"Kau tidak mampu melakukannya?"
"Bu-bukan begitu. Tapi, aku—""Lima menit, jika kau tak berani membuktikan ucapanmu, maka bersiaplah untuk menerima konsekuensinya."Interupsi yang Damien lontarkan tentu saja membuat Tiffany deg-degan setengah mati. Rasanya, ingin sekali menghilang ke dasar bumi agar terhindar dari pandangan Damien. Akan tetapi, Tiffany sadar itu sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan."Tersisa tiga menit.""A-apa? Tiga menit?" serunya panik, "B-baiklah aku akan meneleponnya. Ta-tapi ponselku di kamar, aku akan mengambilnya dulu."Tanpa menunggu persetujuan Damien, Tiffany langsung berlari cepat menuju kamar. Kurang dari dua menit, ia sudah kembali ke dapur dengan napas terengah-engah."Ini ponselku, aku akan telepon Jasper seka—eh?" Tiffany tersentak saat Damien merampas hape di tangannya. "Tuan, kenapa diambil? Bukankah Tuan ingin aku meneleponnya?"Hening.Damien tak menyahTiffany mengikuti langkah Damien yang selangkah lebih maju di depannya. Perasaannya campur aduk antara waspada dan penasaran. "Jika benar ini menuju ruangan itu, berarti aku tidak perlu susah payah untuk mencarinya di lain waktu," batin Tiffany sedikit bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama saat ia menyadari bahwa jalan yang mereka lalui bukan ruangan menuju dapur seperti yang tertera pada denah. Melainkan, semakin jauh, lebih jauh, suasananya sunyi, hanya derap suara langkah kaki saja yang terdengar. Setelah beberapa menit berjalan, langkah Damien berhenti di depan sebuah pintu baja berwarna hitam pekat, dengan sistem keamanan berupa sidik jari dan kode rahasia. Lelaki itu langsung menempelkan ibu jarinya ke sensor, lalu mengetikkan kode di layar kecil sebelah pintu. Klik! Pintu pun terbuka secara otomatis. "I-ini, ruangan rahasia?" "Ya," jawab Damien. "Hmm ... sepertinya, Tuan Damien tid
Tiffany membeku di tempatnya, darahnya terasa berhenti mengalir saat mendengar kata-kata Damien."Ayahmu sudah mati."Kalimat itu begitu dingin, begitu menusuk, hingga Tiffany merasa dunianya seakan runtuh seketika."Tidak ..." Bisiknya, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak mungkin ...."Damien tetap berdiri dengan ekspresi tanpa ampun, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah amplop dari laci kayu di dekatnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja tepat di hadapan Tiffany."Kalau kau tak percaya, lihat sendiri."Dengan tangan gemetar, Tiffany meraih salah satu foto itu. Begitu matanya menangkap gambarnya, perutnya terasa mual.Foto pertama menampilkan ayahnya dalam keadaan terluka parah, wajahnya penuh darah, bajunya sobek dan berlumuran cairan merah yang hampir mengering.Foto kedua lebih mengerikan. Ada pisau tertancap di dadanya, dan kedua betisnya berlubang seperti ditembus peluru. Tub
Keesokannya Tiffany berdiri di depan cermin, merapikan blazer hitam yang diberikan Damien. Rasanya aneh melihat dirinya mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang sejak tadi menyerang."Jangan banyak bicara di sana. Perhatikan, dengarkan, dan jangan membuatku kehilangan kesabaran," suara Damien terdengar dingin saat mereka masuk ke dalam mobil.Tiffany mengangguk pelan, matanya menatap lurus ke jalanan. Ini pertama kalinya ia akan melihat bagaimana Damien bekerja, dan ia tak yakin apakah itu hal yang baik atau buruk.Perjalanan menuju kantor Damien terasa hening, hanya sesekali suara dering telepon atau suara anak buah Damien yang memberi laporan. Tiffany tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Selama ini, ia hanya mendengar bahwa Damien adalah bos mafia yang berpengaruh, tetapi ia belum pernah melihatnya secara langsung dalam mode "pebisnis".Begitu sam
Tiffany tersungkur di lantai marmer yang dingin, tubuhnya gemetar di bawah tatapan tajam Damien Rael, bos mafia asal Italia yang sudah berkuasa selama hampir dua belas tahun. Pria itu berdiri tegak, tangannya memutar gelas berisi wine dengan santai, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun rasa iba."Kenapa harus aku? Kenapa bukan kakakku saja? Dia yang menyebabkan Anda keracunan makanan, Tuan," suara Tiffany terputus-putus, menggeleng dengan histeris. "Bukan aku," lanjutnya hampir tak terdengar, air mata mengalir deras dari kedua matanya."Hidup adalah soal tanggung jawab, dan keluargamu memutuskan bahwa kau yang harus menanggung tanggung jawab itu," jawab Damien, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Tapi, Tuan ... Aku tidak tahu apa-apa tentang masalah kalian! Mereka bukan keluargaku! Mereka hanya orang yang memungut ku dari jalanan, lalu menjadikanku budak. Kami tidak ada hubungan darah!" Tiffany berteriak kencang, berharap kata-katanya dapat menyentuh hati pria yang tak tergoyahka
"Masuklah," ucap pelayan yang telah mengantar Tiffany sampai ke depan sebuah pintu besar di ujung lorong, tidak lain ialah kamar Damien. Tiffany mengangguk. Sesaat memejamkan mata, sebelum akhirnya mendorong pintu. Megah, adalah kesan pertama tatkala memandang interior kamar yang lebih besar daripada rumah tempat ia dibesarkan. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal berkilauan, ranjang tidur berkanopi dilapisi seprai sutra hitam yang tampak mahal, karpet tebal menghiasi lantai, dan jendela besar tertutupi tirai beludru merah gelap. Semua memancarkan kekayaan dan kekuasaan. Sayangnya, tak sedikitpun Tiffany merasa tenang. Justru dia merasa seperti burung merpati kecil yang terperangkap di sarang predator. "Tanggalkan pakaianmu, dan naiklah ke pembaringan." Refleks Tiffany menoleh ke belakang, seketika itu juga matanya terbelalak, melihat Damien muncul di tengah suasana kamar yang remang-remang. Semakin dekat, semakin jelas pula sosoknya terlihat. "Cepat lakukan," ulang
Ragu-ragu Tiffany melangkah maju, mendekati Damien yang berhenti di ambang pintu. Lelaki itu memandang lurus ke depan, sedikitpun tidak tertarik untuk menoleh lawan bicaranya. "Jawab," minta Tiffany. Menarik napas dalam, Damien pun menjawab tanpa menoleh, suaranya datar, "Ya. Aku memang pembunuh. Dan akan kulakukan hal yang sama padamu, jika kau masih berani mencegahku. Tetaplah di sini, dan tunggu aku kembali." Tanpa menunggu persetujuan, Damien langsung melanjutkan langkahnya. Sedang Tiffany masih terpaku, menggelengkan kepala. Berharap tadi salah dengar, tapi jawaban Damien malah semakin terngiang. BOOM! Pupil matanya melebar saat mendengar suara ledakan, bergegas dia berlari ke jendela besar. Dari situ, Tiffany dapat menyaksikan bagaimana pelataran mewah mansion kini menjadi medan perang. Mayat-mayat bersimbah darah, bergelimpangan. Suara tembakan bersahut-sahutan, diikuti jeritan kencang membuat napasnya tercekat. Menggigit ujung jarinya, Tiffany berusaha menenangkan diri.
Dorongan keras Damien membuat Tiffany terhuyung, hingga kehilangan keseimbangan dan terjerembab di lantai dingin. Napasnya tercekat di kerongkongan, mendongak dengan mata berkaca-kaca, membalas Damien yang diliputi amarah. "Kau pikir kau siapa, hah? Sok-sokan membantu? Aku tidak butuh orang lain untuk melindungiku, Tiffany!" Amarah Damien meledak, memenuhi ruang kamar yang hening. Tiffany gemetar, air mata mulai berjatuhan, "Ma-maaf, Tuan... aku hanya mencoba peduli. Aku takut dia benar-benar akan menekan pelatuk itu. A-aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Tuan apalagi Tuan sudah terluka," jawabnya Hampir tak terdengar, menggigit bibir untuk meredam isak yang menyesakkan. Akan tetapi, Damien tidak bergeming. Dia berjalan mendekati Tiffany, bayangan besarnya mengungkungi tubuh kecil wanita itu, penuh intimidasi. "Peduli? Kau pikir itu alasan masuk akal? Kau tahu bertahan apa yang kau lakukan tadi, hanya membuat terlihat lemah di depan para brengsek itu! Kau tidak tahu apa-apa,
Tiffany tersentak mundur ketika sorot tajam Damien mengunci pandangannya. Dia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan menghunus lelaki itu. "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud lancang, a-a-aku hanya ingin memastikan Tuan merasa nyaman. T-tadi Tuan terlihat lelah jadi ku pikir, a-aku hanya ... aku hanya coba membantu. Aku tau itu tidak sopan, tapi tadi Tuan tertidur dan aku ... a-aku tidak bermaksud buruk—""Diam!" Dengan tegas Damien memotong kata-kata Tiffany yang sulit dimengerti. "Banyak sekali bicaramu," sambungnya dingin menusuk ke dalam hati. Tiffany tersentak kaget, napasnya tertahan, dan tubuhnya membeku. Kepalanya menunduk dengan cepat, menahan rasa malu dan takut yang bercampur. "Maaf, Tuan," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Terdengar getaran di setiap kalimatnya, seakan berusaha keras menenangkan diri meski jantungnya berdebar sangat kencang.Damien tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kalimat terakhirnya. Keheningan menyelimuti kamar mewah itu. Hingga tak la
Keesokannya Tiffany berdiri di depan cermin, merapikan blazer hitam yang diberikan Damien. Rasanya aneh melihat dirinya mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang sejak tadi menyerang."Jangan banyak bicara di sana. Perhatikan, dengarkan, dan jangan membuatku kehilangan kesabaran," suara Damien terdengar dingin saat mereka masuk ke dalam mobil.Tiffany mengangguk pelan, matanya menatap lurus ke jalanan. Ini pertama kalinya ia akan melihat bagaimana Damien bekerja, dan ia tak yakin apakah itu hal yang baik atau buruk.Perjalanan menuju kantor Damien terasa hening, hanya sesekali suara dering telepon atau suara anak buah Damien yang memberi laporan. Tiffany tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Selama ini, ia hanya mendengar bahwa Damien adalah bos mafia yang berpengaruh, tetapi ia belum pernah melihatnya secara langsung dalam mode "pebisnis".Begitu sam
Tiffany membeku di tempatnya, darahnya terasa berhenti mengalir saat mendengar kata-kata Damien."Ayahmu sudah mati."Kalimat itu begitu dingin, begitu menusuk, hingga Tiffany merasa dunianya seakan runtuh seketika."Tidak ..." Bisiknya, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak mungkin ...."Damien tetap berdiri dengan ekspresi tanpa ampun, lalu dengan tenang, ia mengambil sebuah amplop dari laci kayu di dekatnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja tepat di hadapan Tiffany."Kalau kau tak percaya, lihat sendiri."Dengan tangan gemetar, Tiffany meraih salah satu foto itu. Begitu matanya menangkap gambarnya, perutnya terasa mual.Foto pertama menampilkan ayahnya dalam keadaan terluka parah, wajahnya penuh darah, bajunya sobek dan berlumuran cairan merah yang hampir mengering.Foto kedua lebih mengerikan. Ada pisau tertancap di dadanya, dan kedua betisnya berlubang seperti ditembus peluru. Tub
Tiffany mengikuti langkah Damien yang selangkah lebih maju di depannya. Perasaannya campur aduk antara waspada dan penasaran. "Jika benar ini menuju ruangan itu, berarti aku tidak perlu susah payah untuk mencarinya di lain waktu," batin Tiffany sedikit bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama saat ia menyadari bahwa jalan yang mereka lalui bukan ruangan menuju dapur seperti yang tertera pada denah. Melainkan, semakin jauh, lebih jauh, suasananya sunyi, hanya derap suara langkah kaki saja yang terdengar. Setelah beberapa menit berjalan, langkah Damien berhenti di depan sebuah pintu baja berwarna hitam pekat, dengan sistem keamanan berupa sidik jari dan kode rahasia. Lelaki itu langsung menempelkan ibu jarinya ke sensor, lalu mengetikkan kode di layar kecil sebelah pintu. Klik! Pintu pun terbuka secara otomatis. "I-ini, ruangan rahasia?" "Ya," jawab Damien. "Hmm ... sepertinya, Tuan Damien tid
"Kau tidak mampu melakukannya?" "Bu-bukan begitu. Tapi, aku—""Lima menit, jika kau tak berani membuktikan ucapanmu, maka bersiaplah untuk menerima konsekuensinya." Interupsi yang Damien lontarkan tentu saja membuat Tiffany deg-degan setengah mati. Rasanya, ingin sekali menghilang ke dasar bumi agar terhindar dari pandangan Damien. Akan tetapi, Tiffany sadar itu sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan. "Tersisa tiga menit.""A-apa? Tiga menit?" serunya panik, "B-baiklah aku akan meneleponnya. Ta-tapi ponselku di kamar, aku akan mengambilnya dulu." Tanpa menunggu persetujuan Damien, Tiffany langsung berlari cepat menuju kamar. Kurang dari dua menit, ia sudah kembali ke dapur dengan napas terengah-engah. "Ini ponselku, aku akan telepon Jasper seka—eh?" Tiffany tersentak saat Damien merampas hape di tangannya. "Tuan, kenapa diambil? Bukankah Tuan ingin aku meneleponnya?" Hening. Damien tak menyah
"A-apa?" Alis Damien terangkat tinggi, "Buktikan." "E ... tuan, aku ...." Mendadak Tiffany kehilangan kata-kata, lidahnya terasa kelu ditikam permintaan itu. "Kenapa? Kau mulai ragu?" sindir Damien setengah berbisik. Ia tahu betul bahwa sikap Tiffany sekarang bukan murni karena ketulusan, melainkan kebohongan berbalut sikap manis untuk suatu tujuan. "Kenapa jadi seperti ini sih? Seharusnya aku tidak berlebihan tadi," dumel Tiffany dalam hati, merutuki diri yang terlalu antusias. Sekarang, dia dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Bertahan atau mundur, tetapi jika memilih mundur maka Damien akan mencurigainya lebih dalam. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka Tiffany pun terpaksa memilih opsi pertama. "Kau benar-benar membuktikannya," kekeh Damien saat melihat Tiffany bergerak mendekat, tanpa ragu naik ke pangkuannya, yang membuat Damien sedikit terkejut.Sementara itu, Tiffany berusaha terlihat percaya diri, meski
"Apa?" Tiffany menunggu dengan tidak sabar, tetapi pengawal itu seperti sengaja menunda-nunda untuk bicara. "Ah ... tidak apa-apa, Nona. Hmm ... tidak jadi. Aku lupa ingin mengatakan apa," jawab pengawal membuat Tiffany jengkel, tapi hanya bisa ia tahan. "Oh, begitu. Baiklah." Tiffany kembali menyandarkan punggungnya ke jok mobil. **Malam hari. Tiffany duduk di tepi ranjang, jemarinya gemetar saat mengeluarkan ponsel bututnya dari bawah bantal. Layarnya sudah penuh retakan, tapi foto yang terpampang di dalamnya tetap jelas, wajah seorang pria paruh baya dengan senyum hangat, mata penuh kasih yang selalu menenangkannya sejak kecil. "Ayah ... maafkan aku," gumamnya lirih, suaranya bergetar menahan isak tangis yang hampir pecah. Jemarinya mengusap layar, seakan bisa menyentuh wajah itu. Lalu, ingatannya terlempar jauh ke masa lalu, tepatnya di malam itu. Flashback ...Jeritan menggema di udara. Sua
Setelah berjam-jam menjalani perawatan, akhirnya Tiffany dapat bernapas lega. Sekarang, tubuhnya terasa lebih ringan, kulitnya lembut, dan otot-ototnya yang tegang seakan telah mengendur setelah berbagai perawatan pijat yang dilakukan oleh para terapis profesional. "Bagaimana Nona? Apa Nona menyukai terapis di spa kami? Mohon berikan rating dan ulasan di situs web kami, Nona. Kami tahu Nona bukan orang sembarangan, Nona adalah asisten Tuan Damien, bos mafia terkemuka di negeri ini," kata terapis itu memuji dengan lembut. "Kami akan sangat senang jika Nona bersedia memberikan bintang lima dan ulasan positif, dengan begitu spa kami akan semakin dikenal dan menjadi terpercaya," imbuhnya. Samar, Tiffany mengukir senyum tipis, "Tanpa aku datang pun, spa kalian memang sudah terkenal. Tapi baiklah, akan kuberikan ulasannya nanti, ya." "Terima kasih, Nona. Terima kasih banyak," ucap terapis itu. Tiffany mengangguk, lalu kembali mematut
Tiffany menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi itu percuma. Ia bahkan tidak menyadari saat pelayan wanita mulai mempersiapkan peralatan untuk perawatan tubuhnya."Nona, saya akan memulai dengan pembersihan wajah dulu, ya."Tiffany hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan. Matanya kosong, pikirannya melayang buana pada telepon masuk di hapenya. "Kira-kira siapa yang menelepon? Bagaimana kalau yang menelepon adalah Jasper? Bagaimana kalau pengawal itu mendengar sesuatu mencurigakan. Dan ... bagaimana kalau pengawal memberitahu kepada Tuan Damien?" "Nona?" Pelayan itu menatapnya dengan bingung, membuat empunya tersentak. "O-oh? Oh iya, silakan," jawabnya kemudian. Pelayan itu tersenyum simpul, kemudian mulai bekerja. Sayangnya, Tiffany sama sekali tidak menikmati perawatan tersebut. Setiap sentuhan lembut di kulitnya seperti sesuatu yang jauh, hanya memikirkan ponselnya yang berada di tangan orang lain.
Sesampainya di lokasi spa bernama "La Belle Luxe", Tiffany melirik keluar jendela mobil dengan tatapan tak percaya. Bangunan yang berdiri megah di hadapannya tampak begitu eksklusif, dengan arsitektur modern yang didominasi kaca dan emas. Pintu masuknya menjulang tinggi, dengan papan nama elegan yang menunjukkan tempat ini bukanlah spa sembarangan.Tiffany turun dari mobil dengan langkah ragu. Matanya masih terpaku pada kemewahan tempat itu, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Kenapa Damien sampai repot-repot mengirimnya ke sini? Apakah semua ini benar-benar hanya soal "menyambutnya dengan cantik"? "Silakan Nona," ujar pengawal mempersilakan Tiffany berjalan lebih dulu. "Terima kasih." Tiffany pun berjalan memasuki lobby, namun belum sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring dari dalam tasnya menghentikan langkah. Tiffany langsung merogoh tas dan melihat layar ponselnya menyala.Hatinya berdegup lebih cepat. Ia segera menoleh ke