Ada masalah apa sih, Ardi?
“Kamu kerja di sini?” tanya Lisa mengabaikan sikap ketus Ardi. Dia lelah meladeni sikap Ardi yang selalu menganggapnya sebagai musuh. Padahal mereka pernah memiliki hubungan baik di masa lalu, karena itulah Lisa dulu mau saja dijodohkan dengannya.“Kenapa tanya-tanya? Mau pinjam duit kalau tahu gajiku sekarang jauh lebih besar? Ckckck, kita udah selesai. Masalah finansial kamu bukan lagi—”“Aku tahu, nggak usah dilanjutin.” Lisa sengaja memotong ucapan Ardi yang sudah dia hafal betul arahnya bakal menuju ke mana. Apalagi kalau bukan untuk mengungkit betapa Lisa selama ini telah menjadi parasit baginya.‘Bahkan nafkah bulanan yang seharusnya kuterima sebagai istri saja, dia anggap sebagai beban keuangan yang bukan merupakan kewajibannya,’ gumam Lisa merasa miris. Tangannya terkepal erat, menahan diri agar jangan sampai memukul Ardi yang membuatnya merasa ingin menjerit marah sepagi ini gara-gara kasus rumahnya.“Aku harap kamu selalu ingat, Ar, bahwa kamu menantu idaman mamaku. Tapi k
Angin sepoi-sepoi pantai Lovina menyapu wajah Vincent yang tertawa lepas. Pasir putih pantai menggeliat di bawah kakinya, sepanjang dia berusaha mempertahankan layangannya dari korotan layangan Dennis di angkasa. “Aaah. Sial!” seru Vincent sambil terbahak-bahak ketika Dennis berhasil membuat tali layangannya putus. “Ah, Ayah payah!” Dennis mencebik, meledek Vincent yang selalu saja kalah tiap beradu layangan dengannya. Sedangkan Vincent cuma tersenyum sambil mengusak rambut Dennis dengan tatapan bangga seorang ayah. “Ayo, Dennis, kita istirahat dulu,” ajak Vincent setelah Dennis selesai membereskan layangannya. Dia merangkul Dennis yang tingginya kini sudah hampir menyamai dirinya, padahal dia masih SMP. “Ayah kalah lagi? Kalau soal layangan memang cuma Uncle Jack jagonya ya, Dennis!” ledek Nuning yang menyambut kedatangan mereka dengan dua buah kelapa muda di tangannya. “Tapi kalau soal trading saham dan valas, hmm jangan tanya lagi,” tambahnya sambil mengerling pada Vincent ser
Lisa mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja sepanjang menantikan jawaban dari Vincent. Hatinya kecut karena panggilannya tak langsung diterima begitu saja, tetapi dia mencobanya lagi. Dan pada panggilan yang ketiga, akhirnya Vincent mengangkat teleponnya. “Ya. Halo?” Lisa tersenyum mendengar suara bariton itu. “Ini aku,” katanya. “Ada apa?” Sahutan tanpa basa-basi dari Vincent serasa menghujam jantung Lisa dengan kekecewaan. Mereka seolah menjadi dua orang asing yang hanya akan membicarakan hal-hal praktis. “Ehm, aku—” Lisa merasa gugup, dia menelan ludah sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Terdengar helaan napasnya yang berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Aku kemarin ulang tahun," lanjutnya, mencoba menyelipkan keberanian di dalam suaranya. “Oh. Iya. Selamat ulang tahun. Maaf, aku punya utang janji sama kamu. Aku—” Vincent berusaha menjelaskan, namun Lisa segera memotong dengan nada penuh pengertian. “Aku tahu kamu orang yang dipenuhi
“See? Aku punya uang, kan? Bahkan aku bayar cash pakai kartu debet, bukan kartu kredit. Don’t judge a book by its cover,” kata Lisa seraya berjalan dengan sedikit mengangkat dagu ketika melewati para pelayan toko. Dua tangannya membawa tentengan paper bag berisi barang-barang belanjaan mewah senilai puluhan juta. Sikap para pelayan tadi pun serta merta berubah 180 derajat. Kini mereka memberikan senyum dan gesture hormat yang seharusnya Lisa terima sejak pertama kali menapakkan kakinya di gerai fashion dengan brand ternama ini. Lisa melenggang dengan percaya diri sepanjang menyusuri koridor mall. Matanya menoleh ke sekitar, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa melengkapi penampilannya buat interview besok. Tepat pada saat ia kembali menatap ke depan, dia melihat Ardi yang tengah bergandengan mesra dengan Mina. “Sial. Lagi-lagi ketemu pasangan memuakkan itu,” gerutunya.Ardi dan Mina juga terkejut saat berpapasan dengan Lisa. Di mata mereka, Lisa masih saja tetap terlihat cantik m
Lisa menggeleng sambil tersenyum, merasa santai dengan sikap Ninik yang seperti biasa, selalu memedulikan keuangan dan gaya hidupnya. “Nggak kok, Nek. Tapi ini kan penting, gue harus tampil maksimal. Lagian, gue bayar cash kok, nggak utang.” Ninik masih bersedekap dan menatapnya lurus-lurus, “Jangan buang-buang duit, Lisa. Lu bisa tetap tampil maksimal tanpa harus keluar duit banyak. Kuncinya ada di kepribadian dan kemampuan elu.” Dia geleng-geleng kepala dan mendesah panjang. Lisa mengangguk mengerti, “Iya, Nek. Tahu. Gue cuma mau bikin kesan baik aja, kok. Ini bukan buang-buang duit, gila apa? Ini kan kebutuhan buat menunjang pekerjaan.” Gadis itu tersenyum lebar, menunjukkan cengiran ‘tak bersalah’ yang khas tiap kali Ninik menegurnya seperti ini. “Lisa, gue nggak habis pikir sama elu. Kadang elu tuh ngeluh nggak punya duit, bingung gimana bayar ini-itu, tapi tiba-tiba,” Ninik mendesah sejenak, “elu bisa liburan ke Lombok.” Suara Ninik terdengar sedikit naik di ujung kalimat. L
Jantung Lisa seketika berdegup kencang. “Damien!” serunya dalam hati, teringat dengan karakter utama dalam novelnya yang selama ini terinspirasi oleh Vincent. Ternyata, pria itu lebih dari yang dia bayangkan. Dia sosok CEO yang begitu sempurna. Melihat Vincent, Lisa seperti melihat sosok Damien yang terlepas dari halaman novel dan menjelma hidup sebagai manusia. Kejutan ini membuatnya semakin yakin bahwa Vincent Alessio adalah sumber inspirasi yang luar biasa baginya untuk menuliskan novel-novel romansa. Tangan Lisa sedikit gemetar, dia menggenggam tanda pengenal 'tamu’ yang dipakainya. ‘Aku harus lolos interview ini, dan mendapatkan tempat paling dekat dengan Vincent,’ tekadnya. “Namanya Vincent Alessio. Berdarah Indonesia-Italia. Sebenarnya dia sudah berkepala empat loh, tahun ini usianya memasuki 45 tahun. Tapi kelihatannya 10 tahun lebih muda ya?” Staf wanita itu malah memberikan informasi lebih. Lisa menelan ludah. “Empat puluh lima tahun?” ulangnya, dan si staf wanita itu m
Natalia menghela napas. Sebagai manajer personalia yang berpengalaman, ia merasa tertantang dengan keputusan Vincent Alessio yang jarang menggunakan "jalur orang dalam" seperti ini. Natalia bertanya-tanya apakah ada kesepakatan khusus antara Vincent dan Lisa terkait posisi yang disebutkannya tadi: asisten sekretaris. ‘Apa aku tanya dulu sama Pak Vincent, ya?’ Natalia menimbang-nimbang dalam hati. ‘Tapi, Bapak kemarin sudah pesan agar aku memberinya tempat yang paling pas. Artinya, aku harus mempertimbangkan kelayakannya sesuai CV miliknya.’ Dia mengambil selembar kertas CV milik Lisa dan membacanya lagi. Sementara itu, Lisa yang sedang duduk di seberang meja Natalia tampak tenang, menjaga senyumnya, meskipun dalam hatinya diam-diam merasa cemas. ‘Iya juga ya? Kan nggak ada yang ngasih tahu aku tentang posisi itu, sebagai asisten sekretaris,’ pikir Lisa dalam kediamannya. Tapi, Lisa begitu menginginkan posisi itu dan yakin bisa mendapatkannya. Makanya dia dengan enteng menyebutkanny
"Selamat pagi, HRD Menara 2 Sutomo Group. Resepsionis Lisa di sini, ada yang bisa saya bantu?" Lisa dengan ramah menerima panggilan telepon yang berdering nyaring di meja resepsionis.Meskipun tangan Hanum terlihat sibuk menumpuk lembaran dokumen, tetapi telinganya awas memerhatikan Lisa. Dia penasaran apakah Lisa bisa menangani tugas sepele ini dengan baik. Dia merasa skeptis terhadap Lisa.Sepanjang masa tandem, Lisa terlihat santai sekali dan ‘iya-iya’ saja setiap kali Hanum menegurnya karena terkesan abai. Padahal bagi Hanum, menjadi seorang resepsionis bukanlah pekerjaan yang sepele, terlebih di perusahaan sekelas Sutomo Land Corporation, bagian HRD pula, yang kerap menjadi jembatan berbagai divisi penting di perusahaan sebesar ini.Sementara itu, di balik meja resepsionis, Lisa menerima panggilan telepon dengan percaya diri. "Indeed. You've reached the right number; this is Sutomo Land Corporation. How may we assist you?" Bahasa Inggrisnya lancar dan aksennya enak, nada suaranya
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga