Lena sangat terkejut mendengar ucapan Mia, tapi dia berusaha tenang meski agak panik.
“Punya bukti apa kamu sampai menuduhku? Kamu pikir dengan hanya berkata kalau aku terlibat lalu benar aku terlibat? Munafik sekali.”Lena langsung mencibir ucapan Mia.Mia tentu saja tetap bersikap tenang mendengar ucapan Lena. Bukankah apa yang dikatakan Lena, sebenarnya bukti kepanikan dari wanita itu.“Bukti, aku memang tidak punya tapi insting seorang ibu takkan pernah salah. Dan satu lagi, mungkin kamu tidak tahu kalau ada saksi di malam kejadian itu.”Setelah mengatakan itu, Mia berdiri untuk pergi. Dia sengaja mengatakan itu untuk memancing reaksi Lena.Benar saja, Lena sangat terkejut saat mendengar Mia mengatakan soal saksi. Meski dia terlihat tenang, tapi gerakan tubuhnya memperlihatkan sebuah kegelisahan.“Coba saja cari bukti dan tunjukkan saksinya kalau kamu memang punya. Yang jelas, kamu takkan pernah mendapatkan bukti kalau aku pelakunya,” tantang Lena.Di salah satu restoran bintang lima. Mia sudah menyiapkan tempat khusus untuk merayakan ulang tahun Alaric. Mia sengaja memilih outdor agar memberi celah orang yang bersekongkol dengan Anya agar menunjukkan batang hidungnya.Pesta itu hanya dihadiri oleh keluarga ditambah Anya. Keluarga Emily juga ikut serta, tentu saja untuk melindungi Emily.Alaric sampai di restoran itu bersama Emily. Dia menoleh Emily yang menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar beberapa kali.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Alaric memastikan. Dia bahkan sampai menggenggam telapak tangan Emily.Emily menoleh ke Alaric, lalu menganggukkan kepala.Mereka turun dari mobil. Ansel dan Aruna sudah menunggu keduanya untuk masuk bersama.“Jangan jauh-jauh dari mami,” bisik Aruna karena mencemaskan Emily.Emily mengangguk kecil sambil tersenyum. Mereka tidak tahu apakah ada yang memantau atau tidak, sehingga mulai dari turun mobil sampai masuk, mereka harus berpura biasa saja.Saat sampai di tempat pesta. Emily melihat M
Billy dan yang lain berjaga di restoran itu, tapi tentu saja mereka tak berpakaian biasa atau memantau secara terang-terangan karena tak tahu apakah benar ada atau tidak yang memanfaatkan pesta itu untuk menyerang Emily dan Alaric. Bukan hanya Billy dan anak buahnya, bahkan Susi dan Ira juga ambil bagian dari rencana Alaric untuk membantu. Mereka disiapkan untuk jadi pelayan yang khusus membawakan makanan dan minuman Emily. “Bentar.” Susi meminta Ira untuk berhenti saat mereka baru mau masuk dapur untuk mengambil makanan yang siap disajikan. Ira bingung karena Susi menghentikan langkah, hingga melihat isyarat yang diberikan Susi. Mereka melihat pria berseragam restoran tampak memasukkan sesuatu ke makanan yang ada di piring. “Hm ... bener, ternyata memang ada yang jahat,” bisik Susi. “Tapi itu jatah makanan siapa?” tanya Ira. “Coba nanti kita dengar instruksi, kalau itu buat Emi, maka kita tinggal menukar dengan makanan lain yang sudah disiapkan dan aman,” jawab Susi. I
Semua orang berdiri mendengar ucapan Alaric, untung saja yang datang hanya anggota keluarga, sehingga tak harus melihat kepanikan banyak orang.“Kenapa wajahmu pucat? Apa benar kalau makanan ini ada racunnya?” tanya Alaric dengan tatapan mengintimidasi.Anya begitu panik sampai-sampai ketakutannya bisa terlihat jelas oleh semua orang.“Bagaimana aku tahu itu ada racunnya? Aku hanya tak suka kalau harus memakan sesuatu yang bukan jatahku,” elak Anya.“Benarkah?” Alaric tersenyum miring.Emily memandang Anya yang ketakutan, benar kalau pesta itu digunakan untuk mencelakainya. Dia berdiri merapat ke orang tuanya agar aman.“Kalau memang tak beracun, kenapa tidak kamu coba untuk memakannya?” tanya Alaric masih menyodorkan piring itu.“Benar Anya, kalau makanan itu baik-baik saja, kenapa kamu harus takut?” Mia ikut memprovokasi.Anya semakin panik, bahkan sampai mundur karena takut. Dia tak mungkin makan makanan yang sudah terkontaminasi racun.Semua orang menatap ke Anya, tentunya mereka
“Kalian pulang. Kalian baik-baik saja, kan?” tanya Vano saat melihat sang kakak dan orang tuanya pulang. Vano memang tidak diajak karena takut jika menjadi sasaran. Dia sekarang menatap cemas ke Emily yang berjalan bersama sang mami. “Kami baik-baik saja, kamu jangan cemas,” jawab Emily. Vano bernapas lega mendengar jawaban Emily. Dia mengangguk sopan ke Mia dan Bobby, bahkan dengan sigap mempersilakan semua orang masuk. “Di mana Kak Alaric?” tanya Vano karena tak melihat kakak iparnya itu. “Dia dan yang lain mengejar pelaku yang ingin mencelakai. Berdoa saja semoga pelakunya tertangkap agar bisa diadili,” jawab Aruna. Vano mengangguk mendengar ucapan sang mama, sedangkan Emily terlihat sangat cemas. “Kakak jangan cemas, Kak Alaric pasti baik-baik saja. Sekarang duduk dan minumlah dulu,” ucap Vano penuh perhatian. Emily mengangguk kemudian duduk bersama yang lain sambil menunggu kabar dari Alaric. ** Alaric dan Billy masih mengejar Anya. Mereka takkan menyerah sampai mendapat
Anya melihat siapa yang baru saja turun dari mobil. Dia terkejut karena Gio yang muncul di sana, sebelum akhirnya mobil Alaric dan Billy sampai.Alaric terkejut melihat Gio di sana, belum lagi mobil sepupunya itu rusak di bagian depan karena tadi menghantam mobil Robi.“Kamu harus mengganti mobilku yang rusak,” ucap Gio ke Alaric yang baru saja sampai.“Bukan aku yang minta kamu menabrak mereka, urus mobilmu sendiri,” balas Alaric dengan ekspresi wajah datar.Gio terkejut mendengar balasan Alaric, tapi bukankah sudah biasa kalau sepupunya itu bersikap dingin.Alaric berjalan menghampiri Robi yang terkapar tapi masih bisa bergerak, hingga langkah terhenti saat melihat Robi mengarahkan senjata api.“Lebih baik kamu menyerah, itu akan lebih mudah karena aku bisa meminta keringanan untukmu jika kamu mau bersaksi,” ucap Alaric bernegosiasi karena dirinya harus mendapat saksi untuk menuntaskan kasus itu.Robi tersenyum miring mendengar ucapan Alaric. Meski darah melumuri wajah dan tubuh, ba
Gio terkejut mendengar ucapan Alaric, hingga tersenyum getir karena merasa ucapan sang kakak sepupu hanya untuk menghiburnya. “Tidak usah menghiburku karena aku terluka. Kalian pasti senang aku pergi, bahkan mungkin berharap agar aku tak pernah kembali,” ucap Gio sambil memegang lukanya yang terasa nyeri. “Pikiranmu selalu didominasi dengan hal buruk. Padahal andai kamu seperti saat usiamu 5 tahun, semua akan lebih mudah karena hanya bermain yang dipikirkan bukan persaingan,” balas Alaric tanpa menoleh Gio. Gio terkejut mendengar Alaric membahas soal masa kecil mereka. Mungkin benar apa yang dikatakan Alaric, saat usia itu mereka masih memikirkan bermain bersama, tapi setelah Gio umur 7 tahun, Lena menjauhkannya dari Alaric. Gio mendapatkan penanganan di rumah sakit, hanya mendapat satu jahitan karena goresan peluru yang lumayan dalam, beruntung peluru tak bersarang di lengannya. Setelah selesai diobati, Alaric mengajak Gio ke rumah sang mertua. “Kenapa kamu mengajakku ke sini?”
“Ke mana saja kamu selama ini?” tanya Bobby saat duduk berdua dengan Gio.“Pergi ke tempat yang bisa membuatku tenang. Lagi pula, di sini pun tak ada yang mengharapkanku,” jawab Gio.Bobby menghela napas mendengar jawaban Gio. Setelah kepergian Gio, Bobby memang baru menyadari jika tak pernah adil ke Gio sehingga sifat dan perilaku cucunya itu berubah.“Meski kamu tidak mewarisi darah keluarga Byantara, tapi bagaimanapun kamu tumbuh dan besar di keluarga ini. Jika kamu ingin, tetaplah tinggal di sini,” ujar Bobby.Gio malah tersenyum getir mendengar ucapan Bobby, kemudian membalas, “Apa aku masih diharapkan? Apa yang dilakukan Mama sudah keterlaluan, apa aku masih bisa tinggal dengan menyandang nama yang malah membuatku menunduk.”“Asal kamu diam soal siapa ayah kandungmu sebenarnya, semua orang akan tetap menganggapmu cucu keluarga Byantara, juga kakek yakin setiap orang bisa berubah, termasuk kamu. Kamu hanya korban doktrin mamamu saja.” Bobby kembali menjelaskan.Gio menarik napas
“Kamu sangat yakin membawa Gio ke sini. Apa dia benar-benar sudah berubah?” tanya Emily yang ternyata belum seratus persen percaya.Alaric baru saja mengganti pakaian saat mendengar pertanyaan Emily. Dia tahu bagaimana kecemasan sang istri, sehingga tak mempermasalahkan jika Emily masih curiga.“Soal sudah benar-benar berubah atau belum, aku juga tak percaya begitu saja,” balas Alaric, “tapi, cara dia membantuku bahkan tak memedulikan nyawanya, sudah cukup membuktikan jika dia bukan Gio yang dulu.”Emily mengerutkan alis mendengar ucapan suaminya, hingga kembali mendengar Alaric bicara.“Jika Gio salah posisi sedikit saja, mungkin bukan lengannya yang terkena tembakan, tapi dada atau bagian tubuh lainnya. Aku mungkin pernah membencinya, tapi tak pernah melupakan juga kalau kami dulu pernah bermain bersama,” ujar Alaric.Emily diam mendengar ucapan Alaric.“Kakek masih mengharapkannya kemb