Hujan gerimis mengiringi langkah Elya. Dia masuk ke kafe dengan sedikit berlari-lari kecil. wanita itu ada janji temu dengan seorang kawan lama.
[El, aku terjebak macet. Mungkin sekitar setengah jam lagi aku sampai disana.]Elya mengangguk membaca chat dari temannya. Tidak masalah. Dia juga tidak terburu-buru. Cukup sudah selama ini dia menjadi burung di dalam sangkar emas Bram. Kepak sayapnya harus kembali dilatih agar bisa terbang dengan sempurna lagi.dia memilih duduk di kursi paling pojok. dari sana, Elya bisa dengan jelas melihat tetes air di dinding kaca. Bulir-bulir air yang menempel perlahan jatuh, membentuk aliran garis lurus. Hingga akhirnya berkumpul menjadi satu, membentuk genangan di bawah dinding kaca.Dingin.Hujan menderas. Seperti waktu itu. Hatinya hancur saat Ranti, adik iparnya, menghancurkan harga dirinya sebagai seorang istri.Elya termenung. Kilatan masa lalu datang menghampiri. Maka biarlah. Biarlah kenangan itu kembali. Biarlah dia dengan suka rela mengingat lagi semua memori, bersama hujan sore ini."Kakak sudah coba cek ke dokter kandungan?"Elya hampir tersedak mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Ranti, adik iparnya. Dia segera mengambil gelas air minum untuk menetralisir dentum di dadanya.Hari itu acara rutinan keluarga Harimurti. Makan malam bersama setiap satu bulan sekali. Bram anak sulung dari tiga bersaudara. Semuanya terpaut umur yang tidak terlalu jauh, hanya berjarak dua tahun. Untuk membuat keluarga tetap intens berhubungan, Papa Lin dan Mama Vania —orang tua Bram– membuat acara rutinan itu.Kedua saudara Bram sudah menikah. Ranti, adik Bram yang nomor dua, menikah dengan pengusaha kilang minyak dari Malaysia. Dia tinggal ikut suaminya di sana. Setiap bulan dia dan suaminya akan kembali ke Indonesia. Dua anak kembarnya dibawa serta, menambah ramai suasana.Adik bungsu Bram, Lira, baru saja menikah tiga bulan lalu, saat ini sedang mengandung dua bulan."Belum, Ran. Masmu setiap Kakak ajak selalu ada saja alasannya. Ya capek lah, ya sibuk lah ….""Kakak periksa saja dulu sendiri." Ranti memotong ucapan Elya."Sudah hampir tiga tahun kan?" sambungnya.Elya mengangguk sambil tersenyum tipis. Diletakkannya sendok dan garpu perlahan. Selera makannya hilang sudah. Ranti melirik piring Elya sekilas, kemudian kembali sibuk dengan piringnya."Keluarga kami itu keluarga subur, Kak. Buktinya aku setelah menikah langsung hamil, kembar pula. Lira juga baru menikah tiga bulan lalu langsung hamil ….""Ran, makanlah!" Bram menatap adiknya."Ya wajar saja Mas Bram tidak mau periksa, buat apa? Toh yang bermasalah pasti Kak Elya. Makanya aku bilang, coba Kakak periksa saja sendiri dulu. Biar ketahuan yang bikin mandulnya dimana ….""Ranti!" Mama Vania menatap anaknya tajam."Loh kenapa, Ma? Memangnya Mama tidak malu setiap acara kumpul keluarga selalu ditanyain cucu dari Mas Bram mana?""Honey, enough! Ayo makan saja." Frans, suami Ranti memegang tangan Ranti."Kak Ranti benar, Ma. Mas Bram itu cucu pertama, wajar kalau Tante dan Om selalu bertanya. Tentu mereka berharap Mas Bram segera dikaruniai keturunan, agar bisa menerima estafet perusahaan keluarga." Lira menyahut omongan Ranti, kakaknya."Sudah, sudah." Mama Vania menatap tajam dua anak perempuannya."Elya, tambah lagi makannya. Ini Mama sengaja masakin menu kesukaan Elya loh." Mama Vania tersenyum sambil meletakkan sepotong ayam rica-rica ke dalam piring Elya."Terima kasih, Ma." Elya tersenyum santai makan tanpa mempedulikan tatapan dari kedua adik iparnya.Ranti dan Lira memang selalu iri dengan Elya. Mereka selalu menghasut keluarga lain agar membenci Elya. Beberapa mulai sering menyindir secara halus, beberapa lagi tidak ambil pusing.Siapa pula yang tidak menyukai Elya? Cantik dan berpendidikan, mempunyai attitude yang baik, pandai mengambil hati orang, hampir sempurna andai dia mempunyai keturunan. Hal yang selalu menjadi senjata bagi Ranti dan Lira untuk mengganggu Elya.Elya mempunyai pribadi yang periang, sehingga membuat siapa saja yang berada didekatnya akan merasa senang. Prinsipnya, selama Bram masih memberinya limpahan cinta tanpa henti, selama mertuanya masih memperlakukan dia dengan baik seperti anak sendiri, masa bodoh dengan mulut-mulut busuk dan suara sumbang di luar sana."Periksa ke dokter, Kak, sebelum semakin tua. Keburu menopause nanti." Lira dan Ranti terkikik."Lira! Kamu ini, lagi hamil jangan ngomong yang aneh-aneh." Papa Lin menegur Lira.Elya sudah menulikan telinga. Walaupun Ranti dan Lira sering menyindirnya, namun setiap kali terjadi Elya tetap tidak bisa berdamai dengan hatinya. Benda kecil itu terus saja terasa seperti sedang di iris-iris dan ditaburi garam. Sakit. Perih.Di luar dia terlihat acuh dan masa bodoh, tapi hatinya menangis. Siapa yang tidak menginginkan keturunan? Bukankah salah satu tujuan menikah adalah mempunyai keturunan?Tapi pantang baginya bercucuran air mata di depan orang yang menyakitinya. Cukuplah dia menangis di pelukan Bram setiap malamnya.Seminggu setelah acara rutinan keluarga, Elya dan Bram memutuskan mendatangi dokter kandungan untuk memeriksakan diri. lelaki itu akhirnya menuruti perkataan istrinya."Bagaimana hasilnya, Mas?" Elya langsung bertanya begitu menyambut Bram di pintu depan.Bram menatap mata Elya. Dia membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Bram memeluk Elya sangat erat. Setelah itu menciumi kepala istrinya bertubi-tubi.Lelaki itu menangis.Bram menangis.Elya terkejut. Dia segera mengurai keintiman di antara mereka."Ada apa, Mas?" Elya memegang pipi Bram dengan kedua tangannya."El …." Bram kembali tergugu.Ada apa? Bram tidak pernah menangis. Selama tiga tahun pernikahan mereka, Elya hanya melihat Bram menangis sekali, yaitu saat akad nikah mereka."Elya dengar, bagaimanapun keadaanmu, aku akan selalu mencintai dan mempertahankan rumah tangga kita." Bram menatap Elya dalam-dalam.Elya tergugu. Hancur harapannya segera memiliki keturunan. Ada apa dengan rahimnya? Ada apa?Selama ini dia merasa semua baik-baik saja. Tamu bulanannya selalu hadir tepat waktu. Dia juga tidak merasa sakit atau nyeri yang berlebihan saat datang bulan. Apa yang salah?Mereka tidak pernah membahas apapun lagi tentang hasil pemeriksaan setelah malam itu. Ada sesekali terbersit di hati Elya ingin melihat langsung hasil pemeriksaan, namun Bram selalu menjawab hasilnya di kirim ke email kantor, dan email kantor tidak bisa dibuka di luar area kantor.Elya menulikan telinga dari semua sindiran keluarga Bram, baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik sindiran secara halus, maupun sindiran secara kasar.Elya membatukan hati.Dia cantik, berpendidikan, dan dari keluarga terhormat. Bukan salahnya jika Yang Di Atas belum berkenan menitipkan janin di rahimnya.Bram selalu menguatkannya saat hatinya sudah mulai rapuh. Suaminya itu selalu menjadi pembela saat dirinya disindir untuk kesekian kalinya. Lelaki itu menjadi sosok suami yang benar-benar sempurna di hadapan keluarga besar Harimurti.Bram suami yang sempurna. Tampan, mapan dan mempunyai cinta tiada bandingan. Dia menghujani Elya dengan limpahan materi dan kasih sayang.Hidup Elya sempurna sebagai seorang istri yang sangat dipuja suami.Sampai suatu hari, tepat tujuh tahun hari ini.Tabir itu tersingkap.Bangkai busuk yang selama ini disembunyikan dengan rapi oleh suaminya, menguarkan bau anyir yang membuat Elya mual semual-mualnya.Dalam sedetik, cinta itu berubah menjadi murka.Kesadaran itu tiba-tiba datang, betapa selama ini Bram telah membodohinya. Mungkin saja lelaki itu sering tertawa, melihat dirinya semakin tenggelam dalam buaian cinta palsu.Cinta itu tidak nyata. Cinta Bram hanya sebagai pemanis saja. Bram menipunya, dan bodohnya, dia percaya. Dia terlanjur percaya pada lelaki yang terlihat begitu memujanya."Bramantyo Harimurti. Akan ku pastikan kau menyesal hidup, karena pernah mengenalku!"Suara hujan yang semakin deras menarik kesadaran Elya dari kenangan masa lalu. Wanita itu menghela napas untuk yang kesekian kalinya.Pramusaji datang mengantarkan teh melati hangat kesukaannya. Elya tersenyum dan mengangguk sopan, berterima kasih pada pramusaji.Dingin. Hujan membuat suasana menjadi dingin. Sama seperti sore itu. Sore hari beberapa bulan lalu.Elya yang bosan di rumah, akhirnya memutuskan mengunjungi Bram ke kantornya. Sayang, suaminya itu sedang ada meeting di luar. Elya akhirnya memutuskan menunggu Bram di ruangannya, malas juga dia nyetir hujan-hujan."Sudah lama Pak Bram keluar, Rim?" Elya bertanya pada sekretaris Bram yang mengantarkan minuman untuknya."Sudah dari makan siang tadi, Bu." Rima menjawab sopan sambil meletakkan minuman di depan Elya, di meja tamu ruang kerja Bram."Ibu Elya tambah cantik saja." Rima mengedipkan mata."Loh? Ya harus tambah cantik dong, Rim. Kalo tambah muda kan tidak mungkin toh." Elya dan Rima tertawa renyah.Elya lumayan sering be
Dress casual panjang berbahan sifon warna peach itu melekat sempurna membalut tubuh Elya. Dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi tujuh senti, menambah anggun penampilannya.Cantik.Semua sepakat dengan kata itu, saat memandang Elya.Rambutnya yang panjang terurai, meliuk-liuk mengikuti derap langkahnya."Elya … " Elya tersenyum, menghampiri Mama Vania yang memanggilnya."Kok acaranya mendadak sih, Ma?" Elya mengambil tempat duduk di samping Mama Vania. Berbisik sambil memperhatikan sekitar."Kenny ketahuan sudah hamil tiga bulan, Om Ridho mengamuk tadi siang, memaksa Alfin bertanggungjawab." Mama Vania berbisik."Ini juga tadinya mau langsung akad saja, tapi Om Ridho berkeras mau lamaran dulu sekalian rembuk tanggal. Maunya ada pernikahan yang wajar, jadi tidak malu di depan kolega bisnis."Elya mengangguk. Dia dan Kenny cukup dekat. Om Ridho –Ayah Kenny– merupakan adik Papa Lin."Mana Bram?" "Tadi di luar ketemu Papa. Biasa …." Elya mengangkat kedua tangannya.Mama Vania tertawa. D
"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina." Suara Elya lembut terdengar. Intonasinya terkontrol. Khas wanita berpendidikan."Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pezina? Mu-ra-han!" Elya berdecih."Tidak heran kenapa Mella, anak Tante kemarin melahirkan di usia kandungan enam bulan. Prematur katanya. Tapi aneh ya, bayinya sehat, tidak masuk inkubator satu jam pun. Tidak juga suntik pematangan paru-paru." Elya menautkan alis seolah heran.Tante Adisti dan Om Miko terdiam."Kehormatan seorang wanita terletak pada harga dirinya, bukan pada takdir yang Tuhan gariskan untuknya." Elya tersenyum.Wajah cantik itu bercahaya. Cahaya yang hanya dimiliki oleh wanita terhormat. Wanita-wanita pilihan, yang mempersembahkan kehormatannya hanya untuk pria yang sudah sah secara hukum maupun agama."Siapa yang tahu rahasia Tuhan? Di dun
"El, tolonglah, bersikap baiklah di depan keluarga." Bram memohon."Bagian mana sikapku yang tidak baik di depan keluargamu, Mas?" Elya balik bertanya. Dia menyilangkan tangan di depan dada.Bram mengusap wajahnya kasar. Dia akhirnya mengambil sebotol air mineral yang selalu disediakan di mobilnya. Lelaki itu membuka tutupnya dengan kasar, kemudian menghabiskan isinya dalam sekali tarikan napas.Bram meremas botol air mineral kosong hingga menimbulkan bunyi berisik yang khas. Dia kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Elya. Dia benar-benar lupa siapa Elya dulu sebelum menjadi istrinya. Dia terlalu terlena oleh kelembutan sikap Elya selama sepuluh tahun menjadi istrinya.Elya melayaninya dengan baik dan memperlakukannya dengan lembut hingga membuat Bram terbuai. Membuat Bram lupa, bagaimana bengisnya Elya menyingkirkan lawan bisnisnya belasan tahun lalu, saat mereka masih sering bertemu sebagai rekanan bisnis. Dengan posisi sebagai mediator dan pemilik perusahaan.Elya, bintang tera
"Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!" Elya mengambil ikat rambut kecil berwarna hijau tua di tasnya.Gerah. Padahal AC mobil menyala maksimal."Elya, aku lelah." Bram menengadah. Matanya tertutup rapat.Elya tersenyum."Menyerahlah, Bram. Lepaskan aku." Elya membatin."Bisakah kau bersikap biasa saja saat menghadiri acara keluarga, El?" Bram menatap Elya. Mata itu terlihat lelah."Biasa saja bagaimana maksudnya, Mas?" Suara Elya melemah. Dia Pun sama, lelah dengan semua.Andai bisa memilih, dia lebih baik tidak mengetahui fakta menyakitkan itu. Tapi takdir berkata lain, fakta itu terbuka, tanpa dia memaksa untuk membukanya.Sungguh, Elya tidak dapat hidup bersama lagi dengan lelaki pengecut di sampingnya. Dia merasa hidup dalam dunia penuh tipuan. Luka yang Bram goreskan sudah terlalu dalam, sehingga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. "Tidak perlu kau ladeni semua omonga
Bram termenung di dalam mobil. Dia Menghela napas berat. Wangi Elya masih tertinggal, kursi penumpang yang tadi didudukinya bahkan masih terasa hangat. Dia benar-benar lelah dengan semua. Lelah dengan sikap Elya, lelah dengan keluarga besarnya.Dia sepenuhnya menyadari, hanya soal waktu Elya akan membuka rahasia terbesarnya itu. Hanya soal waktu juga, posisinya akan digantikan di perusahaan.Bram tidak rela, perusahaan yang jatuh bangun dibesarkan Papa Lin jatuh ke tangan keluarga lain. Dulu, saat perusahaan itu ada di bawah, Papa Lin dan Kakek Harimurti yang jatuh bangun membesarkannya kembali. Keluarga lain hanya menonton, bahkan mengusulkan agar aset perusahaan dijual saja. Perusahaan itu sudah tidak ada harapan.Bram baru berumur tujuh tahun saat itu, tapi memorinya masih mengingat dengan jelas. Bagaimana saat perusahaan itu berhasil bangkit, berhasil menanam tajinya dengan kuat, menjadi bisnis yang menggurita, saat itulah anak-anak Kakek Harimurti menuntut bagian.Salahnya. Dulu
Bram meremas kemudi. Ingin rasanya dia berteriak. Dia tidak ingin kerja keras Papa Lin dan Kakek Harimurti sia-sia. Dia tidak ingin tampuk pimpinan perusahaan berpindah ke Randy, anak Tante Adisti.Bram mengembuskan napas kasar. Dia melirik ke jam mewah di tangan kanannya, hampir tengah malam. Lelaki itu menarik kunci mobil, kemudian membuka pintu dan membantingnya dengan kasar. Bram memasuki kamar yang temaram. Elya telah mematikan lampu utama. Wanita itu tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bram tersenyum. Dia sudah sangat hafal kebiasaan Elya. Bahkan di cuaca panas pun, Elya tetap tidur seperti itu.Bram memutuskan untuk mandi. Badannya lengket, gerah. Seharian meeting menemui rekanan bisnis, kemudian dilanjut dengan acara lamaran Kenny –anak Om Ridho–. Badannya belum tersentuh air sama sekali.Saat membuka pintu kamar mandi, Bram disambut dengan wangi aromatherapy yang sangat disukainya.Dua buah lilin berukuran besar menyala, sa
Aroma wangi duo bawang berpadu dengan gurihnya aroma mentega, semerbak memenuhi dapur.Bram tersenyum. Dia meletakkan tas kerjanya di meja makan, lalu menghampiri Elya yang sedang sibuk berkutat dengan wajan dan printilan lainnya.Bram meraih pinggang Elya. Wanita menoleh, merasakan pipinya bertemu dengan pipi Bram."Iiih … cukuran sana! Gatel tau." Elya meringis terkena bulu-bulu halus di sekitar jambang Bram.Bram tertawa. Biasanya tiap hari dia mencukur bulu halus di sekitar jambangnya, tapi ini sudah tiga hari dia tidak bercukur. Terlanjur pusing dengan banyak hal, sehingga sedikit melupakan penampilan. Tapi sebenarnya, Bram terlihat lebih jantan dengan tampilan bulu halus menghiasi wajahnya."Masih lama, Nyonya Elya?" Bram mengintip ke wajan.Elya mendorong Bram agar duduk di kursi."Stay!" Elya mengacungkan sutil ke dada Bram.Bram tertawa. Dia mengambil segelas jus buah jambu biji merah yang telah disiapkan Elya. Segar. Minuman favoritnya di pagi hari.Tak lama sepiring nasi g
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot