:-0
Aku langsung menoleh sembari tangan tetap memegang erat gagang koper. 'Kali ini, apa maunya?' Batinku. Pak Akhtara berdiri dengan begitu gagah dan angkuh di depan pintu rumah sembari bersedekap. Masih dengan memakai kemeja kerjanya. Beliau juga menatapku tajam tanpa ampun meski jelas di matanya bagaimana ekspresi hancur yang tergambar jelas di wajahku. Bagaimana air mataku terus meleleh membasahi pipi. Bukti dari kesedihan yang tidak main-main akibat perselingkuhannya dengan sepupu sekaligus rivalku, Merissa. Jika sudah berselingkuh dengan Merissa, lantas apa yang beliau mau dari rumah tangga kami?Memangnya, apa alasan beliau menahanku keluar dari rumah ini jika sudah ada kebahagiaan di luar sana yang membuat senyumnya selalu merekah?Padahal jelas terekam di otak bagaimana Pak Akhtara memperlakukan Merissa dengan lembut ketika aku menariknya paksa turun dari mobil beliau. "Mbak Mini! Rosita! Bawa Jihan masuk!" Perintah Pak Akhtara tegas. Mbak Mini dan Rosita yang berdiri seteng
Bukannya menjawab ucapanku, Pak Akhtara justru tersenyum penuh makna. Lalu melepas jam tangan dan kacamata kemudian meletakkannya di atas meja.“Membiarkanmu pergi dari rumah ini kayaknya … nggak mungkin, Han.”Kedua alisku berkerut mendengar penuturannya.Lalu beliau mulai melepas ikat pinggangnya.“Nanti saya nggak ada hiburan.”Hiburan?Apa beliau pikir aku ini barang mainan yang bisa dipergunakan seenaknya kala dibutuhkan?“Saya bukan mainan, Pak Akhtara! Dan saya nggak ada kewajiban menghibur Pak Akhtara!” Tegasku.Beliau tersenyum lalu melepaskan kancing kemejanya satu demi satu di hadapanku.“Ingat, Jihan. Kamu masih sah jadi istri saya. Sekalipun saya berselingkuh tapi kalau saya belum menjatuhkan talak ke kamu, itu artinya kamu masih sah jadi istri saya.”Pak Akhtara kemudian melepas kemeja dan melemparkannya ke sofa. Terlihat jelas dada bidangnya yang belakangan ini kerap kugunakan untuk bersandar saat beliau memelukku.“Dan tugasmu masih sama kayak hari-hari biasanya. Melaya
Pagi ini setelah melaksanakan ibadah subuh, mendadak tubuhku terasa tidak sehat. Demam mulai menyerang lalu aku meringkuk di atas kasur lantai tipis yang Mbak Mini belikan. Lalu menarik selimut tipis untuk meredam rasa tidak nyaman di sekujur tubuh.Biasanya, usai melaksanakan ibadah subuh, aku bergegas mengerjakan tugas rumah. Tapi tidak dengan kali ini.Badanku tidak sehat dan hatiku … hancur.Bayangan tidak mengenakkan tentang pertengkaranku dan Pak Akhtara semalam, dan berakhir dengan beliau meminta haknya dengan sebuah ancaman, terus menari-nari di dalam otakku.Mana mungkin aku mengorbankan bisnis kecil Papa dan Mama setelah mereka merintisnya dengan susah payah dua tahun ini.Ah … sudahlah. Menangisi apa yang terjadi hanya membuat otakku tidak bisa berpikir dengan benar.Jika Pak Akhtara tetap ingin menjalin hubungan dengan Merissa, tapi tetap ingin menjadi suamiku, ya sudahlah.Sebagai istri, aku tetap akan mendapatkan pahala. Dan Pak Akhtara yang akan memikul dosanya sendiri d
Mendengar cerita cinta antara Pak Akhtara dan Merissa?Heh??Apa aku tidak salah dengar?Apa Pak Akhtara masih waras dengan menjelaskan terang-terangan perselingkuhannya di depanku, istrinya?“Saya masih waras untuk milih nggak mau tahu apa-apa soal perselingkuhan Bapak.”“Biar kamu nggak salah paham. Biar penasaranmu soal hubungan saya sama Merissa terjawab.”Peribahasa berkata ini seperti memakan buah simalakama. Jika aku memakannya mungkin bisa mati, tapi jika tidak dimakan aku bisa kelaparan.“Saya masih punya hati, Pak. Dan cinta saya ke Bapak bukan isapan jempol semata. Mana ada istri bakal tetap baik-baik aja setelah cintanya untuk suami dibalas pengkhianatan?”Beliau tersenyum geli setengah meremehkan mendengar ucapan cinta dariku.“Biar kamu tahu rasanya kayak apa, Han. Karena saya pernah ada di posisimu. Kamu mengkhianati saya dengan berkencan sama Hadza, bawahan saya. Padahal saya udah benar-benar jatuh cinta dan rela berkorban banyak hal buat kamu."“Kalau saling balas dend
"Kalau kamu nurut, tunduk, dan bisa menjalankan tugas sebagai istri yang baik, saya akan lepasin Merissa dan kembali meratukan kamu seperti sedia kala. Itu janji saya."Tangisku langsung menguar mendengar janji Pak Akhtara. Bahkan aku terisak tepat dihadapannya yang menatapku tanpa seulas senyum sama sekali. Ucapan beliau itu, bukan tidak membuatku bahagia untuk kembali diratukan, namun bayanganku berkelana ...Akan ada berapa banyak lagi luka yang akan kuterima untuk mendapatkan hatinya yang juga sebagian telah dimiliki Merissa?Akan ada berapa banyak tantangan yang harus kujalani untuk kembali meraih kepercayaannya yang hampir tak bersisa?Mampukah aku bersaing dengan Merissa?Mampukah aku bersaing dengannya yang juga berjasa menarik Pak Akhtara dari lembah kelam yang dulu kusediakan untuk beliau?Bisakah aku?Mampukah aku?Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Akhtara dan hanya tangisku yang mewakili. Kemudian beliau menarikku dalam pelukannya dan merapatkan selimut untuk membungkus tu
"Ponsel siapa, Mbak?" Tanya Rosita.Kepalaku menggeleng seraya menatap ponsel yang bagian belakangnya terdapat logo apel tidak utuh. Ponsel yang bila kutaksir harganya tidaklah murah. "Wiiih, ponsel idaman itu, Mbak! Umpetin aja!" Seru Rosita. Aku menatap Rosita sambil menaikkan kedua alis."Ya Tuhan, Rosita. Nggak baik itu."Lalu Mbak Mini menoel lengan Rosita."Kamu ini setan deh, Ros! Jangan ngajari Mbak Jihan jadi orang jelek!""Habisnya bagus banget, Mbak Min."Kemudian aku meletakkan ponsel itu di meja. "Kita tunggu sampai ada yang menghubungi. Kalau nggak ada nanti aku serahin ke pihak keamanan mall."Sembari menunggu ponsel itu dihubungi pemiliknya, aku mengajak Mbak Mini dan Rosita memilih menu apa yang akan dipesan. "Mbak Jihan, filingku bilang kalau itu ponselnya orang kaya deh. Mana ada orang kaleng-kaleng punya ponsel semahal entu," ucap Rosita dengan memegang buku menu. Kepalaku menggeleng sekilas, "Udah, nggak usah dibahas, Ros. Mending pilih menu mau makan apa.""S
Mbak Mini dan Rosita sengaja duduk di pojok restaurant. Sedang aku duduk berhadapan dengan Merissa.Dengan dagu terangkat seraya mengibaskan rambut panjangnya yang tertata rapi, Merissa menatapku lekat.“Gue heran sama takdir. Kenapa selalu ada lo dalam bagian perjalanan hidup gue, Han?”Aku masih menatapnya intens tanpa membuka suara. Karena aku ingin tahu apa yang dia ingin katakan tentang cinta segita diantara kami.Sudah sejauh apa dia memahami apa yang terjadi?“Waktu SMA, satu sekolah sama lo. Waktu kuliah, satu kampus sama lo. Waktu punya gebetan pun ternyata gebetan gue juga ada hubungan sama lo!”Dan kalimat yang terakhir, dia mengucapkannya dengan tegas dan jelas.“Apa nggak bisa lo nyingkir dari kehidupan gue, heh?! Nggak ngerecokin hidup gue gitu? Bosen gue kalau lo lagi lo lagi!”Memangnya aku tidak jauh lebih muak melihatnya?“Awalnya gue syok waktu Mas Tara jelasin semuanya! Kalau lo itu ternyata bininya!” ucapnya dengan wajah kesal.“Lo tiba-tiba datang lalu bikin masal
Perutku tidak merasa lapar padahal terakhir melahap sesuatu itu saat siang tadi. Rupanya stres memikirkan Pak Akhtara dan Merissa juga bisa membuatku 'kenyang'.Kenyang dengan masalah!Ketika jarum jam sudah bertengger di angka sembilan malam, aku memutuskan untuk menenggelamkan diri di bawah selimut. Jika biasanya aku akan memakai gaun malam yang menggoda untuk menyambut kedatangan Pak Akhtara setelah dikepung dengan penatnya pekerjaan, tapi tidak dengan kali ini.Aku sedih dan .... terluka.Dan terlelap bersama mimpi adalah hal yang kuinginkan. Bukan menghabiskan waktu di atas ranjang dengan Pak Akhtara. Baru saja aku selesai merapal doa sebelum tidur, terdengar suara deru mobil Pak Akhtara memasuki garasi. Tanpa mempedulikan kedatangan beliau, aku memilih pura-pura terlelap saja.Bukan bermaksud durhaka pada suami, namun istri mana yang bisa menyembunyikan luka hatinya di depan suami sehabis berseteru dengan selingkuhan suami?Brak!Ehm ... akan ada drama apa lagi ini?Mengapa pint