Ikhtiar yang dilakukan Zyan dan Zahra membuahkan hasil. Setelah malam harinya mereka berhubungan, paginya Zahra merasakan kontraksi. Semalam Zyan sangat antusias melakukannya karena mungkin itu terakhir kali sebelum istrinya melahirkan. Dia harus puasa terlebih dahulu sampai masa nifas Zahra selesai usai melahirkan anak keempatnya. Zyan memperlakukan istrinya dengan penuh kelembutan dan hati-hati seolah wanita yang sedang hamil besar itu porselen yang rentan pecah. Zyan selalu bertanya apakah Zahra nyaman bila dia melakukan sesuatu? Begitu istrinya mengiyakan, Zyan baru akan melanjutkan. Pasangan suami istri itu pun dengan kompak menggayuh surga dunia bersama."Papa sama Mama mau ke mana?" tanya Zayyan begitu melihat kedua orang tuanya berjalan ke luar dari kamar mereka dengan pakaian rapi."Papa mau antar Mama ke rumah sakit. Adek bayi sudah mau lahir," jawab Zyan sambil menuntun istrinya. Karena ini kehamilan ketiga Zahra, jadi mereka lebih tenang."Aku ikut, Pa. Aku mau lihat ade
Tempat tidur di kamar Zyan dan Zahra harus diperbesar kalau mereka mau tidur berenam. Dengan ketiga anak yang sudah besar apalagi tidurnya lasak, tidak mungkin mereka tidur di kasur yang sama. Selama ini kalau tidur bersama di kamar, mereka menggunakan tempat tidur tambahan. Zahra tidur bersama Zayyan dan Zyel dalam satu kasur, sementara Zyan dan Zyra di kasur lainnya. "Boleh tidur bareng, tapi tunggu sampai tempat tidur mama dan papa diperbesar ya. Kalau kita berenam tidak muat." Zyan akhirnya menimpali agar putra mereka tidak kecewa. "Kan biasanya juga pakai dua kasur, Pa," cetus Zayyan. "Iya, tapi 'kan kasurnya yang satu kecil. Kalau sama Adek bayi tidak muat, Kak." Zyan memberi pengertian putra sulungnya itu. "Adek bayi tidurnya kaya di sini aja, Pa. Pakai kotak gini." Zayyan menunjuk boks bayi di mana adiknya sekarang terbaring di sana. "Yang penting kita tidur sekamar berenam," tandasnya. Zyan melirik Zahra, meminta pendapat istrinya. Namun Zahra tak punya ide apa pun u
Seluruh anggota keluarga berkumpul saat akikah putri keempat Zyan dan Zahra. Saffa yang selama ini tinggal di Bandung pun datang dengan suami, mertua, dan anaknya yang baru berusia beberapa bulan. Amir juga datang dengan istri dan anaknya. Membuat kediaman keluarga Darmawangsa ramai dengan cucu-cucu mereka sendiri selain juga dari para undangan.Sama seperti sebelumnya, saat akikah Zyan pasti mengumumkan nama buah cintanya dengan Zahra. Anak keempatnya itu diberi nama Zeza Almira Darmawangsa. Masih perpaduan dari nama mereka berdua. Setiap kali ditanya kenapa begitu, Zyan selalu menjawab karena dibuatnya bersama, jadi harus ada nama mereka berdua.“Papa, aku mau gendong Adek,” pinta Zayyan saat Zyan menggendong putri bungsunya yang akan dipotong oleh para tetua.“Kak Zayyan, gendongnya nanti ya setelah acara selesai. Nanti Kakak ga kuat karena lama,” sahut Zyan.“Aku kuat, Pa. Aku ‘kan sudah makan dan minum susu.” Zayyan bersikeras ingin menggendong adiknya yang masih bayi.“Kak Zayya
“Apa Kak Zahra ga risi sama omongan orang?” lontar Saffa setelah mereka berhenti tertawa.Zahra mengernyit, menatap sang adik ipar. “Omongan yang mana?” Sejak jadi istri Zyan memang sudah risiko menjadi bahan omongan orang atau netizen.“Kak Zahra ‘kan sudah jadi istri pemilik perusahaan tapi masih tetap kerja. Padahal bisa ongkang-ongkang kaki saja di rumah, tidak perlu kerja, apalagi jadi sekretaris. Kalaupun mau kerja ‘kan bisa buka usaha atau apa gitu yang lebih mentereng,” ujar Saffa.Wanita yang mengenakan gamis dan hijab putih itu tertawa kecil. “Kamu ini bisa saja. Dapat omongan dari mana itu?” timpalnya dengan santai.“Ya, orang-oranglah, Kak. Apalagi yang tahu aku adiknya Kak Zyan pasti nanyain soal Kak Zahra,” terang ibu muda beranak satu itu.“Terus kamu jawab gimana?” kepo Zahra.“Ya, aku bilang saja kalau Kak Zyan yang minta Kak Zahra tetap jadi sekretaris meskipun sudah jadi istri. Kerja sama istri sendiri ‘kan lebih enak, dan bisa menghindari dari ancaman para pelakor,
“Papa mau ke mana kok bawa koper?” Zayyan bertanya setelah melihat Zyan menyeret koper ke luar dari kamar.“Mau ke Malang. Papa sama Mama kerja, bukan liburan,” jelas Zyan agar putra sulungnya tidak melayangkan protes.Zayyan mengernyit. “Mama ‘kan belum masuk kerja, kenapa ikut Papa?”“Mama ‘kan sekretaris Papa, Kak. Jadi harus mendampingi Papa kalau ke luar kota. Om Faisal soalnya sibuk di kantor,” terang Zyan.“Kenapa ga Mama saja yang di kantor terus Om Faisal yang temani Papa?” tukas Zayyan.“Tidak bisa seperti itu, Kak. Tugas Om Faisal sama Mama itu beda. Besok kamu akan mengerti kalau sudah besar,” ujar Zyan.“Berarti Adek juga ditinggal sama Mama? Kalau Adek mau minum susu gimana?” cecar lelaki berusia lima tahun itu.“Adek minum susunya pakai botol,” timpal Zyan.“Papa sama Mama perginya berapa hari?” Zayyan masih terus bertanya.“Insya Allah dua hari, paling lama tiga hari,” jawab sang CEO.“Lama,” protes Zayyan.“Gimana kalau weekend ini kita ke liburan ke pantai? Nginep du
“Bang, aku kelihatan gemuk banget ya?” Zahra bolak-balik melihat penampilannya di depan cermin. Wanita yang mengenakan baju kerjanya sewaktu hamil itu merasa kurang percaya diri dengan berat tubuhnya yang belum normal meskipun sudah turun beberapa kilogram sejak melahirkan. Zyan memperhatikan istrinya. “Enggak kok. Masih normal dan langsing untuk yang baru bulan lalu melahirkan. Abang sih lebih suka begini karena kamu jadi terlihat lebih seksi apalagi kalau pakai lingeri,” ucapnya seraya menaikturunkan kedua alis tebalnya. “Abang ngomong gitu cuma buat nyenengin aku ‘kan?” Zahra tak mau percaya begitu saja pada ucapan suaminya. Zyan mendekat pada istrinya lantas memeluk wanita itu dari belakang. “Abang ngomong apa adanya, Ra. Buat apa abang bohong? Di mata abang hanya kamu satu-satunya wanita yang tercantik dan terseksi,” tandasnya. “Jangan tidak percaya diri karena penampilan, Ra. Yang terpenting attitude, bagaimana kita membawa diri, dan apa yang kita bicarakan, berisi atau hanya
“Kalau Abang saja was-was, bagaimana denganku? Selama masa cuti, berapa kali aku melewatkan meeting atau acara seperti ini?” Zahra membalas ucapan suaminya.“Apa Abang ga lihat pandangan wanita-wanita itu sama Abang kaya gimana? Entah dari pengusaha wanita, pasangan, atau sekretaris, semua juga mengagumi Abang. Mereka sampai tidak berkedip loh kalau ada Abang. Apalagi kata orang-orang, Abang itu suamiable dan bapakable. Idaman para wanita untuk dijadikan suami,” tambah wanita berpenampilan serba hitam itu.Zyan menarik pinggang Zahra hingga tubuh keduanya saling menempel. “Tapi abang ga pernah lihat mereka, Ra. Abang hanya bisa melihat satu wanita, yaitu kamu. Wanita-wanita itu sama sekali tidak terlihat di mata abang,” timpalnya.“Gombal!” celetuk Zahra.“Perlu abang buktikan di sini kalau kamu satu-satunya wanita untuk abang?” tantang Zyan seraya menatap lekat istrinya.Zahra seketika menggeleng. “Jangan membuat kita jadi pusat perhatian orang, Bang,” tegasnya.“Biar kamu percaya sa
Zyan mengajak Zahra pulang terlebih dahulu saat waktu menunjukkan pukul 9.00 malam. Dia tidak mau berlama-lama di acara jamuan tersebut, yang terpenting sudah menampakkan diri dan bersosialisasi sebentar dengan para pengusaha dari Malang. Toh esok hari, dia masih ada agenda pertemuan dengan mereka. Malam ini ada hal yang menurutnya lebih penting untuk dilakukan daripada berbasa-basi dengan para usahawan itu.“Pak, bisa tolong lebih cepat,” pinta Zyan pada pengemudi taksi daring yang ditumpanginya dengan Zahra.“Bisa, Pak,” sahut pengemudi tersebut. Kebetulan jalanan juga tak begitu ramai, jadi dia bisa menambah kecepatan mobil yang dikendarainya.“Bang, kenapa buru-buru sih?” Zahra berbisik pada suaminya.“Pengen cepat sampai di hotel saja, Ra,” timpal Zyan dengan santai.Zahra memutar bola mata mendengar jawaban suaminya. Kadang pria yang usianya tujuh tahun lebih tua darinya itu bertingkah seperti anak-anak yang tak sabar mendapatkan apa yang mereka inginkan.“Terima kasih, Pak,” uc
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama