Vicky terkejut sejenak, lalu menyentakkan tangannya. "Kau membelanya?"
Cassie mendesah pelan. "Aku tidak membela siapapun. Aku hanya tidak suka melihat seseorang melampiaskan kemarahan tanpa alasan yang jelas,"
Vicky tertawa sinis. "Tanpa alasan? Kau tahu persis alasan ini. Nate dipecat! The Dominion Club berantakan! Semuanya karena wanita ini!" pekiknya, begitu keras sambil menunjuk Belle.
Cassie menggelengkan kepala. "Yang membuat semua berantakan adalah Dante sendiri. Jika kau ingin menyalahkan seseorang, salahkan dia. Bukan Belle,"
Belle masih terdiam, mendengarkan pertengkaran di depannya. Dia sendiri juga masih tertegun, tidak menyangka Cassie akan tiba-tiba datang dan membelanya.
Vicky mendecakkan lidahnya. “Apa kau ma
Langit mulai menggelap ketika Belle melangkah dengan gontai menuju rumah. Sepanjang hari ini, dia berkeliling kota. Mengunjungi berbagai kantor dan toko, berharap mendapatkan pekerjaan. Tetapi hasilnya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya—tidak ada harapan.Namun tepat saat dia berbelok di gang kecil yang menjadi jalan pintas menuju rumah, langkahnya terhenti. Dante Hudson berdiri di sana.Punggung pria itu tegap. Tangannya terselip di saku celana dan matanya yang tajam berkilat dingin di bawah temaram lampu jalan. Jasnya yang mahal terlihat rapi seperti biasa. Meski ekspresi wajahnya sama sekali tidak ramah.Belle merasa detak jantungnya berdegup lebih kencang. "Minggir," tukasnya.Dante tidak bergerak. Dia hanya menyeringai menatap Belle. Seakan girang, berhas
Dante menyeringai melihat ekspresi kesal sekaligus ragu di wajah Belle. Tanpa menunggu persetujuan, Dante meraih pergelangan tangan Belle dan menariknya menuju mobilnya yang terparkir di dekat trotoar."Aku bisa jalan sendiri!" Belle meronta, berusaha melepaskan diri. Tetapi genggaman Dante terlalu kuat.Belle menatap mobil Rolls-Royce Phantom hitam itu dengan enggan. Dia tidak ingin masuk. Tapi perutnya yang lapar memberi pengingat lain, seolah mengolok harga dirinya. Akhirnya, dengan mendengus kesal, dia masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa.“Selamat malam, Nona Monaghan,” sapa Fabian di kursi pengemudi.Belle sempat terkejut. Tidak menyangka akan ada orang lain selain mereka. Namun itu tidak berlangsung lama saat Dante bergerak masuk, duduk di sampin
Vicky melangkah masuk ke kantor Hudson Group, tempat di mana Dante biasanya menghabiskan waktu hingga larut. Stiletto mahalnya berbunyi nyaring setiap kali menyentuh lantai marmer yang berkilau.Dia tidak perlu meminta izin untuk masuk ke ruangan Dante. Semua orang di kantor ini tahu siapa dirinya—Victoria Albright, salah satu anggota inti The Dominion Club. Seseorang yang memiliki akses istimewa ke dalam lingkaran eksklusif Dante Hudson.“Oh, kau datang,” sapa Dante.Dante sedang duduk di belakang mejanya, mengenakan kemeja hitam yang lengannya tergulung hingga ke siku. Matanya yang tajam segera terangkat begitu Vicky membuka pintu tanpa mengetuk."Apa yang kau lakukan?" sambar Vicky.Dante menyandarkan tub
Sinar matahari menembus tirai tipis yang menggantung di jendela dapur kecil rumah keluarga Monaghan. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Di meja makan, Emily duduk dengan tatapan penuh selidik. Menatap putrinya yang sibuk mengoles selai stroberi pada roti.Emily menyilangkan tangan di depan dada. “Kenapa akhir-akhir ini kau selalu berangkat terlambat? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya,”Jantung Belle berdebar. "Aku hanya ... pekerjaanku tidak sepadat dulu, jadi aku bisa lebih santai," jawab Belle pelan, mencoba mengulur waktu.Emily mengernyit. “Aku tidak pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Kau bahkan tidak pernah terburu-buru lagi di pagi hari,"Belle meremas jemarinya di bawah meja. Mencoba mencerna rotinya dengan susah payah.
“Ini benar-benar tidak seperti dirimu,” ucap Dante lalu menyeringai. “Jadi kau sudah menyerah mencari pekerjaan yang setara seperti di Hudson Group?”Belle mengepalkan tangan, sangat geram. “Pekerjaan ini masih lebih baik daripada tawaranmu yang tak bermoral itu,”Tapi Dante tidak peduli. Bibirnya melengkung, matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan sorot tajam dan kritis. Ruangan itu kecil, bahkan lebih kecil dari yang Dante bayangkan. Dindingnya dipenuhi rak kayu tua yang sudah mulai lapuk, sementara meja kasir tampak lusuh dengan beberapa tumpukan buku keuangan yang terlihat berantakan.Dante menyapukan jarinya di atas salah satu meja kayu, mendapati ada sedikit debu di sana. Rahangnya mengeras. Tidak ada sistem, tidak ada pengelolaan yang baik. Toko bunga ini lebih mi
Dante melirik Belle yang masih berdiri kaku di tempatnya. Sudut bibir Dante terangkat sedikit, menikmati ekspresi kesal yang belum sempat hilang dari wajah wanita itu sejak Dante mengaku sebagai kekasihnya di depan Emily.Dengan santai, Dante memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Lalu berbalik menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar dari toko bunga kecil itu, dia menoleh lagi ke arah Belle.“Aku akan pergi untuk sementara waktu,” kata Dante.Belle mengerutkan kening. “Pergi?” ulangnya.Dante mengangguk. “Urusan pekerjaan. Aku tidak akan ada di kota untuk beberapa waktu,”“Jadi? Apa hubungannya denganku?” kata Belle sinis. Menutupi kegelisahannya dengan bersikap defensif
“Kenapa kau masih membicarakan itu?” tanya Eddie dengan nada datar. “Apakah penting?” Eddie memasang ekspresi datar, seperti tidak ada suatu masalah.Belle menelan ludah. “Cassie mendatangi rumahku waktu itu,” akunya. “Dia bahkan … tanya apa aku punya hubungan spesial denganmu,” Dia menunduk, sedikit malu untuk menatap Eddie.Eddie seketika menegang. “Kenapa kau tidak bilang padaku? Kenapa diam saja?” cecar Eddie.“Aku ingin, tapi—” Belle mendadak diam. “Aku tidak tahu harus bagaimana,”Eddie menghela napas panjang. Dia meletakkan mawar putih yang tadi dia beli ke atas meja, seolah tiba-tiba kehilangan minat. Yang dia lakukan kini hanya menatap lurus ke arah Belle, dengan eks
Belle menggigit bibir. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah mendengar pertanyaan Eddie. Dia mencoba mencerna kata-kata pria itu, mencoba memastikan apakah Eddie benar-benar serius atau hanya sekadar melemparkan candaan iseng seperti biasanya.Namun, matanya tidak menangkap tanda-tanda gurauan di wajah pria itu—sampai akhirnya Eddie tiba-tiba tertawa.Suara tawanya memenuhi toko bunga yang sepi itu. Ringan dan terdengar seperti ejekan kecil yang membuat Belle semakin tegang."Astaga, Belle," tukas Eddie di sela tawanya. "Kau benar-benar tegang, ya?"Belle mengerjapkan matanya. “Apa maksudmu?”Eddie menggelengkan kepala dengan senyum jahil. "Aku hanya bercanda. Sant
Setelah seharian bekerja, Dante duduk di kursi kantornya dengan tangan yang bertaut di depan wajah. Fabian berdiri di dekat pintu, memegang tabletnya sambil melirik sekilas jadwal sang majikan.“Jadwal Anda kosong malam ini,” kata Fabian tenang.Dante terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat kepala. “Antar aku ke rumah Belle,” ucapnya pelan.Fabian tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Dalam hati dia sudah menduga ini akan terjadi. Dante bisa saja berusaha bersikap seolah Belle tidak berarti apa-apa, tetapi tindakannya selalu berlawanan dengan kata-katanya.Tanpa banyak bicara, Fabian mengangguk dan segera mengatur perjalanan mereka. Mobil melaju tenang di bawah langit malam yang gelap, lampu-lampu kota berkedip samar di kejauhan. Dante duduk di kursi belakang, pandangannya kosong menatap ke luar jendela.Sesampainya di depan rumah Belle, mobil berhenti perlahan. Dante tidak langsung turun. Dia hanya duduk di sana, menatap rumah yang tampak sunyi dari balik kaca. Lampu di dal
Keesokan paginya, Belle keluar dari rumah dengan wajah yang tampak lelah dan mata yang sedikit sembab. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran tentang cara membantu keluarganya yang sedang hancur.Namun saat Belle melangkah keluar dari pintu rumah, dia terkejut melihat sosok Eddie yang berdiri di depan pagar. Bersandar pada mobilnya."Eddie?" Belle mengernyit, bingung."Kau mau ke mana?" tanya Eddie."Aku... ingin mencari pekerjaan. Aku harus melakukan sesuatu untuk membantu Mom dan Dad,"Eddie mendekat, berdiri tepat di hadapan Belle. "Jangan selalu berlagak kalau kau sendirian," ucapnya. “Aku akan selalu melindungimu,”Belle terdiam. Hatinya bergetar mendengar kata-kata Eddie. “Bagaimana kalau kau coba ini?” Eddie menyerahkan ponselnya, yang menunjukkan sebuah posisi di rumah sakit milik keluarga Kingsley.Belle terdiam menatap Eddie. "Kau tahu aku bukan dokter atau perawat, kan? Aku bahkan tidak punya pengalaman di bidang medis," ujar Belle dengan
Belle duduk di sudut kamar, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit senja yang seharusnya indah terasa kelabu di matanya.Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu rapi. Terlalu sempurna untuk disebut sebagai kebetulan. Namun, siapa yang membenci keluarganya sampai tega menghancurkan mereka seperti ini?Tanpa sadar, air mata Belle kembali mengalir. "Apakah ini hukuman darimu, Dante?" isaknya.Belle menggigit bibirnya. Dia tahu Dante pria yang kejam, tapi... tidak mungkin Dante tega menghancurkan hidupnya sampai seperti ini, kan? Tapi siapa lagi yang bisa melakukannya?Di luar, Eddie masih berdiri di depan rumah Belle. Dia tahu wanita itu sedang terluka. Tetapi Belle terlalu keras kepala untuk membiarkan siapa pun masuk ke dalam dinding pertahanannya.“Apa benar ini ulahmu, Dan?” gumam Eddie, mendongak menatap rumah Belle.***Malam itu, Eddie langsung menghubungi seseorang yang selama ini menjadi "telinga dan mata" Dominion Club di balik layar, Alexander Har
Sofia berdiri dengan wajah tegang sambil menyerahkan sebuah map tebal berisi semua informasi tentang Belle. Evelyn duduk di kursi beludru berwarna gading, dengan secangkir teh di tangan. Wanita itu tampak tenang."Sudah kau dapatkan semuanya?" tanya Evelyn tanpa menoleh.Sofia mengangguk sambil meletakkan map itu di meja. "Semua yang Anda minta,”Evelyn meletakkan cangkir tehnya dan membuka map itu perlahan.Di sana ada foto Belle yang tersenyum lembut di depan toko bunga miliknya, Emily's Garden. Foto keluarganya. Foto bengkel kecil milik Patrick, ayahnya. Bahkan informasi tentang Belle yang sempat putus kuliah karena ibunya sakit keras juga ada di dalam laporan itu.Evelyn tersenyum miring.“Dia menyedihkan… tapi justru itu yang membuat Dante begitu terikat padanya," gumam Evelyn sambil membolak-balik halaman."Saya juga menemukan sesuatu yang... menarik, Nyonya," ujar Sofia.Sofia menarik napas dalam, lalu menyerahkan sebuah amplop lain yang berisi foto-foto lama."Isabella pernah
Eddie memperhatikan Belle yang sejak tadi diam dan terus melirik ke arah Dante. mendekatkan wajahnya ke Belle. “Apa kau ingin pergi dari sini?”Belle tersentak. "Hah? Tidak... Aku baik-baik saja."Eddie tersenyum kecil. "Kalau begitu... ayo berdansa," ajak Eddie, menarik tangan Belle menuju lantai dansa.Belle terkejut. "Eddie, aku—"Tapi Eddie sudah terlanjur menarik tangan Belle ke tengah lantai dansa. Dan Belle tidak bisa menolak lagi.Dante yang sejak tadi memperhatikan mereka dari kejauhan, matanya semakin gelap saat melihat Eddie memeluk pinggang Belle dan mulai berdansa. Dante meremas gelas wine di tangannya hingga retak.Lex bersandar di bar dengan gelas
Dante dan Evelyn tiba di pesta eksklusif yang diadakan oleh salah satu anggota The Dominion Club. Di sebuah ballroom mewah dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang berkilauan.Evelyn mengenakan gaun hitam sederhana, tanpa banyak detail berlebihan. Tetapi caranya melangkah dengan penuh percaya diri membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan para wanita sosialita yang selama ini memuja Dante.Evelyn bukan sekadar wanita cantik. Dia berbahaya. Elegan, cerdas, dan tak terjamah.Dante yang berdiri di samping Evelyn dalam setelan jas hitam, terlihat semakin dingin dan tak tersentuh. Namun di balik matanya yang tajam, ada kekacauan berkecamuk di hatinya. Sejak Belle menolaknya, Dante kehilangan arah.Lex dan Jamie yang memperhatikan dari
"Belle, kau sakit?" tanya Emily khawatir.“Tidak, Mom... Aku hanya... lelah,” jawab Belle dengan suara parau. Dia tidak ingin bangun. Tidak ingin menghadapi dunia setelah kejadian semalam.Ibunya membuka pintu dan melangkah masuk. Dengan lembut, Emily duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut putrinya."Kau tidak perlu memaksakan diri untuk ke toko hari ini," ucap Emily lembut. "Kalau kau butuh waktu untuk sendiri, istirahatlah," Meski tidak terlalu tahu apa yang terjadi, namun Emily bisa menebak jika ini ada hubungannya dengan kisah cinta anaknya.“Terima kasih, Mom,” bisik B
“Tidak!” Belle berkata dengan suara bergetar. “Kau … kau sudah milik orang lain. Aku tidak mungkin—”"Siapa yang memberitahumu?" sambar Dante, cukup terkejut."Apakah itu penting?" Belle menatapnya penuh luka. "Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian saat kau bosan dengan wanita kaya pilihan keluargamu?"Dante mendekat, tetapi Belle melangkah mundur.“Kau salah paham,” terang Dante."Tidak ada yang perlu dijelaskan," Belle memotong. “Harusnya memang sejak awal aku mengerti, dunia kita terlalu berbeda,”Dante terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak. Sementara Belle menahan air matanya yang hampir jatuh.
Eddie bersandar di ambang pintu toko bunga milik Belle, memperhatikan wanita itu yang sibuk merangkai bunga. Jari-jari Belle yang lentik dengan cekatan memilih kelopak demi kelopak, mengatur warna, tekstur, dan aroma dengan keahlian yang membuat Eddie terpesona.Cahaya matahari sore membiaskan sinar keemasan yang membingkai sosok Belle dengan indah. Eddie merasa hatinya menghangat hanya dengan melihat Belle begitu damai di tengah kesibukannya.“Kenapa kau terus menatapku seperti itu?” tanya Belle tanpa menoleh.Eddie tersenyum kecil, lalu mendekat. “Karena aku suka melihatmu bekerja. Kau terlihat... hidup,”Belle terkekeh pelan, tapi wajahnya sedikit memerah. “Aku hanya merangkai bunga, Eddie,”