Azka tak meneruskan ucapannya. Hmm ... paling-paling dia sengaja agar aku penasaran dan mau berbicara dengannya. Namun, Ayesha tidak sebodoh itu. Aku memilih melanjutkan langkah kaki.
"Sha! Sebenarnya hingga detik ini aku masih sayang kamu!" tutur Azka lantang.Astaghfirullah, dasar pria gila. Apa dia tidak sadar posisi dia sekarang siapa? Sungguh, aku tak mau terkena masalah karena ulah Azka. Jangan sampai aku dituduh pelakor. Huh!Sha, aku tau, dalam hati terdalam, kamu juga masih mencintai aku, kan? Jujur, Sha!"Azka semakin menjadi-jadi. Padahal seharusnya dia bisa menahan diri. Apalagi saat ini kami berada di luar rumah. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat? Belum lagi jika Kak Dinda muncul. Pria ini harus aku beri pelajaran!"Kamu kalo ngomong mikir, nggak? Apa pantas kamu menanyakan hal seperti itu sama aku? Sadar, sekarang kamu siapa. Masa lalu adalah masa lalu, nggak akan mungkin aku ulang dan kenang! Paham kamu?!" Aku puas sekali setelah mengatakan hal itu. Aku yakin, Azka pasti kesal dan tahu diri sekarang.Aku melanjutkan langkah kaki yang tadi sempat terhenti gara-gara meladeni Azka. Semoga ada angkot ataupun ojek yang melintas. Harusnya tadi aku memesan ojek online, tapi gara-gara kesal sekali pada Kak Dinda, aku jadi tidak berpikir ke sana.Azka tak mengekori aku lagi. Baguslah kalau sekarang dia mengerti. Dia pikir, aku mau menerima dia kembali? Huh! Sorry!Setelah kami putus, tidak ada komunikasi terjalin di antara kami. Seharusnya sekarang dia tidak perlu mengingat masa lalu bersamaku, kan? Bukankah sebenarnya dia sudah lupa pada diri ini. Terbukti dia menikahi wanita lain daripada mencari keberadaanku. Kenapa sekarang membahas perasaannya setelah kami bertemu lagi? Konyol!"Ayesha!" Azka berteriak sambil memeluk tubuh ini erat sekali.Astaghfirullah! Pria ini benar-benar sudah tidak waras. Bisa-bisanya dia berbuat hal seperti ini padaku."Lepasin aku!" Aku mendorong keras tubuh Azka. Seketika pelukannya terlepas dan dia sedikit menjauh dariku. Syukurlah, saat ini kondisi jalan sedang sepi. Semoga tidak ada yang melihat kami.Lantaran emosi dengan perlakuan Azka, gerakan tangan ini tak dapat aku kontrol lagi. Sebuah tamparan keras melayang tepat di wajah Azka.Azka terlihat kesakitan. Namun, aku merasa itu belum seberapa untuk memberinya pelajaran. Dia pikir, aku murahan? Seenaknya main peluk seperti wanita jalanan."Ayesha! Kamu ...!"Detik berikutnya aku kaget dengan suara itu. Ternyata Kak Dinda melihatku menampar Azka. Ah, bagaimana ini? Apa dia melihat Azka memelukku juga? Bagaimana menjelaskan padanya?"Sayang, kok kamu ada di sini? Bukannya tadi kamu bilang mau masak nasi?" Azka memecah ketegangan di antara kami. Akan tetapi, wajah Kak Dinda semakin memerah."Jelasin ke aku, kenapa kalian bisa berduaan di sini? Dan kenapa tadi, kamu nampar suamiku?"Oh, Allah, hal ini yang paling aku takutkan. Harus dari mana aku menjelaskan? Masa iya, aku jujur jika aku dan Azka pernah ada hubungan. Tak mungkin juga aku ceritakan jika Azka tadi merayuku. Kak Dinda pasti akan hancur. Bagaimanapun aku tidak tega jika harus membuat hati dia terluka karena Azka. Namun, alasan apa yang tepat, Tuhan?"Sayang ... kamu salah paham. Biar aku aja yang menjelaskan. Jadi gini–""Kamu diam! Biar Ayesha saja yang menjelaskan." Kak Dinda memotong ucapan Azka dengan cepat. Emosi wanita itu sudah menjalar ke mana-mana sepertinya.Aku tertunduk. Entah kenapa aku mati kutu. Padahal, ini bukan salahku. Hanya tak ingin membuat hati Kak Dinda terluka, eh malah aku yang seperti terdakwa."Kenapa kamu diam, Ayesha? Suamiku ngapain kamu sampe kamu harus nampar dia? Dia kurang ajar atau apa? Jawab Ayesha! Jangan diam aja!""Kak, aku minta maaf sebelumnya sama kamu. Tadi itu a-aku–""Ayesha tadi refleks karena mengira aku penjambret, Sayang. Padahal, aku tadi nyusul dia karena mau nitip buah sama dia. Eh, dia kaget gara-gara aku nepuk pundak dia." Azka mengarang cerita sedemikian rupa. Sementara aku hanya diam dan berharap Kak Dinda percaya.Kak Dinda masih menatapku tajam. Sepertinya dia ragu untuk mempercayai ucapan Azka. Namun, akhirnya wajah dia sedikit santai. Ah, semoga dia tidak memperpanjang lagi.Azka masih terlihat tegang. Dia pasti sangat ketakutan dan merasa bersalah karena semua yang terjadi karena kelakuannya. Jika saja dia tidak terus-terusan mengganggu aku, mungkin saat ini tidak perlu berbohong pada istrinya."Lain kali kalo punya tenaga laki, lihat kondisi," kata Kak Dinda padaku. Kemudian dia berbalik arah menuju pelataran rumah diikuti Azka yang sepertinya masih ketakutan.Aku menghela napas lega. Bersyukur, Kak Dinda tidak ada menanyakan kenapa Azka memeluk diri ini. Itu artinya dia tak melihat kejadian itu tadi. Sebenarnya dalam hati, aku masih ragu apakah Kak Dinda benar-benar percaya. Aku memang kesal padanya dan ingin mempertanyakan uang Ibu yang dia pakai. Namun, tidak tepat jika aku campur adukkan dengan masalah yang barusan terjadi.***Gemintang di atas cakrawala sangat apik menghias semesta. Berkelap-kelip memancarkan keindahan yang tidak semua memilikinya. Aku memandanginya sembari memikirkan semua hal yang terlewati beberapa hari ini. Drama yang luar biasa dan jika suatu saat sandiwara itu terbongkar, sudah pasti Kak Dinda akan hancur sekali.Mataku enggan untuk terlelap, padahal malam sudah semakin larut. Ibu sudah tidur sehabis salat Isya, dan beliau tidak tahu jika anak gadisnya ini begadang. Entahlah, rasanya sulit sekali mengajak diri menyelami alam mimpi. Mungkin, karena beban pikiran yang aku pendam menari-nari dalam ingatan.Dering telepon milikku membuat kaget. Sebaris nomor tanpa nama terpampang di layar berukuran lima inci itu. Siapa, ya kira-kira? Jangan-jangan itu Azka. Jika benar, nekad sekali dia.Aku memutuskan tak mengangkat telepon dari penelepon misterius itu. Jika orang itu ada kepentingan biar dia mengirim pesan saja. Takutnya, itu memang Azka yang berniat mengganggu. Sudah cukup semua drama yang aku mainkan di depan Kak Dinda. Aku lelah bersandiwara.Saat ini Azka dan Kak Dinda tidak berada di rumah. Mereka menginap di rumah orang tua Azka. Makanya aku berani duduk di depan rumah. Jika ada Azka, biasanya aku lebih banyak mengurung diri di kamar.Kejadian tempo hari alhamdulilah tidak panjang. Ibu juga tidak ada mempersoalkan. Namun, aku selalu waswas, takut suatu saat Azka bisa saja berbuat lebih nekad. Sebaiknya aku harus segera mempertanyakan uang Ibu pada Kak Dinda. Kemudian kembali ke Surabaya.Jujur, aku sedih meninggalkan Ibu di sini. Apalagi, sekarang Kak Dinda sudah menikah. Beliau tidak ada yang menemani jika putri sulungnya itu menginap di rumah mertuanya. Namun, aku bisa apa jika Ibu kekeh tak mau tinggal denganku."Nduk ... kenapa malam-malam masih duduk di luar? Ibu pikir, kamu sudah tidur. Rupanya di sini." Ibu menghampiri aku. Sepertinya beliau terbangun karena haus. Karena aku lihat di tangannya ada segelas air putih.Aku tersenyum pada Ibu. Kemudian berdiri menghampirinya. "Ayesha belum ngantuk, Bu. Tadi Ayesha minum kopi, jadinya malah gak bisa tidur." Aku memberi alasan."Ibu, kan selalu pesen, kamu jangan suka minum kopi. Nanti kamu punya penyakit asam lambung seperti almarhum bapakmu." Ibu terlihat khawatir. Dulu, almarhum Bapak meninggal karena penyakit asam lambung kronis yang dideritanya. Karena itulah, Ibu sangat takut hal itu terjadi juga pada anak-anaknya."Cuma sesekali, Bu. Yuk, masuk, Ibu harus lanjut istirahat biar sehat. Ayesha juga udah mulai ngantuk, ni." Aku mengajak Ibu masuk sambil menutup pintu dan menguncinya.Ibu menurut, beliau memintaku mengantarnya ke kamar. Namun, baru saja sampai di ambang pintu kamar, Ibu tiba-tiba bertanya."Nduk, tadi ada nomor asing menghubungi kamu, ndak?"Aku menatap Ibu penuh keheranan. Kok, Ibu bisa tahu ada nomor asing yang meneleponku? Bukannya tadi beliau tidur dan tak mungkin Ibu bisa melihat layar handphone tanpa kacamata. Lagipula, Ibu tidak ada melihat handphone milikku barusan. Aneh."Memangnya kenapa, Bu?" tanyaku penuh selidik."Kalo ada angkat aja, ibu lupa ngasi tau kamu kalo ibu mau ngenalin kamu sama anaknya temen ibu. Ibu yang ngasi nomor kamu ke dia," jawab Ibu sambil merebahkan dirinya ke ranjang.Aku terdiam. Berpikir, apa itu artinya Ibu mau menjodohkan aku? Usiaku memang sudah matang untuk menikah. Dua puluh enam tahun adalah usia ideal untuk wanita berumah tangga. Namun, jujur, aku belum siap. Bukan karena Azka, tapi banyak mimpi yang harus diperjuangkan. Termasuk harga diri yang sempat diinjak-injak."Kamu mau, kan, Nduk? Dia anak baik dan terpelajar. Dia juga rajin ibadah. Insya Allah, ibu tenang jika kamu menikah sama dia."Ucapan Ibu memang terdengar biasa. Namun, mampu menggetarkan sisi hatiku hingga mata ini berkaca-kaca. Entah kenapa, tiba-tiba aku sangat takut Ibu tinggalkan. Oh, Allah, panjangkan umur ibuku.Saat pikiran ini dipenuhi rasa takut kehilangan, handphoneku kembali berdering membuyarkan pikiran. Sebaris nomor tanpa nama yang tadi menghubungi, kini terpampang di layar handphone. Haruskah aku mengangkat telepon itu?"Siapa, Nduk? Kenapa ndak diangkat?""Nggak ada namanya, Bu. Paling orang iseng.""Ayo angkat, siapa tau itu dari anaknya temen ibu."Ibu bersemangat sekali membuat aku tak tega jika tak menurutinya. Akhirnya, telepon itu aku letakkan di telinga kiri setelah sebelumnya menekan ikon hijau."Halo ...."Bersambung ...."Halo ...." Aku kembali menyapa seseorang di seberang sana. Namun, dia tetap tak bersuara.Aneh. Menghubungi, tapi ketika direspon hanya diam. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan itu adalah Azka?"Siapa, Nduk?" Ibu sepertinya penasaran sekali. Beliau sampai kembali duduk setelah sebelumnya berbaring."Nggak tau, Bu. Nggak ada suaranya. Udahlah, biarin aja. Ntar kalo memang ada perlu, pasti nelpon lagi," kataku sambil membantu Ibu merebahkan diri di ranjang."Nduk, kamu juga istirahat, ya. Jangan terlalu memikirkan kakakmu. Ibu yakin, dia pasti akan mengembalikan uang tabungan ibu secepatnya," tutur Ibu ketika aku menyelimutinya.Aku hanya mengangguk pelan meskipun hati ini tidak keruan. Ibu sangat menyayangi Kak Dinda, sudah pasti beliau hanya berpikiran positif pada anak tertuanya itu. Namun, aku yakin jika di hati terdalam Ibu menyimpan kepedihan mendalam.***"Pulang belanja, Sha? Biasanya Dinda yang ke pasar, sekarang kamu, ya?" Bude Welas, tetanggaku bertanya demikian saat aku mel
Mata Kak Dinda melotot ke arah Azka yang tadi membentaknya. Sementara aku, sibuk mengatur detak jantung yang tak karuan dan menahan rasa panas yang menjalari seluruh pipi.Rasanya lutut ini pun ikut bergetar. Sungguh, ini sangat menakutkan karena aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus diberikan agar Kak Dinda percaya."Kamu belain dia, Mas?" tanya Kak Dinda pada Azka."Sayang ... kamu tenang, ya. Kamu salah paham." Azka berusaha menenangkan Kak Dinda. Sepertinya dia sangat menyesal karena membentak istrinya itu."Tenang kamu bilang? Kalian berdua membuat aku curiga tau, nggak!?"Ya, Allah, apa itu artinya Kak Dinda sudah tahu hubungan Azka denganku di masa lalu? Apa sejak tadi dia sudah melihat kami beradu kata?"Dinda, Ayesha, kenapa dengan kalian? Kenapa ribut sekali? Apa kalian ndak malu kalo ada tetangga yang dengar?" Ibu muncul dari balik kamarnya. Sepertinya beliau tadi ketiduran dan baru terbangun gara-gara keributan yang kami ciptakan."Bu, Ayesha ini lancang sekali! Dia ma
Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini."Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut."Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu."Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu."Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat.
"Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba."Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu."Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati
Azka semakin mendekat. Aroma tubuh pria itu bahkan sudah sangat jelas di indera penciuman ini. Ya, Allah, bagaimana ini? Aku takut pria ini nekad mengakui sesuatu hal yang bisa membuat semuanya usai.Entah mengapa, aku mendadak kaku. Seperti pasrah jika pada akhirnya Azka menghancurkan semua rahasia yang sudah aku sembunyikan meski dalam kegamangan."Sebenarnya kamu itu kenapa, Mas?!" Kak Dinda sepertinya sangat penasaran "Sebenarnya aku dan—""Ah, sudahlah! Nggak penting aku mendengar ucapan Mas Azka. Yang penting, di sini aku tegaskan jika aku tidak ada hati sama Mas Azka dan masalah ucapan Mas Azka tadi siang mungkin karena sedang mabuk makanya bicaranya ngelantur." Aku langsung berlalu pergi usai mengatakan hal tadi. Tak peduli pada teriakan Kak Dinda yang sepertinya masih mau melanjutkan perdebatan.Azka benar-benar sudah gila. Aku yakin sekali jika tadi dia mau mengakui masa lalu kami di hadapan Ibu dan Kak Dinda. Perlu dikasi pelajaran pria itu!***"Ini uang tabungan ibu yang
"Berhenti, Azka!" Aku berteriak sambil memukul-mukul punggung Azka.Azka tak berubah pikiran. Pria berkemeja biru itu terus saja fokus menyetir tanpa memedulikan aku yang berteriak di belakangnya. Sial! Azka ternyata memang berniat buruk padaku.Air mataku sudah tak terbendung lagi. Saat ini perasaanku kacau balau tak menentu. Penyesalan akan keputusan menumpang motor Azka semakin membuat dada ini sesak."Berhenti, Azka! Tolong!" Lagi, aku memohon pada Azka agar pria itu berbaik hati menghentikan laju sepeda motornya.Azka seperti orang yang sudah hilang belas kasih. Tanpa iba sedikit pun pada seseorang yang dulu pernah menjadi kekasih. Dia sama sekali tak menggubris. Malah sesekali tawanya membahana membuatku semakin bergidik.Pikiran buruk terus menari-nari dalam benakku. Aku takut, Azka berbuat nekad yang hanya akan membuat keluarga kami hancur. Namun, aku juga terus berdoa. Berharap Azka tidak menuruti hawa nafsunya."Tolong sadar, Azka! Ingat Kak Dinda! Dia sayang banget sama kam
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Azka, mengingatkan aku pada masa lalu bersamanya. Memori di kepala ini seperti diputar kembali. Bagaimana dulu dia memperlakukan aku dan sikap orang tuanya yang jika teringat masih menyisakan perih.Bu Santi sekali pun tak pernah bersikap manis padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku hanya menjadi bahan hinaan saja. Apalagi, dulu aku adalah gadis yang tidak bisa dandan dan pakaian yang menempel di badan selalu itu-itu saja.Dua tahun aku dan Azka menjalin cinta. Namun, tak sekali pun Azka berani membelaku di hadapan ibunya. Hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad ini untuk mengakhiri hubungan dengan pria itu. Terlebih, saat itu Bu Santi juga mengancam jika aku tak meninggalkan Azka, dia akan membuat keluarga kami menderita.Masalah hidupku yang pelik tak pernah sekali pun diketahui Ibu. Meski, terkadang wajah ini tak bisa menipu wanita yang melahirkanku itu. Ya, seringkali Ibu bertanya ada masalah apa. Namun, diri ini lebih memilih mengatakan
Pria yang menyapaku tampak menarik turunkan alisnya sembari menatap diri ini lekat menanti jawaban. Namun, aku masih bengong dan heran kenapa manusia itu bisa di hadapanku sekarang. Bukankah dia ...?"Kok, bengong? Bukannya kamu itu nggak butuh aku, ya?" Dengan nada mengejek pria itu bertanya.Azka tersenyum tipis padaku. Ya, dia yang menyapa setelah aku pikir dia meninggalkan aku di sini sendiri."Kamu jahat, Azka! Kamu pikir ini lucu?""Jangan galak-galak. Mau aku tinggal beneran?""Resek!" Aku mengalihkan pandangan darinya."Kamu ternyata masih penakut, ya. Aku pikir setelah jadi wanita karir, kamu jadi pemberani." Lagi-lagi Azka mengejekku."Azka, udah, ya. Aku males bicara. Aku mohon, bawa aku pulang. Aku capek dan lapar.""Kamu sepertinya kepedean, ya. Siapa yang mau jemput kamu? Motor aku tu, bocor. Makanya terpaksa aku balik ke sini lagi.""Nggak usah bercanda, deh. Nggak lucu!" Aku kembali waswas setelah mendengar ucapan Azka."Emangnya wajahku terlihat sedang bercanda? Pulan
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok