Lisa terbangun dengan nyeri yang masih begitu terasa menyengat. Rasanya betul-betul tak nyaman. Dia menggigit bibir sambil mendesah pelan. “Sialan, nggak enak banget sih,” gumamnya sambil meringis.
Seketika dia baru sadar dengan apa yang telah terjadi semalam. Lisa terkesiap dan menoleh cepat ke sisi ranjangnya yang sudah kosong.
“Ke mana dia?” gumamnya sambil mengedarkan pandang, mencari-cari sosok pria yang bercinta dengannya semalam. “Apa mungkin sedang di kamar mandi?” pikirnya.
Lisa mengulum senyum dengan wajahnya yang tersipu-sipu. Dia telah bercinta dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun sepertinya mungkin jarak usia mereka terpaut cukup jauh, 10 atau 12 tahun mungkin, tapi mereka terasa begitu cocok semalam.
Namun senyum di wajahnya segera sirna ketika tatapannya membentur secarik kertas yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya seketika berdegup kencang. Iapun memaksakan diri beranjak dari ranjang sambil menahan segala ketidaknyamanan usai percintaan yang terasa begitu memabukkan dirinya semalam.
Lisa tersentak begitu menyadari itu bukanlah secarik kertas biasa, melainkan selembar cek yang berharga. “Se-seratus juta?” Wanita itu terbengong-bengong sepanjang memandang nominal yang tertera dalam cek itu. Dia yakin ini cek asli. Tapi kemudian, dia tiba-tiba saja melotot. “Apa dia gila?!” pekiknya kesal.
Wanita itu kemudian membaca sebaris pesan berupa tulisan pada selembar kertas lain yang berbeda, tampaknya tulisan itu ditulis dengan terburu-buru. Namun meskipun begitu tulisan tangan pria itu masih tampak begitu indah dan jelas dibaca. Tapi ini bukanlah saatnya untuk mengagumi tulisan tangan pria itu.
—
Terima kasih, ya. Aku sungguh menikmati yang semalam. Ini ada sedikit hadiah dariku. Pakailah buat menyenangkan hatimu. Hubungi aku di nomor ini, kalau kamu merasa masih kurang dengan jumlah segini.
—
Lisa meremas surat itu erat-erat. Kemarahannya seketika menggelegak. Pria itu memberinya cek senilai 100 juta. Jumlah yang tidak sedikit, tapi juga tidak bisa dibilang begitu banyak kalau saja kondisi finansialnya tak sedang terpuruk seperti sekarang.
Dia merasa marah. Pria itu seakan sedang membeli keperawanannya dengan cara meninggalkan cek ini, dan menantangnya agar menghubunginya lagi bila merasa masih kurang. Sialan!
“Kamu pikir aku jual diri?” gerutunya sengit.
Bah! Memangnya apa yang ia harapkan? Ciuman selamat pagi dan pelukan hangat setelah yang terjadi semalam? Bukankah Lisa sendiri yang menyetujui bahwa apa yang terjadi semalam hanyalah sekadar one night stand? Tidak akan pernah lebih. Dan pria itu sudah bertindak sesuai kesepakatan bukan?
Dan pria itu telah meninggalkannya begitu saja. Tapi, dengan selembar cek. Selembar cek dengan nominal 100 juta rupiah tanpa tanda tangan. Sungguh bajingan!
Lisa meremas cek sialan itu dan menjerit kesal. “Dasar babi lezat sialaaan!” jeritnya mengatai pria tampan itu.
Di sela-sela tangis kecewanya, Lisa mengeluarkan laptop. Dia memandangi layar laptopnya dengan mata yang masih dipenuhi kemarahan. Jemarinya bergerak lincah menari di atas keyboard, mentransformasikan kejadian menyebalkan yang baru saja dialaminya menjadi sebuah karya fiksi yang sarat emosi.
Dalam dunia imajinasinya, Lisa mengubah pria tampan itu menjadi karakter utama pria yang dingin dan tak berperasaan. “CEO tampan yang sukses dan kaya raya tapi miskin hati dan kasih sayang,” gumamnya sambil mengetik.
Lisa memberinya nama Damien, sebuah nama yang membawa aura keanggunan dan kegelapan. Lisa merasa bahwa nama ini bisa menjadi cikal bakal untuk menciptakan karakter yang dingin, tapi tegas dan memiliki kebijaksanaan yang dalam. Mata Damien, yang dia bayangkan seperti mata pria itu, memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan.
Damien, seorang pria yang tahu cara menyentuh tubuhnya, tetapi tidak pernah berencana untuk menyentuh hatinya. Dialog tajam dan cek senilai 100 juta yang ditinggalkan menjadi elemen dramatis dalam ceritanya.
Sedangkan Lisa memberi nama Alessandra untuk si tokoh wanita. Nama yang terasa memberikan kesan kekuatan dan keanggunan, mencerminkan karakter dirinya sendiri yang selalu berusaha mencari kekuatan dalam mengatasi cobaan hidupnya.
Setiap kata yang Lisa tulis terasa seperti pukulan emosional. Lisa menuangkan semua rasa kecewa, kemarahan, dan kesedihannya ke dalam kalimat-kalimat yang indah namun menyakitkan. Baginya, menulis adalah cara untuk menyembuhkan luka dan melepaskan amarah yang membara di dalam dirinya.
“Ah. Selesai juga,” desahnya lega di ujung tulisannya. Lisa seperti baru saja menciptakan sesuatu yang lebih kuat daripada rasa sakit yang tengah melingkupinya. Dia merasa berdaya dengan setiap kata yang dia pilih. Tak lama setelah itu, dia memutuskan untuk mengunggah ceritanya ke akun media sosialnya.
Dengan sekali klik, Lisa membagikan potongan kehidupannya yang penuh emosi kepada dunia. Lewat kisah Damien dan Alessandra, dia membiarkan para pembacanya merasakan intensitas perasaannya melalui setiap diksi yang dipilihnya.
Dalam postingannya itu, Lisa menuliskan caption, "Terjebak di Pulau Terpencil Bersama CEO Tampan.”
Tak disangka, tanggapan dari para pembacanya begitu mengalir deras. Bahkan Ninik sampai menelepon dan meminta dia untuk menjadikan cerita pendeknya itu sebagai naskah novel.
“Asli, nggak sia-sia elu healing jauh-jauh ke Lombok kalau hasilnya kayak begini. Gue yakin elu bakal dapat kontrak eksklusif dengan cerita ini, Lis! Kapan elu balik Jakarta? Kita mesti buru-buru garap naskah ini, mumpung lagi banyak dapat atensi dari pembaca.”
***
“Apa-apaan kalian?" seru Lisa yang baru saja turun dari taksi yang mengantarnya dari bandara Soekarno Hatta. Dia meletakkan kopornya ke sisi tubuh dan berlari kecil menuju orang-orang yang sedang menyegel rumahnya. "Apa yang kalian lakukan?" cegahnya.
Lisa memandang rumahnya yang kini dihiasi segel dengan mata terbelalak kaget. Hatinya berdegup kencang, air matanya mengalir seperti sungai yang tak bisa terbendung. Rumah yang selama ini menjadi tempatnya pulang, kini menjadi saksi bisu dari kenyataan pahit yang tak bisa dielakkan.
“Maaf, Mbak. Rumah ini terpaksa kami segel, utang Anda sudah jatuh tempo sejak jauh-jauh hari. Kami sudah memperingati Mbak Lisa agar pindah sejak kemarin-kemarin bukan?”
Petugas memberi penjelasan tentang penyegelan rumah Lisa, mereka menghadapinya dengan tenang, namun itu tidak mampu menghentikan kehancuran di dalam hati Lisa. Rumah yang penuh kenangan itu seakan-akan direnggut dari genggaman tangannya begitu saja.
“Saya mohon, Pak! Saya tidak punya tempat tinggal lagi!” Lisa setengah menjerit ketika mengatakannya, air matanya menganak sungai dan dia terus memohon meskipun dia tahu ini tak akan bisa mengubah apa-apa.
“Maaf Mbak, kami hanya menjalankan tugas. Kami beri waktu sampai besok pagi agar Mbak Lisa memindahkan barang-barang pribadi yang masih ada di dalam. Setelah itu kami akan total menguncinya."
Pria yang hanya menjalankan tugasnya itu tetap terlihat dingin. Dia telah melihat begitu banyak keputusasaan dan air mata dari orang-orang yang harus meninggalkan rumah mereka karena utang. Tawaran waktu hingga besok pagi hanya menjadi pukulan tambahan bagi Lisa, mengingatkannya bahwa dia harus meninggalkan tempat yang disebutnya rumah.
Lisa tidak bisa berbuat banyak selain merangkul sejumput barang-barang pribadinya yang masih dapat dia bawa. Tidak banyak. Sebab perabotan berharga dan bernilai sudah banyak yang telah dia jual untuk membiayai pengobatan ibunya yang sakit-sakitan, namun berakhir meninggal dunia pada beberapa bulan yang lalu.
Rumah yang kini hampa menggemakan suara kepergian dan kehilangan. Rumah yang menjadi saksi hidupnya sejak kecil dan menjadi tempat berlindungnya hingga kini, terpaksa harus dia tinggalkan.
Lisa merasa sesak yang menghimpit dadanya. “Mama. Maafkan aku tidak bisa mempertahankan satu-satunya peninggalanmu untukku,” desahnya dengan nada yang mengalun pilu.
Sementara matahari tenggelam dan malam menyelinap, Lisa ditemani oleh keheningan dan kekosongan rumah yang kini tak lagi bisa ia panggil 'rumah'.
“Ardi sialan,” geramnya dengan hati yang tiba-tiba disentak kemarahan pada mantan suaminya.
Sosok Ardi yang ingin ia hapus dari ingatannya tiba-tiba tergambar dengan begitu jelas di kepalanya, sejelas rasa sakit yang tengah menghujam perasaan Lisa saat ini.
***
Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon. “Halo.” “Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi. “Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya. “Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis. Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.” “Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan
Kekecewaan terasa melingkupi perasaan Lisa. Dia merasa seperti sedang bertepuk sebelah tangan. “Wah. Sepertinya, aku bukanlah satu-satunya partner ‘cinta semalam’-mu ya?” Lisa berkata sambil menjaga ketenangan suaranya dalam menanggapi ucapan pria itu tentang dia sering mengeluarkan cek.Terdengar tawa lirih pria itu. “Oh, ini kamu ya? Maaf, waktu itu aku pergi buru-buru karena ada hal mendesak. Tidurmu terlihat nyenyak sekali saat itu, aku—”“Bisa kita bertemu? Nanti siang. Ini juga mendesak. Penting.” Lisa sengaja memotong ucapan pria itu. Diam-diam rasa kesal bercampur senang menyelimuti hatinya, setidaknya pria itu masih mengingatnya. Tapi Lisa tak ingin bermain-main perasaan lagi dengannya. Pengalaman semalam bersamanya itu saja sudah cukup.“Siang nanti jadwalku padat, bagaimana kalau jam 9 pagi saja? Kita ketemu di coffee shop yang ada di lantai dasar Gedung Menara 2 Sutomo Group?”“Oke.”“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” “Tidak, itu saja. Kita bisa bicara lagi nanti saa
“Tepat jam 9 kan,” pria itu berkata seraya mengangkat dan melirik arloji di tangannya, “aku nggak terlambat, kan? Apa kamu juga baru datang?” ujarnya sambil tersenyum. Pria itu berdiri di hadapan Lisa, tinggi tegap. Balutan jas abu-abu gelapnya memberikan sentuhan elegan yang menonjolkan kegagahan. Meskipun dasinya belum terpasang, pria itu tampak begitu menawan dengan aura maskulin yang melingkupinya. Jasnya dipadukan dengan kemeja putih bersih yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. Rambut cokelatnya yang teratur menambah kesan tegas pada wajahnya yang tampan. Matanya, yang berwarna karamel, memancarkan kepercayaan diri dan kepribadian yang kuat. Senyum yang menghiasi bibirnya menambah pesona pada setiap gerakan tubuhnya yang elegan. “Yeah,” Lisa mengangguk, “aku baru saja memesan kopi,” lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh pada si kasir. “Mbak. Kembalikan uangnya, dia tamu saya, digabung saja dengan tagihan saya. Dan, tolong buatkan kopi saya seperti biasa ya,” katany
“Done. Seratus juta. Bukti transfernya sudah kukirim ke nomormu,” kata Vincent sambil tersenyum santai, seakan seratus juta hanya angka yang biasa baginya. Lisa, di sisi lain, merasakan kelegaan saat melihat saldo rekeningnya bertambah, meskipun masih jauh dari total tunggakan utang yang membebani pikirannya. Tapi setidaknya, dengan kondisinya yang bokek berat dan tak punya pekerjaan tetap, dia bisa bertahan hidup dengan uang ini. ‘Dia pasti tajir mampus,’ pikir Lisa dalam hatinya, sambil menutup aplikasi m-banking. “Oke. Makasih,” ucapnya lirih. “Nah. Urusan kita sudah selesai, kan?” Suara bariton Vincent memecah lamunan Lisa. “Eh, i-iya. Sudah. Terima kasih,” angguk Lisa. Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa nampan yang berisi kopi pesanan mereka. “Tak perlu berterima kasih, aku yang harusnya berterima kasih. Juga, maaf karena aku betul-betul tak sengaja tidak menandatanganinya,” kata Vincent sambil mengangguk sopan. Lisa tersenyum sejenak pada si pramusaji y
Vincent melangkah tegap memasuki lobi gedung Menara 2 Sutomo Group. Seorang petugas keamanan, yang tampak telah terlatih dengan baik, dengan sigap membuka jalan. "Permisi, tolong beri jalan, Pak Vincent mau lewat," ucapnya tegas. Kerumunan karyawan di sekitar lift pun dengan patuh membuka jalan, memberikan penghormatan yang nyata pada sosok pimpinan tertinggi yang tengah melewati mereka. Petugas keamanan itu dengan cekatan menekan tombol di sisi lift VIP. Lift pun membuka pintunya. "Silakan, Pak," ucapnya penuh hormat. Vincent melangkah memasuki lift, aura kharismatiknya mengisi ruangan seketika. Seakan lantai lift menjadi panggung bagi kharismanya yang tak tertandingi. Para karyawan tak bisa menyembunyikan decak kagum, terpesona oleh sosok CEO mereka yang seperti magnet, selalu menarik perhatian dan rasa hormat. Ketika pintu lift tertutup, Vincent menunduk menatap lantai. Gemerincing koin milik Lisa yang berjatuhan di lantai coffee shop tadi seperti menariknya kembali pada sebu
Walaupun ada seratus juta di rekeningnya, tapi Lisa sadar tak boleh boros dengan uang yang dimilikinya itu. Dia tetap memilih warteg sebagai tempat makan siangnya. Baginya, membeli makanan matang terasa lebih hemat dan praktis, terutama karena dia tak begitu mahir memasak. Lisa telah merencanakan pengeluarannya dengan ketat, memastikan setiap belanjaan atau pembayaran yang dilakukannya memiliki nilai tambah sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar diperlukan. Apalagi pendapatannya dari menulis masih belum stabil. Persaingan penulisan di tengah menjamurnya pertumbuhan aplikasi novel online yang menawarkan beragam cerita unik, membuat Lisa harus bekerja keras melahirkan ide-ide cerita yang kreatif, tapi sesuai dengan selera pasar. Sejenak kemudian, Lisa terhanyut dalam imajinasinya, memvisualisasikan momen-momen intim antar karakternya. _______________________________ Api gairah menyebar cepat dalam dirinya. Tubuh Alessandra menggelinjang ketika jemari Damien bergerak lincah memb
“Kamu kerja di sini?” tanya Lisa mengabaikan sikap ketus Ardi. Dia lelah meladeni sikap Ardi yang selalu menganggapnya sebagai musuh. Padahal mereka pernah memiliki hubungan baik di masa lalu, karena itulah Lisa dulu mau saja dijodohkan dengannya.“Kenapa tanya-tanya? Mau pinjam duit kalau tahu gajiku sekarang jauh lebih besar? Ckckck, kita udah selesai. Masalah finansial kamu bukan lagi—”“Aku tahu, nggak usah dilanjutin.” Lisa sengaja memotong ucapan Ardi yang sudah dia hafal betul arahnya bakal menuju ke mana. Apalagi kalau bukan untuk mengungkit betapa Lisa selama ini telah menjadi parasit baginya.‘Bahkan nafkah bulanan yang seharusnya kuterima sebagai istri saja, dia anggap sebagai beban keuangan yang bukan merupakan kewajibannya,’ gumam Lisa merasa miris. Tangannya terkepal erat, menahan diri agar jangan sampai memukul Ardi yang membuatnya merasa ingin menjerit marah sepagi ini gara-gara kasus rumahnya.“Aku harap kamu selalu ingat, Ar, bahwa kamu menantu idaman mamaku. Tapi k
Angin sepoi-sepoi pantai Lovina menyapu wajah Vincent yang tertawa lepas. Pasir putih pantai menggeliat di bawah kakinya, sepanjang dia berusaha mempertahankan layangannya dari korotan layangan Dennis di angkasa. “Aaah. Sial!” seru Vincent sambil terbahak-bahak ketika Dennis berhasil membuat tali layangannya putus. “Ah, Ayah payah!” Dennis mencebik, meledek Vincent yang selalu saja kalah tiap beradu layangan dengannya. Sedangkan Vincent cuma tersenyum sambil mengusak rambut Dennis dengan tatapan bangga seorang ayah. “Ayo, Dennis, kita istirahat dulu,” ajak Vincent setelah Dennis selesai membereskan layangannya. Dia merangkul Dennis yang tingginya kini sudah hampir menyamai dirinya, padahal dia masih SMP. “Ayah kalah lagi? Kalau soal layangan memang cuma Uncle Jack jagonya ya, Dennis!” ledek Nuning yang menyambut kedatangan mereka dengan dua buah kelapa muda di tangannya. “Tapi kalau soal trading saham dan valas, hmm jangan tanya lagi,” tambahnya sambil mengerling pada Vincent ser
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga