"Apa ...?" Aku kontan terbelalak mendengar jawaban Ibu. Setelah itu menggeleng-gelengkan kepala ini sebagai ungkapan ketidakpercayaan jika Kak Dinda setega itu pada Ibu.
"Sha, kamu yang tenang, ya, Nduk." Ibu mengusap pelan bahuku. Tangan beliau gemetaran saat ini."Bu, kenapa tidak bilang? Kenapa hal seperti ini harus Ayesha ketahui setelah semuanya terlambat?""Nduk, sudah, ya. Kamu harus percaya sama kakakmu."Aku tercenung memikirkan sikap Kak Dinda yang serakah. Tak bisakah dia menggelar resepsi di rumah? Kenapa harus di hotel mewah? Kasihan Ibu, harus memadamkan impian ke Tanah Suci demi gaya hidup sang putri. Aku kecewa!"Nduk, kamu mau ke mana?" Ibu mencekal lenganku ketika aku hendak berdiri. "Jangan bahas hal ini pada Dinda sekarang, ya. Biarkan dia bahagia."What? Membiarkan Kak Dinda bahagia? Menikah dengan Azka mungkin masih bisa aku terima, tapi membuat Ibu menderita, tak akan aku ampuni.Aku tak memedulikan Ibu yang terus berteriak memanggilku. Mulut ini sudah gatal ingin memaki Kak Dinda yang tidak bermoral itu. Selama ini aku sudah dia peralat menjadi mesin ATM, masa tabungan Ibu pergi haji pun dia embat. Di mana otaknya? Lagipula si Azka, kan kaya, kenapa membebankan biaya sewa hotel pada Kak Dinda? Pria macam apa dia? Dasar sampah!***Dengan terburu-buru aku terus berjalan menuju kamar Kak Dinda dan Azka berada. Persetan dengan istilah pengantin baru. Mereka itu tak pantas bahagia di atas penderitaan Ibu. Tahu begini, lebih baik aku hancurkan saja resepsi pernikahan mereka tadi. Ah, kenapa diri ini mendadak kejam sekali?Mungkin, karena amarah ini sudah membuncah. Niat pulang ingin melepas rindu dengan keluarga, nyatanya malah mengetahui segala hal menyakitkan. Aku rela mengadu nasib di tempat orang demi keluarga, tapi kenapa Kak Dinda malah tega bermuka dua?Baru saja hendak mengetuk pintu kamar Kak Dinda, seseorang memanggilku dengan lantang. Lengkap dengan wajah judes, dia menarik tangan ini."Eh, kamu kenapa bisa ada di sini?! Mau apa kamu ke sini? Oh, pasti kamu tidak ikhlas Azka menikahi wanita kaya itu, kan? Sini kamu!" Wanita itu menarik tanganku agak menjauh dari kamar Kak Dinda. "Jangan mimpi, ya kamu bisa merebut Azka!"Wanita itu mendorong tubuhku hingga agak terhuyung. Ya, dia ibunya Azka, wanita yang dulu menghinaku miskin dan tak pantas jadi menantunya. Oh, aku baru tahu jika dia mengira Kak Dinda itu kaya. Ternyata itu alasan dia merestui hubungan Azka dan Kak Dinda. Hmm ... menjijikkan!"Maaf, ya, Tante. Ada baiknya Anda sopan. Saya di sini tidak ada urusannya dengan Anda. Dan saya sudah tidak berminat dengan putra Anda.""Oh, dasar, Gatel! Sudah ketahuan mengelak lagi. Jadi ada urusan apa kamu mau mengetuk pintu kamar Azka kalau bukan mau gangguin Azka bulan madu dengan istrinya?"Mendengar kata bulan madu, mendadak tenggorokanku mual. Hei, mereka bisa tidur nyaman dan berdua-duaan itu karena uangku, Nyonya. Andai aku bisa mengatakan hal itu langsung. Tak terbayang bagaimana bentuk wajah wanita ini. Jijik sekali membayangkan adegan Azka dan Kak Dinda. Hmm ... entahlah.Memang saat akad tadi, aku tak menyaksikan. Aku memilih di kamar menikmati kesendirian. Mungkin karena itu ibunya Azka tak tahu keberadaanku di sini. Dan sekarang dia mengira aku baru datang dan mau menggoda Azka. Huh, dia pikir aku sebegitu mengenaskan?"Ayesha ...," panggil Ibu dari kejauhan. "Ya, Allah, Nduk kamu ngapain di sini. Biar mereka istirahat, ya. Jangan diganggu." Ibu menghampiri aku dan mengatakan hal itu."Lho, Jeng. Kamu kenal dia?" tanya ibunya Azka dengan wajah bingung."Ini anakku yang bungsu. Selama ini dia kuliah dan bekerja di Surabaya. Dia baru pulang karena mau melihat Dinda nikah."Aku diam saja ketika Ibu menjelaskan siapa aku pada wanita siluman di hadapan kami. Dia pasti tidak menyangka, bahwa Kak Dinda adalah kakakku. Parahnya lagi, dia, kan tahunya Kak Dinda anak tunggal."Jadi si Dinda punya adik? Dan dia ini adiknya Dinda?""Iya, Jeng Santi. Apa Dinda ndak cerita? Selama ini Ayesha lah yang menjadi tulang punggung keluarga kami. Alhamdulillah, sekarang dia sudah sukses dan punya beberapa cabang butik dan toko kue."Sekakmat! Kapokmu kapan, Nyonya? Makanya sebelum nyinyir, pastikan dulu kondisinya. Ah, lagi-lagi aku hanya bisa bicara dalam dada. Gini-gini aku tidak mau dinilai tidak punya etika sama orang tua. Ya, walaupun tak ada gunanya beretika pada orang seperti ibunya Azka."Oh, begitu, ya, Jeng. Sa-saya ...." Ibunya Azka gelagapan. Ah, malu, kan sekarang? Makanya jangan suka merendahkan orang."Kenapa, Jeng?" Ibu bertanya dengan wajah heran. Hmm ... mati kutu si Bu Santi."Saya permisi, ya, Jeng. Lain waktu kita ngobrol lagi." Ibunya Azka berlalu begitu saja dari hadapan kami. Kini, aku dan Ibu saling melempar pandang. Pasti Ibu kebingungan.***"Ayesha, ibu minta kamu tahan emosi kamu, ya. Ibu tidak mau kamu ribut sama kakakmu. Lagian, dia, kan janji mau bayar nanti."Hari masih terlalu pagi, tapi Ibu sudah membahas hal itu lagi. Pasti karena beliau tahu amarahku belum padam hingga saat ini.Saat ini kami sudah berada di rumah. Bercakap-cakap sambil menyesap teh hangat. Ah, hal seperti ini sudah lama aku rindukan. Namun, demi keluarga dan juga masa depan, aku harus berjuang agar bisa hidup mapan.Kak Dinda dan Azka tidak ada di sini. Mereka masih di hotel menikmati bulan madu. Aku dan Ibu memutuskan pulang lebih dulu. Biar mereka puas bersenang-senang, baru setelah itu diajak memperhitungkan berapa banyak uang Ibu yang mereka pakai.Jika teringat ucapan Kak Dinda yang tidak bisa menyewa kamar khusus untukku, jujur, aku sakit hati. Nyatanya, uang Ibu dia gunakan untuk kesenangannya sendiri. Sementara Ibu, pasti sebenarnya sedih karena tabungan ke Mekah berkurang banyak. Kejam!"Bu, tapi Kak Dinda sudah keterlaluan. Ayesha tidak suka cara dia memperlakukan Ibu," sanggahku mencoba membuat Ibu memahamiku."Ibu tau, Nduk. Tapi jika kamu bicarakan sekarang, dia akan sedih dan Ibu juga ndak enak sama Azka.""Kenapa mesti tidak enak, Bu? Seharusnya dia yang mendanai resepsi pernikahan mereka. Laki-laki, kan harus punya modal kalo mau nikah, masa membebankan sama istri? Nggak etis, dong. Pokoknya, aku harus bicara sama Kak Dinda. Bagaimanapun dia harus kembalikan uang itu secepatnya. Ibu harus segera daftar haji. Kalau Ayesha ada uang lebih, pasti sudah Ayesha daftarkan sekarang. Masalahnya, Ayesha baru belanja isi toko." Aku kesal sekali. Sampai-sampai nada bicaraku sedikit tinggi. Semoga Ibu tidak sakit hati. Ini semua demi beliau."Nduk, ibu minta tolong. Biarkan dulu, ya. Pasti Dinda ndak lupa, kok. Dia, kan sayang ibu juga. Ndak mungkin dia tega sama ibu."Aku memejamkan mata sejenak. Oh, Allah, kenapa harus seperti ini? Aku paham bagaimana perasaan Ibu pada Kak Dinda, tapi seharusnya beliau bisa membuka mata jika putrinya itu sudah sangat tega. Jika aku bisa berkata, selama ini apa yang sudah Kak Dinda berikan pada Ibu? Namun, lagi-lagi aku diam dan menelan kekecewaan."Bu, tinggal sama Ayesha, yuk. Biar Ayesha bisa jagain Ibu terus. Kalo ada apa-apa Ayesha bisa cepet tahu." Aku sangat berharap Ibu mau menerima tawaranku itu."Bukan ibu ndak mau, Nduk. Tapi di rumah ini kenangan sama bapakmu sulit ibu lupakan. Ibu mau di sini aja. Kamu aja yang netep di sini ndak usah balik ke Surabaya lagi. Kuliahmu, kan sudah usai. Kamu bangun aja bisnismu itu di sini."Sekali lagi aku hanya bisa memejamkan mata. Ternyata tak mudah mengajak Ibu pindah. Padahal, kerja kerasku selama ini hanya untuk membahagiakan beliau. Namun, apa daya jika Ibu lebih betah bersama Kak Dinda."Assalamualaikum ...." Suara salam terdengar di depan pintu."Waalaikum salam," sahutku bersamaan dengan Ibu. Ternyata itu adalah Kak Dinda dan Azka. Baguslah kalau mereka sudah pulang. Artinya tabungan Ibu tak berkurang lagi untuk membayar biaya sewa hotel.Azka terlihat serba salah berada satu ruangan denganku. Padahal, aku biasa saja. Toh, aku tidak perlu tak enak hati padanya, kan?Berulang kali Azka ketahuan sedang memperhatikanku. Pria itu benar-benar sedang memantik api yang sebenarnya masih membara dalam dada ini. Bukan api asmara, tapi amarah karena kelicikannya."Sha, kamu ke pasar, ya. Belanja buat makan siang kita. Ini uangnya." Kak Dinda menyerahkan uang dua ratus ribu di tanganku sambil berlalu pergi. Oh, Allah apa ini? Kenapa dia memperlakukan aku begini? Seolah-olah, dialah yang menghidupi kami selama ini. Astaghfirullah!Aku memasang wajah geram dan siap meneriaki Kak Dinda. Namun, Ibu buru-buru memanggilku. Membuat aku mengerti bahwa Ibu menginginkan diri ini bersabar lagi."Kenapa, Sha? Kamu keberatan pergi belanja?" Kak Dinda rupanya menyadari raut wajahku yang masam. Dia berbalik dan bertanya demikian."Aku nggak keberatan jika yang aku lakukan untuk Ibu. Tapi aku nggak akan terima diperlakukan seperti ini oleh seorang penjilat.""Apa maksudmu?!" Mata Kak Dinda membulat."Masa, nggak sadar, sih?" Aku berkata sambil melenggang pergi. Membiarkan keadaan rumah tegang seperti gambaran hati ini.***"Ayesha! Aku antar, ya." Azka dengan lagaknya menawari aku demikian. Dia ternyata mengikuti aku dari belakang. Dasar gila!"Aku bisa sendiri. Pulang sana! Temani istrimu!""Kamu cemburu, ya?"Seketika aku menghentikan langkah dan langsung menatap Azka tajam. "Tolong, ya kalo punya mulut dijaga! Bersihin hati kamu biar kalo ngomong gak nyakitin hati orang."Setelah mengatakan hal itu, aku melanjutkan langkah ini. Persetan dengan Azka yang terluka dengan ucapanku tadi. Siapa suruh bicara seenak jidat?"Sha! Tunggu!""Apa lagi, sih?" Aku terpaksa menghentikan langkah karena tak ingin suara Azka didengar orang."Sha, sebenarnya aku ...."Bersambung ....Azka tak meneruskan ucapannya. Hmm ... paling-paling dia sengaja agar aku penasaran dan mau berbicara dengannya. Namun, Ayesha tidak sebodoh itu. Aku memilih melanjutkan langkah kaki."Sha! Sebenarnya hingga detik ini aku masih sayang kamu!" tutur Azka lantang.Astaghfirullah, dasar pria gila. Apa dia tidak sadar posisi dia sekarang siapa? Sungguh, aku tak mau terkena masalah karena ulah Azka. Jangan sampai aku dituduh pelakor. Huh!Sha, aku tau, dalam hati terdalam, kamu juga masih mencintai aku, kan? Jujur, Sha!"Azka semakin menjadi-jadi. Padahal seharusnya dia bisa menahan diri. Apalagi saat ini kami berada di luar rumah. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat? Belum lagi jika Kak Dinda muncul. Pria ini harus aku beri pelajaran!"Kamu kalo ngomong mikir, nggak? Apa pantas kamu menanyakan hal seperti itu sama aku? Sadar, sekarang kamu siapa. Masa lalu adalah masa lalu, nggak akan mungkin aku ulang dan kenang! Paham kamu?!" Aku puas sekali setelah mengatakan hal itu. Aku yakin, Az
"Halo ...." Aku kembali menyapa seseorang di seberang sana. Namun, dia tetap tak bersuara.Aneh. Menghubungi, tapi ketika direspon hanya diam. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan itu adalah Azka?"Siapa, Nduk?" Ibu sepertinya penasaran sekali. Beliau sampai kembali duduk setelah sebelumnya berbaring."Nggak tau, Bu. Nggak ada suaranya. Udahlah, biarin aja. Ntar kalo memang ada perlu, pasti nelpon lagi," kataku sambil membantu Ibu merebahkan diri di ranjang."Nduk, kamu juga istirahat, ya. Jangan terlalu memikirkan kakakmu. Ibu yakin, dia pasti akan mengembalikan uang tabungan ibu secepatnya," tutur Ibu ketika aku menyelimutinya.Aku hanya mengangguk pelan meskipun hati ini tidak keruan. Ibu sangat menyayangi Kak Dinda, sudah pasti beliau hanya berpikiran positif pada anak tertuanya itu. Namun, aku yakin jika di hati terdalam Ibu menyimpan kepedihan mendalam.***"Pulang belanja, Sha? Biasanya Dinda yang ke pasar, sekarang kamu, ya?" Bude Welas, tetanggaku bertanya demikian saat aku mel
Mata Kak Dinda melotot ke arah Azka yang tadi membentaknya. Sementara aku, sibuk mengatur detak jantung yang tak karuan dan menahan rasa panas yang menjalari seluruh pipi.Rasanya lutut ini pun ikut bergetar. Sungguh, ini sangat menakutkan karena aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus diberikan agar Kak Dinda percaya."Kamu belain dia, Mas?" tanya Kak Dinda pada Azka."Sayang ... kamu tenang, ya. Kamu salah paham." Azka berusaha menenangkan Kak Dinda. Sepertinya dia sangat menyesal karena membentak istrinya itu."Tenang kamu bilang? Kalian berdua membuat aku curiga tau, nggak!?"Ya, Allah, apa itu artinya Kak Dinda sudah tahu hubungan Azka denganku di masa lalu? Apa sejak tadi dia sudah melihat kami beradu kata?"Dinda, Ayesha, kenapa dengan kalian? Kenapa ribut sekali? Apa kalian ndak malu kalo ada tetangga yang dengar?" Ibu muncul dari balik kamarnya. Sepertinya beliau tadi ketiduran dan baru terbangun gara-gara keributan yang kami ciptakan."Bu, Ayesha ini lancang sekali! Dia ma
Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini."Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut."Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu."Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu."Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat.
"Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba."Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu."Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati
Azka semakin mendekat. Aroma tubuh pria itu bahkan sudah sangat jelas di indera penciuman ini. Ya, Allah, bagaimana ini? Aku takut pria ini nekad mengakui sesuatu hal yang bisa membuat semuanya usai.Entah mengapa, aku mendadak kaku. Seperti pasrah jika pada akhirnya Azka menghancurkan semua rahasia yang sudah aku sembunyikan meski dalam kegamangan."Sebenarnya kamu itu kenapa, Mas?!" Kak Dinda sepertinya sangat penasaran "Sebenarnya aku dan—""Ah, sudahlah! Nggak penting aku mendengar ucapan Mas Azka. Yang penting, di sini aku tegaskan jika aku tidak ada hati sama Mas Azka dan masalah ucapan Mas Azka tadi siang mungkin karena sedang mabuk makanya bicaranya ngelantur." Aku langsung berlalu pergi usai mengatakan hal tadi. Tak peduli pada teriakan Kak Dinda yang sepertinya masih mau melanjutkan perdebatan.Azka benar-benar sudah gila. Aku yakin sekali jika tadi dia mau mengakui masa lalu kami di hadapan Ibu dan Kak Dinda. Perlu dikasi pelajaran pria itu!***"Ini uang tabungan ibu yang
"Berhenti, Azka!" Aku berteriak sambil memukul-mukul punggung Azka.Azka tak berubah pikiran. Pria berkemeja biru itu terus saja fokus menyetir tanpa memedulikan aku yang berteriak di belakangnya. Sial! Azka ternyata memang berniat buruk padaku.Air mataku sudah tak terbendung lagi. Saat ini perasaanku kacau balau tak menentu. Penyesalan akan keputusan menumpang motor Azka semakin membuat dada ini sesak."Berhenti, Azka! Tolong!" Lagi, aku memohon pada Azka agar pria itu berbaik hati menghentikan laju sepeda motornya.Azka seperti orang yang sudah hilang belas kasih. Tanpa iba sedikit pun pada seseorang yang dulu pernah menjadi kekasih. Dia sama sekali tak menggubris. Malah sesekali tawanya membahana membuatku semakin bergidik.Pikiran buruk terus menari-nari dalam benakku. Aku takut, Azka berbuat nekad yang hanya akan membuat keluarga kami hancur. Namun, aku juga terus berdoa. Berharap Azka tidak menuruti hawa nafsunya."Tolong sadar, Azka! Ingat Kak Dinda! Dia sayang banget sama kam
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Azka, mengingatkan aku pada masa lalu bersamanya. Memori di kepala ini seperti diputar kembali. Bagaimana dulu dia memperlakukan aku dan sikap orang tuanya yang jika teringat masih menyisakan perih.Bu Santi sekali pun tak pernah bersikap manis padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku hanya menjadi bahan hinaan saja. Apalagi, dulu aku adalah gadis yang tidak bisa dandan dan pakaian yang menempel di badan selalu itu-itu saja.Dua tahun aku dan Azka menjalin cinta. Namun, tak sekali pun Azka berani membelaku di hadapan ibunya. Hal itulah yang akhirnya membulatkan tekad ini untuk mengakhiri hubungan dengan pria itu. Terlebih, saat itu Bu Santi juga mengancam jika aku tak meninggalkan Azka, dia akan membuat keluarga kami menderita.Masalah hidupku yang pelik tak pernah sekali pun diketahui Ibu. Meski, terkadang wajah ini tak bisa menipu wanita yang melahirkanku itu. Ya, seringkali Ibu bertanya ada masalah apa. Namun, diri ini lebih memilih mengatakan
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok