Zahra membelalakkan mata begitu mendengar jawaban suaminya. Apa-apaan pria itu mengajukan syarat segala padahal tadi mereka sudah sepakat akan pergi ke rumah Umar setelah Magrib. “Bang, tadi ‘kan sudah janji mau ke rumah Ayah sebelum kita pergi besok. Kenapa sekarang kaya gini? Ngasih syarat segala,” protesnya.Zyan tersenyum menyeringai. “Di dunia itu ga ada yang gratis, Ra. Kalau ga mau ya kita ga jadi ke rumah ayahmu,” timpalnya.“Kalau Bang Zyan ga mau, ya sudah saya pergi sendiri sekarang. Besok saya juga tidak akan pergi bulan madu. Saya akan terus tinggal di rumah Ayah,” tegas Zahra.Wajah Zyan yang tadinya tengil seketika berubah panik. Pria itu tidak menduga Zahra akan melakukan serangan balik yang membuatnya langsung kelimpungan dan tak berdaya.“Ga bisa kaya gitu dong, Ra. Kita tetap harus pergi bulan madu. Kamu juga ga boleh tinggal di rumah Ayah. Harus tinggal di sini sama aku. Katanya mau buat cucu buat orang tua kita,” ujarnya.“Saya tidak mau hidup sama orang yang egoi
Zahra mengernyit mendengar ucapan suaminya. “Kenapa Bang Zyan tiba-tiba ingin menginap di sini?” Tatapan menyelidik dia layangkan pada sang pria.Zyan mendadak gugup tapi mencoba tetap bersikap biasa. “Ya, pengin aja. Memangnya ga boleh? Kita ‘kan belum pernah menginap di sini sejak menikah, Ra,” ujarnya.Gadis berhijab itu masih belum menghilangkan rasa curiganya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja Zyan ingin menginap di rumah orang tuanya. “Kita saja menikah belum ada seminggu, Bang. Setelah dari hotel, kita langsung ke rumah Bang Zyan. Sekarang saja kalau saya ga maksa datang ke sini, mungkin Bang Zyan tidak akan pernah ke sini dengan inisiatif sendiri. Terus tiba-tiba ngajak saya menginap di sini? Rasanya kok jadi aneh,” bebernya.“Apanya yang aneh? Aku itu ingin jadi suami yang baik, Ra. Aku tadi lihat kamu kangen banget sama Ibu. Makanya aku nawarin kamu menginap di sini sebelum kita pergi bulan madu,” kilah pria tampan itu.“Kalau kita menginap di sini, terus bali
Zyan tersenyum pada sang ayah mertua. “Sebenarnya saya juga ingin begitu, tapi Zahra kurang setuju karena besok kami harus berangkat ke bandara pagi-pagi sekali,” ucapnya.“Kalian mau pergi ke mana kok pergi ke bandara?” Amir ikut menimpali setelah sejak tadi hanya jadi pendengar setia.“Insya Allah kami mau bulan madu, Mas,” jawab Zyan sambil menatap kakak ipar yang lebih muda darinya itu.“Saya tidak setuju karena ada alasannya. Tiket sama koper ada di rumah sana. Jarak ke bandara kalau dari sini juga lebih jauh. Tadi ke sini rencananya mau pamit sama minta doa Bapak, Ibu, dan Mas Amir saja, menginapnya besok setelah pulang dari bulan madu.” Zahra memberikan penjelasan agar keluarganya tidak salah paham.“Ya sudah kalau begitu. Lain kali saja menginapnya.” Meskipun menerima keputusan putrinya, tapi raut kecewa tetap terlihat walau coba disembunyikan Maryam.Sebenarnya dia ingin lebih lama berkumpul dengan putrinya untuk melepas rasa rindu. Selama ini mereka tak pernah terpisah lama.
Usai salat Subuh, Zyan dan Zahra langsung berangkat ke bandara diantar oleh sopir keluarga. Tentu saja setelah berpamitan dengan Rania dan juga Prabu. Saffa pun ikut mengantar kepergian pasangan pengantin baru itu sampai di depan rumah.Zyan menarik dua buah koper saat mereka menuju terminal tiga keberangkatan domestik di Bandara Soekarno-Hatta. Keduanya lantas melakukan check-in dan menyerahkan koper untuk ditimbang sebelum dimasukkan ke bagasi pesawat. Sesudah mendapat boarding pass, mereka masuk ke lounge. Menunggu sampai tiba waktunya dipanggil masuk ke pesawat.Di dalam lounge, Zyan mengajak Zahra minum kopi dan makan kudapan untuk mengisi perut karena tak sempat makan di rumah. Gadis berhijab itu ikut saja apa yang dilakukan oleh suaminya karena dia baru pertama kali masuk ke lounge. Kalau naik pesawat, Zahra biasanya menunggu di ruang tunggu umum. Dia bisa berada di lounge karena bersama Zyan. Suaminya itu tidak terlalu suka keramaian dan berbaur dengan banyak orang. Lagi pula
Zahra berusaha mendorong badan Zyan agar menjauh dan melepas tautan bibir mereka. Bisa-bisanya pria itu menciumnya dengan santai, seolah-olah hanya ada mereka berdua di sana. Padahal di depan, belakang, dan sebelah kursi mereka ada penumpang lainnya. Bagaimana kalau ada yang iseng mengambil video mereka lalu menyebarkan di media sosial? Bisa-bisa jadi viral dan membuatnya kehilangan privasi.Zyan pun menjauhkan diri setelah didorong sang istri. Bukan karena Zahra yang terlalu kuat mendorong, tapi karena dia tahu kalau gadis itu merasa tak nyaman. Zyan mengakui kalau jadi sedikit lepas kendali karena gemas pada sang istri. Bibir tipis Zahra sekarang menjadi candu untuknya.“Bang Zyan, ih.” Zahra menepuk lengan suaminya sebagai tanda protes atas tindakan frontal yang tadi dilakukan Zyan.“Kenapa mukul?” tanya pria itu dengan menampakkan wajah polos.“Bang Zyan, cium-cium sembarang. Malu kalau dilihat orang.” Zahra menjawab dengan berbisik di samping telinga suaminya.“Kenapa malu? Cium
“Masya Allah indahnya. Vibes-nya benar-benar seperti di Maldives, Bang,” puji Zahra setelah menginjakkan kaki di lantai kayu resor yang ada di atas laut.“Kamu suka?” Zyan memandang istrinya yang terlihat sangat mengagumi suasana di tempat itu.Zahra mengangguk dengan penuh antusias. “Iya, Bang. Lautnya biru, sudah gitu bening banget airnya. Pemandangannya benar-benar indah. Lamanya perjalanan terbayarkan sama suasana di sini.”Zyan tersenyum lebar melihat kebahagiaan sang istri. Mamanya memang pintar memilih lokasi yang tenang dan sangat cocok untuk bulan madu dan mencari ketenangan dari hiruk pikuk kota serta pekerjaan.Pulau Maratua adalah salah satu pulau yang ada di Kepulauan Derawan. Pulau ini juga merupakan pulau terluar di Indonesia, jauh dari perkotaan tapi tidak kehilangan daya tariknya.Resor tempat Zyan dan Zahra menginap hampir seluruh material bangunannya terbuat dari kayu. Bentuk bangunan resor ini mirip dengan rumah adat Kalimantan yaitu betang. Ada dua tipe kamar di r
Zahra kembali menelan ludah. Dia tahu kalau apa yang dilakukannya salah. Sebagai istri sudah seharusnya melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak suami. Namun gadis itu masih merasa takut.Ya, Zahra takut Zyan hanya bermain-main dengannya. Setelah mendapatkan tubuhnya, gadis itu takut sang suami berpaling pada wanita lain atau kembali pada mantan kekasihnya. Bagaimana kalau dia sampai hamil dan Zyan tidak mau mengakui itu sebagai anaknya? Meskipun pria itu sudah menunjukkan kesungguhannya untuk membangun rumah tangga seperti orang pada umumnya, tapi ada sisi di hatinya yang masih belum bisa percaya sepenuhnya. Entah kenapa.“Kenapa diam? Jawab dong, Ra, biar aku tidak terus berharap mendapatkan hakku dan berangan-angan akan memberikan orang tua kita cucu sepulang dari sini.” Ucapan Zyan itu seperti sembilu yang menyayat-nyayat hatinya. Rasanya sangat perih. Membuat gadis itu jadi semakin merasa bersalah pada suaminya.“Bang Zyan, marah sama saya?” tanya Zahra dengan polosnya.Zyan
Zahra memutuskan membalikkan badan. Untung saja Zyan sudah selesai berpakaian jadi dia tidak melihat lagi tubuh atletis suaminya. Gadis itu memberanikan diri mendekati Zyan yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Kalau sudah selesai, handuknya biar saya gantungkan, Bang,” ucapnya.“Tidak usah. Mulai sekarang kamu tidak perlu lagi menyiapkan apa pun untukku. Tadi itu terakhir kamu siapkan pakaianku.” Kata-kata Zyan sangat tajam sampai rasanya menusuk hati Zahra begitu dalam. Ternyata sesakit ini rasanya diabaikan. Padahal baru beberapa jam saja gadis itu merasakannya. Bagaimana dengan Zyan yang sudah beberapa hari terakhir ini berusaha meyakinkan dirinya tapi tak juga dia percaya.“Bang, tolong jangan bersikap seperti ini. Saya ini istri Bang Zyan. Sudah menjadi kewajiban saya untuk berbakti dan melayani Bang Zyan sebaik mungkin,” ujar Zahra.Zyan berdecak. Matanya menatap tajam Zahra yang berdiri sangat dekat dengannya. “Apa? Melayani suami? Telingaku belum tuli ‘kan?”Zahra m
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama