enjoy reading ... :-)
"Apa maksudnya Mas Hadza bilang kayak tadi?" Tanyaku setelah mengambil ponselnya. Aku tidak mau dipesankan taksi lebih dulu sebelum Mas Hadza mengatakan maksudnya tadi. Ucapan yang membuatku berpikir jika ia memiliki rasa cinta padaku. Benarkah? Mas Hadza menunduk sejenak lalu menatapku. "Perasaan lain yang dimiliki seorang laki-laki untuk perempuan yang diam-diam mencuri hatinya." Aku membalas tatapannya dengan mata membola. Tidak salah lagi jika perasaan Mas Hadza padaku adalah sebuah cinta. Dia mengakuinya dengan bahasa yang lebih implisit. Namun tidak mengurangi maksud asli dari ucapannya itu. "Mas Hadza .... suka sama aku?" Tebakku. Kepalanya mengangguk pelan dengan mata kami saling beradu. Tidak ada keraguan ketika dia mengatakan cintanya padaku. Tulus dan apa adanya. "Tapi ... kalau kamu udah punya laki-laki lain, aku cuma bisa mendoakan yang terbaik aja, Han." Seketika aku langsung teringat akan Pak Akhtara. Iya, beliau ada di antara aku dan Mas Hadza. Karena
Aku sengaja membawa pakaian ganti karena setelah bekerja nanti, aku akan menonton film bersama Mas Hadza di salah bioskop mall. Karena tas kerja terlalu kecil, aku memutuskan untuk memasukkan pakaian ganti itu ke dalam paper bag saja. Lalu aku menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. "Masak iya aku masak nasi goreng lagi?" Persediaan makanan masih sangat banyak di kulkas. Hanya saja aku tidak bisa menyiapkan masakan yang terlalu rumit. Akhirnya aku membuat spaghetti dan saus bolognais yang sudah ada di kulkas. Saus yang dibuat sendiri oleh Bik Wati dan tinggal diambil sebagian lalu dipanaskan. "Semoga Pak Akhtara suka." Setelah menyiapkan dua porsi spaghetti lezat itu, aku membersihkan dapur sendirian. Lalu tidak berapa lama, Pak Akhtara datang. Masih dengan baju rumahan yang melekat di tubuhnya. "Aku bantu ngepel rumah, Han." "Iya, Pak." Kemudian aku mengambil sapu dan Pak Akhtara siap dengan alat pel lantai. Kami bekerja bersama agar tugas rumah cepat selesai seperti hari
Untuk sementara waktu, tanganku hanya berpegangan pada baju kerja yang dikenakan Mas Hadza dengan menahan senyum sedari tadi. Sungguh sederhana cintaku padanya dan cintanya padaku. Ternyata, jika sudah jatuh cinta itu, meski naik motor matic saja sudah terasa bahagia asal bersama si dia. "Lho, Mas, kita mau kemana?" "Ke rumahku bentar ya, Han? Aku mau ganti baju sama mandi." Aku makin bahagia saja ketika diajak Mas Hadza mampir ke rumahnya untuk pertama kali. Lalu ingatan tentang ucapan Ibunya yang kemarin berkata jika Mas Hadza tidak pernah membawa pulang seorang perempuan, membuatku merasa makin tersanjung. Bahwa akulah perempuan pertama yang dibawa pulang ke rumahnya. Dan semoga menjadi yang terakhir. Di sebuah kawasan rumah padat penduduk, kami tiba di rumah Mas Hadza. Satu-satunya rumah yang memiliki halaman di kawasan ini. Bangunannya terlihat sudah lama namun karena sudah di cat ulang, membuatnya tetap menarik. Ada sebuah pohon mangga besar dan jambu air yang rindang. L
"Mas, aku ... aku bingung harus jawab apa." Sungguh aku bingung harus menjawab apa. Haruskah menerima cinta Mas Hadza secepat ini sedang aku sendiri masih terjebak dalam ikatan pernikahan dengan Pak Akhtara. Masalahnya aku juga harus memikirkan nasib kedua orang tuaku kalau Pak Akhtara meminta uang yang sudah diberikan padaku karena berkhianat. Banyak hal yang harus kupikirkan sebelum memilih 'menjadi egois'. Mas Hadza tersenyum sambil mengayunkan tanganku perlahan yang berada dalam genggaman. "Aku nggak maksa kamu harus jawab sekarang, Han. Cewek pasti butuh mikir. Yang penting, kamu udah tahu gimana perasaanku ke kamu. Harapanku, kamu nggak menjauh setelah tahu gimana aku dan keluargaku." "Karena aku ini cuma lelaki biasa. Bukan laki-laki kaya yang bisa ngajak kamu pergi keliling luar negeri. Apalagi kamu pernah nyicipi enaknya hidup jadi anak orang kaya." "Aku cuma punya kesungguhan, ketulusan, dan kesetiaan." Siapa yang tidak meleleh ketika lelaki idamannya berkata sed
Aku tidak memiliki cara selain ... "Kayaknya aku harus pulang aja. Dari pada Pak Akhtara makin marah." Kemudian aku bergegas kembali ke bioskop dengan langkah lebar sambil memikirkan ide apa untuk membuat Mas Hadza percaya dengan kebohongan yang kukarang lalu dia bersedia kuajak pulang. Baru saja aku melangkah ke dalam bioskop, penerangan kemudian dimatikan. Lalu terdengar suara dari ruang kontrol yang memberitahu pada para pengujung untuk mematikan handphone atau tidak membuat suara berisik yang mengganggu pengunjung lainnya. Begitu aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan Mas Hadza, musik pembuka film terdengar sangat keras sekali. Lalu Mas Hadza menyodorkan pop corn dan aku menerimanya. "Toiletnya antri ya, Han? Kok lama banget." Aku mengerjapkan mata gugup di tengah gelapnya bioskop. Hanya berbekal penerangan dari cahaya layar bioskop yang mulai menampilkan pembukaan film. Dan semoga saja Mas Hadza tidak melihat ada yang tidak beres dengan ekspresiku. "Eh ... iya,
Pak Akhtara itu jika marah, tidak perlu menggunakan suara tinggi atau menggunakan kekerasan fisik. Cukup menggunakan aura tajamnya yang tidak bersahabat lalu menatap lawannya tanpa ampun. Seperti saat ini contohnya. Karena aku tidak kunjung menjawab, akhirnya beliau berdiri dari duduk dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana rumahan yang dikenakan. Berjalan pelan ke arahku dengan dagu terangkat dan mata dipenuhi kilat amarah yang tertahan. Setelah tepat berdiri di depanku, beliau kembali membuka suara. "Jawab, Jihan! Jangan sampai saya mengulangi pertanyaan!" Setelah menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengumpulkan keberanian, kemudian aku membuka suara. "Saya habis keluar sama teman, Pak. Bukan sama pelanggan yang minta saya temani seperti yang Bapak tuduhkan." Bagaimanapun, aku harus melindungi Mas Hadza. Jangan sampai Pak Akhtara mencurigai perasaannya padaku. "Kalau emang mau keluar, kenapa kamu nggak bilang sama saya?!" Tanya dengan nada tenang tapi menak
Menyapu. Mengepel. Memasak. Mencuci. Menyetrika. Semua pekerjaan rumah itu kulakukan sendiri. Dari pagi bahkan lewat siang hari, pekerjaan itu seakan tidak ada habisnya. Apalagi sikap Pak Akhtara hari ini berubah ... kejam. Ya, aku menyebutnya kejam karena beliau memperlakukan aku layaknya robot rumah tangga. Melakukan pekerjaan rumah tangga tiada habisnya. Selesai memasak sarapan, beliau menyuruhku membersihkan kamar mandinya. Benar-benar seperti babu dan aku merasa cukup menyesal dengan mengambil alih tugas asisten rumah tangganya. "Bodoh banget sih gue? Mau-maunya ngambil tugasnya Bik Wati sama Rani. Harusnya kalau gue merasa bersalah sama Pak Akhtara tuh bisa ambil penebusan yang lain. Eror dah otak gue kemarin." Aku menggumam kesal sambil menyikat lantai kamar mandi Pak Akhtara. "Gue kayak bini sesungguhnya Pak Akhtara aja. Segala sesuatunya gue yang siapin dan layanin. Padahal ini tuh waktunya gue ngobrol sama Mas Hadza. Biar nambah semangat. Gue malah mbabu!" Tida
Setelah aku pingsan beberapa hari yang lalu, Pak Akhtara memutuskan untuk mempekerjakan asisten rumah tangga hanya untuk beberapa bulan saja sampai Bik Wati dan Rani kembali ke rumah ini. Mungkin beliau takut aku kembali kelelahan sehingga pekerjaan rumah tangga bisa terbengkalai. Sedang aku tetap menjalankan janji dengan membantu asisten rumah tangga yang baru itu. Afifah namanya. Seperti menata pakaian yang usai disetrika, mengelap perabotan rumah agar bebas debu, dan sebagainya. Intinya kami bekerja sama untuk membuat rumah Pak Akhtara selalu bersih dan nyaman. Tapi ada yang berbeda dengan sikap beliau ketika mempekerjakan Afifah. Beliau tidak mengizinkan asisten rumah tangga itu untuk membersihkan ruang kerja dan kamarnya. Kenapa ya? Ketika aku akan ke kamar Pak Akhtara untuk menata pakaiannya yang sehabis disetrika Afifah, beliau nampak mengelap sendiri lampu nakas dekat kasurnya itu. Bukankah jika menyuruh Afifah akan lebih cekatan? "Permisi, Pak," ucapku setelah mengetuk
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr