Pagi kembali cerah setelah 24 jam diguyur hujan. Pagi-pagi sekali Nichols merasakan perasaan yang aneh. Buru-buru ia pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Melati sebab sang papa saat ditelepon tidak mengangkat panggilan darinya. "Mama baik-baik saja Nik, kamu sudah mau berangkat bekerja?" tanya Melati dengan suara lirih. Matanya mengerjap dan menatap Nicholas yang sudah rapi dengan setelan jas kerjanya. "Ia Ma sekalian berangkat ke kantor biar nggak repot pulang lagi.""Sudah sarapan?" Melati tersenyum menatap putranya."Belum Ma, nanti aja di kantor. Mama perlu Niko pesankan makan?" Nicholas duduk di samping sang Mama. Seperti sebelum-sebelumnya dia menggenggam tangan Melati dan mengecupnya beberapa kali."Nggak usah, bentar lagi ada jatah makan kok dari rumah sakit. Mama nggak ingin makan sembarangan." Nicholas mengangguk lalu menanyakan keadaan Melati. "Mama baik-baik saja," ujar Melati lalu memberikan wejangan pada putranya. Nicholas hanya bisa menggelengkan kepala kare
"Alissa bertahanlah," ucap Nicholas. Setelah memeriksa denyut nadi Alissa pria itu langsung menghidupkan kembali mesin mobil dan mengendarai menuju rumah sakit. Sampai di parkiran ia turun masih menggendong tubuh Alisa di depan dada."Niko! Siapa yang dia bawa?" Saat ingin pergi dari rumah sakit Tuan Barata melihat putranya menuju UGD rumah sakit. Segera pria tua itu menyusul Nicholas."Dok tolong wanita ini Dok!" panik Nicholas sambil menaruh Alissa di atas brankar."Apa yang terjadi?" tanya petugas di dalam sana. Nicholas menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu, saya menemukannya dalam keadaan yang sudah seperti ini. Tolong selamatkan dia!""Baik, Anda tunggu di luar dulu, kami akan segera menangani pasien!" Petugas tersebut menutup pintu dan Nicholas terlihat mondar-mandir di depan ruangan. Kedua tangannya saling meremas akibat rasa khawatir yang begitu mendalam."Siapa yang kau bawa ke sini?" Tepukan di bahu membuat Nicholas terkejut apalagi saat ingat itu adalah suara papanya."Pa
"Kau lucu juga," ujar Tuan Barata setelah tawanya reda."Tuan juga," ujar Alissa tak mau kalah. "Mana ada orang yang mau ambil suami yang digadaikan, kalau emas atau sepeda motor iya," lanjut Alissa dengan ekspresi yang serius."Maaf saya hanya bercanda, jangan terlalu dipikirkan," ucap Tuan Barata kala menyadari ekspresi wajah Alissa berubah sendu."Tidak apa-apa Tuan, saya tidak berpikir serius tentang itu hanya saja–""Tentang pekerjaan? Kamu tidak perlu khawatir biar saya akan menelepon Aska atau langsung pada putraku agar disampaikan pada ketua divisimu bahwa untuk sementara kamu tidak bisa masuk sampai kesehatanmu benar-benar pulih."Alissa menghela nafas berat. Di dalam hati ia bertanya-tanya apakah pria di hadapannya kini tidak tahu bahwa dirinya telah dipecat langsung oleh putranya sendiri. "Ah Tuan Barata mana tahu? Kabar karyawan sepertiku tidak penting sehingga tidak harus sampai ke telinga beliau." Alissa bicara dalam hati sambil menatap Tuan Barata yang kini tengah fokus
"Oh ya tadi papa melihat kau begitu dekat dengan Alissa, apa yang kamu lakukan?" Nicholas berdiri dengan kaku, tubuhnya menegang seketika sedangkan Alissa merasakan jantungnya seakan meledak. "Memangnya aku melakukan apa?" tanya Nicholas seperti orang bodoh. "Lah kenapa bertanya pada Papa? Kan Kamu sendiri yang dekat-dekat dengan Alissa, pastinya kamu yang tahu apa yang telah terjadi." "Oh itu tadi ... ada nyamuk di bibir Alissa jadi aku mengusirnya, eh." Nicholas salah tingkah dan Alissa membelalakkan mata sebab jawaban Nicholas bisa mengundang kecurigaan Tuan Barata. "Nyamuk? Di rumah sakit besar dan bersih seperti ini ada nyamuk?" Tuan Barata mengernyitkan dahi. "Ya biasalah, nyamuk kan kecil dan bisa terbang kemana saja, dia tidak seperti lalat yang menyukai tempat kotor, sudah pasti bisa memanfaatkan situasi. Nicholas terkekeh, dalam hati sangat meyakini sang papa tidak melihat apa yang dilakukan oleh dirinya pada Alissa tadi. Alissa memalingkan muka lalu mencebik kesal. Sung
"Memang dia siapa? Yang kutahu hanya salah satu karyawan di perusahaan kita." Jawaban Tuan Barata membuat Nicholas menghela nafas lega. Ia memberi kode pada sang mama agar tidak memberitahukan perihal keluarga Alissa pun dengan perasaannya terhadap wanita itu. "Oh mama pikir ada kekerabatan begitu dengan papa makanya Alissa mau menolong Papa," ujar Melati agar Barata tidak menanyakan tentang maksud dari pertanyaannya tadi. "Tidak." Tuan Barata menjawab singkat. "Oh ya bagaimana keadaan Mama saat ini, kapan kata dokter bisa pulang?" tanya Nicholas untuk mengalihkan pembicaraan mereka. "Kalau keadaan Mama terus sehat seperti ini, kata dokter besok sudah bisa pulang." "Oh syukurlah, mama sudah makan malam?" Melati mengangguk dan melihat itu Nicholas langsung pamit pulang sebab memang sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap kondisi sang mama ditambah pula sudah ada papanya yang akan menjaga. Esok hari, pagi-pagi sekali pria itu kembali ke rumah sakit untuk melihat kond
"Ah sudahlah papa tidak perlu tahu biar aku tangani sendiri." Nicholas melangkah kembali masuk ke dalam ruangan. Di dalam dia melihat Aska sudah berganti pakaian. Saat Nicholas masuk pria tegap itu hanya melirik sekilas lalu fokus kembali pada pekerjaannya. Sesekali tangan Aska mengetuk-ngetuk papan keyboard dengan lincah, sesekali menggerakkan mouse kesana kemari. Sebagai seorang asisten Aska cukup begitu cekatan dalam bekerja dan Nicholas merasa menyesal telah menyiram Aska dengan air.Namun, Nicholas adalah pria yang enggan meminta maaf jika menurutnya kesalahan terjadi dipicu oleh orang lain, seperti tadi, kalau Aska tidak bertingkah aneh maka Aska tidak akan basah olehnya. Oleh karena itu untuk apa minta maaf, yang ada seharusnya Aska yang meminta maaf terlebih dahulu."Aska! Kalau Alissa sudah sembuh minta dia kembali bekerja di sini!"Aska mendongak, menatap wajah Nicholas dengan raut wajah datar lalu mengangguk. Keduanya pun fokus pada pekerjaan masing-masing dan hanya membaha
"Maka tenang saja Niko tidak akan menganggu rumah tangga Alissa dan Virgo kok." Ucapan Nicholas direspon anggukan oleh sang mama."Kecuali kalau Virgo kembali melewati batasan sebagai seorang suami." Tentu saja kalimat ini hanya diucapkan dalam hati sebab kalau tidak pasti akan mendapatkan protes lagi dari mamanya."Kalau Mama sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, bisakah Niko kembali ke kamar sebentar?""Pergilah, bersihkan dirimu!"Nicholas mengangguk lalu meninggalkan kamar Melati. Sampai di pintu ia teringat akan wajah Alissa. Ia tersenyum sendiri sambil menggelengkan kepala sampai tidak sadar berpapasan dengan Tuan Barata dan tingkahnya membuat sang papa bingung."Kamu sehat Nik?"Nicholas tersentak kaget. "Sehat Pa," jawabnya kemudian berlalu pergi begitu saja."Kenapa dengan Niko, Ma?" tanya pria tua itu sambil berjalan ke arah meja dan meletakkan kopi panas di atasnya."Tidak ada Pa, Mama cuma kasih nasehat panjang lebar.""Oh." Tuan Barata duduk di samping istrinya.Di
"Halo Kak!" Wati menjauh dari pintu dan menelpon Virgo."Ya aku Kak, aku Wati, ini nomor baruku," ujar Wati lagi kala Virgo menerima panggilan teleponnya."Ada apa? Apa kamu sudah mendapatkan apa yang kita incar?""Belum tapi ada yang lebih penting dari hal itu.""Tidak ada yang lebih penting dari dokumen perusahaan Wati, kau mau terus hidup kere seperti ini sedangkan mereka bersenang-senang dengan peninggalan nenek kita? Bekerjalah lebih keras sebelum Nicholas curiga dengan keberadaanmu di perusahaan.""Sabar Kak, butuh proses untuk menyelinap masuk ke ruangan Presdir apalagi penjagaan di sana ketat. Aku saja baru masuk tadi karena diminta untuk membuatkan kopi untuk Nicholas, kalau tidak, aku tidak ada akses untuk masuk ke ruangan itu karena kebetulan tugasku di lantai bagian bawah.""Hah sangat sulit kalau begitu, tapi berusahalah untuk mencari celah!" Virgo terdengar menghela nafas berat dari balik telepon."Awalnya aku juga berpikiran begitu Kak Virgo tapi setelah apa yang aku li
Aska termenung ketika menerima telepon dari Laura. Wanita itu menyatakan menyerah setelah satu bulan mencoba membantu agar Nicholas mengingat masa lalu bersama Alissa dengan panduan Aska. "Kak Aska! Kak Aska baik-baik saja, kan?" "Oh ya, maaf aku lagi tidak enak badan," ucap Aska berbohong. Laura meminta Aska untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir memikirkan kisah asmara orang lain. "Baiklah sekarang aku harus mengambil keputusan, aku akan menikahi Alissa." Setelah mengatakan kalimat ini Aska langsung mengakhiri panggilan telepon. Laura tercengang, sesaat kemudian bibirnya cemberut. Sungguh ia tidak setuju dengan keputusan Aska. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Solusinya hanya satu yaitu membuat Nicholas kembali pada Alissa, tetapi ia tidak bisa mewujudkan itu. "Apa pria itu tidak tahu aku masih naksir padanya?" lirih Laura seraya menghela napas kasar. "Tuhan! Kenapa Engkau pertemukan kami lagi jika Kak Aska bukan jodohku?" Laura mengacak rambut. Haruskah dia be
Setelah diusir Nicholas dari ruang kerja, Aska keluar dari perusahaan sambil memijit kencing. Dia berpikir seharusnya Nicholas berterima kasih padanya bukan malah marah dan mengusir. Kalau dia tidak memberitahu ini lalu menikahi Alissa, ketika suatu saat Nicholas mengingat semua, apa yang akan terjadi? Aska tidak dapat berpikir dengan jernih hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di luar. Dia menunggu Nicholas menelepon untuk mengajak pergi ke pertemuan dengan salah satu kliennya hari ini. Sayangnya hingga hari menjelang siang tidak ada panggilan satupun yang masuk ke ponsel Aska. Pria itu hanya bisa menghela napas berat kemudian pulang ke rumah dengan menelan kecewa. "Kak malam ini jadi, kan?" Tepat jam 6 malam Laura menelponnya. "Jadi." Sebenarnya Aska sudah tidak ingin bertemu dengan Laura setelah Nicholas membentak dirinya. Namun, dia juga tidak ingin membuat Laura kecewa kalau tidak menepati janjinya. Dia melirik jam di tangan kemudian menyetir mobil menuju alamat yang La
Esok hari, ketika Aska berjalan menuju mobil hendak ke kantor, ponsel di saku jasnya berdering. Ia hanya melirik dan mengabaikan. Jam sudah hampir pukul 7 pagi dan dia tidak ingin datang terlambat ke kantor. Begitu dia masuk mobil dia menyetel headset dan menghidupkan mesin mobil. "Halo!" Aska menyapa penelpon seraya fokus menatap jalanan. Ketika dia mendengar suara wanita dia langsung melirik nomor penelpon yang tidak diketahui namanya di layal ponselnya. "'Maaf ini siapa?" tanya Aska sambil terus menyetir. Suara penelpon adalah seorang wanita dan itu bukan Alissa. Penelpon menyebutkan nama dan itu membuat Aska terkejut sesaat. "Ya, Laura, ada apa?" "Kak, aku ingin bicara bisa? Terserah Kak Aska mau kita ketemuan dimana. Yang jelas aku ingin meminta tolong. Nanti aku cari alasan pada mama Melati." "Pagi ini tidak bisa, aku harus ke kantor." Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Kemudian beberapa saat Laura berkata, "Ya aku tahu, lain kali saja, bye!" "Eh tungg
"Oh." Aska hanya mengatakan sepatah kata."Dulu aku naksir Kak Aska loh," ujar gadis itu lalu terkekeh pelan. Pipinya bersemu merah, malu dengan perkataannya yang tidak terkontrol itu."Terima kasih," ucap Aska dengan ekspresi datar. "Namamu Laura, kan? Kamu istrinya Tuan Niko, jadi aku tidak mau terlalu berbasa-basi. Takut beliau salah paham," ucap Aska kemudian."Baik saya panggilkan," ucap Laura seraya bangkit dari duduknya. Di dalam hati dia berpikir Aska tetap saja seperti dulu. Terlalu dingin dengan wanita. Laura jadi penasaran, kira-kira wanita seperti apa yang bisa membuat pria tersebut tertarik."Tunggu!" Laura menghentikan langkah dan menoleh. "Ada apa?" "Sejak kapan kamu menikah dengan Tuan Niko?"Laura mengerutkan kening, bingung kenapa Aska bertanya demikian, pun tidak tahu harus menjelaskan seperti apa."Sejak Niko sadar dari komanya. Dia yang selalu merawat Nicholas dengan telaten di luar negeri. Jadi kami sebagai orang tua berinisiatif menikahkan mereka." Melati ber
Alissa segera memasukkan sesuatu di tangan ke dalam laci meja tatkala melihat kedatangan Aska. Mereka kini sedang berada di sebuah universitas ternama di kota. Alissa kebetulan ditunjuk menjadi dosen pengganti dari sahabat Aska yang sedang berada di luar negeri. Dagangan gorengan Alissa sudah dipegang oleh orang lain termasuk di semua cabangnya. Semenjak ia melahirkan Nara, dia memutuskan untuk fokus pada bayinya. Aska melirik pada tangan Alissa lalu tersenyum tipis. "Makan yuk!" Alissa mengangguk lalu bangkit berdiri. Keduanya menuju kantin yang berada di perguruan tinggi tersebut. Setelah memesan makanan, mereka langsung menikmati santapan mereka. "Oh ya, Tuan Nicholas sepertinya hilang ingatan sampai sekarang," ujar Aska yang membuat tubuh Alissa terkesiap. Untuk beberapa saat tubuh wanita itu membeku. Buru-buru Alissa meneguk air putih dengan tangan sedikit gemetar. Aska meneliti raut wajah Alissa yang mendadak pucat. Mencoba mengamati ekspresi tersirat dari wajah calon istri
"Ya kemarin." Alissa menghela napas, matanya terlihat menyimpan kepedihan."Kapan?" "Saat di restoran, ketika aku mengatakan restoran kehabisan pizza, padahal aku memang tidak ingin berada di dekatnya."Aska mengangguk lemah. Pantas saja Alissa menangis sampai wajahnya sembab, ternyata dia baru bertemu dengan Nicholas."Lupakan dia! Mari kita rencanakan pernikahan kita."Sekali lagi Aska mengangguk. Sayangnya di hati pria tampan ini mulai ragu untuk melanjutkan pernikahannya dengan Alissa. Bukannya tidak cinta, tetapi ia tidak ingin Alissa menyesal setelahnya. Begitu Alissa bertemu Nicholas, seharian penuh Alissa menangis dan bahkan mengabaikan Nara yang biasa menjadi titik pusat perhatiannya.Nara mendekat pada Aska dan duduk di pangkuannya. Ada rasa nyeri yang bergelayut dalam hati saat Aska memikirkan keputusan tentang pernikahannya bersama Alissa. Jika gagal, mungkin dia tidak akan sedekat ini lagi dengan Nara dan jika dia berhasil menjadi ayah sambungnya, apakah itu tandanya Ask
Mata Aska mengerjap, dia tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Dia mengingat berapa kali dia sudah memohon pada Alissa, tetapi Alissa selalu menjawab dengan kata 'maaf.' Tidak dilanjutkan pun Aska paham dengan jawaban itu. Jadi, dia tidak ingin mengungkit lagi perihal lamaran karena akan membuat komunikasinya canggung bersama Alissa. Namun, sekarang Alissa malah membahas hal itu lagi. Apa dia tidak sedang bermimpi? "Mas Aska! Apa penawaran itu masih berlaku?" Alissa menatap lekat mata Aska. Dia berharap Aska tidak menyimpan rasa sakit di dalam hati setelah beberapa kali ditolak olehnya. "Apa kamu sudah bisa mencintaiku?" Alissa tersenyum getir. "Aku akan berusaha." Aska mengangguk. "Tidak apa-apa selama kamu mengambil keputusan tanpa adanya paksaan, aku tidak masalah. Mungkin suatu hari nanti perasaanmu padaku akan berubah seiring berjalannya waktu." "Jadi?" "Aku akan menikahimu." Senyuman tulus terpatri di bibir Aska. Senyuman yang menawan menambah kharisma pa
Tiga tahun kemudian, seorang anak kecil berumur sekitar dua tahunan berlari-larian di taman. Dia berceloteh tidak jelas. Di sampingnya seorang pria menemani anak tersebut sambil mengajari anak kecil itu bicara. Kata dokter, anak tersebut memiliki keterbatasan lambat bisa. Di sisi lain pada sebuah kursi besi di taman, seorang wanita duduk termenung dengan bertopang dagu. Sesekali ia menatap kepada dua orang berlainan jenis dan berbeda usia itu. Wanita itu menitikkan air mata kala mengingat keadaan putri kecilnya. "Apakah ini hukuman Tuhan, kenapa ini dilimpahkan pada dia yang tidak tahu apa-apa? Ini salahku, seharusnya aku yang menanggung dosa masa laluku." Alissa mengusap air mata yang jatuh di pipi. Aska melambaikan tangan hingga Alissa menghentikan gerakan tangan di pipi dan mengangguk. Setelah berjalan dan sampai di sisi mereka, Aska menawarkan es krim di tangan. Alissa menerima lalu menyendok sambil melihat pergerakan putrinya. "Nara, duduk sini sayang! Jangan putar-putar
Alissa mengambil bungkusan dari tangan Aska. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih. "Pak Aska silahkan duduk, maaf aku tidak bisa membawamu masuk." Alissa menyeret kursi di teras rumah. "Tidak apa-apa, aku paham di rumah ini tidak ada orang lain lagi." Alissa mengangguk. Setelah melihat Aska duduk dia merogoh kunci dan membuka pintu rumah. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan nampan berisi dua gelas minuman dan sepiring martabak. "Kenapa repot-repot?" "Tidak repot kok hanya minuman. Kuenya, kue yang pak Aska bawa. Kalau aku makan sendiri nggak akan habis. Jadi kita makan berdua saja." Aska mengangguk masih dengan senyuman manis. Alissa membalas senyuman Aska lalu menaruh gelas dan piring di atas meja. Ketika Alissa hendak duduk, Aska menyarankan agar wanita itu membersihkan diri terlebih dahulu. Alissa setuju, ia pergi dan mandi, setelah berganti pakaian ia kembali ke sisi Aska. "Dimakan, Pak!" "Kamu juga." Mereka berdua saling menatap dan rasa canggung mende