***** “Ya, saya maklum. Saya juga sangat paham. Itu sebab Nak Bara akan digaji seperti karyawan umumnya,” kata Pak Alatas tak membantahku. “Baik kalau begitu! Dan satu hal, kapan pun saya siap melepas jabatan ini, Pak,” tegasku. “Saya percaya, Nak Bara!” Pria itu menepuk nepuk halus pundakku. “Saya lihat Viona sudah mulai lebih baik beberapa hari terakhir ini. Saya lega, tapi juga sedikit kecewa,” imbuhnya dengan wajah sedikit tegang. “Kecewa? Kenapa?” tanyaku penasaran. “Kenapa mesti Karmin?” “Bapak tidak menyukai Bang Karmin?” “Bapak hanya khawatir dia tidak tulus pada Viona.” “Saya bisa menjamin kalau Bang Karmin tulus. Setulus Bapak dulu kepada Bu Maya, mama Mbak Viona.” “Hem, Nak Bara yakin?” “Saya yakin.” “Ya, sudah kalau begitu, saya pasrah saja. Ikuti maunya Viona.” “Iya, Pak!” “Yang menjadi pikiran saya Nak Bara tau apa?” “Tidak, Pak. Bapak belum bilang.” “Boleh saya kemukakan sekarang?” “Tentu.” “Bagaimana kalau Viona meminta Nak Bara melepas jabatan ini,
****“Kok, tanya saya, Pak Bara? Bapak, dong, Kan, Pak Bara direktur utama di perusahaan ini?” Dia balik bertanya.“Kan, kata Mbak Viona, saya Direktur Utama, tapi Bang Karmin pemiliknya? Saya hanya pekerja, Bosnya itu Bang karmin,” tukasku cepat.“Saya … aaah, Pak Bara ini, saya bukan siapa-siapa, sudahlah, Bapak saja yang putuskan!”“Jangan, Bang Karmin yang putuskan, saya yang jalankan.”“Waduuuh, saya telpon Viona dulu kalau begitu?”“Nah, itu lebih baik.”Pria itu lalu menelpon Viona. Menceritakan masalah yang ada dan menyampaikan solusi yang baru saja kami temukan.“Viona setuju,” ucap Bang Karmin setelah mengakhiri teleponnya.“Bagus. Abang ada usul untuk lokasi?” tanyaku, kami harus gerak cepat.“Ada tanah kosong milik perusahaan di daerah Medan Tuntungan. Di sana lebih memungkinnan kukira. Lokasi ke Medan, lebih dekat, wilayahnya juga sangat strategis.”“Bagus, aku akan segera menghubungi kontraktornya. Kalau bisa minggu ini juga sudah bisa dimulai pembangunannya.”“Kontrak
***** “Papa … nanti pulang belikan Bima wadah bekal makan siang dua lagi, ya!” Bima menelpon sore ini. Aku sengaja belum pulang, masih menunggu Bang Ramli dan teman teman lamaku. Kata Bang Karmin, mereka pasti datang. Agak makan waktu karena butuh waktu untuk mengumpulkan anggotanya, begitu alasannya. Dan aku sabar menunggu meski dengan sedikit berdebar. Entah seperti apa reaksi mereka saat bertemu denganku nanti. Sepertinya sangat menarik. Hatiku membuncah. “Wadah bekal makan siang lagi? Buat apa? Kamu berantem lagi dengan si Steve itu gara-gara wadah bekal makanan?” tanyaku heran. “Bukan, Pa. Tapi … eee, Papa jangan marah, ya. Bima udah janji mau bawakan dua teman Bima bekal makan siang besok, Pa. Kasihan, dia sering kelaparan katanya, Pa.” Aku tercekat. Ini tidak benar. Semua yang bersekolah di sana adalah orang ekonomi kelas atas. Kecuali Bima dulunya. Tak mungkin ada yang sampai kelaparan. Dua orang lagi. “Boleh, ya, Pa?” Bima mulai merengek. “Eem, boleh, suruh dibeli
***** “Apakah dia pernah minta uang sama Bapak, atau mungkin dia ngemis di pinggir jalan, mungkin, lalu nyebut nama Bos kami ini, sebagai jaminan?” tanya salah seorang teman lamaku. Bang Darwin namanya. Bah! Dia benar-benar merendahkanku. “Jangan dipercaya, Pak! Kami sudah tak berteman lagi sama dia. Sumpah, Pak, kami sudah putus hubungan! Percaya sama kami, Pak. Kami semua bersih, bukan kriminal. Kami akan mengerjakan proyek itu dengan penuh tanggung jawab!” Bang Bembeng menimpali. “Iya, Pak, kami berjanji. Tolong setujui kami ambil proyek itu, ya, Pak Direktur!” yang lain menguatkan. “Masalahnya saya tau kalian dari teman kalian yang mantan narapidana itu!” sergahku menghentikan kalimat-kalimat memuakkan dari mulut mereka. “Maksud Bapak, bagaimana? Dia itu hanya mau menjual nama kami, Pak! Kami enggak punya hubungan lagi sama dia. Sumpah, Pak!” “Wah, kalau begitu saya salah, dong, sudah sempat percaya sama kalian. Maaf, kalau begitu. Proyeknya saya pending saja. Saya salah m
**** Aku berdiri kaku di dalam pelukannya. Tak hendak aku membalas sedikit juga. Sakit hati, kecewa, dan rasa iba, bertempur di dalam hatiku. Itu membuat tubuh Bang Ramli luruh, dia lalu bersimpuh di kakiku. “Bara … kami semua minta maaf, kami salah menilaimu! Tolong maafin kami, Bara!” Bang Darwin menjatuhkan tubuhnya di lantai runganku. Dia juga berlutut di sana. “Aku yang paling jahat, Bara! Dengan pedenya aku memintamu agar berhenti mengemis pada teman-teman! Aku yang begitu sombong telah merendahkanmu! Ammmmpuuun, Bara! Aku minta maaf!” Bang Bembeng mengikuti sikap Bang Darwin. “Aku juga minta maaf! Aku salah, Bara!” “Aku juga! Aku menyesal. Kukira kamu mau ngemis, padahal mau memberi rejeki besar! Maafkan kami, Bara!” Yang lain semua mengikuti. Berbagai kalimat penyesalan terucap dari mulut mereka. Apakah mereka tulus? Kupindai wajah mereka satu persatu. Wajah wajah yang tampak hitam legam karena selalu terpanggang terik matahari. Wajah pria pria sederhana. Semoga
**** “Kasihan Papa. Padahal Papa rajin, lho, dia juga mau belajar. Ngaduk semen, angkat-angkat pasir, batu bata, dan lainnya. Tapi, Bos Mandornya gak bolehin dia ikut kerja lagi,” lirih Rara semakin mengaduk perasaanku. “Oh, coba nanti, coba aku tanyain Papa, ya, siapa tahu di kantor Papa ada kerjaan buat Pak Tua! Kamu jangan sedih, ya! Papa itu orang baik. Dia pasti mau menolong Pak Tua!” Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Bima punya pemikiran seperti itu? Sudah tak ada dendamkah di lubuk hatinya? Bertahun-tahun dia hidup tersiksa di rumah Bang Galih dulu? Makan terancam, harus bekerja keras dulu baru boleh mendapat jatah makan, itupun hanya sisa sisa tulang ayam. Tak kah dia ingat itu? Sekarang dia malah berjuang membawakan bekal buat keluarga kejam itu. Dia juga sempat berpikir untuk pekerjaan Bang Galih. “Sudah, ini bawa pulang sana!” Bima menyerahkan dua wadah kotak bekal. “Terima kasih, Bima! Kami bisa makan nasi hari ini. Aku pulang, ya!” “Ya, eh, tunggu! Ini bawa aj
**** “Bentar lagi, aku masih ingin menikmati suara kamu, aku kangen banget, Sayang!” tolakku memang masih betul betul malas bergerak. Rasanya aku ingin memeluknya saja saat ini, tuntaskan kerinduan yang kian mencekik jiwa. “Cepat, lho, masuk kamar mandi! Hari ini Abang bisa kan, pilih sendiri pakaiannya ke kantor? Atau aku suruh Mbak Asri yang pilihkan, mau?” Wanita pujaan hatiku itu mulai mengancam. “Jangan-jangan! Biar aku pilih sendiri.” Buru-buru aku melompat turun dari ranjang. “Nah, gitu, dong! Ya, udah buruan! Udah, ya, aku tutup telponnya.” “Bentar, Sayang!” “Hem, apa lagi, Abang?” “Video Call, dong, bentar saja! Aku kangen, Sayang!” “Udahlah, Abang! Ini udah siang banget lho! Nanti telat lagi nganter Bima ke sekolah.” “Sepertinya, rasa kangen ini cuma aku yang punya, ya? Kulihat kamu santai saja. Seolah tak ada beban sama sekali.” “Hey, Abang bicara apa? Abang pikir aku enggak kangen juga?” “Nyatanya, kamu santai saja.” “Ok, kalau begitu, aku minta Abang lamar ak
***** “Tentu, anak buahku akan mengurusnya! Tidak usah khawatir, Nyonya! Tapi, setelah saya pastikan kalau keponakan saya tadi tidak apa-apa. Dan satu lagi, Anda harus meminta maaf kepada mereka semua!” jawabku menunjuk Bang Galih, Kak Rosa dan Rara. “Minta maaf? Loh, salah saya apa? Saya sudah begitu baik dan sabar selama ini kepada mereka, ya!” Perempuan itu mendelik tajam. “Ya, sangat baik! sangkin baiknya Anda berbuat begitu kasar dan melukai psikis mereka! Dengar, Nyonya! Anda memang berhak menagih hak Anda pada mereka, tapi tentu ada adapnya! Mereka ini manusia, bukan binatang yang tak punya perasaan. Kalua toh, Anda mengusirnya juga, tak perlulah melukai jiwa mereka. Ingat, manusia yang sedang berada pada posisi termiskin sekalipun, mereka masih punya hati. Hidup ini bagai roda yang berputar. Bisa jadi hari ini Anda di atas, tapi lusa atau di lain waktu, gantian, Anda yang berada di bawah! Ini hanya himbauan saya! Tentang utang mereka, jangan takut, anak buah saya akan
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland