"Ck!" Elya berdecak sebal saat mengecek notifikasi di ponselnya. Nihil.
"Awas kau, Mas! Dasar lelaki sialan!" Maki Elya sambil membanting tubuhnya ke atas sofa mewah di ruang tengah.Bram benar-benar melakukan apa yang dikatakannya beberapa minggu lalu. Tidak ada lagi jatah bulanan untuk Elya. Biasanya, jam sepuluh pagi sudah ada notifikasi transfer masuk dengan jumlah yang cukup fantastis dari Bram. Tapi ini sudah jam tiga sore belum juga ada notifikasi. Belum ada atau tidak akan ada?Elya mendengus sebal.“Kau kira aku akan bersimpuh mengemis harta padamu, Mas? Tidak akan!”“Baiklah. Kuikuti permainanmu. Kita lihat, seberapa kuat kau bertahan mengikatku, Mas. Akan kubuat kau berada dalam dua pilihan, melepaskan atau tersiksa selamanya.”Elya beranjak berdiri dan berjalan menuju dapur. Jadwalnya memasak. Dia memang selalu memasak untuk makan malam sekitar jam tiga sore agar masih punya banyak waktu untuk mandi dan merapikan diri sebelum suaminya pulang.Air mata Elya tiba-tiba mengalir begitu saja. Wanita itu terisak. Kakinya lemas. Dia terduduk di lantai. Pisau yang digunakannya untuk memotong bawang terjatuh.Kelebatan bayangan itu kembali menari. Dihina, dicaci, direndahkan oleh saudara suaminya. Selama ini dia masih bisa bertahan karena ada Bram yang selalu menguatkannya. Ada Bram yang menerima semua kekurangannya. Ada Bram yang selalu berbisik, dia sangat mencintainya. Ada Bram yang selalu mengatakan, dia tidak akan pernah meninggalkannya.Ternyata semua itu dusta. Tangisan Elya bertambah keras. Terdengar sangat menusuk jiwa. Dia memukul-mukul dada untuk mengurangi rasa sakit di hatinya.Sekuat apapun dia berusaha mengacuhkan Bram. Setegar apapun dia berusaha terlihat. Dia tetap wanita biasa. Seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Seorang istri yang berharap bisa menua bersama.Perasaannya pada Bram terlalu dalam, sehingga saat lelaki itu ternyata menyimpan dusta, dia jatuh sesakit-sakitnya.Perasaan cinta itu berubah menjadi benci, perasaan sayang itu berubah menjadi murka. Cintanya tercabut. Nuraninya terluka. Tiada sehari pun hatinya berhenti berdarah, sejak detik dia mengetahui Bram adalah seorang pendusta.Dua minggu Elya menghilang. Dia butuh berpikir jernih sebelum memutuskan. Bram kelabakan, seperti orang gila dia mencari Elya. Saat Bram sudah putus asa, Elya akhirnya pulang. Hanya raganya, tidak dengan hatinya.Bram bersimpuh memeluk kaki Elya saat wanita itu menatapnya dingin. Mulutnya terkunci. Tidak ada celah baginya memberikan pembelaan apapun atas semua perkataan Elya.Elya tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak masalah. Dia akan membuat lelaki itu tersiksa dengan caranya.Elya menghapus air mata saat kenangan itu kembali berputar. Sempurna dibentangkan di depan matanya.Hatinya telah mati, tapi perasaan kecewa itu tak bisa hilang begitu saja.Wanita itu mengambil pisau yang terjatuh dan melanjutkan mengiris daun bawang. Sesekali dia menyeka air mata yang masih enggan berhenti mengalir.Sungguh, ada masa di masa lalu, dia berharap bisa menua bersama Bram.***"Mau kemana, El?" Bram menyapa Elya yang sedang sibuk memakai make up di meja rias.Dia meletakkan tas kerja dan sepatu pada tempatnya. Dulu, Elya dengan senang hati menyambutnya di depan pintu. Mengambil tas yang dibawa Bram, melepaskan sepatu, kemudian menggandeng tangan Bram menuju kamar untuk beristirahat sejenak, sebelum mandi dengan air hangat yang telah disiapkannya.Ah... Bram benar-benar merindukan masa itu."El?" Bram bertanya lagi saat Elya bergeming."Keluar sebentar." Elya menjawab singkat. Tangannya sibuk mengoleskan lipstik berwarna peach di bibirnya.Cantik. Siapapun yang melihat penampilan Elya pasti langsung setuju dengan kata itu. Tidak ada deskripsi lain yang bisa menggambarkan penampilan seorang Elya Khanza Haryadi, kecuali cantik.Atasan semi formal hijau tua, dipadukan dengan celana span berwarna senada membuat penampilan Elya terlihat anggun. Ikat pinggang kecil dengan merk ternama melengkapi penampilannya. Manis, dan terlihat sangat berkelas.Selera fashion yang tidak perlu diragukan lagi. Menggambarkan level si empunya."Kemana?" Rahang Bram mengeras. Dia berusaha meredam emosi yang tiba-tiba terasa bergejolak.Elya tidak menanggapi pertanyaan Bram. Dia sibuk memasukkan benda-benda ke dalam tasnya, kemudian mengambil map yang entah berisi dokumen apa."Aku tidak mengizinkanmu pergi, El!" Bram berdiri. Menahan pintu saat Elya berusaha membukanya."Aku tidak membutuhkan izinmu untuk pergi, Mas." Elya tersenyum tenang menghadapi emosi Bram yang berkobar."Kau masih istriku, Elya!" Wajah Bram memerah."Kapan kau akan menceraikanku agar aku bukan lagi istrimu?" Elya bertanya lembut. Tangannya anggun menyibak rambutnya yang tergerai.Bram mendengus."Kemana?!" Bram kembali bertanya."Apanya?" Elya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejenak mengecek notifikasi."Kamu mau keluar kemana, El?" Bram akhirnya melembut. Dia lelah."Ketemu salah seorang teman, masalah kerjaan." Elya bersorak dalam hati melihat wajah lelah Bram.“Menyerahlah, Mas! Lepaskan aku.” Batin Elya berbisik. Dia tersenyum menatap Bram yang masih menghalangi pintu."Kerjaan?" Mata Bram memicing.Elya mengangguk. Matanya berkedip-kedip menggemaskan. Bram mendesah. Dulu, Elya sering melakukan itu untuk membujuknya kalau sedang menginginkan sesuatu. Namun, kini Elya jelas sedang mengejeknya."Sejak kapan kamu kerja?" Bram berusaha menahan diri. Dia tahu, semakin dia marah semakin Elya menjadi."Belum, baru mau, Mas. Sayang kan ijazah S2 ku ini dianggurin saja. Berdebu di sudut lemari. Lama-lama dimakan rayap nanti." Elya tertawa kecil sambil mengangkat map yang dipegangnya. Dia menggoyang-goyangkan map itu di depan Bram.Sebelum menikah Elya bekerja di salah satu perusahaan minyak milik asing. Dia dan Bram sering bertemu sebagai mediator antara perusahaan tempatnya bekerja dan perusahaan Bram.Hati Bram terpanah. Elya, bintang terang di perusahaan minyak itu mencuri hatinya.Seiring waktu rasa itu mulai berkecambah, makin lama makin subur. Seperti pohon yang dirawat dengan baik, disiram, dipupuk. Pohon itu akhirnya berbuah. Mereka memutuskan menikah.Bram meminta Elya resign, agar fokus pada keluarga kecil mereka. Elya menyanggupi, dengan syarat Bram harus memberi jatah bulanan sebesar gaji yang diterimanya, diluar kebutuhan rumah tangga. Tidak masalah. Bram, anak sulung sekaligus cucu pertama di keluarga Harimurti, adalah penerus estafet perusahaan keluarga. Uang bukan halangan.Sayang, sampai tahun kesepuluh pernikahan mereka, belum ada buah hati yang meramaikan hari-hari yang mereka lalui. Membuat kesempurnaan Elya sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita tercoreng. Tak ada gading yang tak retak, ucapan yang selalu digaungkan keluarga Bram.Sampai akhirnya beberapa bulan lalu, Elya menemukan rahasia besar suaminya. Kebenaran yang selama ini ditutupi Bram. Dusta besar yang disimpannya dengan rapi. Dusta dari seorang lelaki yang bergelar suami.Elya meradang. Hatinya terkoyak. Rasa cinta itu dalam sekejap berubah menjadi murka. Elya memutuskan bangkit, memutuskan membalas Bram dengan cara yang paling menyakitkan."Aku butuh uang, Mas. Untuk membeli skincare, perawatan ke salon, berkumpul haha-hihi dengan teman-teman sosialitaku." Elya mengedikkan bahu, mengembalikan ucapan Bram beberapa waktu lalu.Elya maju beberapa langkah, membuat dia dan Bram hanya berjarak beberapa senti saja. Dekat. Sangat dekat."Kau tidak mau memberi, aku bisa mencari uang sendiri. Walaupun itu kewajibanmu, tak masalah, Mas, aku mampu menghidupi diriku sendiri." Elya berkata lembut sambil menatap mata Bram.Tangan Elya bergerak mengelus dada suaminya itu. Elya maju selangkah lagi, membuat mereka tidak berjarak."Minggirlah, Mas. Biarkan aku pergi, jika kau sudah tak mampu menafkahiku lagi." Elya berbisik tepat di telinga Bram, meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang suami.Bram mematung. Elya dengan anggun membuka pintu. Dia memberikan senyum termanis pada Bram, sebelum akhirnya berbalik sambil melambaikan tangan."ELYAAAAAA…" Bram berteriak. Tinjunya berdebam mengenai dinding. Berdarah. Tangan itu berdarah.Bram terduduk. Tangannya berdenyut, tetapi dia tahu, sakit yang dirasakannya, tidak sebanding dengan sakit di hati Elya.Dia benar-benar bodoh. Dia lupa siapa istrinya karena terbuai dengan sikap lembutnya selama ini. Istri yang penurut, istri yang selalu melayani suami dengan baik.Elya. Wanita dengan segala kesempurnaannya itu, kini bagai macan tidur yang dibangunkan.Bram mendesah. Bahkan jika harus menukarnya dengan nyawa, Bram lebih memilih mati dari pada kehilangan seorang Elya. Dia tidak akan melepaskannya sampai kapanpun!Hujan gerimis mengiringi langkah Elya. Dia masuk ke kafe dengan sedikit berlari-lari kecil. wanita itu ada janji temu dengan seorang kawan lama.[El, aku terjebak macet. Mungkin sekitar setengah jam lagi aku sampai disana.]Elya mengangguk membaca chat dari temannya. Tidak masalah. Dia juga tidak terburu-buru. Cukup sudah selama ini dia menjadi burung di dalam sangkar emas Bram. Kepak sayapnya harus kembali dilatih agar bisa terbang dengan sempurna lagi.dia memilih duduk di kursi paling pojok. dari sana, Elya bisa dengan jelas melihat tetes air di dinding kaca. Bulir-bulir air yang menempel perlahan jatuh, membentuk aliran garis lurus. Hingga akhirnya berkumpul menjadi satu, membentuk genangan di bawah dinding kaca.Dingin.Hujan menderas. Seperti waktu itu. Hatinya hancur saat Ranti, adik iparnya, menghancurkan harga dirinya sebagai seorang istri.Elya termenung. Kilatan masa lalu datang menghampiri. Maka biarlah. Biarlah kenangan itu kembali. Biarlah dia dengan suka rela mengingat
Suara hujan yang semakin deras menarik kesadaran Elya dari kenangan masa lalu. Wanita itu menghela napas untuk yang kesekian kalinya.Pramusaji datang mengantarkan teh melati hangat kesukaannya. Elya tersenyum dan mengangguk sopan, berterima kasih pada pramusaji.Dingin. Hujan membuat suasana menjadi dingin. Sama seperti sore itu. Sore hari beberapa bulan lalu.Elya yang bosan di rumah, akhirnya memutuskan mengunjungi Bram ke kantornya. Sayang, suaminya itu sedang ada meeting di luar. Elya akhirnya memutuskan menunggu Bram di ruangannya, malas juga dia nyetir hujan-hujan."Sudah lama Pak Bram keluar, Rim?" Elya bertanya pada sekretaris Bram yang mengantarkan minuman untuknya."Sudah dari makan siang tadi, Bu." Rima menjawab sopan sambil meletakkan minuman di depan Elya, di meja tamu ruang kerja Bram."Ibu Elya tambah cantik saja." Rima mengedipkan mata."Loh? Ya harus tambah cantik dong, Rim. Kalo tambah muda kan tidak mungkin toh." Elya dan Rima tertawa renyah.Elya lumayan sering be
Dress casual panjang berbahan sifon warna peach itu melekat sempurna membalut tubuh Elya. Dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi tujuh senti, menambah anggun penampilannya.Cantik.Semua sepakat dengan kata itu, saat memandang Elya.Rambutnya yang panjang terurai, meliuk-liuk mengikuti derap langkahnya."Elya … " Elya tersenyum, menghampiri Mama Vania yang memanggilnya."Kok acaranya mendadak sih, Ma?" Elya mengambil tempat duduk di samping Mama Vania. Berbisik sambil memperhatikan sekitar."Kenny ketahuan sudah hamil tiga bulan, Om Ridho mengamuk tadi siang, memaksa Alfin bertanggungjawab." Mama Vania berbisik."Ini juga tadinya mau langsung akad saja, tapi Om Ridho berkeras mau lamaran dulu sekalian rembuk tanggal. Maunya ada pernikahan yang wajar, jadi tidak malu di depan kolega bisnis."Elya mengangguk. Dia dan Kenny cukup dekat. Om Ridho –Ayah Kenny– merupakan adik Papa Lin."Mana Bram?" "Tadi di luar ketemu Papa. Biasa …." Elya mengangkat kedua tangannya.Mama Vania tertawa. D
"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina." Suara Elya lembut terdengar. Intonasinya terkontrol. Khas wanita berpendidikan."Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pezina? Mu-ra-han!" Elya berdecih."Tidak heran kenapa Mella, anak Tante kemarin melahirkan di usia kandungan enam bulan. Prematur katanya. Tapi aneh ya, bayinya sehat, tidak masuk inkubator satu jam pun. Tidak juga suntik pematangan paru-paru." Elya menautkan alis seolah heran.Tante Adisti dan Om Miko terdiam."Kehormatan seorang wanita terletak pada harga dirinya, bukan pada takdir yang Tuhan gariskan untuknya." Elya tersenyum.Wajah cantik itu bercahaya. Cahaya yang hanya dimiliki oleh wanita terhormat. Wanita-wanita pilihan, yang mempersembahkan kehormatannya hanya untuk pria yang sudah sah secara hukum maupun agama."Siapa yang tahu rahasia Tuhan? Di dun
"El, tolonglah, bersikap baiklah di depan keluarga." Bram memohon."Bagian mana sikapku yang tidak baik di depan keluargamu, Mas?" Elya balik bertanya. Dia menyilangkan tangan di depan dada.Bram mengusap wajahnya kasar. Dia akhirnya mengambil sebotol air mineral yang selalu disediakan di mobilnya. Lelaki itu membuka tutupnya dengan kasar, kemudian menghabiskan isinya dalam sekali tarikan napas.Bram meremas botol air mineral kosong hingga menimbulkan bunyi berisik yang khas. Dia kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Elya. Dia benar-benar lupa siapa Elya dulu sebelum menjadi istrinya. Dia terlalu terlena oleh kelembutan sikap Elya selama sepuluh tahun menjadi istrinya.Elya melayaninya dengan baik dan memperlakukannya dengan lembut hingga membuat Bram terbuai. Membuat Bram lupa, bagaimana bengisnya Elya menyingkirkan lawan bisnisnya belasan tahun lalu, saat mereka masih sering bertemu sebagai rekanan bisnis. Dengan posisi sebagai mediator dan pemilik perusahaan.Elya, bintang tera
"Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!" Elya mengambil ikat rambut kecil berwarna hijau tua di tasnya.Gerah. Padahal AC mobil menyala maksimal."Elya, aku lelah." Bram menengadah. Matanya tertutup rapat.Elya tersenyum."Menyerahlah, Bram. Lepaskan aku." Elya membatin."Bisakah kau bersikap biasa saja saat menghadiri acara keluarga, El?" Bram menatap Elya. Mata itu terlihat lelah."Biasa saja bagaimana maksudnya, Mas?" Suara Elya melemah. Dia Pun sama, lelah dengan semua.Andai bisa memilih, dia lebih baik tidak mengetahui fakta menyakitkan itu. Tapi takdir berkata lain, fakta itu terbuka, tanpa dia memaksa untuk membukanya.Sungguh, Elya tidak dapat hidup bersama lagi dengan lelaki pengecut di sampingnya. Dia merasa hidup dalam dunia penuh tipuan. Luka yang Bram goreskan sudah terlalu dalam, sehingga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. "Tidak perlu kau ladeni semua omonga
Bram termenung di dalam mobil. Dia Menghela napas berat. Wangi Elya masih tertinggal, kursi penumpang yang tadi didudukinya bahkan masih terasa hangat. Dia benar-benar lelah dengan semua. Lelah dengan sikap Elya, lelah dengan keluarga besarnya.Dia sepenuhnya menyadari, hanya soal waktu Elya akan membuka rahasia terbesarnya itu. Hanya soal waktu juga, posisinya akan digantikan di perusahaan.Bram tidak rela, perusahaan yang jatuh bangun dibesarkan Papa Lin jatuh ke tangan keluarga lain. Dulu, saat perusahaan itu ada di bawah, Papa Lin dan Kakek Harimurti yang jatuh bangun membesarkannya kembali. Keluarga lain hanya menonton, bahkan mengusulkan agar aset perusahaan dijual saja. Perusahaan itu sudah tidak ada harapan.Bram baru berumur tujuh tahun saat itu, tapi memorinya masih mengingat dengan jelas. Bagaimana saat perusahaan itu berhasil bangkit, berhasil menanam tajinya dengan kuat, menjadi bisnis yang menggurita, saat itulah anak-anak Kakek Harimurti menuntut bagian.Salahnya. Dulu
Bram meremas kemudi. Ingin rasanya dia berteriak. Dia tidak ingin kerja keras Papa Lin dan Kakek Harimurti sia-sia. Dia tidak ingin tampuk pimpinan perusahaan berpindah ke Randy, anak Tante Adisti.Bram mengembuskan napas kasar. Dia melirik ke jam mewah di tangan kanannya, hampir tengah malam. Lelaki itu menarik kunci mobil, kemudian membuka pintu dan membantingnya dengan kasar. Bram memasuki kamar yang temaram. Elya telah mematikan lampu utama. Wanita itu tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bram tersenyum. Dia sudah sangat hafal kebiasaan Elya. Bahkan di cuaca panas pun, Elya tetap tidur seperti itu.Bram memutuskan untuk mandi. Badannya lengket, gerah. Seharian meeting menemui rekanan bisnis, kemudian dilanjut dengan acara lamaran Kenny –anak Om Ridho–. Badannya belum tersentuh air sama sekali.Saat membuka pintu kamar mandi, Bram disambut dengan wangi aromatherapy yang sangat disukainya.Dua buah lilin berukuran besar menyala, sa
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot