"Kamu dapat dari mana buku agenda itu?"Mati kutu. Alina belum menemukan jawaban yang cocok untuk pertanyaan suaminya."Jawab aku Alina," desaknya."Aku temukan di ruangan bawah, Mas. Memangnya kenapa kalau aku bawa ke sini dibaca baca saja?""Tidak apa apa. Tapi apa untungnya buat kamu? Toh, Air bukan siapa siapa kamu, iya kan?""Oohh, jadi karena Aira bukan siapa siapa aku, kamu mau berbuat semaunya sama dia?"Mata Yasa menerawang menembus bola mata istrinya. "Bukan begitu, Sayang.""Sudahlah, Mas. Hari ini aku mau pulang ke rumah ibu. Aku menenangkan diri. Sikap kamu yang aneh dan tidak mau terbuka membuat aku capek.""Lin, aku minta maaf.""Aku nggak butuh maaf kamu," Ia berdiri dan menyiapkan beberapa baju."Aku antar ya?""Nggak perlu, aku sudah pesan taksi."Yasa tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa memandang istrinya merapikan baju ke koper. Gerah rasanya tak membantu, tapi saat ia mengambilkan baju malah Alina tepis. "Kamu kenapa bawa baju banyak sekali?"Alina menutup k
"Alina, kamu kenapa, Nak?" tanya ibunya yang kaget melihat perempuan tiba-tiba datang. "Kenapa menangis?"Tanpa pikir panjang ia memeluk ibunya begitu erat. Rasanya beban yang ia tanggung begitu berat, tak sanggup tapi takdir memaksa untuk memilih."Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Pasti Kakak kamu bangga." Sang membelai rambut anaknya."Aku belum melakukan apapun, Bu. Aku tidak berguna.....Aku terjebak perasaan, aku bingung harus melakukan apa."Isaknya terasa sampai ke ulu hati. Bahkan ibunya merasakan getaran yang kini Alina alami."Kamu sudah berkorban terlalu banyak untuk Aira, kamu menikah dengan Yasa, lalu menyelidiki kasus Aira dengan risiko tinggi. Sudah cukup, Nak.""Belum, Bu." Alina memandang wajah keriput perempuan itu. "Sebelum aku tahu kenapa Kak Aira meninggal dan membawa cucuk ibu ke sini, aku tidak akan menyerah."Perempuan setengah baya membisu, "m-maksud kamu Dani? Dia masih hidup?"Alina mengangguk, "dia sedang ada di panti yang jauh dari sini. Aku harus
Badannya mematung seperti tak bernyawa. Yuda masih tidak berkedip melihat siapa yang ada di depannya.Apakah istrinya hidup kembali?Alina yang sengaja berpenampilan persis seperti Aira mendekati lelaki itu. Dengan cara ini ia akan dapat informasi yang ingin ia dengar. Hanya Yuda yang bisa menjawabnya."Mas Yuda," panggilnya dengan mendayu. Gerakan tangannya merapikan kerah baju membuat lelaki itu semakin terhipnotis."I-ini benar kamu, Ra?"Alina menatap tajam lelaki itu lalu membelakangi. "Tega jamu, Mas. Istri sendiri kamu tidak mengenalinya? Memang di otak kamu hanya ada Valen saja!" Ia duduk di bibir kasur."Kamu bicara apa, Ra? Dari dulu sampai sekarang aku hanya cinta sama kamu.""Lalu kenapa kamu selingkuh? Bahkan kamu menikah dengan perempuan itu tanpa memikirkan perasaanku dan Dani.""Kamu ngomong apa sih, Ra? Waktu itu aku dipaksa mengambil keputusan itu."Alina berbalik menatapnya, kali ini Yuda benar-benar sedang di alam bawah sadar. Melihat Alina seperti melihat almarhum
"Maksud kamu, waktu itu Wiwin mengejar Yasa di rumah tempat dia beraksi?"Bima mengangguk."Jadi yang di video itu adalah rumah Mas Yasa dan yang mereka lakukan sedang....." Alina tak mampu melanjutkan kalimatnya."Benar, semua yang kalian katakan adalah benar. Video di handphone itu memang sangat penting untuk mengungkap kejahatannya, Wiwin sudah menyimpan alamat rumah itu di folder rahasia."Alina mandang Agung yang duduk di depan bersama Wawan."Kenapa tidak laporkan saja ke polisi?" tanya perempuan itu."Belum bisa. Kita tidak tahu risiko apa yang kemungkinan terjadi. Makanya kita harus susun rencana yang matang dulu."Entah apa dosa Alina di masa lalu, mengapa hidupnya tiba-tiba menjadi seperti ini? Melihat tiga pemuda di depannya saja seakan melihat sebuah kejahatan besar. Ia tak menyangka saja bisa berurusan dengan tentara elit seperti mereka."Wan, berhenti. Saya turun di sini."Wawan berhenti di pinggir jalan."Mau ke mana Alina?""Saya ingin tenangkan diri dulu."Perempuan i
"Jangan Anda kasar sana perempuan."Ternyata Bima yang menghantam tinju ke wajah lelaki itu."Lancang kamu! Tidak ada hubungannya denganmu, pergi!""Saya tidak akan pergi jika Anda bersikap seperti ini.""Alina, ayo pulang. Aku rindu sama kamu, kita mulai dari awal rumah tangga kita. Aku janji akan jujur atas semuanya. Tentang Aira dan semua pekerjaanku."Perempuan itu masih tak bergeming. Air matanya terus saja berjatuhan atas perlakuan Yasa barusan."Sudah terlambat. Aku kecewa sama kamu, Mas. Aku akan pergi selamanya dari hidupmu!" Perempuan itu pergi menarik tangan Bima."Alina! Alinaaaa!" Mereka sudah menghilang dari pelupuk mata. "Aaaahhgg!"🍁Keduanya masih membisu oleh gemerlap malam yang begitu cepat menyapa. Tindakan Alina yang memutuskan hubungan dengan Yasa meski belum jelas arahnya membuat perempuan itu dilema.Tidak hanya dirinya, Bima pun dilanda kebimbangan yang sama. Ia melihat tangannya yang dipegang Alina membuat ia kepikiran.Pertama, Alina pernah memeluknya begit
"Bukan begitu prosedurnya, Pak Agung.""Ya sudah, kami batal untuk adopsi anak di sini. Lagian tempat ini seperti terpencil sekali, jauh dari jangkauan masyarakat. Saya sedikit heran." Agung berdiri. "Ayo, Sayang, kita pulang."Sayang? Ririn malah oleng dengan panggilan Agung padanya."Oke oke. Tenang dulu, kita akan bicarakan baik baik. Duduk lagi, Pak, Bu."Sepertinya Pak Wibowo terpancing kali ini. Menurutnya akan berabe jika klien yang satu ini lolos."Sebenarnya ini aturan sudah paten, tapi tidak apa apa khusus kalian."Pak Wibowo memberikan daftar nama anak anak panti. Tentu daftar itu sudah diperbaharui dengan menghilangkan nama Edo. Agung membaca hingga ke bawah, tepat di nama yang menjadi target, ia berhenti."Sudah ketemu?""Dani. Kami ingin anak bernama Dani."Wajah Wibowo tidak bersahabat kali ini, ia tak tersenyum atau marah. "Kenapa Pak Wibowo?""Tidak apa apa. Cepat bawa Dani ke sini."Beberapa saat ajudan merak datang dengan membawa anak lelaki yang terlihat lesu ke h
Di depan ruangan rumah sakit, Alina mondar mandir tak karuan. Tidak hanya dirinya, Ririn, Agung, Wawan dan komandan juga ada.Mereka masih menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Berharap Bima baik baik saja dan bisa diselamatkan.Beberapa saat baru dokter keluar ruangan."Bagaimana, Dok?""Alhamdulillah Pak Bima baik baik saja, pelurunya sudah kami ambil dan sekarang sudah tidak apa apa.""Syukurlah. Boleh kami masuk?""Silahkan, tapi tetap jaga kenyamanan pasien," ucapnya berlalu.Mereka bergegas masuk melihat keadaan lelaki itu."Kak Bimaaa," Ririn berhamburan memeluknya. "Kakak baik baik saja kan?" isaknya."Iya, Kakak baik baik saja. Jangan menangis, malu tuh dilihat Agung.""Apaan sih, Kak. Nggak lucu.""Syukurlah kamu baik baik saja, Bim.""Alhamdulillah Komandan. Oh ya, bagaimana anak anak itu?""Sudah dibawa ke tempat yang aman. Pak Wibowo dan anak buahnya juga sudah berada di kantor polisi. Sementara sisanya masih dalam status DPO."Ada lega yang tergambar di wajahnya."Kala
"Alina?"Perempuan itu menelan ludah salah tingkah."M-maaf," ungkapnya mengambil parsel yang jatuh. "Saya tidak sengaja menjatuhkan."Sudah kepalang basah, ia langsung masuk saja. Kali ini Alina mendapat serbuan lirikan dari perempuan yang seketika melepas tangan Bima saat ia datang."Jika masih ingin mengobrol, saya akan tunggu di luar." Ditaruhnya parsel buah dan berbalik hendak pergi. Namun Bima malah menahan tangannya seperti waktu itu."Bukan kamu yang harus pergi, tapi dia," liriknya ke arah perempuan dengan tinggi badan yang diidamkan banyak kaum hawa.Sejenak Alina mengangkat wajah dan menatapnya. Mereka bertemu pandang, entah kenapa Alina merasa malu kali ini bahkan pipinya panas. Bukan karena tatapan perempuan itu, melainkan pegangan Bima yang tak kunjung lepas."Siapa dia, Bim?""Calon istri saya."Jawaban yang tegas dan bertenaga. Apakah Bima serius mengatakan itu?"Kamu jangan bercanda. Aku tidak akan pernah percaya.""Terserah mau percaya atau tidak, saya tidak perduli
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca 🌵••••••••••••••••••••••••••••••••••"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar