Oktober 2015
Raut wajah gadis cantik itu berubah pias. Bibirnya bergermetuk menahan amarah ketika pria yang lebih muda berkata, "Aku datang untuk melamarmu, Senja!"
"Jangan becanda! Kau sudah gila!"
Senja berdiri menatap tajam si pelaku yang duduk tenang di sofa. Dialah Dirga Gee Xaperius, pewaris utama perusahaan GXA Company.
"Tidak! Aku serius mau menikahimu!" balas Dirga tidak terprovokasi dengan kemarahan gadis di depannya.
"Keparat! Kau berniat memperistri saudaramu sendiri?!"
"Saudara?!" Dirga mendengkus. "Sejak kapan kau menjadi saudaraku, Senja?"
"Itu ...." Senja kehilangan kata-kata. Lidahnya terasa kelu. Meski begitu hatinya teramat sakit mendengar pria yang dianggap sebagai adik tidak mengakui hubungan kekeluargaan di antara mereka.
"Kau tahu sendiri aku tak pernah dianggap di keluarga ini."
Dirga tersenyum sinis. Pemuda berusia 25 tahun itu kembali mengingat moment 10 tahun lalu saat pertama kali dipungut oleh Lukman, ayah Senja.
Sayangnya keharmonisan keluarga itu hanya berlaku selama kurun waktu dua tahun. Setelahnya Dirga dibuang layaknya sampah."Lalu apa hubungannya dengan menikahiku?" tanya Senja masih tidak mau kalah.
"Tidak ada. Hanya saja ...." Dirga menahan kata-katanya, memberikan seringai keji pada Senja yang mulai was-was."Apa? Ayo, katakan!" desak Senja.
"Ayahmu terlilit hutang dengan perusahaanku."
Deg!
"I---itu tidak mungkin!" tolak Senja kalut dengan terpatah-patah melihat ke arah pria paruh yang tertunduk di sisi lain sofa.
"Ayah katakan bahwa ini tidak benar?!" pinta Senja dengan suara bergetar menahan tangis.
"Tolong katakan bahwa bajingan tengik ini ...." Senja menunjuk Dirga. "Sedang mempermainkan kita."
Dirga mendengkus. "Kau sangat menyedihkan, Kak!"
"Diam!" Senja bangkit dan mencengkram kerah jas mahal Dirga, memaksanya untuk berdiri. Mereka saling bertatapan.
"Jangan panggil aku kakak. Aku bukan kakakmu!"
Dirga menyeringai. "Benar! Sebentar lagi kau akan menjadi istriku.""Dalam mimpimu, Brengsek!"
Senja lalu meninju wajah Dirga sampai membuat CEO muda itu terpental membentur lantai. Bibirnya robek mengeluarkan darah segar.
Dirga terkekeh senang."Kuanggap ini hutang!" cetusnya bangkit berdiri.
Mendengarnya Senja semakin emosi, berniat untuk kembali menghajar Dirga, namun para bodyguard mengunci gerakannya.
"Lepaskan aku, Sialan!"
Senja menjerit dengan tubuh meronta hebat. Dirga mendekat, menangkup dagu gadis yang lebih tua tiga tahun darinya itu, kemudian menyeringai.
"Semua keputusan ada di tanganmu, Senja," ungkap Dirga yang dihadiahi pelototan penuh kebencian oleh Senja.
"Kau boleh menolak pernikahan ini. Tapi sebagai gantinya ayahmu akan dijebloskan dalam penjara atas kasus penipuan."
Senja terbelalak, iris matanya berembun. "A--apa maksudmu? Kau tidak ber ____"
"Berhak! Aku pemilik uang itu dan aku bebas menuntut ayahmu."
Dirga memotong pembelaan Senja, membuat gadis itu jatuh terduduk, tak berdaya. "Kenapa?" lirihnya.
"Kenapa kau melakukan semua ini?" Senja mencicit dengan uraian air mata yang semakin menderas.
Dirga berjongkok dan berbisik di telinganya. "Karena ini akan sangat menarik."
Senja menggeleng panik. "Tidak! Jangan lakukan ini! Kumohon ...."
Dirga tidak menanggapi permintaan Senja. Pria yang rambutnya diwarnai pirang itu bukannya merasa simpati justru balas menatap dingin. Tidak ada rasa iba sedikit pun melihat Senja yang tampak putus asa.
Pembalasan itu selalu datang, bukan?!
"Pikirkanlah baik-baik, Senja!" Dirga berkata sambil memeluk tubuh ramping Senja, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu dan berbisik lirih yang mana membuat Senja tertegun.
"My Hero! Kau milikku."
Panggilan itu ....
Julukan yang diberikan Dirga pada Syifa beberapa tahun lalu. Namun, kini sebutan itu digaungkan dengan nada obsesi dan posesif.
Senja bergetar hebat.
***
Seminggu kemudian ....
Gaun putih berlapiskan pernak-pernik mewah itu tampak indah membalut tubuh semampainya. Ujung gaun dibiarkan menjuntai sampai menutupi bawah kaki. Riasan wajah terpoles alami.Senja telah menjelma bak seorang putri raja. Namun, tak ada kegembiraan di wajahnya.
Senja berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Bibirnya senantiasa mengerucut dengan bola mata yang berembun.
Sungguh tidak adil!
Demi menyelamatkan keluarganya dari krisis, Senja harus rela ditumbalkan untuk menikahi pria yang dulu pernah melecehkannya.
Benar!
Alasan Dirga diusir dari rumah karena terpergok melakukan tindakan asusila pada Senja yang kala itu sedang mengalami demam tinggi. Beruntung ada Ivvona yang menggagalkan aksi bejat Dirga.
"Kau baik-baik saja?"
Mendengar suara familiar itu, Senja berbalik melihat ke arah pintu, terlihat di sana seorang wanita cantik berkebaya biru berjalan mendekat.
"Mbak ... Aku tak mau menikah dengan Dirga," adu Senja memelas, memeluk tubuh kakak perempuannya dengan erat.
"Aku tahu. Tapi kita harus bagaimana? Dirga bukan lagi anak lemah seperti dulu." Ivvona menghapus setitik air mata di wajah adiknya.
Ivvona mengeraskan rahang. Raut wajah janda muda itu memerah menahan angkara murka.
Bagaimanapun Senja kini dipaksa menikah dengan pria yang tidak dicintai. Berbeda dengan Ivvona yang menikah dengan Jagya, cinta pertamanya. Namun, rumah tangga mereka harus kandas. Jagya melayangkan gugatan cerai dan meninggalkan Ivvona dengan buah hati mereka.
"Bunda!"
Acara sensitif yang dipenuhi tangisan kesedihan antara kakak beradik itu berakhir ketika pria kecil berlari menubruk tubuh Ivvona. Dia adalah Guntur. Anak semata wayang Ivvona.
"Ada apa, Guntur? Bunda tadi sudah menyuruhmu untuk main di luar."
"Bunda disuluh nenek ke dapul." Dengan cadel Guntur mengutarakan maksud kedatangannya.
Ivvona menghela napas. Bukan karena tidak mengerti dengan ucapan sang buah hati, namun pernikahan dadakan ini membuatnya pusing tujuh keliling.
Ayolah ....
Walaupun Dirga memberikan uang hantaran lebih dari satu miliar rupiah untuk biaya pernikahan. Namun, bukan itu yang membuat Ivvona resah, melainkan kenyataan jika Senja tidak bahagia.
Akan tetapi, jika menentang pernikahan ini apa yang akan terjadi dengan Ayah mereka nanti Dijebloskan ke penjara?!
Memikirkannya saja membuat Ivvona serasa ingin terjun bebas. Janda muda itu lantas memilih untuk menemui ibunya.
"Guntur," panggil Ivvona menunduk menatap putra semata wayangnya.
"Iya, Bunda?" Guntur yang tadi menatap penasaran ke arah Senja, langsung berbalik menatap ibunya.
"Guntur bisa bantu Bunda?!
"Bantu apa, Bun?"
"Tolong temani Tante Senja, ya? Bunda mau ke luar sebentar. Nanti bunda ke sini lagi."
"Oke, Bund!"
Ivvona tersenyum mendengar jawaban ceria sang buah hati. Sebelum pergi Ivvona mengusap pipi Senja dan menatap wajah adiknya sendu.
"Maafkan Mbak tak bisa membantumu apa-apa," lirih Ivvona kemudian berlalu pergi dengan Senja yang tenggelam dalam lara hati.
***
Satu jam berlalu sejak kepergian Ivvona. Beberapa menit sebelumnya kerabatnya mengatakan bahwa rombongan pengantin pria akan segera datang. Informasi itu membuat Senja semakin gugup dan cemas.
Senja lalu bertukar pandang dengan Guntur yang sendari awal memandanginya dengan polos.
"Kenapa, Tante? Tante haus? Mau Guntul ambilkan minum?" tawarnya dengan baik.
Senja meneguk saliva kasar. Keraguan tampak jelas di wajah putih bersihnya. "Guntur mau membantu tante?"
"Bantu apa, Tante?" Guntur balik bertanya.
"Tolong ambilkan gunting besar di lemari kamar Bunda Ivvona! Bisa?"
Guntur mengernyit. "Untuk apa, Tante?"
"Hm ... Tante sedang perlu saja. Bisakan?"
Guntur terdiam. Senyuman di wajah tantenya terlihat aneh. Namun, Guntur yang pada dasarnya merupakan anak penurut, langsung berlari ke kamar Ivvona dan mengambil apa yang diminta oleh Senja.
Melihat kedatangan Guntur, senyum di wajah Senja semakin merekah. Harapannya untuk terbebas dari belenggu iblis sebentar lagi akan terwujud. Kebebasan akan Senja dapatkan.
"Ada yang pelu Guntul bantu lagi, Tante?" tanya Guntur setelah memberikan gunting di tangannya pada Senja.
Senja menatap keponakannya yang berusia enam tahun dan mengusap rambutnya penuh sayang.
Ahh ... Senja akan sangat merindukan keponakan manisnya.
"Tante haus. Bisa tolong ambilkan tante minum?" pinta Senja.
"Oke. Siap. Laksanakan!"
Senja tersenyum melihat Guntur yang berlari riang menuju dapur. Setelah dirasa aman, dengan tergesa ia merobek gaun pengantinnya.
Senja memang sangat beruntung. Ketika rombongan pengantin dikabarkan sudah dekat. Semua perias pergi keluar, meninggalkan Senja dengan Guntur sendiri. Kini keponakannya itu pun telah keluar. Aksi nekat Senja ini tidak akan menemui halangan.
Setelah dirasa cukup pendek dan pas untuk dibawa bergerak bebas. Senja membuka jendela di sudut kamar. Kemudian meloncat dan pergi ke luar. Beruntung di belakang kamarnya memang terhubung langsung dengan perkebunan. Semak belukar tumbuh dengan liar.
Setelah dirasa cukup jauh dari rumah, Senja ke luar dari arah hutan dan melangkah menuju jalanan raya untuk menyetop mobil angkutan umum. Akan tetapi ....
"Senja?!"
Deg!
Senja mematung. Dengan terpatah-patah menoleh ke asal suara. Dan ....
"Astaga, Kak Adnan. Mengagetkan saja. Kupikir siapa."
Senja mengembuskan napas lega. Ketakutannya kini menguap ketika tahu bahwa yang menegurnya adalah teman dekat Ivvona. Adnan Jauzi.
"Ah, maaf!" respon Adnan terkekeh.
"Tapi apa yang kau lakukan di sini? Bukankah ini hari pernikahanmu?!"
Adnan meneliti penampilan Senja, merasa heran dengan kondisi gadis itu yang tampak awut-awutan. Gaunnya robek sebatas lutut. Mahkota putihnya pun terpasang miring.
"Panjang ceritanya! Nanti akan Senja ceritakan. Sekarang bisakah Kak Adnan mengantarku ke terminal?" pinta Senja penuh harap.
"Terminal? Untuk apa?"
Adnan semakin dibuat tak mengerti dengan permintaan aneh gadis di depannya. Bukankah dia akan menikah? Kenapa berakhir di tengah jalan seperti ini?
"Tidak ada waktu! Turuti saja permintaan Senja, Kak. Jika tidak bisa, jangan menghalangi!"
Melihat Adnan yang hanya diam, Senja berdecak kesal lalu berbalik pergi. Namun ....
"Tunggu!"
... Adnan mencekal tangannya."Biar kakak yang antar!"
Adnan pun melepaskan genggamannya dan berlari menuju arah lain, meninggalkan Senja yang meremas tangan kanannya kuat-kuat. Seakan itu adalah penompang kewarasannya.
Hangat ....
"Andai Kak Adnan peka ...."
"Hei, Senja! Kenapa melamun? Ayo, Cepat!"
Senja berlari menghampiri Adnan yang siap dengan motornya. Gadis bergaun putih itu lalu duduk di belakang Adnan dan memeluk tubuh pemuda itu erat.
Adnan tersentak. Namun, membiarkan gadis yang lebih muda berbuat semaunya."Senja ... Kau baik-baik saja?" tanya Adnan ragu, terselip nada cemas di sana.
"Yeah! Maaf bolehkah Senja meminjam bahu Kak Adnan sebentar? Senja lelah," pinta Senja lirih.
Adnan tidak langsung membalas, membiarkan keheningan tercipta selama beberapa detik. "Hmm ... tentu, silakan."
Perjalanan pun dimulai. Dalam hati Senja berharap bahwa kenyamanan yang didekapnya kini bisa menyelamatkan dari cengkeraman iblis Dirga.
Senja hanya tidak menyadari seseorang mengamatinya di kejauhan.
"Jadi kau ingin bermain-main ya, Senja."
Bersambung.
"Cukup! Berhenti! Jangan pukul Kak Adnan!"Jeritan menggema. Dengan suaranya yang parau, Senja berusaha menghentikan aksi pengeroyokan atas Adnan. Rencana melarikan dirinya gagal total.Air mata yang semula mengering, kembali bercucuran. Senja tidak tega melihat pria pujaan hatinya menjadi bulan-bulanan para Bodyguard."Hentikan, Dirga! Kau sudah keterlaluan!" Senja berteriak murka pada Dirga yang bersandar di mobil."Cepat! Perintahkan anak buahmu untuk berhenti memukuli Kak Adnan. Dia tidak bersalah!"Mendengar pembelaan itu, Dirga yang tengah asyik menyaksikan penyiksaan atas Adnan beralih melihat ke arah calon istrinya yang kini tengah berurai air mata. Melihatnya membuat Dirga muak."Tidak salah katamu?" sentak Dirga menggeram. "Pria ini telah berani mengambil milikku. Dia pantas dihukum.""Kau iblis! Tidak punya hati," maki Senja dengan tubuh yang masih ditahan para pengawal. Pemberontakan kembali dilancarkan.
"Makanlah sebelum hidangannya dingin."Senja menatap sajian mewah di depannya dengan pandangan datar. Bukan Senja tidak lapar, sejatinya dia belum makan sejak kemarin sore. Namun, pikirannya masih melalang buana pada peristiwa beberapa saat lalu.Di mana dengan tidak beradabnya, Dirga memanggul Senja ke mobil dan membawanya pergi. Di sinilah Senja berakhir. Di rumah Dirga.Mansion besar yang ada di ujung pusat kota.Senja mencebik. Moodnya terjun bebas. Apalagi saat mengingat tentang Adnan. Bagaimana keadaan cinta pertamanya itu? Apa dia baik-baik saja?Jika sampai Senja mendengar kabar bahwa Adnan meninggal dunia. Maka sampai mati pun Sekar tidak akan pernah memaafkan Dirga.Senja bersumpah akan membalas dendam."Kenapa tidak dimakan? Apa makanannya tidak enak?" Dirga memecah kesunyian. Suara baritonnya berhasil menyentak Senja dari lamunan."Kau masih marah karena aku membawamu sini?" tanya Dirga lagi. Sen
Senja mengerjap saat cahaya menusuk retina matanya. Perih sekali. Akantetapi, ada yang lebih menyakitkan dari itu. Bukan hanya rasa sakit, namun juga sesak yang ada.Mengingat moment pemaksaan semalam, membuat Senja ingin mati.Dirga telah memaksakan kehendaknya tanpa kelembutan sedikitpun. Senja yang tidak berdaya hanya mampu menangis, meronta pun menambah luka hati.Sudah tak terhitung berapa banyak gigitan, tamparan dan pukulan yang hinggap di wajahnya saat Dirga bermain kasar semalam. Menguasai ranjang dan memperlakukan Senja layaknya wanita malam.Jangankan itu, ketika Senja menjerit sampai suaranya serak, Dirga tak bergeming dan sibuk meraih kepuasan sendiri.Tidak ada kenikmatan di sana. Yang ada hanya rasa sakit dan perih yang membuat Senja menangis keras. Bukan hanya di area pinggang yang remuk, tetapi hatinya pun ikut hancur berkeping-keping."Kau sudah bangun?!"Pertanyaan bodoh itu membuat Senja menengadah. Wajah
Satu sejam berlalu sejak kepergian Dirga, Senja kini mulai bersiap ke luar dari kamar. Iniadalah waktu yang pas untuk melarikan diri.Senja sudah merencanakan semua ini sejak lama. Dengan mengamati kegiatan para bodyguard di tempat post jaga, Senja menemukan satu celah kecil.Ada satu lorong yang ketika tengah malam selalu sepi dari penjagaan.Itu adalah lorong di dekat gudang tak terpakai. Sebuah tempat rahasia yang entah berujung ke mana. Namun, Senja percaya bahwa lorong gelap itu adalah jalan menuju ke luar Mansion.Entah kenapa, para bodyguard selalu tidak berani berjaga di lorong yang minim pencahayaan itu. Mereka bilang ada hantu.Yang benar saja. Memang ada hantu di zaman milenial ini?Akan tetapi, tingkah pengecut mereka memberikan celah untuk Senja melarikan diri.Senja harus cepat sebelum Dirga pulang. Saatnyabertaruh nasib.Dengan mengendap-endap penuh perhitungan, Senja membuka pintu dan mulai menjelajahi
Satu sejam berlalu sejak kepergian Dirga, Senja kini mulai bersiap ke luar dari kamar. Iniadalah waktu yang pas untuk melarikan diri.Senja sudah merencanakan semua ini sejak lama. Dengan mengamati kegiatan para bodyguard di tempat post jaga, Senja menemukan satu celah kecil.Ada satu lorong yang ketika tengah malam selalu sepi dari penjagaan.Itu adalah lorong di dekat gudang tak terpakai. Sebuah tempat rahasia yang entah berujung ke mana. Namun, Senja percaya bahwa lorong gelap itu adalah jalan menuju ke luar Mansion.Entah kenapa, para bodyguard selalu tidak berani berjaga di lorong yang minim pencahayaan itu. Mereka bilang ada hantu.Yang benar saja. Memang ada hantu di zaman milenial ini?Akan tetapi, tingkah pengecut mereka memberikan celah untuk Senja melarikan diri.Senja harus cepat sebelum Dirga pulang. Saatnyabertaruh nasib.Dengan mengendap-endap penuh perhitungan, Senja membuka pintu dan mulai menjelajahi
Senja mengerjap saat cahaya menusuk retina matanya. Perih sekali. Akantetapi, ada yang lebih menyakitkan dari itu. Bukan hanya rasa sakit, namun juga sesak yang ada.Mengingat moment pemaksaan semalam, membuat Senja ingin mati.Dirga telah memaksakan kehendaknya tanpa kelembutan sedikitpun. Senja yang tidak berdaya hanya mampu menangis, meronta pun menambah luka hati.Sudah tak terhitung berapa banyak gigitan, tamparan dan pukulan yang hinggap di wajahnya saat Dirga bermain kasar semalam. Menguasai ranjang dan memperlakukan Senja layaknya wanita malam.Jangankan itu, ketika Senja menjerit sampai suaranya serak, Dirga tak bergeming dan sibuk meraih kepuasan sendiri.Tidak ada kenikmatan di sana. Yang ada hanya rasa sakit dan perih yang membuat Senja menangis keras. Bukan hanya di area pinggang yang remuk, tetapi hatinya pun ikut hancur berkeping-keping."Kau sudah bangun?!"Pertanyaan bodoh itu membuat Senja menengadah. Wajah
"Makanlah sebelum hidangannya dingin."Senja menatap sajian mewah di depannya dengan pandangan datar. Bukan Senja tidak lapar, sejatinya dia belum makan sejak kemarin sore. Namun, pikirannya masih melalang buana pada peristiwa beberapa saat lalu.Di mana dengan tidak beradabnya, Dirga memanggul Senja ke mobil dan membawanya pergi. Di sinilah Senja berakhir. Di rumah Dirga.Mansion besar yang ada di ujung pusat kota.Senja mencebik. Moodnya terjun bebas. Apalagi saat mengingat tentang Adnan. Bagaimana keadaan cinta pertamanya itu? Apa dia baik-baik saja?Jika sampai Senja mendengar kabar bahwa Adnan meninggal dunia. Maka sampai mati pun Sekar tidak akan pernah memaafkan Dirga.Senja bersumpah akan membalas dendam."Kenapa tidak dimakan? Apa makanannya tidak enak?" Dirga memecah kesunyian. Suara baritonnya berhasil menyentak Senja dari lamunan."Kau masih marah karena aku membawamu sini?" tanya Dirga lagi. Sen
"Cukup! Berhenti! Jangan pukul Kak Adnan!"Jeritan menggema. Dengan suaranya yang parau, Senja berusaha menghentikan aksi pengeroyokan atas Adnan. Rencana melarikan dirinya gagal total.Air mata yang semula mengering, kembali bercucuran. Senja tidak tega melihat pria pujaan hatinya menjadi bulan-bulanan para Bodyguard."Hentikan, Dirga! Kau sudah keterlaluan!" Senja berteriak murka pada Dirga yang bersandar di mobil."Cepat! Perintahkan anak buahmu untuk berhenti memukuli Kak Adnan. Dia tidak bersalah!"Mendengar pembelaan itu, Dirga yang tengah asyik menyaksikan penyiksaan atas Adnan beralih melihat ke arah calon istrinya yang kini tengah berurai air mata. Melihatnya membuat Dirga muak."Tidak salah katamu?" sentak Dirga menggeram. "Pria ini telah berani mengambil milikku. Dia pantas dihukum.""Kau iblis! Tidak punya hati," maki Senja dengan tubuh yang masih ditahan para pengawal. Pemberontakan kembali dilancarkan.
Oktober 2015Raut wajah gadis cantik itu berubah pias. Bibirnya bergermetuk menahan amarah ketika pria yang lebih muda berkata, "Aku datang untuk melamarmu, Senja!""Jangan becanda! Kau sudah gila!"Senja berdiri menatap tajam si pelaku yang duduk tenang di sofa. Dialah Dirga Gee Xaperius, pewaris utama perusahaan GXA Company."Tidak! Aku serius mau menikahimu!" balas Dirga tidak terprovokasi dengan kemarahan gadis di depannya."Keparat! Kau berniat memperistri saudaramu sendiri?!""Saudara?!" Dirga mendengkus. "Sejak kapan kau menjadi saudaraku, Senja?""Itu ...." Senja kehilangan kata-kata. Lidahnya terasa kelu. Meski begitu hatinya teramat sakit mendengar pria yang dianggap sebagai adik tidak mengakui hubungan kekeluargaan di antara mereka."Kau tahu sendiri aku tak pernah dianggap di keluarga ini." Dirga tersenyum sinis. Pemuda berusia 25 tahun itu kembali mengingat moment 10 tahun lalu saat pertam