:-0
"Aku curiga, kalau orang yang ngerusak standmu itu adalah orang dari masa lalumu, Han. Belakangan ini kan kamu sibuk banget ngurusi masa lalumu. Aku pikir, dia pasti nggak terima sama sikapmu atau apapun itu. Lalu balas dendam pakai cara jelek!"Iya, benar juga. Bisa jadi Pak Akhtara tidak terima dengan pengkhianatan yang kulakukan lalu menyewa orang untuk menghancurkan bisnis kuliner yang kudapat dari memeras hartanya. Itu logis sekali! Sebenarnya aku sudah memikirkan kemungkinan ini tapi berkali-kali menafikkannya karena merasa tidak mungkin Pak Akhtara berbuat sekotor ini. Tapi, jika seseorang sudah gelap mata bukankah yang awalnya baik bisa berubah garang?Memangnya pria mana yang bisa berbesar hati melihat mantan istri bahagia setelah mengeruk hartanya lalu pergi ke pelukan lelaki lain?Itu realistis sekali."Coba kamu ingat-ingat lagi, apa kesalahan fatal yang kamu lakuin sampai dibalas kayak gini sama dia. Aku berani bertaruh, Han. Ini ulah orang dari masa lalumu! Kalau bukan
Mama mengusap air mata yang menetes di pipinya. Sedang Papa menenangkan dengan kata-kata yang memberi semangat. Dan aku hanya bisa menunduk dengan wajah sedih namun hati senang. Penyamaran dan permainanku sukses membuat Pak Akhtara mendapat predikat baru dari kedua orang tuaku. Berandalan!Salah sendiri! Beliau main jelek dengan menghancurkan standku!Meski aku belum mendapatkan buktinya, tapi ini jelas ulah Pak Akhtara! Siapa lagi memangnya musuhku kalau bukan beliau!?"Aku nggak nyangka kalau Akhtara sejahat itu sama Jihan, Pa! Kenapa dia temperamen kayak gitu? Main kasar sampai mukuli anak kita," ucap Mama dengn tersedu-sedu. Kemudian Papa memandangku. "Han, apa yang bikin Akhtara jadi temperamental kayak gini? Setahu Papa, dia tuh laki-laki yang baik, pengertian, dan lembut sama kamu.""Pak Akhtara .... kayaknya punya perempuan lain di Purwakarta, Pa.""Apa?!" Papa terkejut. "Kenapa Akhtara sampai ke Purwakarta?""Pak Akhtara ngurus bisnis keluarganya di sana. Akhirnya kami se
Di lantai dua stand, aku dan Mas Hadza duduk bersisian sambil memegang secangkir cappucino dingin. Kedua mata kami menatap keluar jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan malam di sekitar stand. "Mas, aku ... udah bilang ke orang tuaku."Kepalanya lantas menoleh padaku."Bilang apa?"Dengan tersenyum malu-malu aku berkata ..."Soal mempercepat lamaranmu ke aku."Mas Hadza tersenyum lebar hingga menampilkan gigi putih rapi dan secuil lesung pipitnya yang begitu menawan. "Gimana jawaban orang tuamu?""Papa bilang ... lamarannya nggak apa-apa dilakukan di bulan ini. Tapi akad nikahnya tetap nunggu bulan baik itu."Sebenarnya bukan alasan mencari bulan baik, melainkan menunggu habis masa iddahku. Bagaimanapun, Papa dan Mama tidak akan mengizinkan aku melanggar masa iddah.Baiklah ... dari pada aku makin berdosa usai mengkhianati Pak Akhtara, lebih baik patuh pada orang tua. "Benarkah? Boleh tunangan bulan ini?" Tanya Mas Hadza penuh binar bahagia. Kepalaku mengangguk dan sejurus
"Kamu kerja dimana?"Mas Hadza kemudian mendongak dan menatap wajah Papa. "Eh ... saya supervisor gudang. Satu kantor dengan Jihan, Pak.""Kalau satu kantor, apa boleh menikah dan tetap kerja disana?"Lalu Mas Hadza kembali menatapku."Eh ... nanti kami akan bicarakan hal ini. Karena sepertinya ... Jihan harus merelakan karirnya. Biar saya yang tetap bekerja di sana."Kepala Papa mengangguk paham lalu kembali berucap ..."Tugas laki-laki itu ... kerja dan mencukupi kebutuhan keluarga. Termasuk membimbing istri dan anak. Jadi, tugasmu nanti ... selain bekerja juga membimbing Jihan ke arah yang benar. Karena .... "Papa kemudian menatapku."Anakku ini banyak banget kekurangannya, Za. Kalau di kemudian hari ... kamu mendapati kekurangannya atau sifat buruknya, tolong kamu maklumi. Karena dengan kamu berani datang kemari, itu berarti kamu sudah siap untuk meminta Jihan menjadi istrimu.""Kalau kamu nggak bisa mendidiknya, kembalikan padaku dengan cara baik-baik. Jangan sakiti dia."Aku sa
Surat pengunduran diriku sudah siap. Surat yang kuketik sendiri dengan penuh kesungguhan hati. Meski ada secuil kegalauan saat membuatnya.Masa iddahku juga akan berakhir hari ini. Akhirnyaaaa ....."Han?" Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Mas Hadza sudah datang. Hari ini kami sepakat bertemu di depan ruangan HRD kantor untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Karena rencananya kami akan akan menikah tiga minggu lagi. Kantor pun memiliki aturan dengan tidak mengizinkan karyawannya tetap bekerja di sini jika akan menikah. Harus ada salah satu yang mengundurkan diri jika masih ingin bekerja disini.Dan akhirnya sesuai kesepakatan, aku yang mengundurkan diri dari kantor dan Mas Hadza yang tetap bekerja di sini. Karena tidak mungkin Mas Hadza yang mengatur bisnis sedang aku yang bekerja di kantor. "Siap?"Aku mengangguk ragu dengan mendekap map berisi surat pengunduran diri. "Siap nggak siap, harus siap, Mas. Meski ... di kantor ini banyak banget kenangannya. Awal mula
"Jihan .... batalin rencana pernikahanmu sama Hadza."Kedua bola mataku melebar mendengar ucapan Papa. Tubuhku mendadak panas dingin sejadi-jadinya bahkan aku seperti lupa bagaimana cara bernafas.Apa yang Papa bicarakan dengan Pak Akhtara hingga menyuruhku membatalkan rencana pernikahan dengan Mas Hadza?Apa Pak Akhtara mengungkap semuanya hingga habis tak bersisa?"Jihan .... anak kesayangan Papa satu-satunya .... " Suara Papa terdengar makin lirih dan seperti menahan tangis."Papa minta maaf kalau Papa belum bisa jadi orang tua yang baik. Papa payah, Han."Kemudian terdengar isak lirih Papa.Astaga ... benarkah Papa telah mengetahui masa laluku yang pernah bekerja menjadi pacara sewaan banyak lelaki lalu berakhir menjadi istri kontrak Pak Akhtara?"Papa nggak nyangkan, Han. Nggak nyangka! Kalau kamu ... kamu ... " Papa tidak melanjutkan ucapannya dan hanya terdengar isak tangis yang membuatku ikut tersayat."Hentikan semua ini, Jihan. Hentikan, Nak! Demi Tuhan, Papa malu sama Akhtar
"Han? Kenapa telfonku nggak kamu angkat?""Maaf, Mas. Kemarin ... aku kurang enak badan. Jadi ... semalam aku tidur mulu."Esok harinya aku baru mengangkat telfon dari Mas Hadza. Suaraku sudah tidak sengau namun kelopak mataku masih bengkak. Bahkan aku malu untuk datang ke stand dengan kondisi seperti ini. "Sakit apa, Han? Kok kamu diam aja?""Cuma ... panas dingin biasa aja kok, Mas."Bukan sakit, melainkan aku tidak mungkin menerima panggilan dari Mas Hadza dengan suara sengau. Apalagi waktu video call nanti dia bisa melihat wajah sembab dan mata bengkakku. Pasti dia bertanya-tanya tentang kondisiku. "Beneran?""Iya.""Nggak mau ke rumah sakit?""Cuma panas dingin biasa, Mas. Mungkin karena pergantian cuaca."Iya ... cuaca hati maksudnya. Keinginan bulat Papa untuk membatalkan pernikahanku dengan Mas Hadza bagaikan tornado di tengah hujan yang dipenuhi kilatan halilintar. Aku tetap ingin menikah dengannya namun kini terhalang oleh restu Papa selaku wali nikahku. Dan mana mungkin
Tidak enak makan. Tidak enak tidur. Bahkan tidak enak melakukan apapun. Itu semua karena Papa dengan jelas dan terang-terangan telah menolak memberi restunya padaku untuk menikah dengan Mas Hadza. Bahkan beliau memintaku untuk meminta maaf dan mengembalikan stand ini pada Pak Akhtara yang susah payah kudapatkan. Akhirnya aku memasrahkan kedua stand pada salah satu karyawan yang bisa kupercaya. Karena hati dan pikiranku tidak bisa diajak bekerja. [Pesan untuk Papa : Pa, aku mencintai Mas Hadza dan udah berjuang sebesar ini. Kenapa Papa tega mau bikin impianku hancur?] [Pesan untukku : Jihan, itu bukan cinta. Itu ambisi, Nak. Papa minta maaf nggak bisa kasih kamu restu. Ayo kembali ke jalan yang benar, Han. Jangan diterusin.] [Pesan untuk Papa : Apa Papa tega lihat persiapan pernikahanku batal?] Selanjutnya, Papa tidak membalas pesanku pun tidak mengangkat telfonku sama sekali. Beliau benar-benar tidak akan memberikan restunya padaku. Bahkan ketika aku mengirim pesan tentang wa
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr