Di perusahaan Emily. Wanita itu sangat terkejut didatangi dua pengacara yang mengaku disuruh Bobby.“Kalau memang Kakek ada perlu denganku, kenapa beliau tidak memintaku datang saja ke perusahaan atau menemuinya di rumah?” tanya Emily keheranan.Dua pengacara itu memulas senyum, hingga salah satunya pun menjawab pertanyaan Emily.“Pak Bobby sedang ada rapat penting, karena ini mendesak, beliau meminta kami secara khusus untuk menemui Anda. Kami ke sini hanya ingin meminta persetujuan atas berkas yang sudah kami buat berdasarkan perintah Pak Bobby,” ujar pengacara.Emily bingung, hingga dia meminta berkas apa yang dimaksud untuk dibaca.Pengacara itu pun memberikan berkas yang dimaksud. Emily membaca secara hati-hati hingga sangat terkejut saat membaca poin inti dari berkas itu.“Sebentar, sepertinya ini ada kesalahan,” ucap Emily syok saat membaca ketentuan yang menyatakan jika Bobby meninggal maka sisa sahamnya akan didapat Emily.“Apa ini wasiat? Tapi kenapa aku?” tanya Emily benar
“Mulai sekarang, biarkan anak buahku selalu di dekatmu. Ini hanya untuk berjaga-jaga dari hal yang tak diinginkan karena sepertinya Gio mulai terang-terangan ingin mengibarkan bendera perang,” ujar Alaric saat makan siang berdua dengan Emily di ruang kerja istrinya itu. “Apalagi Kakek sudah mengambil langkah yang aku yakin akan membuat Gio murka,” imbuh Alaric lagi. Emily menggigit sendok yang baru saja masuk mulut, tampak berpikir kenapa keluarga Alaric serumit itu. Hanya karena harta warisan, saudara pun akhirnya jadi musuh. “Aku masih bertanya-tanya, kenapa keluargamu lebih mengutamakan harta daripada hubungan dengan saudara?” tanya Emily benar-benar tak habis pikir. Tentu saja hal itu mengganggu Emily. Tumbuh besar di keluarga kaya dengan status sosial yang tinggi, keluarga Emily tak ada yang seperti keluarga Alaric karena semua merasa cukup dengan apa yang dimiliki. “Karena pemikiran dan ego mereka yang menciptakan itu,” jawab Alaric. Emily menatap Alaric sambil menjilat se
Sudah seminggu sejak Bobby mengalihkan saham miliknya untuk Alaric. Tidak ada pergerakan sama sekali dari Gio, membuat Alaric bisa bernapas lega meski tetap waspada. “Al, aku mau keluar sama Claudia. Hanya makan siang sambil menemani Claudia membeli sesuatu. Bolehkan?” tanya Emily sambil menatap suaminya yang duduk di sofa sambil memangku laptop. “Pergi berdua?” tanya Alaric seolah memastikan. “Iyalah, Al. Memangnya mau sama siapa lagi. Tidak akan lama, aku janji,” balas Emily untuk membujuk suaminya agar diizinkan pergi. “Boleh, tapi biarkan Bara dan Fandy ikut untuk menjagamu,” ucap Alaric lantas mengetik pesan di ponsel untuk dikirimkan ke anak buah kepercayaannya. Sebenarnya Emily agak risih jika dikawal, tapi karena tahu suaminya sangat mencemaskan dirinya, membuat Emily tak memprotes apa yang dilakukan suaminya itu. “Sudah, mereka akan datang sepuluh menit lagi. Tunggu sampai mereka datang, lalu pergilah bersenang-senang,” ucap Alaric setelah mendapat balasan dari Bar
“Kamu ga ada kapok-kapoknya!” Emily geram karena Farrel mengganggunya lagi. Saat dia berusaha melepas tangan Farrel. Bara mendekat lantas menarik paksa Farrel agar menjauh dari Emily. Bara dan Fandy tidak langsung menghajar Farrel karena ada di tempat umum dan takut mengganggu pengunjung lain, sehingga mereka hanya menahan Farrel. “Emi, aku hanya mau bicara denganmu!” Farrel berusaha lepas dari cengkraman Bara. “Dia udah ga mau ada urusan denganmu, kenapa kamu maksa!” Claudia pun kesal karena Farrel tak tahu diri. Bara hendak menyeret Farrel, tapi pria itu terus saja memberontak. “Emi, aku minta maaf. Aku sudah salah menilaimu dan tak mengindahkan ucapanmu. Kumohon Emi, beri aku kesempatan kedua!” Farrel berusaha memberontak untuk bisa bicara dengan Emily. Emily menatap Farrel yang merasa bersalah kepadanya, tapi hal itu tak membuat Emily goyah atau luluh ke pria itu. “Nasi sudah jadi bubur, tidak ada kesempatan kedua. Lebih baik sekarang kamu pergi dari hidupku!” Setelah me
Alaric berlarian dari parkiran menuju IGD. Dia sangat takut dan cemas saat dihubungi Bara yang memberitahunya jika Emily ditusuk orang tak dikenal. Mia dan Bobby juga ikut, mereka tertinggal di belakang karena Alaric keluar dari mobil bahkan sebelum mobil terparkir sempurna. “Di mana istriku?” tanya Alaric saat bertemu Bara. “Masih mendapat penanganan dokter,” jawab Bara sedikit menunduk karena takut. Alaric masuk ke ruang perawatan begitu saja untuk melihat kondisi Emily, hingga dia melihat bibi istrinya yang memang berprofesi sebagai dokter sedang menangani istrinya. “Bagaimana kondisinya?” Alaric benar-benar panik melihat Emily sudah tak sadarkan diri. Sashi—bibi Emily langsung menoleh mendengar suara Alaric. “Tunggulah di luar, kami sedang mengobatinya,” ucap sang bibi bersikap tenang sebagai dokter yang sedang menangani pasien. Salah satu perawat meminta Alaric untuk keluar dari ruangan karena takut mengganggu proses pengobatan. “Dia baik-baik saja, kan?” tanya Alaric.
Suara keras benturan benda begitu nyaring di telinga. Kursi kayu yang tadinya utuh sekarang hancur setelah digunakan untuk menghantam tubuh pria yang terikat di kursi lain dan kini tersungkur di lantai. “Katakan, sebelum habis kesabaranku!” Alaric begitu murka karena Emily terluka. Dia menghajar habis-habisan pria yang berani menusuk istrinya itu. Bara dan Fandy hanya diam di sudut ruangan memandang Alaric mengamuk, sedangkan Billy hanya diam sambil melipat kedua tangan di dada, membiarkan sahabatnya itu meluapkan emosinya. Alaric semakin geram saat tak mendengar jawaban dari mulut pelaku itu. Dia mengambil bekas kursi yang baru saja digunakan menghantam hendak dipakai lagi untuk memukul. “Al, sudah! Kamu bisa membunuhnya!” Billy langsung menahan Alaric. Alaric menoleh ke Billy, lantas melempar kayu itu hingga jatuh tepat di hadapan wajah pelaku. Alaric menatap pelaku yang sudah bersimbah darah di kepala hingga wajah. Dia benar-benar geram karena pelaku itu masih saja diam. “K
“Iblis macam apa yang ada dalam dirimu?” Lena terkejut mendengar ucapan menyakitkan dari mertuanya itu. Dia mengepalkan erat telapak tangan di samping tubuh saat mendengar ucapan Bobby. “Sudah aku bilang, sekali saja kamu berbuat onar lagi maka aku yang akan mengakhirinya. Mulai sekarang, kamu bukan keluarga Byantara lagi. Aku takkan mengakuimu sebagai menantuku lagi!” Bobby bicara dengan sangat tegas setelah cukup lama memikirkan keputusannya itu. “Kelak saat aku mati, kamu takkan mendapat sepeser pun warisan dariku!” Bobby bicara dengan telapak tangan mengepal. “Tapi Gio tetap cucumu!” Lena meninggikan suaranya karena emosi. “Aku tidak pernah mengakuinya!” bentak Bobby karena Lena berani bicara dengan suara keras. “Dia darah daging putramu, bagaimana bisa Papa tak mau mengakuinya?” Lena mengepalkan telapak tangannya erat hingga kuku-kukunya memucat. “Tapi dia bukan anak dari putra keduaku! Dia anak hasil kelicikanmu!” Bobby merasa sakit menusuk dada saat mengingat hal itu. “
Alaric berjalan dengan cepat menuju IGD untuk menemui sang kakek. Saat sampai di sana, dia melihat Mia yang berdiri mematung memandang pintu ruang pemeriksaan. “Ma.” Alaric memanggil sambil berjalan menghampiri sang mama yang menoleh ke arahnya. Mia memandang putranya itu, hingga kemudian memeluk sambil menangis. Alaric sangat terkejut melihat sang mama menangis sampai seperti itu. Dia berpikir jika sang mama menangis karena mencemaskan kondisi Bobby. “Kakek pasti baik-baik saja, Mama jangan cemas,” ucap Alaric menenangkan. Mendengar ucapan Alaric membuat Mia semakin menangis sambil memeluk putranya itu. Alaric pun hanya bisa memeluk sambil mencoba menenangkan kondisi sang mama. Dokter yang baru saja memeriksa Bobby keluar ruangan dan mengatakan jika pria tua itu terkena serangan jantung dan harus mendapatkan penanganan intensif. Bobby dipindah ke ICU, Mia dan Alaric di depan ruangan itu karena Mia masih menangis. “Kenapa Kakek sampai terkena serangan jantung? Apa
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil