu ada yang ingin Bapak bicarakan penting, makanya mencari tempat sampai sejauh ini. Kami sengaja menunggu di sana!” Salah seorang dari mereka menjelaskan, dia menunjuk ke arah belakang jalan. “Tapi, saat melihat Pak Bara dan Mbak Asya keluar dari dalam mobil, baru kami datang mendekat. Ini sudah malam sekali, bagaimana kalau kita pulang sekarang, Pak?” temannya melanjutkan. “Kami juga sudah mau pulang dari tadi, tapi bahan bakar mobil ini habis! Cepat cari bahan bakar sekitar sini!” titahku. “Siaap, baik, Pak!” *“Aku pulang, istirahatlah! Besok mengajarlah seperti biasa di kelas Bima!” ucapku saat mobil sudah memasuki halaman luas rumah pemilik perusahaan Granit terbesar itu. Enggan rasanya untuk keluar dari mobil ini. Berat sekali rasanya berpisah dengan gadis yang
**** “Suruh dia naik dan langsung masuk ke ruanganku!” perintahku kepada Aini. “Baik, Pak.” Perempuan itu segera berlalu. Kusenderkan tubuhku ke senderen kursi. Kupijit pelan keningku. Bigini rasanya menjadi pimpinan perusahaan, pikirku. Tampaknya enak, makmur, berkelas, padahal tak pernah tenang karena begitu banyak masalah yang membelit. Belum lagi memghadapi berbagai ancaman yang terlihat maupun yang tersamar. Parahnya, aku malah lebih merasa terancam oleh OB di kantor ini. Secara, OB adalah karyawan yang paling bawah kedudukannya. Tapi, bagiku, dia justru lebih membahayakan saat ini. “Permisi, Pak Direktur Utama! Saya temannya Asya, disuruh menghadap Bapak! Boleh masuk, kan, ya?” Seseorang mengetuk dengan begitu ramah dan sopan. Aku kenal suara itu. Kak Rosa. Suarnya dia buat semerdu dan sesopan mungkin. Karena dia berpikir sedang menghadap seorang Direktur Utama. Dia berharap suaminya akan mendapat pekerjaan sekarang. Perempuan penjilat! Munafik! Dia yang telah begitu
**** “Iya, aku cuma mau menyediakan pakaian kerja Abang, disuruh Bu Asya.” Asri berkata dengan ketus. Sepertinya dia sangat membenci Asya. Sontak aku menoleh. “Bu Asya yang menyuruhmu?” tanyaku kembali terkejut. “Iya, kenapa, sih, Bang, dia mesti mengatur ngatur di rumah Abang ini? Saya juga bisa kok, ngurus semua urusan rumah ini tanpa ikut campur dia. Dia, kan, cuma gurunya Bima, kan, ya? Apa saya blokir saja nomornya biar dia enggak bisa hubungi saya lagi?” cicitnya memohon. “Jangan! Ikuti saja semua perintahnya! Cepat pilihkan pakaianku lalu keluar! Saat aku sudah selesai mandi nanti, kamu sudah tidak ada di kamar ini, ya! Eh, anakmu sudah sembuh demamnya, kan?” sergahku hendak bergerak ke kamar mandi lagi. “Udah, tapi Abang …!” Wanita itu menahan langkahku. “Kenapa lagi? Aku mau mandi, Sri!” kataku sedikit jengkel. “Abang belum jawab, kenapa Bu Asya Abang bolehin ngatur-ngatur di rumah abang ini? Aku merasa dia makin ngelunjak saja. Tegaslah Abang sikit sama dia, jangan ik
***** “Makanya kalau ngomong itu hati-hati! Kejadian, kan? Kamu sih, suka merendahkan orang! Sekarang kena batunya! Kita sudah disuruh keluar, ayo keluar saja!” Bang Galih menoleh ke arahku. “Pak Dirut, kami minta maaf. Kalau begitu, kami permisi, ya!” pamitnya padaku. “Eh, enggak bisa gitu, dong! Biarpun dia itu sudah menjadi Direktur di sini, tapi, dia itu tetap adik Abang! Dia wajib menghargai Abang dan aku! Soalnya aku ini istri Abang! Dia harus bisa menerima Abang kerja di sini. Apalagi kita sudah mendapat rekomendasi dari Asya, anak pemilik perusahaan ini!” Kak Rosa bertahan. “Cara kita udah salah, Rosa! Sebaiknya kita minta maaf, itu saja! Selanjutnya kita tunggu waktu yang tepat untuk menghadap dia lagi! Sekarang kita udah terlajur salah! Jangan maksa! Dia bisa bertambah marah nanti!” Bang Galih berusaha menarik tangan istrinya keluar. “Enggak bisa! Bara itu adik kamu! Dia enggak berhak marah sama kamu! Kamu abang kandungnya! Di tak boleh durhaka kepada abang kandungn
***** “Bang Bara, maaf! Kalau ada yang minta kerjaan dengan berdalih mendapat rekomendasi dari aku, tolong jangan diterima ya! Aku salah rupanya, telah memberi dia rekomendasi. Apa alasannya, nanti malam aku jelasin, ya, Bang, ya!” Asya memohon. Kak Rosa gelagapan. “Iya, Sayang,” ucapku membuat wajah Kak Rosa semakin merah padam. “Bara- Bara! Begini, kamu, kan, adek Bang Galih. Kakak minta maaf, ya! Tolong maafin, Kakak, ya! Kakak ngaku salah, deh! Kakak khilaf! Minta maaf, ya! Tolong terima abangmu kerja di sini, ya! Tolong, ya! Gak apa-apa, deh, meski cuma menjaid wakil direktur, kamu aja yang tetap jadi direktur utamanya. Abangmu wakil aja! Ya, Dek, Bara, ya! Ya ….” Kutekan tombol intercom di saku jasku. Hitungan detik, beberapa pengawal langsung menyerbu masuk. “Bawa mereka keluar, bila perlu seret saja!!” perintahku tegas. “Kita keluar sekarang! Kalian jalan sendiri, atau kami seret?!” perintah salah seorang anak buahku. “Tidak! Bara, kau tidak boleh melakukan ini pada
***** Bang Karmin meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan, sepertinya dia mulai kesal, hilang kesabaran tentu saja. Tapi, kalau toh, Bang Karmin suka sama gadis itu, kenapa dia tidak terima saja perintah itu. Sekalian pegang-pegang, kan? Kenapa Bang Karmin tidak mau? Jangan-jangan …. “Abang gak bisa jelasin? Bisa enggak! Jelasin pokoknya!” tuntut Viona tak peduli dengan kegusaaran Bang karmin. “Baik, aku akan jelasin. Dengar, ya, Mbk Vi. Begini, aku itu enggak mau melihat Mbak Vi telang jang. Aku enggak bisa. Itu sebab aku enggak mau.” “Aku tau, Bang Karmin itu sebenarnya enggak suka ngeliat aku. Jangankan dalam bentuk paling tertutup sekalipun, dalam keadaan telan jang pun, Abang enggak akan napsu! Iya, kan? Abang itu enggak napsu ngeliat aku! Lalu gawatnya di mana?!” “Mbak Vi salah! Siapa bilang aku enggak napsu liat Mbak Vi?” “Abang sendiri yang bilang! Abang juga udah sering ngeliat aku enggak pakai daleman. Ada Abang tergoda, atau terpancing, gitu? Gak ada kan? Abang
***** “Ya, saya maklum. Saya juga sangat paham. Itu sebab Nak Bara akan digaji seperti karyawan umumnya,” kata Pak Alatas tak membantahku. “Baik kalau begitu! Dan satu hal, kapan pun saya siap melepas jabatan ini, Pak,” tegasku. “Saya percaya, Nak Bara!” Pria itu menepuk nepuk halus pundakku. “Saya lihat Viona sudah mulai lebih baik beberapa hari terakhir ini. Saya lega, tapi juga sedikit kecewa,” imbuhnya dengan wajah sedikit tegang. “Kecewa? Kenapa?” tanyaku penasaran. “Kenapa mesti Karmin?” “Bapak tidak menyukai Bang Karmin?” “Bapak hanya khawatir dia tidak tulus pada Viona.” “Saya bisa menjamin kalau Bang Karmin tulus. Setulus Bapak dulu kepada Bu Maya, mama Mbak Viona.” “Hem, Nak Bara yakin?” “Saya yakin.” “Ya, sudah kalau begitu, saya pasrah saja. Ikuti maunya Viona.” “Iya, Pak!” “Yang menjadi pikiran saya Nak Bara tau apa?” “Tidak, Pak. Bapak belum bilang.” “Boleh saya kemukakan sekarang?” “Tentu.” “Bagaimana kalau Viona meminta Nak Bara melepas jabatan ini,
****“Kok, tanya saya, Pak Bara? Bapak, dong, Kan, Pak Bara direktur utama di perusahaan ini?” Dia balik bertanya.“Kan, kata Mbak Viona, saya Direktur Utama, tapi Bang Karmin pemiliknya? Saya hanya pekerja, Bosnya itu Bang karmin,” tukasku cepat.“Saya … aaah, Pak Bara ini, saya bukan siapa-siapa, sudahlah, Bapak saja yang putuskan!”“Jangan, Bang Karmin yang putuskan, saya yang jalankan.”“Waduuuh, saya telpon Viona dulu kalau begitu?”“Nah, itu lebih baik.”Pria itu lalu menelpon Viona. Menceritakan masalah yang ada dan menyampaikan solusi yang baru saja kami temukan.“Viona setuju,” ucap Bang Karmin setelah mengakhiri teleponnya.“Bagus. Abang ada usul untuk lokasi?” tanyaku, kami harus gerak cepat.“Ada tanah kosong milik perusahaan di daerah Medan Tuntungan. Di sana lebih memungkinnan kukira. Lokasi ke Medan, lebih dekat, wilayahnya juga sangat strategis.”“Bagus, aku akan segera menghubungi kontraktornya. Kalau bisa minggu ini juga sudah bisa dimulai pembangunannya.”“Kontrak
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland