Aroma wangi duo bawang berpadu dengan gurihnya aroma mentega, semerbak memenuhi dapur.Bram tersenyum. Dia meletakkan tas kerjanya di meja makan, lalu menghampiri Elya yang sedang sibuk berkutat dengan wajan dan printilan lainnya.Bram meraih pinggang Elya. Wanita menoleh, merasakan pipinya bertemu dengan pipi Bram."Iiih … cukuran sana! Gatel tau." Elya meringis terkena bulu-bulu halus di sekitar jambang Bram.Bram tertawa. Biasanya tiap hari dia mencukur bulu halus di sekitar jambangnya, tapi ini sudah tiga hari dia tidak bercukur. Terlanjur pusing dengan banyak hal, sehingga sedikit melupakan penampilan. Tapi sebenarnya, Bram terlihat lebih jantan dengan tampilan bulu halus menghiasi wajahnya."Masih lama, Nyonya Elya?" Bram mengintip ke wajan.Elya mendorong Bram agar duduk di kursi."Stay!" Elya mengacungkan sutil ke dada Bram.Bram tertawa. Dia mengambil segelas jus buah jambu biji merah yang telah disiapkan Elya. Segar. Minuman favoritnya di pagi hari.Tak lama sepiring nasi g
"Sayangnya, aku tidak mau menerimanya." Elya tersenyum. Santai mengelus dada Bram."Elya, tolonglah. Jangan buat rumit masalah ini." Suara Bram terdengar frustasi."Mas kira aku suka dikatakan meng-gan-tung-kan hi-dup padamu?" Elya tertawa kecil. Dia nemberikan penekanan pada beberapa kata. Mengembalikan ucapa Bram beberapa waktu lalu kepadanya."Sudahlah, Mas. Aku malas berdebat. Nanti kita terlambat." Elya mengambil tasnya di meja rias dan bergegas menuju pintu.Bram mendahului langkah Elya. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali dengan cepat. Bunyi kunci berputar terdengar.Elya menendang pintu kamar sekeras-kerasnya saat mendengar bunyi mobil Bram menjauh.Elya terduduk, menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Bagaimana bisa selama ini dia tertipu oleh lelaki seperti Bram? Lelaki egois yang hanya memikirkan pandangan orang lain padanya. Lelaki pengecut yang selalu ingin terlihat sempurna, dengan mengorbankan perasaan Elya.Elya tergugu. Sungguh dia lelah dengan semua. S
"Kau yakin aku yang mandul, Ran? Bukan masmu?" Mati-matian Elya menahan diri agar tidak terpancing emosi."Apa maksudmu, Elya?" Mama Vania memegang bahu Elya."Mas Bram yang bermasalah, Ma." Lima kata itu ringan saja meluncur dari mulut Elya.Sementara di pintu, Bram yang kembali lagi karena flashdisknya tertinggal, mematung. Kaku. Jantungnya seakan berhenti. Mulutnya kelu mendengar kalimat Elya.Elya menatap Bram. "Sampai kapan semua kebenaran ini bisa kau simpan, Mas? Bantahlah, patahkan kata-kataku kali ini.Tunjukkan padaku, bagaimana caranya kau menyimpan semua dengan rapi, selama bertahun-tahun yang telah kita lewati."Elya tersenyum. Sementara ketiga orang di depannya mematung. Kaku. Muka-muka pucat. Bibir yang bergetar.Elya bersorak dalam hati. Senyum itu semakin mengembang."Ayo, Mas. Patahkan kalimatku ….""Gila!" Ranti menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Dia Memijat kening. Kepalanya mendadak pusing."El?" Mama Vania menggoyang bahu Elya pelan.Elya memejamkan mata. An
"Tadi Mas bertanya tujuanku datang kesini, kan? Tujuanku untuk memberi tahu secara langsung pada wanita ini, agar bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Didepak dari keluarga Harimurti."Elya menegakkan badan. "Habislah hidupmu, Elya! Perempuan mandul yang dicampakkan suami." Suara Ranti melengking."Jaga mulutmu, Ran!" Muka Bram memerah."Dia Kakakmu. Kau hina dia, sama saja dengan kau menghinaku!" Suara Bram terdengar serakElya terbahak dalam hati. "Dia memang menghinamu, Mas. Lelaki mandul yang dicampakkan istri.""Kenapa kau sangat membenciku, Ran? Apa salahku?" Elya bertanya lembut. Suaranya terjaga, tenang seperti biasa."Kau ingin tahu, El?" Ranti menatap Elya."Karena kau, Mas Bram belum mempunyai keturunan sampai hari ini. Karena kau, Mama dan Papa harus menanggung malu di depan keluarga besar." Mama Vania bergeser, duduk di samping Ranti. Dia mengusap punggung Ranti perlahan. Berusaha menenangkannya."Betapa memalukannya, pimpinan tertinggi perusahaan
Dress semi formal di bawah lutut, dengan bahu sedikit terbuka melekat indah di tubuh Elya. Warna merah menyala, kontras dengan kulitnya yang putih. Dilengkapi dengan sepatu hak tinggi berwarna senada setinggi sembilan sentimeter, membuat kaki jenjang Elya terlihat dengan jelas.Rambut disanggul ala pramugari, membuat leher putih dan mulus Elya terpampang dengan sempurna. Jepitan kecil berbentuk sekuntum bunga dengan lima buah kelopak, menempel manis di rambutnya. Masing-masing kelopak terbuat dari berlian berwarna merah menyala, sama dengan warna dress yang dikenakan Elya.Berkelas dan berani, kesan yang ditampilkan Elya, saat pertama kali orang melihat penampilannya malam ini."El …." Bram menahan tangan Elya saat dia akan membuka pintu mobil.Elya mengurungkan niatnya keluar dari mobil. Dia menoleh pada Bram yang terlihat sedikit kurang baik. Namun, wajah dingin dan tegas itu mampu menutupi kegugupannya.Bram terlihat sangat berwibawa menggunakan setelan j
"Aku berbohong tentang kemandulanku. Kau tidak pernah bertanya kenapa, El?" Bram menelisik wajah Elya. Berusaha membaca raut wajah wanita cantik itu."Aku tahu, kau terlanjur sakit hati dibohongi dan dijadikan tameng olehku selama bertahun-tahun, sehingga kau memutuskan membatukan hati, tidak peduli apapun alasannya." Bram menyeka ujung matanya yang berair."Izinkan aku menjelaskan kenapa aku melakukannya, El." Bram menatap Elya. Meminta izin.Aduh! Bram mendesah, mata Elya basah."Awalnya aku tidak yakin kau tulus mencintaiku, El. Seperti wanita kebanyakan, kau tenggelam dalam cinta yang kupersembahkan dan harta yang kuberikan." Bram menjeda kalimatnya.Bunyi AC mobil berdesing. Dingin menyentuh kulit bahu Elya yang terbuka. Sedingin hatinya kini, pada lelaki bergelar suami di depannya."Aku berpikir tidak akan masalah bagimu, menerima semua hinaan itu. Karena tujuanmu adalah harta, aku yakin kau bisa menahan semuanya." Bram men
Elya membuka pintu mobil, membantingnya dengan keras.Bram mendesah.Kepalanya pusing. Dia takut kehilangan Elya, takut tidak menjadi pimpinan perusahaan lagi, takut mengecewakan Papa Lin. Dia takut akan banyak hal. Dibalik sikap dingin Bram, bertahun dia menyimpan ketakutan itu sendirian.Bukan tanpa alasan dia menolak berterus terang pada Papa Lin dan Mama Vania. Dia tidak mau membebani masa tua mereka. Dia ingin kedua orangtuanya hidup damai di masa senja, setelah perjuangan berat dulu di masa muda.Selain itu, dia anak sulung laki-laki, tumpuan harapan keluarga. Bagaimana mungkin dia membuat khawatir mereka dengan kondisinya seperti ini?"Elya …." Sekali lagi Bram menyebut nama Elya. Dia menghela napas untuk yang ke sekian kalinya."Andai kau tahu fakta ini nanti, El. Semua tidak akan kacau begini!" Bram mendesis dan memukul kemudi mobil.Bram lulusan salah satu perguruan tinggi terbaik di luar negeri. Dia meraih gel
"Tasmu tertinggal, El." Bram menyerahkan tas tangan Elya. Tas mewah berwarna merah menyala, dengan warna emas melingkari pinggirannya.Lucu sekali melihat Bram yang sangat jantan itu menenteng tas tangan milik Elya. Mengundang senyum di bibir Elya dan Mama Vania. Sementara Ranti semakin gusar melihat pemandangan itu."Hellooooooo … Mas Bram, hei! hei! Sadar!" Ranti menjentikkan jari telunjuk dan jempol di muka Bram."Sebegitu bucinnya Mas ke wanita ini?" Ranti menunjuk Elya dengan dagu."Pakai pelet apa sih? Ampuh banget!""Ranti! Jaga ucapanmu, dia Kakak iparmu." Bram menatap Ranti tajam."Tenang saja, Mas. Sebentar lagi sudah bukan." Ranti tersenyum sinis."Ranti!" Bram mengepal tangan.Sementara Elya hanya menatap Ranti datar. "Kau kira aku mau terus bersama masmu? Aamiin, semoga sebentar lagi aku terbebas dari lingkaran keluarga menyebalkan ini." Ingin sekali rasanya Elya meneriakkan kalimat itu di wajah Ran
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot