Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini.
"Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut."Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu."Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu."Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat. Namun, dia buru-buru mengalihkan pandangan. Duh ... kenapa kesannya seperti dia tak suka padaku, ya.Penyesalan pun hadir menjalari kepala. Aku merasa sangat bodoh kenapa harus melihatnya tadi. Padahal, jelas-jelas wajah dia menyebalkan, eh masih saja aku mau memandang. Namun, bagaimana menghilangkan rasa penasaran ini jika tak melihat wajah pria bernama Athaar itu?"Bu, siapa mereka? Apa keperluan mereka bertamu rame-rame?" Bukannya menyalami para tamu, Azka malah bertanya seperti itu dan kembali menjadi pusat perhatian."Azka, kamu istirahat aja dulu, ya. Dinda pasti sudah nungguin kamu dari tadi." Ibu terkesan tidak suka dengan pertanyaan Azka. Apalagi, kini Azka terlihat semakin sempoyongan. Pasti tamu-tamu Ibu sudah berpikir macam-macam.Sumpah, rasanya malu sekali saat ini. Azka benar-benar sumber rusuh di keluarga kami. Entah kapan aku bisa bebas dari manusia menyebalkan itu. Semakin sering aku bertemu dia, rasanya semakin sulit untukku melangkah maju."Bu, jawab dulu. Aku ...." Tiba-tiba Azka terhuyung dan jatuh."Ya, Allah, Azka!" teriak Ibu panik. Sementara aku hanya diam saja. Memangnya aku harus bagaimana?"Nah, keknya dia mabuk. Cepat bawa ke kamarnya saja, Nah," saran Bu Wening pada Ibu. Huh, Azka benar-benar membuat malu!Dua orang anak Bu Wening sigap berdiri hendak memberikan pertolongan. Mereka sepertinya berniat membantu Azka ke kamarnya. Namun, Ibu malah meminta dua pria itu duduk dan menyuruh aku saja yang membantu Azka. Sial.Mau tak mau akhirnya aku yang membantu Azka menuju kamarnya. Terpaksa aku biarkan tangan Azka merangkul pundak ini. Oh, Allah jangan biarkan jantung ini berisik. Azka bisa besar kepala jika tahu dada ini masih berdebar-debar jika di dekatnya.Entah sejak kapan Azka suka alkohol. Setahuku, dia tak mau berurusan dengan minuman keras itu. Apa mungkin, dia begini lantaran patah hati? Ah, itu bukan urusanku."Maaf, semuanya. Saya permisi sebentar, ya," ucapku sambil tersenyum. Setelah itu, aku memapah Azka menuju kamarnya.Sebelum aku melangkah pergi, mata ini sempat melihat Bu Wening dan suaminya membalas senyumku. Begitu juga dengan pria tampan yang aku temui ketika di pasar tadi. Namun, Athaar tak merespon sama sekali. Fix, dia benar-benar sombong.***"Azka, bangun! Kenapa, sih mesti mabuk? Nyusahin aja!" sungutku pada Azka setelah kami sampai di ruang tengah. Tentunya setelah memastikan tamu-tamu itu tak mendengar ucapanku."Aku sayang kamu, Ayesha. Aku itu cintanya sama kamu bukan sama Dinda." Azka meracau padahal matanya terpejam. Gila! Bagaimana kalau ada yang mendengar?Sigap aku membekap mulut Azka. Aku benar-benar takut Kak Dinda atau siapa pun mendengar ucapan pria itu. Oh, Alah, bagaimana caranya membuat Azka segera sadar agar tidak meracau lagi?Setelah berpikir sejenak, aku mencoba mengguncang-guncang bahu Azka agar pria itu segera sadar dari igauan. Akan tetapi, dia masih menutup rapat matanya dan tak merespon aku. Duh, bisa gawat kalau terus begini."Bangun, Azka! Jangan bikin aku susah!"Aku putus asa dan tak tahu lagi bagaimana membuat Azka sadar. Apa aku biarkan saja dia di sini? Pasti saat ini Ibu beserta tamu-tamu itu sudah menungguku. Namun, bagaimana jika Azka meracau yang tidak-tidak lagi?Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku memilih meninggalkan Azka di ruang tengah dengan posisi bersandar di dinding. Malas sekali membenahi posisi tubuhnya itu.Takut tiba-tiba dia bertindak macam-macam. Maklumlah orang mabuk bisa saja berbuat di luar akal sehat, kan?"Sha, kamu mau ke mana?" Azka tiba-tiba berkata ketika aku baru saja mengayunkan kaki.Aku kaget dan langsung menghentikan langkah. Sial, jadi dari tadi dia hanya berpura-pura mabuk? Tahu begini, tak sudi aku membantunya. Dasar pembuat sandiwara!"Jantungmu berisik jadi aku sadar dari mabuk." Azka kembali berkata-kata. Dia seperti tahu aku menuduhnya pura-pura mabuk."Kamu jangan salah paham. Jangan berpikir lebih yang akhirnya hanya akan membuatmu sakit. Kenyataanya, kamu benar-benar sudah tak ada di sini," kataku sembari menunjuk dadaku sendiri. "Itu hanya rasa takut, bukan getaran cinta yang seperti kamu pikirkan." Aku kembali mengayunkan kaki dan benar-benar meninggalkan Azka seorang diri. Namun, suara seseorang terpaksa menghentikan langkah ini kembali."Lho, ibu pikir si Azka udah kamu bawa ke kamarnya, eh ndak taunya masih di sini.""I-iya, Bu. Mas Azka tadi sudah agak baikan, jadi Ayesha suruh ke kamarnya sendiri," kataku mencoba menjelaskan meskipun sedikit terbata-bata."Oh, ya sudah. Syukurlah kalo Azka sudah baikan. Ayo kita ke depan lagi. Ibu ndak enak ninggalin mereka lama-lama. Semoga saja mereka ndak berubah pikiran." Ibu berucap sambil menghela napasnya. Aku menerka, jika Ibu sangat kecewa dengan kelakuan Azka tadi. Namun, tidak bisa mengekspresikannya lewat kata-kata."Baguslah kalo mereka sampe berubah pikiran. Memangnya Ibu yakin dia bisa lebih baik dari seorang pemabuk?" Azka langsung berdiri dan berkata demikian.Aku dan Ibu seketika saling pandang. Ibu pasti tak menyangka jika Azka berani melontarkan pertanyaan seperti itu padanya. Sebagai seorang menantu, harusnya Azka bisa mengontrol ucapan di hadapan mertua. Namun sayang, dia malah menunjukkan belang ketimbang kesopanan."Bu, sudah, jangan diambil pusing. Yuk, kita ke depan. Pasti mereka gelisah nungguin kita," kataku sambil menggandeng tangan Ibu."Ayesha tidak mungkin terima dijodohkan, Bu. Dia sudah punya pilihan sendiri." Azka berkata lagi dan kontan membuat aku heran. Dari mana dia tahu aku akan dijodohkan?Ibu tercengang dan mengusap dadanya. Ucapan Azka pasti membuat Ibu kaget sekaligus bertanya-tanya dari mana Azka tahu tentangku. Ibu, kan tahunya aku dan Azka baru saling kenal."Ayesha tidak mungkin bisa melupakan masa lalunya, Bu.""Maksudmu ngomong gitu apa?!"Tanpa aba-aba, mata kami semua tertuju pada sosok yang baru saja berbicara. Oh, Allah kenapa harus seperti ini?Bersambung ...."Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba."Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu."Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati
Azka semakin mendekat. Aroma tubuh pria itu bahkan sudah sangat jelas di indera penciuman ini. Ya, Allah, bagaimana ini? Aku takut pria ini nekad mengakui sesuatu hal yang bisa membuat semuanya usai.Entah mengapa, aku mendadak kaku. Seperti pasrah jika pada akhirnya Azka menghancurkan semua rahasia yang sudah aku sembunyikan meski dalam kegamangan."Sebenarnya kamu itu kenapa, Mas?!" Kak Dinda sepertinya sangat penasaran "Sebenarnya aku dan—""Ah, sudahlah! Nggak penting aku mendengar ucapan Mas Azka. Yang penting, di sini aku tegaskan jika aku tidak ada hati sama Mas Azka dan masalah ucapan Mas Azka tadi siang mungkin karena sedang mabuk makanya bicaranya ngelantur." Aku langsung berlalu pergi usai mengatakan hal tadi. Tak peduli pada teriakan Kak Dinda yang sepertinya masih mau melanjutkan perdebatan.Azka benar-benar sudah gila. Aku yakin sekali jika tadi dia mau mengakui masa lalu kami di hadapan Ibu dan Kak Dinda. Perlu dikasi pelajaran pria itu!***"Ini uang tabungan ibu yang
"Berhenti, Azka!" Aku berteriak sambil memukul-mukul punggung Azka.Azka tak berubah pikiran. Pria berkemeja biru itu terus saja fokus menyetir tanpa memedulikan aku yang berteriak di belakangnya. Sial! Azka ternyata memang berniat buruk padaku.Air mataku sudah tak terbendung lagi. Saat ini perasaanku kacau balau tak menentu. Penyesalan akan keputusan menumpang motor Azka semakin membuat dada ini sesak."Berhenti, Azka! Tolong!" Lagi, aku memohon pada Azka agar pria itu berbaik hati menghentikan laju sepeda motornya.Azka seperti orang yang sudah hilang belas kasih. Tanpa iba sedikit pun pada seseorang yang dulu pernah menjadi kekasih. Dia sama sekali tak menggubris. Malah sesekali tawanya membahana membuatku semakin bergidik.Pikiran buruk terus menari-nari dalam benakku. Aku takut, Azka berbuat nekad yang hanya akan membuat keluarga kami hancur. Namun, aku juga terus berdoa. Berharap Azka tidak menuruti hawa nafsunya."Tolong sadar, Azka! Ingat Kak Dinda! Dia sayang banget sama kam
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Azka, mengingatkan aku pada masa lalu bersamanya. Memori di kepala ini seperti diputar kembali. Bagaimana dulu dia memperlakukan aku dan sikap orang tuanya yang jika teringat masih menyisakan perih.Bu Santi sekali pun tak pernah bersikap manis padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku hanya menjadi bahan hinaan saja. Apalagi, dulu aku adalah gadis yang tidak bisa dandan dan pakaian yang menempel di badan selalu itu-itu saja.Dua tahun aku dan Azka menjalin cinta. Namun, tak sekali pun Azka berani membelaku di hadapan ibunya. Hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad ini untuk mengakhiri hubungan dengan pria itu. Terlebih, saat itu Bu Santi juga mengancam jika aku tak meninggalkan Azka, dia akan membuat keluarga kami menderita.Masalah hidupku yang pelik tak pernah sekali pun diketahui Ibu. Meski, terkadang wajah ini tak bisa menipu wanita yang melahirkanku itu. Ya, seringkali Ibu bertanya ada masalah apa. Namun, diri ini lebih memilih mengatakan
Pria yang menyapaku tampak menarik turunkan alisnya sembari menatap diri ini lekat menanti jawaban. Namun, aku masih bengong dan heran kenapa manusia itu bisa di hadapanku sekarang. Bukankah dia ...?"Kok, bengong? Bukannya kamu itu nggak butuh aku, ya?" Dengan nada mengejek pria itu bertanya.Azka tersenyum tipis padaku. Ya, dia yang menyapa setelah aku pikir dia meninggalkan aku di sini sendiri."Kamu jahat, Azka! Kamu pikir ini lucu?""Jangan galak-galak. Mau aku tinggal beneran?""Resek!" Aku mengalihkan pandangan darinya."Kamu ternyata masih penakut, ya. Aku pikir setelah jadi wanita karir, kamu jadi pemberani." Lagi-lagi Azka mengejekku."Azka, udah, ya. Aku males bicara. Aku mohon, bawa aku pulang. Aku capek dan lapar.""Kamu sepertinya kepedean, ya. Siapa yang mau jemput kamu? Motor aku tu, bocor. Makanya terpaksa aku balik ke sini lagi.""Nggak usah bercanda, deh. Nggak lucu!" Aku kembali waswas setelah mendengar ucapan Azka."Emangnya wajahku terlihat sedang bercanda? Pulan
Aku tak mampu membendung air mata ini ketika mengetahui kebenaran tentang jati diriku. Ucapan Kak Dinda benar-benar menghempas hati ini hingga remuk redam. Pahit, tapi itulah kenyataannya.Tega sekali Ibu tak memberiku tahu selama ini. Bukankah, sepantasnya beliau tak perlu menutupi kenyataan hingga usiaku sudah dewasa? Lantas, kenapa juga baru sekarang Kak Dinda mengungkap? Apa baru kali ini dia merasa jika kehadiran diri ini sudah sangat meresahkan baginya?"Ayesha, jangan dengarkan Dinda, Nduk. Kamu anak ibu, sampai kapan pun tetap anak ibu. Bagaimanapun keadaannya." Ibu mengusap air matanya yang memang sejak tadi bercucuran sembari mengusap-usap bahuku pelan.Aku hanya diam, tapi batin ini terus saja meracau. Merutuki nasib diri yang ternyata tak seberuntung orang-orang. Entahlah, rasa syukur ini tiba-tiba lesap, berganti amarah yang semakin membuncah."Nduk, ibu minta maaf kalo ibu tidak jujur. Ibu cum—""Bu, kenapa Ayesha tahu dengan cara seperti ini? Kenapa Ibu tidak jujur sama
"Dasar keterlaluan!" Kak Dinda menarik rambutku dan mendorong tubuh ini hingga kembali jatuh ke lantai.Rasa sakit di kaki ini pun semakin menjadi setelah tadi aku paksakan berjalan. Ya, nyeri itu sebenarnya teramat menyiksa, tapi karena emosi semuanya seakan-akan hilang rasa. Namun, kini aku benar-benar tak berdaya."Dinda! Cukup! Jangan keterlaluan kamu!" Ibu menahan Kak Dinda yang hendak kembali menyakitiku. "Azka, bawa Dinda ke kamar!" titah Ibu pada Azka dengan wajah penuh amarah. Mungkin Ibu kesal, karena Azka hanya diam saja menonton."Awas kamu!" gertak Kak Dinda sebelum akhirnya dibawa pergi oleh Azka. Tatapan mata wanita itu penuh gejolak amarah kala menatapku.Aku bergeming dan mencoba berdamai dengan diri sendiri. Jika menuruti sisi jahat dalam diri ini, ingin rasanya memaki Kak Dinda habis-habisan. Namun, sudahlah, kali ini lebih baik aku tahan dulu."Nduk, sudah, ya. Sudahi semua kekecewaan kamu terhadap ibu dan kakakmu. Ibu minta mulai sekarang, kamu harus nerima kalau
"Heh, Perempuan Gatel! Jangan sok baik, deh. Gayanya sok nyuruh pulang si Athaar, tapi dalam hati mengumpat, kan?!" Wanita yang aku taksir lebih muda dariku itu kini menghardik diri ini."Heh! Kamu siapa? Berani-beraninya datang ke sini marah-marahin Ayesha." Ibu muncul dengan membawa minuman yang tadi dibuatnya. Wajah beliau tampak kaget melihat tamu yang tidak sopan itu."Kebetulan ada ibunya. Begini, Bu." Wanita itu masuk ke dalam rumah ini meski tak ada yang mempersilakan dia masuk. "Saya ini pacarnya Athaar dan datang ke sini karena tidak mau pacar saya direbut anak Ibu," jelas wanita itu dan langsung membuat Ibu tercengang.Aku memilih diam. Berbicara pun tak ada yang mau dibicarakan. Melihat wajah Mas Athaar yang kebingungan membuat aku malas untuk komentar. Pria jika ketahuan bersalah, kan memang terlihat lugu. Mungkin, dia pikir aku akan tertipu, tapi sorry. Ayesha tidak sebodoh itu."Maaf, sama sekali saya tidak kenal dengan Anda. Tolong jangan membuat keributan di sini." M
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok