"Halo ...." Aku kembali menyapa seseorang di seberang sana. Namun, dia tetap tak bersuara.
Aneh. Menghubungi, tapi ketika direspon hanya diam. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan itu adalah Azka?"Siapa, Nduk?" Ibu sepertinya penasaran sekali. Beliau sampai kembali duduk setelah sebelumnya berbaring."Nggak tau, Bu. Nggak ada suaranya. Udahlah, biarin aja. Ntar kalo memang ada perlu, pasti nelpon lagi," kataku sambil membantu Ibu merebahkan diri di ranjang."Nduk, kamu juga istirahat, ya. Jangan terlalu memikirkan kakakmu. Ibu yakin, dia pasti akan mengembalikan uang tabungan ibu secepatnya," tutur Ibu ketika aku menyelimutinya.Aku hanya mengangguk pelan meskipun hati ini tidak keruan. Ibu sangat menyayangi Kak Dinda, sudah pasti beliau hanya berpikiran positif pada anak tertuanya itu. Namun, aku yakin jika di hati terdalam Ibu menyimpan kepedihan mendalam.***"Pulang belanja, Sha? Biasanya Dinda yang ke pasar, sekarang kamu, ya?" Bude Welas, tetanggaku bertanya demikian saat aku melintas di depan rumahnya."Iya, Bude. Kak Dinda lagi nggak ada, jadi aku yang belanja," jawabku apa adanya."Oh, biasa itu. Kalo udah nikah, ya pasti ikut suami. Ayo nyusul, Sha. Kamu, kan udah pantes berumah tangga. Jangan kebanyakan milih, nanti malah susah dapet jodoh, lho."Aku bergeming menanggapi ucapan Bude Welas. Dia kenapa perhatian sekali, ya padaku? Peduli sekali dengan hidup seorang Ayesha Bestari. Padahal, aku dan Ibu tidak pernah ikut campur urusan dia."Heh, kok bengong? Saya itu ngajak kamu bicara, lho." Bude Welas kesal karena aku hanya diam."Maaf, Bude. Saya buru-buru, lupa kalo ibu sendirian. Assalamualaikum."Aku bergegas pergi. Entah kenapa, aku merasa sial bertemu Bude Welas. Sejak dulu aku memang risih jika ada tetangga yang nyinyir. Aku tahu sudah layak menikah, tapi kenapa mesti terburu-buru dan semua orang mencemaskanku? Memangnya salah jika aku belum menikah? Bukankah jodoh akan datang jika sudah waktunya?***"Azka ... wajahmu kenapa? Kok, memar?" Ibu bertanya dengan nada cemas.Azka dan Kak Dinda baru saja pulang. Mereka berdua Ibu sambut dengan hangat di depan pintu. Sementara aku, hanya duduk di ruang tamu. Tidak perlu juga aku ramah pada mereka. Toh, hanya akan membuat Azka besar kepala."Ini gara-gara ditampar Ayesha waktu itu, Bu. Sampe sekarang memarnya gak ilang." Kak Dinda menjawab dengan nada emosi.Seketika aku menoleh ke arah Azka dan Kak Dinda. "Masa, sih cuma ditampar wajah Mas Azka masih memar sampai sekarang? Keknya dia aja yang berlebihan," kataku asal bicara.Kak Dinda langsung menatapku tajam. "Kamu buta? Lihat wajah suamiku! Bukannya minta maaf malah songong!""Kalo aku lihat, emangnya drama kalian usai?" Aku sengaja membuat Kak Dinda semakin marah. Hahaha ... jiwa jahatku timbul."Maksudmu apa?!""Sudah-sudah. Gak baik ribut-ribut." Ibu sepertinya tak mau ada pertikaian di antara putrinya. Orang yang melahirkanku itu langsung menengahi perdebatan sengit yang terjadi.Aku mencoba bersikap tenang dan memilih tak melanjutkan perdebatan. Semua demi Ibu. Jika menuruti hati, sudah aku gelontorkan kata-kata racun agar Kak Dinda sadar diri.Tanpa sengaja, tatapanku bertemu dengan Azka. Sebenarnya bukan tanpa sengaja. Ya, jujur, hati kecil ini mencemaskan dia. Entahlah, mungkin aku memang payah. Bagaimanapun dia seperti itu karena aku. Meskipun sepenuhnya bukan salahku.Azka menatapku tanpa kedip. Dapat aku baca, cinta untukku masih begitu besar tergambar di matanya. Namun, saat ini keadaannya berbeda dan sakit hati karenanya tidak mungkin bisa terlupa begitu saja.Aku tidak boleh jatuh cinta lagi pada Azka. Dia hanya masa lalu yang pernah merayu, tapi lupa caranya menjaga. Kini, aku tak boleh tertipu seperti dulu. Terlebih kini, dia adalah suami kakakku."Sha! Kamu jangan lepas tangan, dong! Ini, kan karena perbuatan kamu." Kak Dinda kembali berkata."Dinda, tahan emosi kamu. Adikmu, kan ndak sengaja. Ndak mungkin dia mau nampar Azka." Ibu kembali mencoba menengahi. Namun, Kak Dinda yang keras kepala tak mau mendengarkan. Dia masih bermasam muka. "Ayesha, ayo minta maaf sama Azka dan kakakmu," perintah Ibu dan langsung membuatku merasa jika Ibu lebih menjaga hati Kak Dinda daripada aku."Aku minta maaf," kataku dengan ketus. Sungguh, aku terpaksa melakukannya. "Kalo Mas Azka mau, gimana kalo dibawa ke dokter?""Terlambat! Kami sudah ke dokter," jawab Kak Dinda."Lha terus aku mesti gimana? Kan, Mas Azka udah ke dokter. Nanti kalo udah minum obat, bentar lagi juga sembuh.""Iya, anak kecil juga tau. Masalahnya biaya ke dokter itu nggak murah. Kamu pikir bisa minta obat kalo nggak bayar?"Aku mencoba mencerna ucapan Kak Dinda barusan. Apa mungkin dia memintaku mengganti rugi uang yang dia pakai untuk biaya berobat Azka ke dokter? Keterlaluan!"Sayang, udah, ya. Kenapa bicara begitu sama adikmu? Aku nggak apa-apa, kok." Azka sepertinya malu dengan ucapan Kak Dinda."Tapi dia nggak bisa lepas tangan gitu aja. Pokoknya dia harus ganti rugi!""Oh, jadi gitu. Berapa biayanya? Aku transfer sekarang, ya. Sekalian untuk tabungan Ibu ke Mekah. Oh, iya, besok Kakak harus nemenin aku dan Ibu daftar haji. Aku rasa, uang tabungan Ibu udah lebih dari cukup untuk daftar haji. Kasihan Ibu kalo harus nunggu lama lagi."Wajah Kak Dinda seketika berubah. Hmm ... dia pasti tak menyangka aku akan membahas tabungan Ibu."Kenapa mesti dicampur aduk dengan tabungan Ibu? Itu uang Mas Azka. Kamu kalo nggak mau ganti gak usah bikin ribet!" Kak Dinda terlihat sekali tidak suka aku membahas masalah tabungan Ibu."Oh, ribet, ya? Kalo gitu, sini buku tabungan Ibu. Biar Kakak gak ribet lagi mengatur dan menghitung tabungan Ibu.""Maksudmu apa?! Kamu itu maunya apa?! Mau ganti rugi nggak?!""Ayesha, Dinda, sudahlah. Kenapa kalian ribut sekali? Ibu pusing mendengarnya. Kalau kalian begini terus, lebih baik ibu tak perlu pergi haji. Percuma kalau anak-anak ibu tidak akur." Ibu berujar dengan sedih, membuatku jadi berpikir dua kali untuk melanjutkan perdebatan. Kasihan pada Ibu pastinya."Hah, bikin kesel aja!" Kak Dinda melenggang pergi. Sedangkan aku memilih mengusap-usap bahu Ibu yang saat ini sedang bersedih. Keterlaluan Kak Dinda!***Mas, aku ke warung bentar, ya. Aku lupa beli sabun mandi. Si Ayesha mana mau dia beli. Perhitungan banget dia." Kak Dinda sepertinya sengaja membuatku kesal kembali. Kini, aku sedang menyapu lantai, sedangkan Azka tengah bermain ponsel di teras depan."Kak, udah, dong. Jangan kek anak kecil bisa nggak? Perkara sabun doang mesti ribut." Aku mencoba membuka pikiran Kak Dinda yang menurutku kekanakan."Heh, aku ini kakakmu! Gak perlu kamu ngajarin aku! Semua ini karena kamu perhitungan. Makanya aku kek gini!""Perhitungan? Oke, aku hitung-hitung dulu berapa banyak uang yang kali—""Ayesha, udah, ya. Aku mohon udah. Kasihan ibu kalo dengar kalian ribut lagi." Azka menengahi perdebatan kali ini. "Sayang, udah, ya. Sana ke warung. Mas juga mau mandi, ni."Kak Dinda langsung melenggang pergi setelah menatapku sinis. Huh, rasanya ingin sekali aku meneriakinya. Namun, aku harus bisa menahan diri. Semua demi Ibu.Setelah Kak Dinda menghilang dari pandangan, Azka menghampiri aku dan meminta maaf atas sikap Kak Dinda. Dia juga memintaku agar tidak perlu mengganti uang biaya berobatnya."Gak perlu minta maaf dan aku akan tetap mengganti biaya berobat kamu," kataku tanpa melihat wajah Azka."Ayesha, sikap kamu ini yang membuat aku kagum dan susah lupa sama kamu. Asal kamu tau, aku menikahi Dinda karena dipaksa mamaku. Aku udah coba nyari kamu, Sha. Tapi ...." Ucapan Azka menggantung."Tapi kamu lupa kalo aku cuma adik iparmu sekarang. Please, jangan bahas ini lagi. Bahagiain Kak Dinda, dia prioritas kamu sekarang. Kita, sudah usai. Tolong, jangan ganggu aku lagi." Aku meninggalkan Azka dengan tergesa-gesa lantaran air mata tiba-tiba berdesak-desakan akan keluar.Sangat lucu jika aku belum ikhlas Azka bersama Kak Dinda. Meskipun Kak Dinda menyebalkan, dia tetap saudaraku. Tidak pantas jika aku menjadi duri dalam pernikahannya.Aku langsung menuju kamar dan mengunci pintunya. Padahal, aku punya janji mau memasakkan sayur asem untuk Ibu. Di mana tempat teraman menyembunyikan air mata ini selain di sini? Ibu pasti akan bertanya kenapa aku menangis jika tidak menenangkan diri terlebih dahulu.Ketukan keras di pintu kamar membuatku kaget. Apa itu Azka? Nekad sekali dia. Apa dia tidak takut Kak Dinda atau Ibu memergokinya?"Sha, buka pintu, ibu pingsan, Sha!" Azka berteriak dan seketika membuatku panik. Ya, Allah, Ibu kenapa?Aku langsung membuka pintu. Persetan dengan air mata yang masih berlinangan. Bagaimanapun Ibu harus diutamakan. Namun, detik berikutnya aku dibuat tercengang oleh keadaan. Semua karena Azka berdiri tepat di depanku sambil tersenyum manis. Sial, aku tertipu!"Apa maksud kamu? Kamu pikir ini semua lucu? Otak kamu benar-benar sudah gila! Bisa-bisanya kamu pakai nama ibu untuk menjebak aku!""Hanya dengan cara ini aku bisa membuktikan kalau kamu memang masih mencintai aku, Sha. Lihat, air mata kamu, dia bicara kalau kamu itu bohong. Sebenarnya kamu tidak mau aku menjauhi kamu, kan?""Kamu brengsek!" Aku kembali menampar wajah Azka. Namun, belum sempat tangan ini mendarat di pipinya, Kak Dinda sudah lebih dulu berteriak.Aku kaget bukan main melihat Kak Dinda. Menyesali kebodohan diri yang begitu ceroboh dalam bersikap. Namun, semua sudah terjadi dan aku hanya bisa memejamkan mata, memikirkan cara bagaimana menghadapi Kak Dinda setelah ini."Dasar kurang ajar!" Tamparan keras akhirnya mendarat tepat sasaran."Cukup!"Bersambung ....Mata Kak Dinda melotot ke arah Azka yang tadi membentaknya. Sementara aku, sibuk mengatur detak jantung yang tak karuan dan menahan rasa panas yang menjalari seluruh pipi.Rasanya lutut ini pun ikut bergetar. Sungguh, ini sangat menakutkan karena aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus diberikan agar Kak Dinda percaya."Kamu belain dia, Mas?" tanya Kak Dinda pada Azka."Sayang ... kamu tenang, ya. Kamu salah paham." Azka berusaha menenangkan Kak Dinda. Sepertinya dia sangat menyesal karena membentak istrinya itu."Tenang kamu bilang? Kalian berdua membuat aku curiga tau, nggak!?"Ya, Allah, apa itu artinya Kak Dinda sudah tahu hubungan Azka denganku di masa lalu? Apa sejak tadi dia sudah melihat kami beradu kata?"Dinda, Ayesha, kenapa dengan kalian? Kenapa ribut sekali? Apa kalian ndak malu kalo ada tetangga yang dengar?" Ibu muncul dari balik kamarnya. Sepertinya beliau tadi ketiduran dan baru terbangun gara-gara keributan yang kami ciptakan."Bu, Ayesha ini lancang sekali! Dia ma
Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini."Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut."Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu."Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu."Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat.
"Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba."Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu."Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati
Azka semakin mendekat. Aroma tubuh pria itu bahkan sudah sangat jelas di indera penciuman ini. Ya, Allah, bagaimana ini? Aku takut pria ini nekad mengakui sesuatu hal yang bisa membuat semuanya usai.Entah mengapa, aku mendadak kaku. Seperti pasrah jika pada akhirnya Azka menghancurkan semua rahasia yang sudah aku sembunyikan meski dalam kegamangan."Sebenarnya kamu itu kenapa, Mas?!" Kak Dinda sepertinya sangat penasaran "Sebenarnya aku dan—""Ah, sudahlah! Nggak penting aku mendengar ucapan Mas Azka. Yang penting, di sini aku tegaskan jika aku tidak ada hati sama Mas Azka dan masalah ucapan Mas Azka tadi siang mungkin karena sedang mabuk makanya bicaranya ngelantur." Aku langsung berlalu pergi usai mengatakan hal tadi. Tak peduli pada teriakan Kak Dinda yang sepertinya masih mau melanjutkan perdebatan.Azka benar-benar sudah gila. Aku yakin sekali jika tadi dia mau mengakui masa lalu kami di hadapan Ibu dan Kak Dinda. Perlu dikasi pelajaran pria itu!***"Ini uang tabungan ibu yang
"Berhenti, Azka!" Aku berteriak sambil memukul-mukul punggung Azka.Azka tak berubah pikiran. Pria berkemeja biru itu terus saja fokus menyetir tanpa memedulikan aku yang berteriak di belakangnya. Sial! Azka ternyata memang berniat buruk padaku.Air mataku sudah tak terbendung lagi. Saat ini perasaanku kacau balau tak menentu. Penyesalan akan keputusan menumpang motor Azka semakin membuat dada ini sesak."Berhenti, Azka! Tolong!" Lagi, aku memohon pada Azka agar pria itu berbaik hati menghentikan laju sepeda motornya.Azka seperti orang yang sudah hilang belas kasih. Tanpa iba sedikit pun pada seseorang yang dulu pernah menjadi kekasih. Dia sama sekali tak menggubris. Malah sesekali tawanya membahana membuatku semakin bergidik.Pikiran buruk terus menari-nari dalam benakku. Aku takut, Azka berbuat nekad yang hanya akan membuat keluarga kami hancur. Namun, aku juga terus berdoa. Berharap Azka tidak menuruti hawa nafsunya."Tolong sadar, Azka! Ingat Kak Dinda! Dia sayang banget sama kam
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Azka, mengingatkan aku pada masa lalu bersamanya. Memori di kepala ini seperti diputar kembali. Bagaimana dulu dia memperlakukan aku dan sikap orang tuanya yang jika teringat masih menyisakan perih.Bu Santi sekali pun tak pernah bersikap manis padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku hanya menjadi bahan hinaan saja. Apalagi, dulu aku adalah gadis yang tidak bisa dandan dan pakaian yang menempel di badan selalu itu-itu saja.Dua tahun aku dan Azka menjalin cinta. Namun, tak sekali pun Azka berani membelaku di hadapan ibunya. Hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad ini untuk mengakhiri hubungan dengan pria itu. Terlebih, saat itu Bu Santi juga mengancam jika aku tak meninggalkan Azka, dia akan membuat keluarga kami menderita.Masalah hidupku yang pelik tak pernah sekali pun diketahui Ibu. Meski, terkadang wajah ini tak bisa menipu wanita yang melahirkanku itu. Ya, seringkali Ibu bertanya ada masalah apa. Namun, diri ini lebih memilih mengatakan
Pria yang menyapaku tampak menarik turunkan alisnya sembari menatap diri ini lekat menanti jawaban. Namun, aku masih bengong dan heran kenapa manusia itu bisa di hadapanku sekarang. Bukankah dia ...?"Kok, bengong? Bukannya kamu itu nggak butuh aku, ya?" Dengan nada mengejek pria itu bertanya.Azka tersenyum tipis padaku. Ya, dia yang menyapa setelah aku pikir dia meninggalkan aku di sini sendiri."Kamu jahat, Azka! Kamu pikir ini lucu?""Jangan galak-galak. Mau aku tinggal beneran?""Resek!" Aku mengalihkan pandangan darinya."Kamu ternyata masih penakut, ya. Aku pikir setelah jadi wanita karir, kamu jadi pemberani." Lagi-lagi Azka mengejekku."Azka, udah, ya. Aku males bicara. Aku mohon, bawa aku pulang. Aku capek dan lapar.""Kamu sepertinya kepedean, ya. Siapa yang mau jemput kamu? Motor aku tu, bocor. Makanya terpaksa aku balik ke sini lagi.""Nggak usah bercanda, deh. Nggak lucu!" Aku kembali waswas setelah mendengar ucapan Azka."Emangnya wajahku terlihat sedang bercanda? Pulan
Aku tak mampu membendung air mata ini ketika mengetahui kebenaran tentang jati diriku. Ucapan Kak Dinda benar-benar menghempas hati ini hingga remuk redam. Pahit, tapi itulah kenyataannya.Tega sekali Ibu tak memberiku tahu selama ini. Bukankah, sepantasnya beliau tak perlu menutupi kenyataan hingga usiaku sudah dewasa? Lantas, kenapa juga baru sekarang Kak Dinda mengungkap? Apa baru kali ini dia merasa jika kehadiran diri ini sudah sangat meresahkan baginya?"Ayesha, jangan dengarkan Dinda, Nduk. Kamu anak ibu, sampai kapan pun tetap anak ibu. Bagaimanapun keadaannya." Ibu mengusap air matanya yang memang sejak tadi bercucuran sembari mengusap-usap bahuku pelan.Aku hanya diam, tapi batin ini terus saja meracau. Merutuki nasib diri yang ternyata tak seberuntung orang-orang. Entahlah, rasa syukur ini tiba-tiba lesap, berganti amarah yang semakin membuncah."Nduk, ibu minta maaf kalo ibu tidak jujur. Ibu cum—""Bu, kenapa Ayesha tahu dengan cara seperti ini? Kenapa Ibu tidak jujur sama
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok