Nyonya Rose duduk di ruang makan, di sisi meja makan besar yang terbuat dari kayu jati, pandangannya menyapu hidangan-hidangan lezat yang terhampar di atasnya. Seketika itu juga alam bawah sadarnya membawa kembali kenangan manis yang pernah dia lewati bersama Nuning. "Setiap melihat makanan enak-enak begini, mama selalu ingat kamu, Ning. Mama kangen makan bareng sama kamu, melihat selera makanmu yang lahap, mama jadi ingin ikut makan. Tapi sekarang nggak ada lagi orang yang bisa menggugah selera makan mama kayak kamu," desahnya dalam hati, meratapi kehilangan yang masih membekas dalam benaknya. Selama ini, Nyonya Rose selalu menganggap bahwa Vincent adalah yang paling kehilangan dengan kepergian Nuning. Namun, kali ini, dia menyadari bahwa dirinya juga tak kalah merindukan sosok Nuning. Sikap Nuning yang tulus dan apa adanya ternyata memberikan kehangatan tersendiri bagi hati Nyonya Rose. Dia merasakan ketulusan dan kehadiran wanita yang kini telah menjadi mantan menantunya. Nyonya
Vincent pulang ke rumahnya setelah seharian penuh beraktivitas. “Selamat datang, Tuan Vincent. Nyonya Rose masih berada di dalam,” sambut seorang pelayan. Vincent mengangguk dan si pelayan pun segera membukakan pintu rumah untuknya. Vincent memasuki ruang tamunya yang terasa hangat oleh suara tawa orang di dalamnya. Di sana, rupanya Lisa tengah berbincang akrab dengan mamanya, Nyonya Rose. Vincent tak bisa menahan senyuman melihat kedekatan keduanya. "Mama, aku pulang," sapa Vincent sambil melangkah mendekati mereka. Nyonya Rose tersenyum dan berdiri, memeluk Vincent dengan penuh kasih sayang. "Vincent, sayang,” ucapnya dengan penuh kebahagiaan. “Mama ke sini karena kangen kamu. Papamu seperti biasa, lagi ngumpul dengan teman club golfnya dan mama dianggurin," imbuhnya dengan wajah cemberut. Vincent merespons pelukan ibunya dengan hangat, “Mama juga punya geng sosialita, kalau sedang arisan, papa juga ditinggalin sama mama kan?” “Iya, tapi kalau sedang banjir-banjir begini mana m
Ardi adalah teman yang pertama kali dikenal Lisa saat ia baru memasuki sekolah formal di Indonesia, saat SMA dulu. Sebelumnya Lisa menempuh pendidikan secara homeschooling karena dia kerap ikut orang tuanya bepergian ke luar negeri untuk mengurus bisnis, salah satunya di Genova, Italia. Lisa sejak dulu sulit bergaul, karena dia kurang bisa berbasa-basi dengan orang-orang baru yang dikenalnya. Kata-kata dan sikap Lisa yang blak-blakan kerap menyinggung perasaan orang di sekitarnya. Banyak yang merasa kapok berteman dengan Lisa. Lisa masih ingat, saat pertama kali memakai seragam sekolah putih-abu-abu. Dia yang terbiasa berdiskusi dengan guru secara online, sedikit canggung saat harus bersosialisasi di lingkungan sekolahnya yang dianggapnya penuh dengan basa-basi. Dia ingat sekali pengalaman perkenalan di depan kelasnya hari itu.”Lisa, perkenalkan dirimu,” kata si guru. Lisa pun segera berkata, “Halo, teman-teman semua, nama saya Lisa Amalia.” “Sudah punya pacar belum?” celetuk seo
“Lisa, ikut saya ke ruang kerja saya.” Vincent berkata dengan nada bicara penuh wibawa seperti biasa, sementara itu Lisa lekas mengangguk dengan senyuman manis yang membuat Bona meringis geli. “Pak Vin,” Bona buru-buru menyela, “Mobil buat mengantar Mbak Lisa ke apartemen sudah siap.” Bona berharap Lisa lekas enyah dari sisi sang bos. Vincent mengangguk. “Saya masih ada urusan sama Lisa. Tunggu saja,” tegasnya. Bona hanya bisa menghela napas kecewa melihat Vincent berjalan menuju ruangan kerjanya diikuti Lisa yang menoleh sejenak pada Bona sambil mengedipkan sebelah mata, seolah sengaja meledek Bona. “Moga Pak Bos cuma jadiin dia simpanan doang, jangan sampai lebih. Amit-amit,” gerutu Bona dengan perasaan yang sangat tidak rela. Bona sudah cukup lama mengabdi pada Vincent sebagai asisten pribadinya. Dia tahu sekali kualitas Vincent. Bona juga tahu apa yang telah terjadi dalam kehidupan Vincent selama ini. Tentang kandasnya rumah tangga sang bos dengan Nuning, juga kegagalan asmara
“Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku.” Lisa tersenyum puas dengan judul yang baru saja dia tulis. Dia mulai merincikan kisahnya dalam sebuah rancangan plot. Lisa melanjutkan, menyajikan konflik internal wanita bernama Dona yang menjadi tokoh utama dalam ceritanya. "Duapuluh juta sebulan, tapi dengan harga apa? Dona bingung antara kebutuhan finansialnya dan harga dirinya sebagai wanita. Namun, rasa ingin tahu dan ketertarikan pada Lucas membuatnya terjebak dalam permainan asmara yang tak terduga." Lisa tiba-tiba mendengus. “Ah, sial. Kok aku mau aja sih dibayar 20 juta sebulan? Itu kan sampah banget buat sekelas Vincent Alessio?” Lisa bersungut-sungut setelah menyadari kebodohannya. “Gara-gara aku udah lama hidup kere nih, makanya ditawar 20 juta langsung mau aja!” Lisa menepuk keningnya sendiri. “Nggak bisa, aku mesti upgrade bayaranku besok. Enak aja, cuma dua puluh juta tapi dia bebas menerima pelayananku sepuasnya, gitu?” Lisa kemudian terbahak-bahak dan geleng-geleng kepala. “Dih,
Sinar matahari pagi perlahan menyusup masuk ke dalam dapur apartemen, di mana Vincent sedang menyiapkan sarapan untuk Lisa. Dia ingin membuat sesuatu yang lezat dan sehat, mengingat kesibukan Lisa sebagai penulis yang selalu menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop.Vincent membuka lemari es, mengeluarkan berbagai bahan makanan segar. Dia mulai mengiris tomat merah, mentimun, dan selada. Setelah itu, Vincent mengambil roti gandum yang sehat dan mulai menyusun sandwich dengan hati-hati."Bagaimana kalau sarapan sandwich sehat hari ini, Lisa?" serunya sambil tersenyum saat Lisa keluar dari kamar dengan mata yang masih setengah terpejam.Lisa mengangguk, masih mengantuk, "Baiklah, Pak Bos. Tapi jangan terlalu sehat, ya. Saya lebih suka yang enak-enak. Biasanya yang sehat-sehat itu nggak enak."Vincent tertawa, dia geli mendengar sebutan baru Lisa untuknya, “Pak Bos”."Tentu saja, saya akan berusaha membuatkan yang sehat tapi enak."Vincent menempatkan sandwich di atas piring, lengka
Lisa duduk di meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan naskah. Sebagai asisten editor yang bertanggung jawab untuk menyeleksi naskah baru, kesibukannya semakin bertambah seiring dengan banyaknya penulis yang mengirimkan karyanya. Tugasnya tidak hanya memastikan kelayakan naskah dari segi gramatikal dan struktur cerita, tetapi juga menilai apakah naskah itu memiliki potensi untuk diterbitkan sesuai standart penerbit. Selain mengecek naskah-naskah tersebut, Lisa juga menyempatkan dirinya untuk menulis novelnya sendiri yang berjudul 'Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku'. Setiap jeda di antara pekerjaannya sebagai asisten editor, Lisa melibatkan diri dalam dunianya sendiri, menggali ide, dan mencurahkan kata-kata ke dalam naskahnya. Saat Lisa mengirimkan naskahnya kepada Ninik, editornya itu memberikan sambutan hangat. "Lisa, gue udah baca naskah elu. Bagus banget. Diksi elu semakin indah saja dan ceritanya seperti riil." Lisa terkejut mendengarnya, tak mengira Ninik langsung oke dengan tu
“Ada yang perlu saya bantu untuk persiapan keberangkatan Bapak ke Roma besok?” Vincent menggeleng. Vincent, yang biasanya terlihat begitu percaya diri, kali ini terlihat rapuh. Dia mencium Lisa lagi, seakan mencari dukungan dalam dekapan itu. Lisa merasa sesuatu yang aneh dan melihat ekspresi wajah Vincent yang mencerminkan rasa sedih dan kehilangan. "Pak? Apa ada sesuatu yang terjadi di Roma? Sehingga Bapak kelihatan galau kayak gini?" tanya Lisa dengan lembut. Vincent menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Bukan begitu, Lisa. Saya hanya ingin membawamu pergi sama saya ke sana. Tapi kenapa paspor kamu kadaluarsa segala sih? Kenapa kamu tidak segera melakukan perpanjangan, heh?” Lisa meringis. “Maaf.” "Gara-gara sibuk menulis dan menunda terus beresin paspor kamu, saya jadi tidak bisa mengajakmu pergi, kan?" suara Vincent terdengar seperti seorang bocah yang sedang merajuk. Lisa tertawa kecil dan mengecup lembut bibir Vincent yang cemberut. "Kalau saya ikut Bapak, nanti oran
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga