Zyan seketika menoleh pada istrinya. "Apa yang kamu bicarakan, Ra. Sampai kapan pun hanya kamu yang jadi istri abang. Tidak ada wanita lain," ucapnya dengan tegas."Wanita jalang ini sudah memfitnah abang. Apa kamu lebih percaya sama dia daripada sama Abang?" Dia memandang istrinya dengan tatapan tak percaya."Aku percaya dengan apa yang aku lihat, Bang," sahut Zahra.Zyan mengacak rambutnya karena frustrasi. Bagaimana bisa istrinya tidak percaya padanya padahal selama ini dia selalu terbuka dan tidak pernah menutupi apa pun. "Pa, Ma, Saffa, kalian percaya 'kan sama aku?" Zyan mencoba mencari dukungan dari keluarganya."Kalau aku jadi Kak Zahra, aku juga tidak akan percaya begitu saja tanpa ada bukti yang kuat. Siapa pun bisa melihat noda lipstik di dada Kak Zyan, itu bukti nyata. Kalau omongan bisa saja direkayasa. Aku sendiri tidak tahu siapa di antara Kak Zyan atau susnya Zyel yang berbohong," celetuk Saffa.Zyan spontan melihat dadanya. Ya, dia melihat a
Saffa berdiri lantas menghampiri pengasuh Zyel. Tanpa diduga, gadis itu melayangkan tamparan pada pengasuh salah satu keponakannya. "Dasar wanita tidak tahu diri! Kamu bisa ngaca 'kan? Wanita seperti kamu ini tidak level sama kakakku!" hardiknya.Pengasuh Zyel itu memegang pipi yang ditampar oleh Saffa. Rasa panas pun menjalar di wajahnya. Dia memandang Saffa dengan tatapan nyalang. Tidak merasa takut sedikit pun."Manusia di hadapan Tuhan itu sama. Jangan hanya kalian lebih kaya terus merendahkan aku!" tukas pengasuh Zyel."Hah! Jangan sok bicara soal Tuhan! Apa perbuatanmu mau merebut suami orang itu dibenarkan Tuhan? Tidak 'kan?" sergah Saffa."Sudah, Saf. Jangan buang waktu dan energimu untuk dia. Lebih baik kamu temui Zahra dan beri tahu apa yang susnya Zayyan tadi katakan," titah Rania."Ya, Ma." Gadis berusia 25 tahun itu melayangkan tatapan tajam pada pengasuh Zyel sebelum beranjak menemui kakak iparnya."Sus, tolong segera beresi barang-barangnya. Aku tidak ingin melihatnya l
Zahra meneguk saliva melihat Zyan yang menatap tajam padanya. Dia tahu pria itu pasti sangat marah padanya karena sudah meragukan kepercayaannya.“Kenapa diam? Masih belum percaya sama abang?” Zyan kembali bertanya pada istrinya.Zahra menggeleng. “A—aku percaya sama Abang. Maaf karena sudah meragukan Abang.” Dia seketika berdiri lalu memeluk tubuh tegap pria yang sudah memberinya tiga anak itu.Zayn tetap bergeming, tangannya masih ada di sisi tubuhnya. Tidak balas memeluk istrinya. “Sudah abang katakan berulang kali kalau kita harus saling percaya. Selama ini abang selalu jujur sama kamu, tidak ada satu pun yang abang tutupi dari kamu, tapi ternyata itu semua tidak berarti,” ucapnya.“Abang kecewa sama kamu, Ra. Sebagai istri, harusnya kamu lebih percaya sama suami. Tapi kamu malah lebih percaya sama orang lain. Bahkan abang sudah menyebut nama Allah saja, kamu masih tidak percaya. Lantas apa artinya abang buat kamu?” imbuh pria bercambang tipis itu.“Tolong maafin aku, Bang. Aku te
“Bang, kita mau cari baby sitter lagi atau tidak?” tanya Zahra setelah satu bulan berlalu dari kejadian yang sempat membuatnya meragukan sang suami.“Menurutmu bagaimana?” Zyan malah balik bertanya tanpa menjawab istrinya.“Kalau bisa cari lagi, Bang. Kasihan susnya kalau mesti megang Zyel dan Zyra. Selama ini ‘kan susnya dibantu sama Embak di rumah kalau susnya Zayyan atau kita ga ada,” timpal Zahra.Zyan menghela napas panjang. “Abang sebenarnya trauma, Ra. Abang takut kejadian seperti itu terjadi lagi. Di luar, abang bisa menghindar, tapi di rumah sendiri malah kecolongan.” Pria itu mengungkapkan kegundahannya.“Saat kemarin merekrut baby sitter, kita sudah berusaha hati-hati. Tapi ternyata tetap ada celah untuk berbuat curang. Kalau di kantor, abang tinggal percayakan pada HRD untuk merekrut orang, tapi di rumah, kita harus menanganinya sendiri.” Dia mengembuskan napas kasar.“Kemarin itu kita sedang apes saja, Bang. HRD merekrut orang di kantor juga tidak semuanya bagus ‘kan kerj
“Ra, apa kamu tidak mau mengabulkan keinginan Zayyan yang ingin punya adik lagi?” Zyan memulai pillow talk mereka.“Itu hanya keinginan dia sesaat, Bang. Besok kalau Saffa balik ke Bandung juga lupa lagi.” Zahra tak berminat membahas itu lebih lanjut. Dia masih ingin melimpahkan kasih sayangnya pada ketiga anak mereka. Kalau ada satu anak lagi, pasti waktu dan kasih sayangnya terbagi lagi.“Kayanya kita dulu sudah sepakat kamu hamil lagi setelah si kembar usianya dua tahun.” Zyan mengingatkan istrinya.Zahra menoleh pada suaminya. “Harus banget ya jaraknya dua tahun, Bang? Tidak bisa tiga atau lima tahun gitu dari si kembar?”Zyan mengubah posisi tidurnya jadi menyamping agar bisa menghadap istrinya. “Bisa saja, Ra. Tapi bukankah semakin muda kamu hamil risikonya akan semakin kecil. Kamu punya anak saat masih muda jadi kamu masih kuat mengendong atau mengejar anak-anak yang berlarian ke sana-kemari. Coba kalau sudah tua, pasti tidak akan kuat,” ujarnya.“Tapi aku masih ingin fokus sam
Badan Zyan terasa lemas setelah mengeluarkan semua isi perutnya di kamar mandi. Sejak bangun tidur sampai pukul 7.00 pagi, sudah tiga kali pria itu memuntahkan apa yang dia makan dan minum.Zahra memapah tubuh besar suaminya ke tempat tidur setelah tadi menemanimya di kamar mandi. Zyan tidak bisa berjalan tegak tanpa ditumpu istrinya. Itu pun dia berjalan sambil memegang dinding, karena Zahra tak akan kuat kalau menumpu badannya sendiri.“Bang, aku panggil dokter ke sini atau kita ke rumah sakit?” tawar Zahra setelah membantu suaminya berbaring di tempat tidur.Zyan menggeleng. “Abang gapapa. Abang udah biasa kaya gini,” jawabnya dengan suara pelan.“Gapapa gimana? Abang itu dari pagi muntah terus loh. Abang juga lemas kaya gini. Lama-lama Abang bisa dehidrasi kalau muntah terus.” Zahra tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.Zyan tersenyum. “Daripada marah-marah begitu, lebih baik kamu tes hamil aja,” ucapnya lemah.“Hah! Apa hubungannya Abang muntah sama aku hamil?” Karena panik,
“Ini beli testpack, Ma,” jawab Zahra malu-malu karena ada papa mertuanya juga di sana.“Udah telat?” tanya Rania lagi.Zahra mengangguk. “Baru beberapa hari sih, Ma. Ini Abang yang maksa tes,” ungkapnya.Wanita paruh baya itu mengernyit. “Kenapa memangnya? Oya, Zyan ke mana?” Dia baru menyadari putra sulungnya tak ada di sana karena kehebohan ketiga cucunya saat makan.“Abang ngerasa kena couvade syndrome lagi, Ma. Sekarang tiduran di kamar karena bolak-balik ke kamar mandi sejak bangun tadi. Makanya terus nyuruh saya tes.” Zahra menjelaskan tidak secara gamblang agar ketiga anaknya tidak merasa khawatir.“Oh iya, mama baru ingat. Setiap kali kamu hamil ‘kan dia yang teler. Coba saja dites, siapa tahu kamu beneran hamil. Mama ‘kan jadi tambah cucu lagi.” Rania malah lebih antusias.“Iya, Ma. Nanti saya tes setelah anak-anak berangkat ke sekolah,” timpal Zahra.***“Benar ‘kan apa yang abang bilang kalau kamu hamil lagi,” lontar Zyan setelah Zahra menunjukkan hasil tes kehamilannya.“A
Ikhtiar yang dilakukan Zyan dan Zahra membuahkan hasil. Setelah malam harinya mereka berhubungan, paginya Zahra merasakan kontraksi. Semalam Zyan sangat antusias melakukannya karena mungkin itu terakhir kali sebelum istrinya melahirkan. Dia harus puasa terlebih dahulu sampai masa nifas Zahra selesai usai melahirkan anak keempatnya. Zyan memperlakukan istrinya dengan penuh kelembutan dan hati-hati seolah wanita yang sedang hamil besar itu porselen yang rentan pecah. Zyan selalu bertanya apakah Zahra nyaman bila dia melakukan sesuatu? Begitu istrinya mengiyakan, Zyan baru akan melanjutkan. Pasangan suami istri itu pun dengan kompak menggayuh surga dunia bersama."Papa sama Mama mau ke mana?" tanya Zayyan begitu melihat kedua orang tuanya berjalan ke luar dari kamar mereka dengan pakaian rapi."Papa mau antar Mama ke rumah sakit. Adek bayi sudah mau lahir," jawab Zyan sambil menuntun istrinya. Karena ini kehamilan ketiga Zahra, jadi mereka lebih tenang."Aku ikut, Pa. Aku mau lihat ade
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama