Setelah berjam-jam menjalani perawatan, akhirnya Tiffany dapat bernapas lega. Sekarang, tubuhnya terasa lebih ringan,
kulitnya lembut, dan otot-ototnya yang tegang seakan telah mengendur setelah berbagai perawatan pijat yang dilakukan oleh para terapis profesional."Bagaimana Nona? Apa Nona menyukai terapis di spa kami? Mohon berikan rating dan ulasan di situs web kami, Nona. Kami tahu Nona bukan orang sembarangan, Nona adalah asisten Tuan Damien, bos mafia terkemuka di negeri ini," kata terapis itu memuji dengan lembut."Kami akan sangat senang jika Nona bersedia memberikan bintang lima dan ulasan positif, dengan begitu spa kami akan semakin dikenal dan menjadi terpercaya," imbuhnya.Samar, Tiffany mengukir senyum tipis, "Tanpa aku datang pun, spa kalian memang sudah terkenal. Tapi baiklah, akan kuberikan ulasannya nanti, ya.""Terima kasih, Nona. Terima kasih banyak," ucap terapis itu.Tiffany mengangguk, lalu kembali mematut"Apa?" Tiffany menunggu dengan tidak sabar, tetapi pengawal itu seperti sengaja menunda-nunda untuk bicara. "Ah ... tidak apa-apa, Nona. Hmm ... tidak jadi. Aku lupa ingin mengatakan apa," jawab pengawal membuat Tiffany jengkel, tapi hanya bisa ia tahan. "Oh, begitu. Baiklah." Tiffany kembali menyandarkan punggungnya ke jok mobil. **Malam hari. Tiffany duduk di tepi ranjang, jemarinya gemetar saat mengeluarkan ponsel bututnya dari bawah bantal. Layarnya sudah penuh retakan, tapi foto yang terpampang di dalamnya tetap jelas, wajah seorang pria paruh baya dengan senyum hangat, mata penuh kasih yang selalu menenangkannya sejak kecil. "Ayah ... maafkan aku," gumamnya lirih, suaranya bergetar menahan isak tangis yang hampir pecah. Jemarinya mengusap layar, seakan bisa menyentuh wajah itu. Lalu, ingatannya terlempar jauh ke masa lalu, tepatnya di malam itu. Flashback ...Jeritan menggema di udara. Sua
"A-apa?" Alis Damien terangkat tinggi, "Buktikan." "E ... tuan, aku ...." Mendadak Tiffany kehilangan kata-kata, lidahnya terasa kelu ditikam permintaan itu. "Kenapa? Kau mulai ragu?" sindir Damien setengah berbisik. Ia tahu betul bahwa sikap Tiffany sekarang bukan murni karena ketulusan, melainkan kebohongan berbalut sikap manis untuk suatu tujuan. "Kenapa jadi seperti ini sih? Seharusnya aku tidak berlebihan tadi," dumel Tiffany dalam hati, merutuki diri yang terlalu antusias. Sekarang, dia dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Bertahan atau mundur, tetapi jika memilih mundur maka Damien akan mencurigainya lebih dalam. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka Tiffany pun terpaksa memilih opsi pertama. "Kau benar-benar membuktikannya," kekeh Damien saat melihat Tiffany bergerak mendekat, tanpa ragu naik ke pangkuannya, yang membuat Damien sedikit terkejut.Sementara itu, Tiffany berusaha terlihat percaya diri, meski
Tiffany tersungkur di lantai marmer yang dingin, tubuhnya gemetar di bawah tatapan tajam Damien Rael, bos mafia asal Italia yang sudah berkuasa selama hampir dua belas tahun. Pria itu berdiri tegak, tangannya memutar gelas berisi wine dengan santai, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun rasa iba."Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakakku saja? Dia yang menyebabkan Anda keracunan makanan, Tuan," suara Tiffany terputus-putus, menggeleng dengan histeris. "Bukan aku," lanjutnya hampir tak terdengar, air mata mengalir deras dari kedua matanya."Hidup adalah soal tanggung jawab, dan keluargamu memutuskan bahwa kau yang harus menanggung tanggung jawab itu," jawab Damien, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Tapi, Tuan ... Aku tidak tahu apa-apa tentang masalah kalian! Mereka bukan keluargaku! Mereka hanya orang yang memungut ku dari jalanan, lalu menjadikanku budak. Kami tidak ada hubungan darah!" Tiffany berteriak kencang, berharap kata-katanya dapat menyentuh hati pria yang tak tergoyahka
"Masuklah," ucap pelayan yang telah mengantar Tiffany sampai ke depan sebuah pintu besar di ujung lorong, tidak lain ialah kamar Damien. Tiffany mengangguk. Sesaat memejamkan mata, sebelum akhirnya mendorong pintu. Megah, adalah kesan pertama tatkala memandang interior kamar yang lebih besar daripada rumah tempat ia dibesarkan. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal berkilauan, ranjang tidur berkanopi dilapisi seprai sutra hitam yang tampak mahal, karpet tebal menghiasi lantai, dan jendela besar tertutupi tirai beludru merah gelap. Semua memancarkan kekayaan dan kekuasaan. Sayangnya, tak sedikitpun Tiffany merasa tenang. Justru dia merasa seperti burung merpati kecil yang terperangkap di sarang predator. "Tanggalkan pakaianmu, dan naiklah ke pembaringan." Refleks Tiffany menoleh ke belakang, seketika itu juga matanya terbelalak, melihat Damien muncul di tengah suasana kamar yang remang-remang. Semakin dekat, semakin jelas pula sosoknya terlihat. "Cepat lakukan," ulang
Ragu-ragu Tiffany melangkah maju, mendekati Damien yang berhenti di ambang pintu. Lelaki itu memandang lurus ke depan, sedikitpun tidak tertarik untuk menoleh lawan bicaranya. "Jawab," minta Tiffany. Menarik napas dalam, Damien pun menjawab tanpa menoleh, suaranya datar, "Ya. Aku memang pembunuh. Dan akan kulakukan hal yang sama padamu, jika kau masih berani mencegahku. Tetaplah di sini, dan tunggu aku kembali." Tanpa menunggu persetujuan, Damien langsung melanjutkan langkahnya. Sedang Tiffany masih terpaku, menggelengkan kepala. Berharap tadi salah dengar, tapi jawaban Damien malah semakin terngiang. BOOM! Pupil matanya melebar saat mendengar suara ledakan, bergegas dia berlari ke jendela besar. Dari situ, Tiffany dapat menyaksikan bagaimana pelataran mewah mansion kini menjadi medan perang. Mayat-mayat bersimbah darah, bergelimpangan. Suara tembakan bersahut-sahutan, diikuti jeritan kencang membuat napasnya tercekat. Menggigit ujung jarinya, Tiffany berusaha menenangkan diri.
Dorongan keras Damien membuat Tiffany terhuyung, hingga kehilangan keseimbangan dan terjerembab di lantai dingin. Napasnya tercekat di kerongkongan, mendongak dengan mata berkaca-kaca, membalas Damien yang diliputi amarah. "Kau pikir kau siapa, hah? Sok-sokan membantu? Aku tidak butuh orang lain untuk melindungiku, Tiffany!" Amarah Damien meledak, memenuhi ruang kamar yang hening. Tiffany gemetar, air mata mulai berjatuhan, "Ma-maaf, Tuan... aku hanya mencoba peduli. Aku takut dia benar-benar akan menekan pelatuk itu. A-aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Tuan apalagi Tuan sudah terluka," jawabnya Hampir tak terdengar, menggigit bibir untuk meredam isak yang menyesakkan. Akan tetapi, Damien tidak bergeming. Dia berjalan mendekati Tiffany, bayangan besarnya mengungkungi tubuh kecil wanita itu, penuh intimidasi. "Peduli? Kau pikir itu alasan masuk akal? Kau tahu bertahan apa yang kau lakukan tadi, hanya membuat terlihat lemah di depan para brengsek itu! Kau tidak tahu apa-apa,
Tiffany tersentak mundur ketika sorot tajam Damien mengunci pandangannya. Dia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan menghunus lelaki itu. "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud lancang, a-a-aku hanya ingin memastikan Tuan merasa nyaman. T-tadi Tuan terlihat lelah jadi ku pikir, a-aku hanya ... aku hanya coba membantu. Aku tau itu tidak sopan, tapi tadi Tuan tertidur dan aku ... a-aku tidak bermaksud buruk—""Diam!" Dengan tegas Damien memotong kata-kata Tiffany yang sulit dimengerti. "Banyak sekali bicaramu," sambungnya dingin menusuk ke dalam hati. Tiffany tersentak kaget, napasnya tertahan, dan tubuhnya membeku. Kepalanya menunduk dengan cepat, menahan rasa malu dan takut yang bercampur. "Maaf, Tuan," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Terdengar getaran di setiap kalimatnya, seakan berusaha keras menenangkan diri meski jantungnya berdebar sangat kencang.Damien tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kalimat terakhirnya. Keheningan menyelimuti kamar mewah itu. Hingga tak la
Jika sebelum-sebelumnya Tiffany akan segera meminta maaf, tetapi kali ini tidak. Dia membiarkan Damien menyumpah serapah, membuang kosong ketika isi pesan terngiang-ngiang di pikiran. Ekspresi tersebut membuat Damien langsung berhenti bicara. Merasa ada yang tidak beres, dia pun segera membuka ponsel, lalu membaca pesan yang tertera di layar. Detik itu juga pandangan memelotot lebar. Kembali menoleh ke Tiffany, sekarang Damien tahu apa yang membuat asistennya tak merasa takut. "Terserah mau percaya atau tidak, tapi aku tidak melakukannya. Jangankan membunuh, kenali ayahmu pun tidak. Lagipula, aku tak membunuh sembarang orang. Mereka yang ku bunuh, karena mereka layak dibunuh," ucap Damien penuh penegasan. Tanpa menunggu respon dari Tiffany, dia melangkah ke arah pintu. Membawa sendal rumahan dari rak sepatu, setelah dipasang langsung keluar entah kemana. Di tempatnya berdiri, Tiffany masih mematung memandangi punggung kokoh Damien yang menghilang disembunyikan, meninggalkan diriny
"A-apa?" Alis Damien terangkat tinggi, "Buktikan." "E ... tuan, aku ...." Mendadak Tiffany kehilangan kata-kata, lidahnya terasa kelu ditikam permintaan itu. "Kenapa? Kau mulai ragu?" sindir Damien setengah berbisik. Ia tahu betul bahwa sikap Tiffany sekarang bukan murni karena ketulusan, melainkan kebohongan berbalut sikap manis untuk suatu tujuan. "Kenapa jadi seperti ini sih? Seharusnya aku tidak berlebihan tadi," dumel Tiffany dalam hati, merutuki diri yang terlalu antusias. Sekarang, dia dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Bertahan atau mundur, tetapi jika memilih mundur maka Damien akan mencurigainya lebih dalam. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka Tiffany pun terpaksa memilih opsi pertama. "Kau benar-benar membuktikannya," kekeh Damien saat melihat Tiffany bergerak mendekat, tanpa ragu naik ke pangkuannya, yang membuat Damien sedikit terkejut.Sementara itu, Tiffany berusaha terlihat percaya diri, meski
"Apa?" Tiffany menunggu dengan tidak sabar, tetapi pengawal itu seperti sengaja menunda-nunda untuk bicara. "Ah ... tidak apa-apa, Nona. Hmm ... tidak jadi. Aku lupa ingin mengatakan apa," jawab pengawal membuat Tiffany jengkel, tapi hanya bisa ia tahan. "Oh, begitu. Baiklah." Tiffany kembali menyandarkan punggungnya ke jok mobil. **Malam hari. Tiffany duduk di tepi ranjang, jemarinya gemetar saat mengeluarkan ponsel bututnya dari bawah bantal. Layarnya sudah penuh retakan, tapi foto yang terpampang di dalamnya tetap jelas, wajah seorang pria paruh baya dengan senyum hangat, mata penuh kasih yang selalu menenangkannya sejak kecil. "Ayah ... maafkan aku," gumamnya lirih, suaranya bergetar menahan isak tangis yang hampir pecah. Jemarinya mengusap layar, seakan bisa menyentuh wajah itu. Lalu, ingatannya terlempar jauh ke masa lalu, tepatnya di malam itu. Flashback ...Jeritan menggema di udara. Sua
Setelah berjam-jam menjalani perawatan, akhirnya Tiffany dapat bernapas lega. Sekarang, tubuhnya terasa lebih ringan, kulitnya lembut, dan otot-ototnya yang tegang seakan telah mengendur setelah berbagai perawatan pijat yang dilakukan oleh para terapis profesional. "Bagaimana Nona? Apa Nona menyukai terapis di spa kami? Mohon berikan rating dan ulasan di situs web kami, Nona. Kami tahu Nona bukan orang sembarangan, Nona adalah asisten Tuan Damien, bos mafia terkemuka di negeri ini," kata terapis itu memuji dengan lembut. "Kami akan sangat senang jika Nona bersedia memberikan bintang lima dan ulasan positif, dengan begitu spa kami akan semakin dikenal dan menjadi terpercaya," imbuhnya. Samar, Tiffany mengukir senyum tipis, "Tanpa aku datang pun, spa kalian memang sudah terkenal. Tapi baiklah, akan kuberikan ulasannya nanti, ya." "Terima kasih, Nona. Terima kasih banyak," ucap terapis itu. Tiffany mengangguk, lalu kembali mematut
Tiffany menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi itu percuma. Ia bahkan tidak menyadari saat pelayan wanita mulai mempersiapkan peralatan untuk perawatan tubuhnya."Nona, saya akan memulai dengan pembersihan wajah dulu, ya."Tiffany hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan. Matanya kosong, pikirannya melayang buana pada telepon masuk di hapenya. "Kira-kira siapa yang menelepon? Bagaimana kalau yang menelepon adalah Jasper? Bagaimana kalau pengawal itu mendengar sesuatu mencurigakan. Dan ... bagaimana kalau pengawal memberitahu kepada Tuan Damien?" "Nona?" Pelayan itu menatapnya dengan bingung, membuat empunya tersentak. "O-oh? Oh iya, silakan," jawabnya kemudian. Pelayan itu tersenyum simpul, kemudian mulai bekerja. Sayangnya, Tiffany sama sekali tidak menikmati perawatan tersebut. Setiap sentuhan lembut di kulitnya seperti sesuatu yang jauh, hanya memikirkan ponselnya yang berada di tangan orang lain.
Sesampainya di lokasi spa bernama "La Belle Luxe", Tiffany melirik keluar jendela mobil dengan tatapan tak percaya. Bangunan yang berdiri megah di hadapannya tampak begitu eksklusif, dengan arsitektur modern yang didominasi kaca dan emas. Pintu masuknya menjulang tinggi, dengan papan nama elegan yang menunjukkan tempat ini bukanlah spa sembarangan.Tiffany turun dari mobil dengan langkah ragu. Matanya masih terpaku pada kemewahan tempat itu, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Kenapa Damien sampai repot-repot mengirimnya ke sini? Apakah semua ini benar-benar hanya soal "menyambutnya dengan cantik"? "Silakan Nona," ujar pengawal mempersilakan Tiffany berjalan lebih dulu. "Terima kasih." Tiffany pun berjalan memasuki lobby, namun belum sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring dari dalam tasnya menghentikan langkah. Tiffany langsung merogoh tas dan melihat layar ponselnya menyala.Hatinya berdegup lebih cepat. Ia segera menoleh ke
"Oke, pelan-pelan saja. Jangan sampai ketahuan," ujarnya setelah tiba di dapur, dan berbelok memasuki satu ruangan. Namun, belum sempat bergerak lebih dalam. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Hal itu membuat jantung Tiffany serasa ingin melompat dari sarang. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik rak kayu besar. "Belum apa-apa, sudah ada saja yang mengejutkan." Tap! Tap! Tap! Suara langkah itu kian mendekat, dan tak lama kemudian terdengar suara knop pintu terbuka. "Apakah aman?" "Tentu saja." Mati-matian Tiffany menahan napas saat mendengar dua suara dari lelaki berbeda, ia tahu betul siapa mereka. Tidak lain anak buah Damien yang berjaga di ruang penyimpanan anggur tersebut. "Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau mereka menemukan ku?" Menggeleng kecil, "Tidak tidak, tidak boleh. Jangan sampai aku ketahuan, Tuan Damien pasti akan curiga nanti." Akan tetapi, sepertinya semesta m
Sekarang, Tiffany berdiri di tengah aula utama mansion. Matanya memindai setiap sudut dengan seksama. Megah, satu kata yang cukup untuk mendefinisikan nuansa bangunan seluas seribu hektar itu.Langit-langitnya tinggi dihiasi lampu kristal yang menggantung, menerangi ruangan dengan sinar keemasan. "Ah, aku baru sadar bahwa tempat ini bukan hunian biasa," gumamnya pelan. Puas memandangi, kini Tiffany mulai menyusuri salah satu koridor panjang di sisi kanan mansion. Langkahnya pelan, hanya suara gesekan lembut antara sol sepatu dan lantai yang terdengar. Sudah lama tinggal di sana, namun baru detik ini Tiffany menyadari keberadaan lukisan-lukisan besar dalam bingkai emas, yang membuatnya terasa semakin kecil. Menoleh ke kiri kanan secara bergantian, untuk mengingat detail yang diharapakan dapat membantunya menemukan penjara rahasia. "Rasanya aku sudah berjalan sangat jauh, tapi kenapa jalurnya membuatku semakin bingung?" Tiffany mengerny
Aroma kopi hitam menguar ke udara saat Tiffany dengan cekatan menuangkan kopi ke dalam cangkir Damien. Sejak tadi malam hingga pagi ini, tidak ada obrolan yang terjadi antara mereka, tepat setelah Tiffany menolak memberi jawaban atas pertanyaan terakhir tuannya. "Silakan, Tuan," ucap Tiffany menyodorkan cangkir ke depan pria yang duduk dengan singkat angkuh tak pernah luntur. Kemudian, Tiffany menyajikan roti panggang dan telur setengah matang, dilengkapi buah potong yang tersusun rapi di piring porselen putih. "Ini sarapannya," imbuhnya. Sekilas, ekor mata Damien melirik cangkirnya. Kemudian meraih, meniup uap panas yang mengepul sebelum akhirnya menyeruput beberapa kali. Dirasa cukup, ia taruh kembali kopi ke tempatnya. "Hari ini aku akan pulang terlambat, banyak urusan yang harus diselesaikan," ucap Damien memecah keheningan di antara mereka. "Iya, Tuan," jawab Tiffany dengan tenang, k
"Kenapa aku harus memberitahu Tuan setiap orang yang kutemui? Aku hanya ingin bersantai sebentar, Tuan. Lagipula, aku tahu Tuan mengawasi ku. Kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan, pasti Tuan sudah tahu lebih dulu, 'kan?" Bukannya mengalah atau takut, Tiffany justru melontarkan kalimat di luar ekspektasinya sendiri. Sungguh, dia tidak bermaksud lancang, hanya saja lidahnya mendadak sulit di kontrol. Sejurus kemudian ia langsung menundukkan wajah, "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud tidak sopan," katanya lirih, merapatkan mata berharap Damien memaklumi. Tetapi, reaksi lelaki itu justru lebih jauh dari yang ia duga. Alih-alih puas atau membiarkannya, pria itu justru tampak semakin kesal. Tatapan tajamnya menembus Tiffany seperti belati, rahangnya mengeras, dan nafasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Kau sudah berani membentakku?" dengus Damien, tanpa peringatan meraih pergelangan t