**** “Kamu gagal, kan?” sergah Mas Reno tiba-tiba mendorong tubuhku. Rangkulanku terlepas paksa. Ini sungguh mengagetkan. Seumur hubungan terlarang kami, belum pernah sekalipun dia berbuat sekasar ini. “Mas? Kamu kenapa? Berantem sama istri kamu, ya? Kok, aku yang jadi sasarannya, sih?” protesku menatapnya bingung. “Ninda baik-baik saja, ini tidak ada hubungannya dengan istriku!” ketusnya masih dengan wajah ditekuk. Bahkan, aku bisa melihat kemarahan di sorot matanya. Dia marah kenapa? “Trus, aku salah apa?” tanyaku tak mengerti. “Kau gagal, kan, Vi? Kenapa kau gagal menghalangi laki-laki bodoh itu masuk ke perusahaan ini? Kenapa kau tak bisa memaksa papamu untuk membatalkan niatnya mengangkat gelandangan itu menjadi pendampingnya? Kenapa kau tak menghalangi keberangkatan mereka menemui client dari Jakarta itu? Kenapa kau malah terpana saat melihat laki-laki bangsat itu datang dengan penampilan barunya? Kenapa, hah, kenapa?” tanyanya bertubi-tubi. Oh, jadi itu masalahnya. Ak
**** “Udah sore, Sayang, kita cek-out sekarang?” Mas Reno merengkuh tubuhku sekali lagi. Kecupan hangatnya menghujani tengkuk dan seluruh punggungku lagi. “Kenapa enggak sampai malam, sih?” rengekku begitu berat untuk berpisah. Entah candu apa yang dimiliki pria ini. Aku pasti akan selalu merasa menderita bila berpisah dengannya. Seperti ada perekat yang dimilikki oleh aura tubuhnya. Begitu sakit di relung hati, bila harus melepasnya kembali ke dalam pelukan Kak Ninda. Andai saja aku bisa menyingkirkan perempuan itu, mungkin, aku akan merasa lebih tenang. “Enggak bisa sampai malam, dong, Sayang! Nanti Ninda curiga, lagi. besok lagi, ya! Di kantor, kan, bisa kita lepas kangen lagi, Yank?” “Hem, iya, sih. Tapi, tetap aja aku itu cemburu bila bayangin Mas pulang ke rumah lalu disambut oleh perempuan itu dengan senyuman. Aku yakin, deh, pasti dia akan bersikap agresif banget kalau malam hari, iyakan?” “Ya, iya, dong. Namanya juga dia istri aku, Sayang. Kamu aja yang bukan istri a
**** Rumah kumuh itu tak memiliki halaman. Kutepikan mobil mepet ke selokan. Tak ada tempat parkir sama sekali. Bima langsung membuka pinu mobil lalu berlari ke dalam rumah. Aku mengikutinya setelah memastikan mengunci semua pintu dan jendela mobil. Kewaspadaan harus tetap kujaga. Aku belum tahu kondisi keamanan di wilayah kumuh seperti ini. Berjaga-jaga itu lebih utama. “Papa mana, Bik? Bik Asri! Papa mana?” Kudengar Bima berteriak. “Papamu masih kerja! Kamu pulang sama siapa? Papamu enggak menjemput ke sekolah?” Suara seorang perempuan menjawab. Entah siapa perempuan yang bernama Bik Asri itu. Mudah-mudahan bukan wanita istimewa di hati ayah Bima. Ups, kenapa aku berharap seperti itu? Kenapa ada persaan aneh di hatiku? Perasaan apa ini? Kenapa aku seperti kurang suka kalau ada perempuan lain di dekat mereka? Bagaimana kalau benar perempun itu adalah seseorang bagi ayah Bima? Ah, entahlah! “Oh, diantar Bu Guru kamu, mana orangnya? Ayo, bibik mau ucapin terima kasih,” s
**** “Kenapa rumahnya udah gak layak, tetap kalian huni, Pak?” tanyaku memecah keheningan. “I-iya, Bu Guru. Maaf, kami terpaksa, belum cukup uang buat nyewa yang lebih layak.” Yang paling sepuh yang menjawab. Keduanya menunduk. Hatiku kembali terenyuh. Seorang perawat keluar dari kamar periksa, spontan aku berdiri dan menghampirinya. “Bagaimana keadaannya, suster?” tanyaku cemas. “Pasien sudah sadar, Bu. Dia manggil bu guru … bu guru, begitu. Apakah ibu, gurunya?” “Iya, benar, boleh saya masuk?” “Silahkan!” Gegas aku menerobos masuk. “Bima, Sayang!” panggilku segera menghambur memeluknya. Bocah itu sesegukan di dadaku. “Sudah jangan takut, Ibu akan menjagamu di sini! Cep-cep, ya …!” bujukku menenangkannya. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanyaku menoleh kepada seorang Dokter yang masih menanganinya. “Tidak apa-apa, Bu. Tidak ada yang parah. Cuma luka gores di kening dan beberapa bagian tubuh. Dan ini, kakinya sedikit terkilir karena ditimpa balok. Tidak parah, kok. Dia pingsan
**** “Bobok lagi, ya!” bujukku mengelus kepalanya setelah dia melepas pipet. “Papa belum pulang, Bu Guru?” tanyanya dengn raut wajah sedih. “Belum, Sayang.” “Tolong telpon lagi, Bima takut papa kenapa-napa. Bima enggak mau Papa masuk penjara lagi. Bima enggak mau dititip di rumah Pak Tua lagi. Bima enggak mau dicubitin sama Mak Tua lagi, Bu Guru ….” “Oh ….” Aku terpana, kalimat yang meluncur dari mulut Bima begitu menyayat hati. Seperti itukah kehidupan yang dia jalani saat papanya di penjara? Numpang di rumah Pak Tuanya, dicubiti sama Mak Tuanya? Begitu miris. “Tolong telpon Papa, Bu Guru!” pintanya menghiba. “I-iya, Sayang. Kita coba, ya. Mudah-mudahan sekarang udah diangkat. Segera kukeluarkan ponsel dari tas sandangku. Kutekan nomor ayah Bima. “Tersambung! Teleponnya tersambung, Sayang!” kataku lega. “Tanya, Papa di mana? Dan suruh ke sini, Bu Guru!” pinta Bima dengan wajah kembali begitu memelas. “Iya, Sayang, belum diangkat. Tapi udah tersambung. Ponsel papa kamu
**** “Maksud Abang, karyawan baru Papa itu mantan pemulung, namanya Bara? Dan, Polisi menduga kalau dia adalah pelaku kejahatan yang menimpa Papa dan anggota lainnya?!” seruku kaget. “Benar, Mbak.” “lho, kok, bisa Papa mengangkat seorang pemulung menjadi karyawan?” “Awalnya, karena Pak Bara menemukan dokumen penting perusahaan di tempat pembuangan sampah. Sertifikat alih kepemilikan dari nama Nbak Viona menjadi nama Pak Dirut. Sertifikat itu sengaja dibuat untuk memudahkan dan melancarkaan bisnis kita selama ini, bukan. Nah, tiba-tiba hilang. Dan Pak Bara menemukannya saat mulung. Dia lalu mengembalikannya langsung kepada Pak Dirut, khawatir kalau pakai perantara, orangya tidak amanah. Kejujuran Pak Bara, dihargai mahal oleh Pak Dirut, yitu memberinya pekerjaan.” “Berarti Pak Bara itu orangnya jujur dan bisa dipercaya. Lalu, kenapa Polisi justru menduga Pak Bara adalah pelaku kejahatan yang menimpa Papa?” “Karena Pak Bara menghilang, Mbak.” “Kenapa polisi tidak menanyakan a
**** Papa, begitu mulia hatimu. Kau pintar memilih pria yang berhati bersih dan jujur. Jangankan kamu, Pa. Aku sendiri telah jatuh hati pada Pak Bara. Dia pria yang baik, sangat baik. Sulit mencari seorang laki-laki sejujur dan setulus dia di jaman sekarang ini. Aku juga mencintainya, Papa. Tapi, tidak apa-apa, Pa. Aku bisa mengalah. Aku akan pura-pura tak pernah punya rasa kepada Pak Bara. Akan kuhipnotis diriku untuk tidak jatuh cinta lagi padanya. Aku kan baik-baik saja, Papa. Karena aku tahu kau sudah sangat lelah menghadapi Viona dan juga perusahaannya. Mungkin dengan mencarikan Viona pria yang tepat, bebanmu akan sedikit berkurang. Aku janji akan membantumu, Pa. Aku akan bantu papa menyatukan Pak Bara dan Viona. “Kak, cepat bangunin Papa! Tanya dia, Mas Bara ke mana?” rengek Viona kali ini bahuku yang dia guncang. Persis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Pantas tadi dia begitu emosi sehingga berbuat kasar dan berteriak di dekat telinga papa. Adikku me
*** Buru-buru kututup telepon, karena Viona sudah berlari duluan. “Tunggu, Vi!” seruku memburunya. “Vi mau jemput Mas Bara, Kak!” teriaknya tak menghiraukanku. “Ada apa, Mbak Asya?” Seorang petugas Polisi yang berjaga di luar menghentikanku. Pengawal Papa langsung mendekat. “Kami baru saja mendapat info tentang keberadaan Pak Bara, kita ke sana, Pak! Bang, tolong hentikan Viona!” jelasku, lalu langsung memberi perintah kepada pengawal Papa. Semua bergerak cepat. Kuminta salah seorang anggota papa yang menyetir mobilku agar lebih cepat. Mereka juga berhasil menghentikan Viona. Namun, Viona berteriak membabi buta. Itu sebab aku turun lagi dari mobilku dan ikut masuk ke mobilnya. “Biar Bang Karmin yang nyetir, kalau tidak, kakak telpon Pak Syahrul untuk menyembunyikan Pak Bara ke tempat lain, kau mau?” ancamku menatapnya tajam. Dengan terpaksa dia mengalah. Mobil yang kami kendarai melaju kemudian. Polisi juga sudah bergerak setelah aku memberi tahu mereka alamat Pak Syahru
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland