"Oke, pelan-pelan saja. Jangan sampai ketahuan," ujarnya setelah tiba di dapur, dan berbelok memasuki satu ruangan.
Namun, belum sempat bergerak lebih dalam. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Hal itu membuat jantung Tiffany serasa ingin melompat dari sarang. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik rak kayu besar."Belum apa-apa, sudah ada saja yang mengejutkan."Tap! Tap! Tap!Suara langkah itu kian mendekat, dan tak lama kemudian terdengar suara knop pintu terbuka."Apakah aman?""Tentu saja."Mati-matian Tiffany menahan napas saat mendengar dua suara dari lelaki berbeda, ia tahu betul siapa mereka. Tidak lain anak buah Damien yang berjaga di ruang penyimpanan anggur tersebut."Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau mereka menemukan ku?" Menggeleng kecil, "Tidak tidak, tidak boleh. Jangan sampai aku ketahuan, Tuan Damien pasti akan curiga nanti."Akan tetapi, sepertinya semesta mSesampainya di lokasi spa bernama "La Belle Luxe", Tiffany melirik keluar jendela mobil dengan tatapan tak percaya. Bangunan yang berdiri megah di hadapannya tampak begitu eksklusif, dengan arsitektur modern yang didominasi kaca dan emas. Pintu masuknya menjulang tinggi, dengan papan nama elegan yang menunjukkan tempat ini bukanlah spa sembarangan.Tiffany turun dari mobil dengan langkah ragu. Matanya masih terpaku pada kemewahan tempat itu, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Kenapa Damien sampai repot-repot mengirimnya ke sini? Apakah semua ini benar-benar hanya soal "menyambutnya dengan cantik"? "Silakan Nona," ujar pengawal mempersilakan Tiffany berjalan lebih dulu. "Terima kasih." Tiffany pun berjalan memasuki lobby, namun belum sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring dari dalam tasnya menghentikan langkah. Tiffany langsung merogoh tas dan melihat layar ponselnya menyala.Hatinya berdegup lebih cepat. Ia segera menoleh ke
Tiffany menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi itu percuma. Ia bahkan tidak menyadari saat pelayan wanita mulai mempersiapkan peralatan untuk perawatan tubuhnya."Nona, saya akan memulai dengan pembersihan wajah dulu, ya."Tiffany hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan. Matanya kosong, pikirannya melayang buana pada telepon masuk di hapenya. "Kira-kira siapa yang menelepon? Bagaimana kalau yang menelepon adalah Jasper? Bagaimana kalau pengawal itu mendengar sesuatu mencurigakan. Dan ... bagaimana kalau pengawal memberitahu kepada Tuan Damien?" "Nona?" Pelayan itu menatapnya dengan bingung, membuat empunya tersentak. "O-oh? Oh iya, silakan," jawabnya kemudian. Pelayan itu tersenyum simpul, kemudian mulai bekerja. Sayangnya, Tiffany sama sekali tidak menikmati perawatan tersebut. Setiap sentuhan lembut di kulitnya seperti sesuatu yang jauh, hanya memikirkan ponselnya yang berada di tangan orang lain.
Setelah berjam-jam menjalani perawatan, akhirnya Tiffany dapat bernapas lega. Sekarang, tubuhnya terasa lebih ringan, kulitnya lembut, dan otot-ototnya yang tegang seakan telah mengendur setelah berbagai perawatan pijat yang dilakukan oleh para terapis profesional. "Bagaimana Nona? Apa Nona menyukai terapis di spa kami? Mohon berikan rating dan ulasan di situs web kami, Nona. Kami tahu Nona bukan orang sembarangan, Nona adalah asisten Tuan Damien, bos mafia terkemuka di negeri ini," kata terapis itu memuji dengan lembut. "Kami akan sangat senang jika Nona bersedia memberikan bintang lima dan ulasan positif, dengan begitu spa kami akan semakin dikenal dan menjadi terpercaya," imbuhnya. Samar, Tiffany mengukir senyum tipis, "Tanpa aku datang pun, spa kalian memang sudah terkenal. Tapi baiklah, akan kuberikan ulasannya nanti, ya." "Terima kasih, Nona. Terima kasih banyak," ucap terapis itu. Tiffany mengangguk, lalu kembali mematut
"Apa?" Tiffany menunggu dengan tidak sabar, tetapi pengawal itu seperti sengaja menunda-nunda untuk bicara. "Ah ... tidak apa-apa, Nona. Hmm ... tidak jadi. Aku lupa ingin mengatakan apa," jawab pengawal membuat Tiffany jengkel, tapi hanya bisa ia tahan. "Oh, begitu. Baiklah." Tiffany kembali menyandarkan punggungnya ke jok mobil. **Malam hari. Tiffany duduk di tepi ranjang, jemarinya gemetar saat mengeluarkan ponsel bututnya dari bawah bantal. Layarnya sudah penuh retakan, tapi foto yang terpampang di dalamnya tetap jelas, wajah seorang pria paruh baya dengan senyum hangat, mata penuh kasih yang selalu menenangkannya sejak kecil. "Ayah ... maafkan aku," gumamnya lirih, suaranya bergetar menahan isak tangis yang hampir pecah. Jemarinya mengusap layar, seakan bisa menyentuh wajah itu. Lalu, ingatannya terlempar jauh ke masa lalu, tepatnya di malam itu. Flashback ...Jeritan menggema di udara. Sua
"A-apa?" Alis Damien terangkat tinggi, "Buktikan." "E ... tuan, aku ...." Mendadak Tiffany kehilangan kata-kata, lidahnya terasa kelu ditikam permintaan itu. "Kenapa? Kau mulai ragu?" sindir Damien setengah berbisik. Ia tahu betul bahwa sikap Tiffany sekarang bukan murni karena ketulusan, melainkan kebohongan berbalut sikap manis untuk suatu tujuan. "Kenapa jadi seperti ini sih? Seharusnya aku tidak berlebihan tadi," dumel Tiffany dalam hati, merutuki diri yang terlalu antusias. Sekarang, dia dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Bertahan atau mundur, tetapi jika memilih mundur maka Damien akan mencurigainya lebih dalam. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka Tiffany pun terpaksa memilih opsi pertama. "Kau benar-benar membuktikannya," kekeh Damien saat melihat Tiffany bergerak mendekat, tanpa ragu naik ke pangkuannya, yang membuat Damien sedikit terkejut.Sementara itu, Tiffany berusaha terlihat percaya diri, meski
"Kau tidak mampu melakukannya?" "Bu-bukan begitu. Tapi, aku—""Lima menit, jika kau tak berani membuktikan ucapanmu, maka bersiaplah untuk menerima konsekuensinya." Interupsi yang Damien lontarkan tentu saja membuat Tiffany deg-degan setengah mati. Rasanya, ingin sekali menghilang ke dasar bumi agar terhindar dari pandangan Damien. Akan tetapi, Tiffany sadar itu sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan. "Tersisa tiga menit.""A-apa? Tiga menit?" serunya panik, "B-baiklah aku akan meneleponnya. Ta-tapi ponselku di kamar, aku akan mengambilnya dulu." Tanpa menunggu persetujuan Damien, Tiffany langsung berlari cepat menuju kamar. Kurang dari dua menit, ia sudah kembali ke dapur dengan napas terengah-engah. "Ini ponselku, aku akan telepon Jasper seka—eh?" Tiffany tersentak saat Damien merampas hape di tangannya. "Tuan, kenapa diambil? Bukankah Tuan ingin aku meneleponnya?" Hening. Damien tak menyah
Tiffany mengikuti langkah Damien yang selangkah lebih maju di depannya. Perasaannya campur aduk antara waspada dan penasaran. "Jika benar ini menuju ruangan itu, berarti aku tidak perlu susah payah untuk mencarinya di lain waktu," batin Tiffany sedikit bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama saat ia menyadari bahwa jalan yang mereka lalui bukan ruangan menuju dapur seperti yang tertera pada denah. Melainkan, semakin jauh, lebih jauh, suasananya sunyi, hanya derap suara langkah kaki saja yang terdengar. Setelah beberapa menit berjalan, langkah Damien berhenti di depan sebuah pintu baja berwarna hitam pekat, dengan sistem keamanan berupa sidik jari dan kode rahasia. Lelaki itu langsung menempelkan ibu jarinya ke sensor, lalu mengetikkan kode di layar kecil sebelah pintu. Klik! Pintu pun terbuka secara otomatis. "I-ini, ruangan rahasia?" "Ya," jawab Damien. "Hmm ... sepertinya, Tuan Damien tid
Tiffany membeku di tempatnya, darahnya terasa berhenti mengalir saat mendengar kata-kata Damien."Ayahmu sudah mati."Kalimat itu begitu dingin, begitu menusuk, hingga Tiffany merasa dunianya seakan runtuh seketika."Tidak ..." Bisiknya, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak mungkin ...."Damien tetap berdiri dengan ekspresi tanpa ampun, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah amplop dari laci kayu di dekatnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja tepat di hadapan Tiffany."Kalau kau tak percaya, lihat sendiri."Dengan tangan gemetar, Tiffany meraih salah satu foto itu. Begitu matanya menangkap gambarnya, perutnya terasa mual.Foto pertama menampilkan ayahnya dalam keadaan terluka parah, wajahnya penuh darah, bajunya sobek dan berlumuran cairan merah yang hampir mengering.Foto kedua lebih mengerikan. Ada pisau tertancap di dadanya, dan kedua betisnya berlubang seperti ditembus peluru. Tub
Malam ketiga tanpa Tiffany.Damien terduduk di sofa ruang kerjanya, menatap kosong segelas bourbon yang belum sempat ia sentuh. Matanya sayu, ada lingkaran hitam samar yang mulai terbentuk di bawahnya. Kemeja hitam yang biasanya rapi kini kusut, beberapa kancingnya terbuka, memperlihatkan lehernya yang tegang karena kurang tidur.Rico, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas pelan. Sudah tiga hari ini bosnya berubah. Tidak ada umpatan, tidak ada perintah keras, bahkan tidak ada baku hantam dengan siapa pun. Hanya tatapan kosong dan sikap melankolis yang bikin bulu kuduknya merinding.“Bos,” panggil Rico hati-hati.Damien tidak menoleh. Rico mendekat, menunggu respon yang tak kunjung datang. Ia pun memberanikan diri duduk di hadapan bosnya, menatapnya seakan sedang menghadapi pasien patah hati. “Tuan, maaf sebelumnya … tapi Anda ini Damien Rael, bos mafia paling ditakuti seantero Italia. Masa akhir-akhir ini galau karena ditinggal a
Damien masih menatap Rico dengan tajam, sorot matanya menuntut jawaban lebih dari sekadar omong kosong. Nafasnya memburu, pikirannya penuh tanda tanya yang kian menyesakkan dada. "Cepat ceritakan atau kepalamu akan kupenggal?!" Glek! Susah payah Rico menelan ludah sebelum akhirnya mulai berbicara, suaranya berat dan tegang."Sebenarnya, saat tuan menyuruhku mengamankan Tiffany, aku langsung berlari ke kamarnya. Aku tahu dia masih di sana, jadi aku tidak membuang waktu. Tapi..." Rico menghentikan ucapannya sesaat, ekspresinya semakin serius. "Saat aku hampir sampai, aku melihat Jasper keluar dari kamar itu lebih dulu."Damien menyipitkan mata, dahinya mengernyit. "Jasper?"Rico mengangguk cepat. "Ya. Dia berjalan keluar dengan ekspresi tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku langsung curiga, tapi aku juga tak bisa langsung menahannya. Jadi aku mempercepat langkah, masuk ke kamar..."Napas Rico sedikit tercekat saat m
"Tapi apa? Cepat jawab! Jangan bertele-tele!" tegas Lucian marah, namun segera menurunkan nada bicara agar tak kedengaran Damien. Jasper mengangkat kepalanya, menatap Lucian dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku tidak menemukannya, Tuan." Seketika atmosfer di halaman mansion berubah. Semua orang saling berpandangan, mencoba mencari kepastian dari wajah satu sama lain. Anak buah Lucian mulai gelisah, beberapa menggenggam senjata lebih erat, sementara anak buah Damien tetap dalam posisi siaga, meski kebingungan mulai merayap di benak mereka.Damien menajamkan pandangannya, napasnya tertahan di tenggorokan karena pembicaraan Bloodstone tidak terdengar. Matanya beralih ke arah Rico, berharap mendapatkan jawaban dari tangan kanannya itu. Namun, Rico hanya menggeleng perlahan, ekspresinya tetap tegas tanpa keraguan."Lelucon macam apa ini?" Lucian akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar berbahaya, seperti bara api yang siap membakar habis apa pun di ha
Angin segar berembus dingin, tetapi terasa menyesakkan, bercampur dengan hawa kematian yang menggantung di udara. Damien berdiri tegak di depan mansionnya, berhadapan langsung dengan Lucian Amato yang kini menatapnya dengan mata berkilat penuh kebencian. Di sampingnya, ada Jasper yang berdiri sambil menyeringai licik menunggu perintah.Belum sempat mereka buka suara, tiba-tiba Dor!Suara tembakan pertama meledak, memecah kesunyian.Peluru menembus udara, nyaris menghantam kaki Damien. Refleksnya bekerja cepat. Dengan gerakan sigap, ia melompat mundur dan berlindung di balik salah satu pilar besar di depan mansionnya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tetapi karena amarahnya yang mulai mendidih."Manusia gila!" umpat Damien..Melalui celah perlindungan, Damien melirik sekilas ke arah lawannya. Alih-alih mundur atau gentar dengan ancamannya tadi, Lucian justru berdiri gagah, seolah mengejeknya. Lalu, denga
Angin pagi berembus kencang saat Damien melangkah keluar dari mansion. Begitu pintu besar terbuka, pemandangan di depannya segera memenuhi pandangan, halaman luasnya kini dipenuhi oleh ratusan orang bersenjata, berdiri tegap dalam formasi yang mengancam.Di garis depan, berdiri dua sosok yang tak asing.Lucian Amato, pria bertubuh tegap dengan mata gelap yang kini menyala oleh amarah. Di sampingnya, Jasper, tangan kanannya yang setia, memegang pistol dengan santai, namun ancaman jelas terasa di udara.Damien tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di depan pintu mansionnya, mengenakan setelan hitamnya yang sempurna, tangan dimasukkan ke dalam saku jas seolah ini bukan apa-apa.Lucian mengangkat sebuah dokumen yang diremas di tangan. Kertas itu kusut, menunjukkan betapa marahnya ia sebelum datang ke sini.“Dokumen ini, kau pikir aku tidak akan tahu kalau ini palsu?”ucap Lucian dengan lantang dan penuh amarah. B
Pagi itu langit tampak kelabu, seolah ikut merasakan kelelahan yang masih menggelayuti tubuh Tiffany. Sinar matahari yang menembus jendela hanya redup, tak mampu sepenuhnya mengusir hawa dingin yang menyelimuti kamarnya.Tiffany duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada kepala ranjang, selimut tebal membungkus tubuhnya yang masih terasa menggigil. Kepalanya sedikit berat, tenggorokannya kering, dan kulitnya terasa lebih panas dari biasanya. Demam. Dia benar-benar jatuh sakit.Dia menghela napas pelan, menatap ke luar jendela dengan tatapan penuh kekecewaan. Seharusnya hari ini dia sudah bersiap untuk mendaki, mencari ayahnya, memastikan kebenaran kata-kata Damien. Tapi sekarang, tubuhnya sendiri malah mengkhianatinya.Suara langkah kaki di luar pintu membuyarkan lamunannya. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan muncullah sosok Damien dengan setelan yang lebih santai dari biasanya. Tak ada jas mahal atau sepatu kulit berkilau. Hanya kaus hitam po
Damien menatap Tiffany dalam-dalam, matanya menggelap, bukan karena marah, tetapi karena dilema yang kini menguasai pikirannya. "Aku tidak bisa menghubunginya," katanya dengan suara dalam, nyaris berbisik.Tiffany menegang. “Apa maksud Tuan?"Di antara cahaya bulan yang menyelinap masuk ke dalam goa, ekspresi Damien tampak lebih dingin dari biasanya.“Di puncak sana, tidak ada sinyal. Satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengannya adalah dengan mendaki sendiri ke tempat itu. Dan itu bukan perjalanan yang mudah, Tiffany.”Tiffany merasakan dadanya semakin sesak. Harapannya yang tadi melonjak, kini seakan dihantam keras ke tanah. “Berapa lama?” tanyanya, suaranya gemetar.“Butuh waktu setidaknya tiga hari untuk mencapai puncak,” kata Damien, ekspresinya tetap tenang, seolah sedang menjelaskan sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.“Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang.”Damien menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Tidak m
Tiffany tersentak, napasnya tercekat di tenggorokan merasakan sensasi dingin menjalari tulang punggung saat menyadari keberadaan seseorang di belakangnya. Perlahan, dengan jantung berdegup kencang, dia berbalik dan detik itu nyaris terjungkal. "T-Tuan...?" suaranya bergetar, entah karena keterkejutan atau karena ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Damien kali ini. Namun sebelum satu kata pun bisa terucap dari bibir lelaki itu, tiba-tiba—DUARR!Dentuman keras menggema, menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. Seolah bumi baru saja menggelegak dalam amarahnya. Tiffany menjerit tertahan, tapi sebelum tubuhnya bisa bereaksi lebih jauh, sepasang lengan kokoh sudah menariknya dalam dekapan erat.Damien memeluknya, melindunginya seakan dia adalah satu-satunya hal yang tidak boleh hancur di dunia ini. "Diam. Jangan bergerak," bisiknya tepat di telinganya, suaranya serak namun tegas.Tiffany merasakan bagaimana dada bidang lelaki it
Setelah Damien berangkat dalam perjalanan bisnisnya, mansion terasa begitu sepi. Tiffany menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan gerimis yang membasahi halaman luas. Perasaan gelisah merayapi dadanya, seakan ada sesuatu yang belum selesai.Damien telah berjanji akan membawanya bertemu sang ayah suatu saat nanti, tetapi kapan? Berapa lama lagi ia harus menunggu?Dorongan kuat untuk mencari tahu muncul begitu saja. Tangannya refleks meraih ponsel dari atas meja, jemarinya gemetar saat membuka aplikasi Google Maps. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik:Gunung Evermore.Detik berikutnya, layar ponselnya menampilkan peta digital dengan jalur berliku yang membawa matanya ke satu titik terpencil di puncak gunung. Wilayah itu hampir tidak memiliki akses jalan yang layak. Hanya ada garis-garis tipis yang menandakan jalur pendakian terjal, ditutupi hutan lebat dan kabut tebal yang nyaris tidak bisa ditembus.Tiffany menggigit bibi