Zyan tiba-tiba mendekatkan wajah lalu mencium pipi Zahra. Setelah itu dia menjauhkan diri sambil tersenyum lebar, memandang istrinya yang tampak sangat terkejut dan jadi terpaku.“Itu hukuman kedua untukmu. Masih kurang empat hukuman lagi,” sambungnya dengan senyum yang tak lepas dari bibir.“Apa? Empat hukuman lagi?” tanya Zahra setelah tersadar dari keterkejutannya.Zyan mengangguk.“Bukannya hanya lima?” protes Zahra.“Enam, Ra. Tadi kamu memanggilku pak lagi, tapi pasti kamu ga sadar,” tukas Zyan.“Kenapa hanya saya yang dapat hukuman, tapi Bang Zyan tidak?” Gadis itu kembali melayangkan protes.“Aku ‘kan tidak melanggar perjanjian masa dikasih hukuman,” kilah Zyan. “Sudah gapapa terima saja hukumannya, enggak berat ‘kan?” Pria itu kemudian mengedipkan sebelah matanya.Bulu kuduk Zahra jadi meremang karena sikap Zyan yang sangat berbeda dari biasanya. Pria itu tiba-tiba jadi suka menggoda dan bersikap genit. Apa dia selalu seperti itu kalau di depan pacar-pacarnya dahulu?“Tadi se
Zyan memeluk lalu menarik Zahra agar lebih dekat hingga sebagian badan mereka menempel. Tiba-tiba kehangatan menyelimuti keduanya. Mata mereka pun saling menatap seolah menyelami isi hati masing-masing.Perlahan tapi pasti wajah Zyan mendekat. Bibirnya menyentuh bibir Zahra. Dia lantas diam, sengaja tak bergerak untuk menunggu rekasi gadis itu. Karena tak mendapat penolakan, pria itu mulai menggerakkan bibirnya dengan lembut karena tidak ingin memberi kesan buruk pada ciuman pertama mereka. Zyan ingin istrinya mengenangnya dengan indah.Zahra yang awalnya diam karena terkejut jadi tersadar begitu sesuatu yang lembut dan kenyal bergerak di bibirnya. Sebagian dari dirinya ingin menolak, tapi rasanya enggan menjauhkan diri. Sentuhan lembut itu berhasil menimbulkan sensasi aneh dalam dirinya. Hingga tanpa sadar dia memejamkan mata, menikmati sentuhan tersebut.Zyan diam-diam tersenyum saat melihat sang istri menerima sentuhannya. Buktinya bukan menolak tapi malah memejamkan mata. Dia pun
“Good morning, My Love.” Sapaan mesra dari Zyan menyambut Zahra saat gadis itu membuka mata.“Morning,” balas Zahra dengan suara serak khas bangun tidur. Dia tersenyum malu kala mendapati Zyan menatapnya dengan intens.“Bang Zyan kok sudah bangun. Jam berapa sekarang?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian suaminya.“Jam setengah lima. Aku sengaja bangun lebih pagi biar bisa puas memandang wajahmu saat tidur,” jawab Zyan.“Pagi-pagi sudah menggombal,” celetuk Zahra dengan pipi yang merona merah.“Halal ‘kan menggombali istri sendiri? Yang penting bukan menggombali wanita lain,” timpal Zyan sambil memainkan kedua alis tebalnya.“Sudah azan, kita salat dulu, Bang.” Zahra mengganti topik pembicaraan karena saat itu terdengar kumandang azan Subuh dari masjid terdekat.“Boleh minta morning kiss dulu?” Zyan menahan tubuh istrinya yang ingin bangun.Gadis itu terkejut mendengar permintaan suaminya. “Hah? Morning kiss?”Zyan mengangguk. “Iya. Begini morning kiss-nya.” Pria itu mengecup pipi, k
Rania menatap lekat putra sulungnya. “Jadi karena itu? Seumpama tidak ada yang menggoda dan mendekati Zahra, kamu tidak akan pernah mengumumkan pernikahan kalian dan mengadakan resepsi ‘kan? Kenapa kamu egois sekali, Zy?”Zyan langsung kicep mendengar kata-kata sang mama yang sangat menohok. Dia seperti ditampar dengan keras.“Sekarang kamu baru sadar ‘kan bagaimana berharganya Zahra? Di luar sana banyak pria yang menginginkan istrimu. Kamu saja yang bodoh dan menutup mata hanya gara-gara artis itu.” Rania kembali memojokkan putranya.“Aku sudah putus sama Mila, Ma. Zahra juga tahu soal itu. Iya ‘kan, Ra?” Zyan menoleh pada istrinya, meminta dukungan.Zahra pun mengangguk. “Iya.”“Kenapa kamu memutuskan artis itu? Bukannya selama ini kamu diam-diam tetap berhubungan dengan dia di belakang kami?” Ucapan Rania membuat wajah Zyan menjadi pias. Dia seperti disambar petir di siang bolong yang panas. Sangat tidak terduga dan mematikan.Pria bercambang tipis itu lantas memutar otak. Mencari
Zahra seketika menoleh setelah mendengar pertanyaan Zyan. “Kenapa Bang Zyan tanya sama saya?” Pria yang sedang memegang kemudi itu mengernyit. “Aku harus tanya sama siapa kalau bukan sama kamu, Ra. Istriku ‘kan kamu. Aku pergi bulan madu sama kamu. Ya otomatis kalau membuat anak juga sama kamu? Memangnya sama siapa lagi?” “Mana tahu Bang Zyan ingin punya anak dari wanita lain,” timpal Zahra. “Astaghfirullah. Hilangkan pikiran seperti itu, Ra. Saat aku memutuskan menjalani pernikahan kita dengan semestinya, aku sudah tidak punya pikiran untuk bersama wanita lain. Kamu istriku, tentu saja kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anakku, bukan wanita lain,” tukas Zyan. “Aku sudah bilang tidak akan memaksa, karena itu aku minta persetujuanmu. Kalau kamu setuju, tentu saja aku akan sangat bahagia membuat cucu untuk orang tua kita,” sambung Zyan. “Kalau saya tidak setuju bagaimana?” Zahra sengaja memancing suaminya. “Jujur, aku pasti kecewa. Tapi aku menghormati keputusanmu. Kita nanti tin
Zyan terus tersenyum sejak mendengar keputusan istrinya. Bahkan pada para karyawan yang berpapasan dan menyapanya saat tiba di kantor. Membuat mereka agak heran dengan perubahan sikap sang pimpinan. Selama ini jangankan tersenyum, mengangguk saja, itu sudah respon bagus yang diberikan oleh Zyan pada mereka.CEO itu terkenal dingin dan tidak pernah tersenyum. Raut wajah datar dan tatapan yang tajam membuat siapa saja yang berpapasan dengannya merasa segan. Tidak disapa, tapi dia pimpinan. Begitu disapa, jarang ada tanggapan. Serba salah jadinya.Pucuk pimpinan tertinggi di perusahaan itu terus memegang tangan istrinya mulai saat keluar dari mobil sampai ke ruangannya. Zahra bahkan tidak dberi izin bekerja di mejanya yang ada di depan ruangan Zyan. Pria itu ingin Zahra bekerja di ruangannya. Sampai Faisal harus meminta tolong OB dan juga teknisi untuk memindahkan meja, komputer, dan telepon yang biasa Zahra gunakan, ke dalam ruangan sang pimpinan.Saat Zahra melayangkan protes, Zyan bil
Zyan tertawa mendengar ucapan istrinya. Menggoda Zahra jadi hobi barunya sekarang karena wajah itu jadi terlihat menggemaskan kalau sedang kesal. “Kok malah masuk angin sih, Ra. Kamu tahu tidak. kalau salah satu cara untuk mengatasi hipotermia itu dengan melakukan kontak kulit ke kulit atau skin to skin? Jadi tidak perlu pakai baju biar ga kedinginan,” ujarnya sambil memainkan kedua alisnya.“Astaghfirullah. Masuk angin dan hipotermia ‘kan beda, Bang.” Zahra melirik suaminya yang modusnya terlihat dengan jelas.Zyan kembali terkekeh-kekeh. “Anggap saja sama, Ra,” timpalnya.“Bang Zyan, packing sendiri saja deh.” Zahra meletakkan pakaian yang sudah dipilih ke dalam koper tanpa dilipat.“Loh kok jadi ngambek. Mau ke mana, Ra?” Zyan menahan lengan Zahra yang akan pergi.“Mau ambil sesuatu di ruang cuci,” sahut Zahra.“Aku ikut,” tukas Zyan.“Ngapain ikut? Ga usah. Bang Zyan di sini saja.” Zahra menolak keinginan suaminya.“Ga mau. Pokoknya mulai sekarang ke mana saja kamu pergi, aku ikut
Zahra membelalakkan mata begitu mendengar jawaban suaminya. Apa-apaan pria itu mengajukan syarat segala padahal tadi mereka sudah sepakat akan pergi ke rumah Umar setelah Magrib. “Bang, tadi ‘kan sudah janji mau ke rumah Ayah sebelum kita pergi besok. Kenapa sekarang kaya gini? Ngasih syarat segala,” protesnya.Zyan tersenyum menyeringai. “Di dunia itu ga ada yang gratis, Ra. Kalau ga mau ya kita ga jadi ke rumah ayahmu,” timpalnya.“Kalau Bang Zyan ga mau, ya sudah saya pergi sendiri sekarang. Besok saya juga tidak akan pergi bulan madu. Saya akan terus tinggal di rumah Ayah,” tegas Zahra.Wajah Zyan yang tadinya tengil seketika berubah panik. Pria itu tidak menduga Zahra akan melakukan serangan balik yang membuatnya langsung kelimpungan dan tak berdaya.“Ga bisa kaya gitu dong, Ra. Kita tetap harus pergi bulan madu. Kamu juga ga boleh tinggal di rumah Ayah. Harus tinggal di sini sama aku. Katanya mau buat cucu buat orang tua kita,” ujarnya.“Saya tidak mau hidup sama orang yang egoi
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama