Berlari saat turun gunung adalah satu hal yang baru pertama kali di lakukan oleh keduanya, mereka yang baru saja tiba di puncak beristirahat sejenak dari lelahnya pendakian kini harus turun sambil berlari. Mereka tidak mau jika Anthonio akan menyusul mereka turun. "Kamu masih kuat?" tanya Gavriel. Dia menoleh melihat Daniella yang berlari di belakangnya. Wajahnya sangat lelah, napasnya pun putus-putus. Gavriel berhenti dan mengajaknya untuk beristirahat sebentar, namun Daniella menolak. Dia ingin segera turun dan terbebas dari Anthonio. "Tidak! kamu istirahat, kamu bisa terluka jika memaksakan diri untuk turun." Daniella menggeleng. "Anthonio tidak akan tinggal diam, dia akan menyadarinya dan segera menyusulku. Kau dan Kakek dalam bahaya." "Jangan khawatir. Aku tau apa yang harus aku lakukan, aku pastikan Kakek Michael baik-baik saja." Gavriel meraih tangan Daniella, mengusap punggung tangannya dengan lembut dan menyuruh Daniella untuk istirahat, tetapi Daniella tetap menolak
Gavriel tau, seseorang telah mengincarnya. Dia juga sudah tau apa yang harus dia lakukan. Menjaga Daniella dan memastikan Daniella kembali ke Indonesia dengan selamat. Gavriel melirik Daniella yang sudah terlelap di sampingnya, perempuan itu pasti kelelahan setelah mendaki gunung. Saat ini mereka menuju sebuah tempat Camping yang sudah di Booking oleh Gavriel. Perjalanan yang di tempuh sekitar satu jam. Mereka tiba di sebuah tempat camping dengan view bukit-bukit kecil dan Danau. Ada banyak tenda yang di sewakan disana, di lapangan terlihat anak-anak kecil berlarian, bermain bersama teman seusia mereka dan orang tua mereka. Sebelum turun dari mobil, Gavriel mengawasi sekelilingnya. Merasa aman, dia membangunkan Daniella. "Sudah sampai?" tanya Daniella, lalu mengerang pelan karena kakinya yang sakit. Daniella melemparkan pandangannya keluar jendela mobil. Ekspresinya berubah cerah melihat pemandangan sore itu. "Kita beneran camping?" tanya Daniella. Gavriel menganggukan kepalanya
Anthonio tentu saja marah, karena dia mendapat kabar jika Daniella pergi bersama Gavriel. Dia juga marah pada dirinya sendiri, karena dia tidak menyadari rencana dari Gavriel. Dia mengakui Gavriel lebih cerdas dari apa yang dia pikirkan. Bagaimana bisa Gavriel lolos dari sang pembunuh bayaran yang sudah dia sewa? Anthonio menghubungi Dion malam itu. "Apa yang kamu kerjakan selama ini? bagaimana bisa Gavriel bisa selamat dan mengetahui keberadaan saya dengan Daniella? Saya sudah mengeluarkan begitu banyak uang untukmu!!! Apa yang sudah kamu kerjakan, huh?" Anthonio membentak Dion, nada bicaranya sangat marah dan mungkin saja jika Dion ada di depannya, sudah di pastikan dia akan menghajar Dion. "Kamu marah karena Gavriel bisa menemukanmu atau karena Daniella lepas dari pengendalianmu?" tanya Dion. Pria itu terkekeh pelan. "Kau sungguh memuakan! kau yang berkhinat dan sekarang kau menyalahkan orang lain untuk kesalahan yang sudah kau buat. Kau hanya mengandalkan uangmu tetapi tidak de
Anthonio bersenandung ceria, dia memutar badannya sambil memegang gelas Wine di tangannya. Di depannya ada seorang pria yang duduk santai sambil memperhatikan Anthonio. "Jadi, mereka menyuruhmu untuk membunuhku?" tanya Anthonio sambil tertawa. "Mereka lebih bodoh dari yang aku pikirkan." Kata Anthonio. Dia merasa kesal dan marah atas pengkhianatan yang dia terima, namun dia begitu bahagia karena mendapatkan banyak informasi dari pembunuh bayaran itu. "Aku ingin kau membereskan orang yang sudah menyuruhmu untuk membunuhku. Aku akan membayar lebih." Katanya. Kali ini dia akan menargetkan Dion, karena pria itu sudah berniat untuk membunuhnya. Dion sudah melakukan kesalahan yang fatal. Soal Gavriel dan Daniella, dia akan menyelesaikan semuanya secara perlahan. Yang paling penting saat ini adalah menghabisi Dion. Pembunuh bayaran itu pergi setelah dia mendapatkan instruksi dari Anthonio. Anthonio tidak sabar menunggu kabar baik yang akan dia terima sebentar lagi. Di sebuah h
Gavriel membangunkan Daniella perlahan-lahan, padahal perempuan itu masih terlelap dalam tidurnya. Langit masih begitu gelap, udara dinginpun terasa menusuki kulit mereka. "Sayang maaf, aku harus membangunkanmu," ucap Gavriel pelan dan lembut. "Ayo, kita harus siap-siap." Katanya. "Kita mau kemana?" tanya Daniella dengan mata yang masih terpejam. Dia membuka matanya perlahan-lahan dan mengerutkan dahinya melihat Gavriel yang sudah rapi dan sudah membereskan barang-barang mereka. "Ayo bangun dulu, dan siap-siap." Katanya lagi. Dia mengambil sebuah jaket dan memberikannya pada Daniella. Daniella bangun dan duduk sambil mengusap-usap matanya. Dia menatap Gavriel yang sibuk memakaikan jaket padanya. "Ada beberapa hal terjadi di luar perkiraanku." Katanya. Sambil membantu Daniella mengenakan jaket, Gavriel memberitahu perempuan itu jika Anthonio mengetahui keberadaan mereka. Entah siapa yang sudah dia sewa untuk membuntuti Daniella dan Gavriel. Mendengar ucapan Gavriel, Da
Anthonio mencengkram ponselnya dengan raut wajah penuh kemarahan. Dia tidak suka dia kalah dari Gavriel, dia tidak suka Gavriel selamat dari rencana pembunuhan yang sudah dia lakukan. Kali ini, Gavriel bisa kembali ke Indonesia dan membawa Daniella bersamanya. "Kau pikir kau bisa selamat dariku Gavriel? Aku bisa membunuh Dion di Negara orang, apalagi di tanah kelahiranku sendiri. Aku pastikan kau tidak akan selamat." Gumamnya dengan suara bergetar penuh amarah. "Whoah!!! sungguh luar biasa bisa melihatmu duduk setenang ini, Anthonio!" suara menggelegar Allena terdengar. Sebelumnya dia memang menghubungi Anthonio dan mengajaknya untuk bertemu. Anthonio menerimanya dan menyuruhnya untuk datang ke tempat penginapannya. "Tadinya aku berpikir bukan kau yang melakukannya, tetapi melihatmu duduk setenang ini setelah kematian Dion dan kecelakaan yang menimpa Fendy, aku jadi tau kaulah pelakunya." Allena menyerukannya dengan sangat lantang, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya.
Rasanya lega bisa kembali ke Indonesia dengan selamat, walaupun masih ada bahaya yang mengancam mereka. Di bandara sudah ada Alberto yang datang menjemput Daniella dan Gavriel. "Bagaimana? apakah semuanya aman?" tanya Gavriel pada Alberto. Alberto memberitahu Gavriel tentang hal-hal yang sudah dia kerjakan. Di dalam mobil Daniella tertidur lelap di samping Gavriel sambil memegang tangan pria itu. Selama Alberto menjelaskan apa yang dia kerjakan selama ini, Gavriel juga melihat beberapa data yang di simpan Alberto di Tab nya yang sedang di baca Gavriel. "Okay. Kau sudah mengurusnya dengan baik. Soal Allena ... apakah dia setuju?" tanya Gavriel. "Dia setuju tanpa membaca kontrak yang kita berikan." "Aku sudah tau itu akan terjadi. Dia terlalu bersemangat dengan kerjasama yang kita ajukan." Gavriel lega, setidaknya dia sudah membawa Allena masuk ke perangkapnya. Dia hanya membutuhkan orang-orang terdekat Anthonio untuk menghancurkannya. Selain itu, dia juga sudah menyuru
Hal pertama yang Daniella sadari adalah saat ia terbangun dari tidurnya. Saat itu dia sudah berada di dalam kamarnya, padahal dia ingat semalam dia mengikuti Gavriel ke ruang kerja dan menungguinya disana. Sepertinya dia ketiduran dan tidak sadar saat Gavriel menggendongnya ke dalam kamar. Daniella bangun dan duduk, lalu merenggangkan tangan dan lehernya, setelah itu dia melihat jam yang ada di dinding kamar Gavriel. Mata Daniella terbelalak lebar, apakah dia tidur selama itu? pikirnya. Jarum jam sudah menunjukan pukul satu siang. "Tubuhku terlalu lelah, makanya aku tidur terlalu lelap." Gumamnya. Dia turun dari tempat tidurnya, saat ia menggerakan langkah menuju kamar mandi, dia tersenyum kecil melihat sebuah kotak dan surat yang ada di atas kotak itu. Dia tau itu pasti dari Gavriel. Dia mengambil suratnya dan membacanya. "Aku takut kalau kau merindukan aku." Daniella membuka kotak tersebut dan mendapatkan sebuah ponsel baru dari Gavriel. Dia menyalakan ponselnya dan wajah t