Kaisar duduk di depan pos satpam sambil terus sesekali mengawasi kedalam rumah. Dua lelaki tadi tak kunjung keluar, entah apa yang mereka bicarakan didalam sana. Sebelumnya Kaisar tidak pernah merasa penasaran seperti ini dengan urusan orang lain terutama dengan urusan Anton, tapi entah kenapa kali ini terasa ada yang berbeda. 2 jam berlalu semenjak kedua lelaki asing tadi menginjakkan kaki di kediaman Anton, dan selama itu juga Kaisar masih memikirkan apa yang sedang ketiga lelaki itu bicarakan. Lebih tepatnya Kaisar benar-benar penasaran dengan dua lelaki asing tadi, terutama yang muda yang perkiraan Kaisar seusia dengannya. Kaisar sudah mencoba mencari jawaban atas segala rasa penasarannya itu kepada Pak Adi, tapi ia juga tidak tahu tentang siapa mereka dan tujuan mereka datang kesini. Disaat Kaisar sedang memikirkan semua pertanyaan yang ada dipikirannya, seseorang berjalan keluar dari rumah. Refleks Kaisar menoleh, bukan dua lelaki asing tadi yang keluar, bukan juga Anton atau
Kara masih memikirkan perkataan lelaki tua tadi, ucapannya membuat Kara kebingungan. Ia sudah bertanya ke orang-orang di rumah ini tapi tak ada satupun yang mengetahui maksud dari ucapan lelaki tua itu. Sebenarnya tidak semua orang masih ada seorang yang belum Kara tanyakan, orang yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, Anton. Kara ragu untuk menanyakan hal itu secara langsung kepada Anton, tapi rasa penasaran yang tinggi itu mengalahkan egonya. Seperti sekarang Kara tengah makan siang bersama Anton di ruang makan. Seperti biasa tak ada hal yang menarik untuk dibicarakan saat makan, baik Kara maupun Anton memilih untuk fokus dengan makanan masing-masing.Kara sudah tak tahan lagi, ia menghentikan aktivitasnya dan berdeham. "Om-om yang tadi itu siapa, Pah?"Anton langsung berhenti makan dan menoleh ke arah Kara. "Rekan kerja Papah, kenapa?""Tadi om itu bilang ke Kara kalau si Vino bisa jagain Kara, maksudnya apa?" ucap Kara. "Bukan Vino tapi Vano," ralat Anton. Kara me
Pagi-pagi sekali sebuah mobil memasuki kediaman Anton. Mobil yang tak lain ditumpangi oleh dua lelaki yang kemarin datang menemui Anton. Kaisar baru saja meregangkan badannya sambil menguap saat menyadari ada sebuah mobil terparkir rapi di halaman. Bergegas Kaisar menghampiri Pak Adi di pos satpam, lelaki paruh baya yang masih memakai sarung dan kaos oblong itu membawa secangkir kopi ditangannya. "Mobil siapa itu, Pak?" tanya Kaisar. Pak Adi keluar dari pos lalu duduk di kursi diikuti oleh Kaisar yang duduk disebelahnya. "Tamu tuan yang kemarin.""Pagi-pagi begini bertamu, seperti tidak bisa nanti siang saja," ucap Kaisar. Jam lima lebih sepuluh menit, terlalu pagi bagi seseorang yang akan bertamu. Ada peraturan tak tertulis yang seharusnya semua orang ketahui tentang adab bertamu ke rumah seseorang, salah satunya tentang waktu. Siapa orang yang akan menerima tamu jam segini? Tidak ada kecuali Anton. Entah hal penting apa yang sedang 3 lelaki itu bicarakan di dalam sana. Kaisar ju
"Ada kotak lagi."Ekspresi Kaisar langsung berubah tegang, dia menoleh kearah yang ditunjuk Pak Adi, dan benar saja disana tergeletak kotak hitam berukuran sedang. Vano yang kebingungan tidak tahu apa-apa memberanikan diri untuk mendekati kotak itu. Dibukanya pagar dan ia langsung berjongkok tepat didepan kotak tersebut. Vano menyentuh tutup atas kotak itu."Kotak apa ini?" tanya Vano. Kaisar ikut mendekati kotak itu, ia tidak berjongkok melainkan hanya berdiri persis disamping kotak hitam misterius itu. "Sudah kedua kalinya rumah ini dikirimi kotak hitam misterius," jawab Kaisar. "Kotak sebelumnya berisi apa?" tanya Vano. Kaisar menggelengkan kepala, tanda ia tak mengetahui sesuatu. "Entah, kotak itu langsung dibawa tuan."Vano hendak membuka kotak itu tapi langsung ditahan oleh Kaisar dan Pak Adi. "Jangan dibuka, kotak ini ditujukan untuk tuan kita tidak ada hak untuk membukanya," ucap Pak Adi. Kaisar membenarkan ucapan Pak Adi, Vano tidak bisa membantah. Vano membawa kotak
Vano masih terus sibuk membicarakan tentang kotak yang tadi pagi ditemukan. Kaisar dan Pak Adi yang mendengarkannya saja sudah muak, Kara sampai masuk ke dalam rumah karena sudah malas mendengar ocehan Vano. "Kalau dipikir-pikir si pengirim kotak ini berani juga," ucap Vano. Kaisar yang duduk di sudut ruangan sambil bersedekap dada menatap bingung. Salah satu alisnya naik tanda kebingungan."Maksud?""Ya berani, biasanya kalau mau neror orang biasanya lebih sering dilakuin pas malam hari kan?" ucap Vano. Kaisar mengangguk singkat."Nah kan, baru kali ini gue lihat orang neror pagi-pagi," lanjut Vano, "lo pernah liat orangnya?"Kaisar menggelengkan kepalanya, tapi Vano menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Ga mungkin," ucap Vano sambil menatap curiga. Kaisar memutar kedua bola matanya malas. Ia sendiri sebenarnya malas dan bosan bersama Vano, bodyguard baru itu terus-terusan bertanya tentang kotak misterius itu padahal Kaisar sendiri juga tidak tahu. "Terserah." Kaisar bangkit
Kara dan Vano sampai kembali di rumah setelah sekitar 30 menitan berada diluar. Untungnya saat mereka masuk, tak ada siapapun yang melihat mereka. Kara bernafas lega karena tak akan ada siapapun yang akan mengadukannya ke Anton. Kara menoleh ke Vano yang berada dibelakangnya. Lelaki itu menyerahkan beberapa batang bunga mawar merah kepada Kara, gadis itu mengambilnya lalu tersenyum puas."Makasih ya Vano," ucap Kara sambil tersenyum. Vano membalas senyuman lalu mengangguk. "Tentu, Nona."Kara berlalu pergi memasuki rumah, ia menyembunyikan bunga mawar yang dipetiknya kebelakang tubuhnya agar tidak dilihat oleh orang rumah. Setelah Kara masuk kedalam rumah, Vano kembali ke pos satpam dan duduk di kursi depan pos. Lalu tiba-tiba muncul Kaisar yang berjalan dari arah halaman belakang rumah, entah apa yang dilakukannya tapi kaos hitamnya sudah berganti menjadi kaos warna putih, tangannya juga kotor terkena tanah. Kaisar berjalan melewati Vano tanpa sedikitpun menoleh kearah lelaki itu.
Grita sesekali mencuri pandang kearah Anton yang tengah mengobrol dengan salah satu atasan perusahaan. Sejak saat Anton datang pagi tadi saja Grita sudah mengawasinya. Tak lebih dan tak bukan adalah tentang pekerjaan barunya ini, Dodi meminta dirinya untuk melakukan pekerjaannya dengan cepat. Dodi mau Grita memberikan kemajuan walaupun hanya sedikit. "Gimana mau deketin coba," ucap Kara pelan sambil menatap Anton. Lelaki itu terlihat berbincang dengan salah satu kepala bagian. Pembicaraan mereka sepertinya tidak begitu penting atau rahasia karena biasanya Anton membicarakan sesuatu apapun itu di ruangannya, tapi kali ini ia hanya berdiri tak jauh dari tempat Grita. "Udah dingin, sinis, cuek lagi. Belum apa-apa udah males aja gue," lirih Grita yang sedaritadi tak melepaskan pandangannya dari Anton. "Kalau bukan karena uang gue males banget deketin dia, tapi ya gue udah terlanjur tanda tangan kontrak sama Dodi."Jujur saja Grita tak tahu bagaimana harus memulai misinya. Ia juga bukan
Kara berjalan memasuki rumah sambil tersenyum bahagia. Kegembiraan meliputi seluruh isi hatinya. Ia tak bisa menahan garis senyum untuk tidak terukir di wajahnya. Jiwanya terbang tinggi seolah diberi kekuatan oleh seluruh cinta yang ada di dunia. Gadis bersurai hitam panjang itu bersenandung kecil seraya menari-nari tipis. Kegembiraan seolah meluap dari dalam dirinya. Bi Ina tengah berada di dapur saat ia melihat Kara yang nampak sangat bahagia. Segera ia menghampiri gadis itu. "Hayoo, kenapa senyum-senyum?" goda Bi Ina. Melihat Kara yang tersenyum bahagia membuat Bi Ina juga ikut tersenyum, seolah kebahagiaan itu menular. Gadis itu tersenyum malu-malu tatkala ada seseorang yang memergoki dirinya tengah merasa sangat bahagia. "Kara lagi seneng banget!" Saking senangnya, gadis itu sampai melompat-lompat kecil layaknya anak sekolah dasar. "Kenapa? Coba cerita sini," ucap Bi Ina. Selain menjadi wanita paling dewasa di rumah ini, Bi Ina juga seorang pendengar yang baik. Wanita itu s
Dunia ini memang sempit, jangan kira dengan miliaran manusia di dunia ini bukan menutup kemungkinan bahwa kita semua saling berhubungan. Entah itu tali persaudaraan atau hubungan lainnya. Siapa yang sangka bahwa pacarmu berselingkuh dengan atasanmu sendiri? tidak akan ada yang mengira itu. Bahkan dengan jarak yang jauh pun tidak menutup kemungkinan pacarmu akan bertemu dengan atasanmu sendiri. Jangan terlalu percaya dengan kata-kata 'setia' jika kau menjalani hubungan jarak jauh. Sudah banyak korbannya, Kaisar salah satunya.Vano saja yang mendengar pengakuan dari Kaisar, langsung terpaku dan merasa tak percaya. Hingga sampai ke depan rumah, Vano masih saja tak mampu berkata-kata saking terkejutnya."Ga usah syok gitu, gua coba lupain," ucap Kaisar kepada Vano saat mereka memasuki gerbang rumah."Siapa yang ga syok coba? lo cerita sana sama Bu Ina juga beliau bakalan kaget," balas Vano."Jangan, kasian orang tua."Vano tertawa, Kaisar hanya tersenyum simpul."Lain kali kalau ada masal
Udara terasa sejuk dengan embun yang masih menempel di dedaunan. Cahaya matahari perlahan muncul dari balik bukit, menyinari langit dengan warna keemasan yang lembut. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan menyejukkan setiap sudut suasana pagi. Burung-burung berkicau riang, seakan menyambut datangnya hari baru dengan ceria. Di kejauhan, kabut tipis melayang-layang di atas pepohonan, menciptakan pemandangan yang menenangkan hati.Vano bangun lebih pagi dari biasanya. Seperti rutinitas biasa ia akan berlari mengelilingi kompleks perumahan. Namun ternyata Kaisar sudah lebih dulu bangun, ia juga lebih dulu lari pagi, Vano mengejarnya."Kenapa lo? ada masalah cerita, Spill it out," ucap Vano yang berlari kecil di samping Kaisar.Kaisar awalnya hanya diam saja. Hingga Vano menghela nafas kasar."Kayak cewek lo, ada apa-apa cerita sama gua, gausah sok-sokan gapapa," sinis Vano.Kaisar menoleh sekilas ke Vano, lalu kembali menghadap depan."Urusan pribadi," jawabnya singkat."Ken
Malam itu, kamar Grita remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu meja yang temaram. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jarinya melayang-layang di atas layar, sementara pesan dari Anton yang masuk terus menunggu balasan darinya. Pesan-pesan itu biasa, seolah percakapan rutin seorang pria yang mulai tertarik pada wanita. Namun, bagi Grita, setiap pesan adalah pengingat tugasnya yang berat. Bukan hanya risih, hatinya terasa tertusuk setiap kali harus membalas perhatian Anton dengan kata-kata yang ia tahu kosong dari ketulusan.Pesan terakhir Anton tertera di layar.'Sudah sampai rumah, Grita?'Grita memandangi kata-kata itu lama, jari-jarinya berhenti bergerak. Mengapa pria ini, yang tadinya begitu dingin dan tak terjangkau, kini peduli apakah ia sudah sampai rumah atau belum?Sambil menarik napas panjang, Grita mulai mengetik balasan.'Sudah, Pak Anton. Baru sampai tadi. Terima kasih sudah menanyakan.''Maaf ya tadi saya tidak bisa antar kamu pulang, kebetulan
Kamar itu sunyi, hanya ditemani suara detak jam di dinding dan bayangan lembut cahaya yang menerobos dari celah jendela. Udara terasa sejuk, dan setiap sudutnya seakan dipenuhi keheningan yang menggantung. Kara berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit dan hampa. Sejak pengakuan Anton terucap, seakan ada dinding tak kasat mata yang yang berdiri di antara Kara dan dunianya. Ia tak lagi bisa berbicara dengan ayahnya, rasa marah dan terluka itu masih tersimpan penuh dihatinya. "Kenapa? kenapa papah ga nepatin janjinya?" lirih Kara. Dalam kesendirian itu, Kara berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Memahami alasan di balik tindakan ayahnya, mencari-cari pembenaran yang mungkin bisa membuatnya sedikit saja merasa lega. Namun, semakin ia mengingat kejadiannya semakin dalam pula luka yang ia rasakan. Tak ada pembenaran yang mampu menghapus kecewa yang begitu dalam. Tanpa sadar malam mula
Langit-langit kantor itu rendah, dihiasi dengan lampu-lampu neon yang bersinar lembut namun dingin, memantulkan bayangan samar di lantai beton yang halus. Dinding-dindingnya abu-abu kusam, tanpa hiasan atau jendela yang mengarah ke dunia luar. Di sudut-sudut ruangan, beberapa karyawan bekerja di depan monitor yang berderet rapi, jari-jari mereka menari di atas keyboard tanpa suara. Suara pendingin ruangan yang mendengung pelan menambah suasana kaku dan serius. Setiap orang yang berjalan di koridor melangkah dengan langkah cepat, tatapan mata penuh konsentrasi, menyembunyikan seribu rahasia. Pembicaraan antar karyawan jarang terjadi, dan jika pun ada, selalu bisik-bisik penuh kehati-hatian, seakan dinding memiliki telinga. Dodi duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan yang berserakan di meja. Suara ketikan keyboardnya menghiasi keheningan, saat ia terfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Tiba-tiba, suara notifikasi ponselnya menggema, menarik pe
"Halo?" ucap Anton. "Oh iya, halo tuan." Anton mengerutkan kening, ini bukan suara Kara. "Bi Ina?" "Iya tuan, ini bibi." "Kok ponsel Kara ada bi Ina?" tanya Anton bingung. "Jadi gini tuan, bibi teh cuma mau nanya ini kenapa kok ponselnya non Kara ada di lantai ruang tamu, terus kok si non ga mau keluar kamar, dikunci dari dalem, bibi panggil juga ga nyaut, non kenapa ya tuan?" Anton terdiam. Kara meletakan ponsel sembarangan itu sudah biasa, tapi menguci kamar dan tidak menyaut bukanlah Kara biasanya. Ada apa dengan gadis itu? apa ini ada hubungannya dengan percakapan antara Anton dengan Kara kemarin? "Kara gak mau keluar dari kamar, bi?" "Iya tuan. Tapi tadi mas Vano udah nge cek dari balkon katanya non gapapa." Vano? batin Anton. "Syukur Kara gapapa, kalau terjadi apa-apa bilang aja ya, bi." "Oh iya baik tuan." Panggilan terputus. Meninggalkan banyak sekali pertanyaan di benak Anton. Ia akan mengetahui jawabannya nanti. *** Gosip tentang hubungan Anton dan Grita mula
Di kantor, suasana terasa begitu sibuk dan penuh dinamika. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membawa dokumen atau sibuk berbicara di telepon. Mesin fotokopi berdering tanpa henti, mengisi udara dengan suara ritmis yang menjadi latar bagi percakapan di sekitar. Di pojok ruangan, terdengar suara tuts keyboard yang ditekan cepat, tanda dari seorang karyawan yang tengah berkejaran dengan tenggat waktu. Di ruangan lainnya, ada rapat yang sedang berlangsung; suara diskusi terdengar samar, sesekali diiringi dengan tawa kecil atau gumaman tanda setuju. Ruang kerja berhiaskan pot-pot tanaman hijau untuk menambah kesegaran di antara deretan meja yang penuh dengan berkas dan laptop yang menyala. Di ruangan besar tempat para staf bekerja, ada papan tulis yang penuh dengan coretan ide dan target mingguan. Aroma kopi tercium dari arah pantry, menjadi penguat semangat di pagi hari bagi mereka yang baru memulai aktivitasnya. Beberapa karyawan duduk sambil mengetik dengan serius, sementara yang lai
***Pagi hari di rumah mewah itu terasa damai, ketika sinar matahari perlahan menyusup di antara dedaunan pohon besar yang mengelilingi, menciptakan pola cahaya yang indah di halaman. Suara burung berkicau lembut mengisi udara, sementara embun pagi masih menempel di rumput hijau, menambah kesegaran suasana. Aroma bunga-bunga yang bermekaran berpadu dengan udara segar, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di tempat ini.Sinar matahari baru mulai menyinari halaman rumah mewah di mana Vano, bodyguard yang selalu siaga, berdiri di depan pos satpam, melakukan sedikit pemanasan. Suara burung berkicau mengiringi suasana tenang, hati Vano juga merasakan ketenangan yang sama. Ia memperhatikan rekannya, Kaisar, yang sepertinya tidak bersemangat. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya; ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.Vano mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang terjadi. Biasanya Kaisar meski pendiam, selalu memiliki aura tenang yang b
Kara duduk di balkon kamarnya, malam itu terasa begitu sunyi. Angin dingin berhembus lembut, namun justru membuat hatinya semakin terasa perih. Ia menatap langit gelap yang berhiaskan bintang-bintang, berusaha mencari ketenangan di antara kerlipan cahaya kecil itu. Namun, pikirannya terus kembali ke satu momen yang membuat hatinya hancur—saat Anton, ayahnya, mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan Grita, sekretarisnya. Kata-kata Anton tadi terngiang jelas di benaknya. Ia masih ingat raut wajah ayahnya, serius namun tak bisa disembunyikan dari sorot mata. Bagi Kara, kata-kata itu tidak hanya menghancurkan kepercayaannya pada Anton, tetapi juga meruntuhkan bayangan tentang keluarga yang ia kira masih utuh, meski ibunya sudah tiada. Sambil memeluk lututnya, Kara menundukkan kepala, menahan sesak yang mengisi dadanya. “Papah udah ga sayang sama mamah lagi…” gumamnya lirih. Di tengah keheningan malam, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri, pada langit, atau mungkin pada ibunya y