"Lo udah kirim barang yang gue minta tadi pagi, Mir?" tanya Malik pada sang Asisten, Emir. Saat itu Malik sedang break syuting.
"Yes, sesuai permintaan. Satu pasang pakaian cewek lengkap sampe ke daleman, Hp baru sama duit," jawab Emir dengan nada jengkel.Malik menganggukkan kepalanya dan berterima kasih pada sang asisten.Emir menatap Malik penuh menyelidik. "Siapa cewek itu Lik?" tanya Emir pada akhirnya. Selama ini, Emir bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi jika hal itu sudah mengarah ke hal-hal yang berbau negatif, Emir tidak akan tinggal diam. Bukan karena dia sok tahu, tapi karena dia perduli.Hubungan persahabatan antara Emir dan Malik sudah terjalin sejak mereka SMP. Itulah sebabnya, keduanya sudah seperti saudara.Malik sengaja memperkerjakan Emir sebagai asistennya karena tahu kehidupan perekonomian Emir yang memang jauh di bawahnya. Emir itu orang yang paling anti dibantu, selama dia merasa masih bisa berusaha sendiri, itulah alasan mengapa pada akhirnya Malik memilih Emir menjadi asistennya. Selain rasa saling percaya, Malik pun merasa nyaman bersama Emir. Semua rahasianya selama ini aman. Termasuk, dirinya yang mengalami penyakit Impoten sejak Kinara meninggal.Hanya Emirlah yang menjadi satu-satunya tempat bagi Malik mencurahkan segala macam keluh kesah problematika hidupnya yang rumit."Bukan siapa-siapa, gue juga nggak kenal," jawab Malik jujur. Batin lelaki itu terus bergejolak hebat, berpikir keras, apakah dia harus menceritakan pada Emir mengenai kebejatannya tadi malam terhadap wanita itu?Terhadap wanita yang bahkan tidak dia kenal, tapi dengan begitu berani dia malah menodainya.Malik meraup wajahnya, gusar.Sejak tadi dia tidak bisa berkonsentrasi dengan baik saat syuting hingga melakukan beberapa kesalahan. Untung saja tidak fatal."Kalau nggak kenal kenapa tuh cewek bisa nyasar ke kamar lo?" tanya Emir lagi. Curiga.Malik menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Dada lelaki itu bergemuruh menahan beban rasa bersalah yang teramat sangat.Sebut Malik bodoh!Ya, Malik memang manusia super bodoh yang sudah kalah dengan nafsunya sendiri.Nafsu iblis yang membawanya pada jurang penyesalan yang mendalam.Tak Malik pungkiri, dia sangat menikmati kejadian tadi malam hingga dia melakukan hal itu berulang-ulang. Setan sudah benar-benar membuatnya buta dan khilaf.Padahal selama ini, Malik tak pernah bersikap kurang ajar pada wanita mana pun.Malik menegakkan tubuhnya condong ke arah Emir. Dia menatap ke sekeliling tempat di mana dirinya dan Emir saat ini duduk.Di sana memang ramai, tapi semua orang yang menjadi kru terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sepertinya, Malik tidak bisa merahasiakan hal ini dari Emir lebih jauh. Dia butuh teman untuk membagi masalahnya. Membantunya mencari jalan keluar agar dia tidak terus menerus dihantui perasaan bersalah.Malik menatap Emir lekat dan berbisik."Gue udah memperkosa cewek itu, Mir!"Emir pun tertegun mendengarnya.*****Sore harinya selepas syuting, Emir mengajak Malik untuk membicarakan lebih lanjut perihal kejadian tadi malam yang telah dilakukan sahabat sekaligus bosnya itu.Mereka memilih kediaman Emir sebagai tempat yang paling aman untuk membicarakan hal-hal yang berbau rahasia."Silahkan diminum kopinya Mas Malik," Lani, istri Emir mempersilahkan sang tamu untuk meminum kopi yang dia suguhkan."Iya, terima kasih Lan," jawab Malik yang juga sudah kenal dekat dengan Lani.Sepeninggal Lani, Emir kembali mengintrogasi Malik."Lo serius Lik, udah perkosa tuh cewek? Tapi bukannya lo..." Emir menggantung kalimatnya. Merasa tak enak untuk meneruskan karena hal ini memang sangat memalukan bagi seorang lelaki."Justru karena hal itu, gue pada akhirnya nggak bisa nahan diri, Mir! Cewek itu mabok, dan berada dalam pengaruh obat perangsang, dia agresif banget. Dan anehnya, sentuhan tuh cewek bikin punya gue turn on! Gue juga bingung kenapa bisa begitu?" tutur Malik menjelaskan.Emir cukup terkejut mendengar pengakuan Malik. Hal ini memang terdengar tidak masuk akal, karena sebelumnya yang Emir ketahui, Malik bahkan sudah digugat cerai empat kali oleh istri-istrinya karena lelaki itu lemah syahwat. Jadi, mana mungkin dia bisa turn on dengan begitu tiba-tiba oleh wanita yang bahkan tidak dia kenali?"Lo bener-bener nggak kenal sama tuh cewek?" tanya Emir lagi."Nggak! Dia nggak bawa apapun pas ketemu gue tadi malem," jawab Malik jujur."Terus gimana cerita awalnya dia bisa masuk ke kamar lo?""Jadi gini..."Malik pun menceritakan kronologi kejadian yang dia alami tadi malam di hotel, sampai pada kejadian kecelakaan saat dia bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya di jalanan. Tak ada sedikit pun hal yang dia sembunyikan dari Emir."Lo kan punya nomornya, coba lo hubungi?" perintah Emir setelahnya."Terus, gue harus ngomong apa? Kalo gue jujur, terus dia lapor polisi gimana, Mir?" balas Malik khawatir."Semua perbuatan itu harus ada pertanggung jawabannya Lik, lo nggak bisa lari dari tanggung jawab lo yang udah menodai wanita yang sedang mabuk. Jangan jadi pengecut!" saran Emir telak. "Kalau lo nggak mau di penjara, satu-satunya cara untuk lo memperbaiki semuanya, ya dengan cara menikahi cewek itu."Kedua bola mata Malik terbelalak lebar. "Nikahin tuh cewek? Gila kali lo! Nggak ada saran lain apa?""Sayangnya nggak ada. Pilihannya cuma dua, lo tanggung jawab dengan menikahi cewek itu, atau lo bakal masuk penjara! Pilih mana?""Kalo gue di penjara, lo bakal kehilangan pekerjaan, Mir!" ancam Malik agar Emir tak terus menyudutkannya."Pekerjaan masih banyak kali," jawab Emir dengan santai. "Gue tinggal cari pekerjaan lain! Lagipula, kalau memang lo tetap kekeuh pada pendirian lo untuk lari dari tanggung jawab, gue juga akan memilih untuk mundur jadi asisten lo!""Kok lo gitu sih?" Malik semakin serba salah. Dia tahu betul watak Emir yang memang paling anti berhubungan dengan lelaki brengsek yang suka mempermainkan hati wanita. Emir itu sosok lelaki religius yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Itulah sebabnya dirinya dan Emir bisa menjalin hubungan baik sampai sekarang, karena sejak awal sikap mereka terhadap perempuan memang sama, sama-sama menghormati dan menghargai."Lo tau guekan? Kalau dulu gue merasa prihatin dan simpatik sama kehidupan lo sejak Kinara meninggal, tapi setelah mendengar tentang apa yang udah lo lakuin tadi malam itu bener-bener buat gue ilfeel, Lik! Jujur gue kecewa sama lo, kok bisa-bisanya lo ambil kesempatan dalam kesempitan dengan memperkosa perempuan mabuk!" Emir jadi geleng-geleng kepala.Malik mengesah. Dia menegakkan posisi duduknya, berupaya untuk menjelaskan kembali apa yang sudah dia alami dan rasakan selama ini."Oke, gue akui gue emang brengsek! Tapi, lo nggak pernah ngerasain jadi gue, Mir! Tujuh belas tahun, Mir! Tujuh belas tahun gue hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah gue terhadap Kinara! Dan semua itu nggak mudah untuk gue lalui! Gue udah coba untuk berdamai dengan diri gue sendiri, bahkan gue berusaha membuka hati gue buat orang lain, mengajak mereka menikah dengan harapan gue bisa kembali menjalani kehidupan normal seperti laki-laki kebanyakan, tapi apa? Pada akhirnya gue cuma bisa menelan kekecewaankan? Bahkan dari semua perempuan yang udah gue nikahi, nggak ada yang bisa bertahan lebih dari satu tahun hidup sama gue!""Intinya apapun itu alasannya, lo tetap salah dan harus bertanggung jawab kalau lo mau hidup lo berubah menjadi lebih baik," potong Emir yang tetap dengan pendiriannya. Meski dalam hati dia merasa begitu prihatin dengan takdir kehidupan yang dijalani sahabatnya itu, namun Emir tetaplah Emir yang berusaha memutuskan hal terbaik bagi masalah yang sedang dialami Malik saat ini."Tapi gue udah janji sama Aryan untuk nggak menikah lagi, Mir," ucap Malik putus asa.Mendengar nama Aryan disebut, Emir jadi serba salah. Sebagai orang terdekat, Emir jelas tahu bagaimana sikap Aryan terhadap Malik selama ini."Kita kesampingkan dulu masalah Aryan. Intinya, sekarang, lo temui dulu baik-baik cewek itu. Bicarakan semuanya secara baik-baik dulu, gimana?"Malik terdiam.Hingga akhirnya, lelaki itu mengangguk juga.Malam itu, diantar oleh Emir, Malik berusaha menghubungi wanita itu melalui nomor ponsel yang dia berikan tadi pagi di kamar hotel.Sayangnya puluhan kali Malik mencoba hubungi tapi tak kunjung ada jawaban.Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melacak keberadaan ponsel itu saat ini.Setelah mengikuti petunjuk, akhirnya Malik dan Emir sampai di sebuah Gang bernama Gang Belimbing.Karena lokasi gang yang sempit akhirnya Malik memparkirkan kendaraannya di tepi jalan. Keduanya berjalan kaki memasuki Gang tersebut.Sampai di sebuah rumah sederhana paling ujung, Malik memberitahu Emir bahwa di sinilah lokasi keberadaan ponsel tersebut.Bendera kuning dan tenda yang terpasang di sana menandakan bahwa si pemilik rumah kini sedang berduka.Tak ingin mengulur waktu, Emir langsung berinisiatif untuk bertanya pada warga setempat."Permisi Pak, ini siapa yang meninggal ya?" Tanya Emir pada salah satu pelayat."Ibunya Isna, Mas," jawab si Bapak tua itu."Isna? Isna itu pemilik rumah ini?" tanya Emir lagi."Iya, dia anak pertama Pak Dharma dan Ibu Sari. Pemilik rumah ini."Emir menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kalau boleh tau, meninggalnya kenapa Pak? Sakit?" tanya Emir lebih lanjut."Bukan, Ibu Sari itu sehat awalnya. Dia meninggal karena jatuh dari kamar mandi. Pembuluh darah otaknya pecah dan dia tidak tertolong. Kasihan sih, padahal selama ini, dia yang cari uang jadi kuli gosok dan cuci untuk biaya kehidupan keluarganya semenjak suaminya kecelakaan," jelas si Bapak panjang lebar.Setelah mendapat cukup informasi, Emir pun berterima kasih pada bapak itu.Kini, kedua lelaki itu berembuk untuk memutuskan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.Dan hasilnya, Emir meminta Malik untuk menunggu sampai acara tahlilan itu selesai dan para warga pulang.Pukul sembilan malam, kediaman Isna sudah sepi.Malik dan Emir pun hendak menyambangi kediaman Isna, namun lagi-lagi mereka justru dikejutkan dengan suara bentakan dan bantingan beberapa barang yang terjadi dari dalam rumah Isna.Dan betapa terkejutnya Malik dan Emir ketika mendapati beberapa lelaki bertato dengan tubuh besar layaknya preman pasar kini sedang memporak-porandakan kediaman Isna."Ini udah jatuh tempo! Kalian harus bayar hutang kalian! Kalau tidak rumah ini kami sita!" teriak salah satu lelaki itu."Saya akan segera lunasi hutang-hutang kami, tolong beri kami waktu sedikit lagi, tolong..." terdengar suara Isna berteriak.Isna dan Hasna hendak menghalangi aksi premanisme para penagih hutang yang hendak menghancurkan barang-barang mereka tapi tubuh Isna yang justru malah ikut terkena sasaran amukan mereka.Tubuh Isna terdorong keluar dari rumahnya hingga kepalanya terbentur lantai dan berdarah.Isna menangis tersedu-sedu.Seorang lelaki yang tiba-tiba mendekatinya dan membantunya bangkit membuat Isna terkejut."Kamu?" gumam Isna dalam ketidakberdayaannya.Bagaimana ini?Belum selesai masalah dengan para debt collector itu, kini Isna harus berhadapan dengan lelaki yang sudah dia tabrak mobilnya kemarin malam.Pasti, lelaki ini pun hendak meminta ganti rugi padanya?Isna benar-benar bingung."Kamu?" kata Isna kaget begitu dilihatnya sosok lelaki yang tiba-tiba mendatangi kediamannya.Lelaki itu adalah lelaki yang sudah dia tabrak mobilnya kemarin malam.Pasti sekarang lelaki itu datang untuk meminta ganti rugi?Bagaimana ini?Isna benar-benar bingung."Ng... Maaf," gumam Isna yang benar-benar tak tahu harus bicara apa. Keadaan hidupnya yang begitu memprihatinkan membuatnya cukup malu.Isna hendak bicara namun tertahan saat dilihatnya gerakan Malik yang tanpa di sangka-sangka justru menerobos masuk ke dalam rumahnya dan menahan aksi para debt collector yang hendak memporak-porandakan seluruh isi perabotan milik Isna di dalam sana."Saya yang akan melunasi semua hutang-hutang keluarga ini, tolong hentikan aksi kalian," ucap Malik saat itu.Isna, Hasna dan Dharma jelas terkejut dan hanya bisa saling melempar pandang."Mari, kita bicarakan baik-baik di luar," kata Malik lagi meminta para debt collector itu mengikuti langkahnya keluar karena rumah itu yang begitu sempit.Mereka
"Menikah dengan saya Isna? Anggap saja itu bayaran atas semua hutang-hutang keluargamu yang sudah saya lunasi."Isna mengerutkan kening. Dari ekspresinya dia terlihat kaget, tapi juga bingung.Mendengar kata menikah, dalam sekejap ingatan Isna dipaksa berputar pada kejadian yang dialaminya kemarin malam.*"Maaf-maaf, kamu nggak kenapa-napa?" ucap seorang lelaki pemilik kendaraan roda empat yang baru saja bertabrakan dengan motor Isna.Lelaki itu keluar dari mobil dan berlari tergesa menghampiri Isna yang terjatuh di tepi jalan.Spion motor Isna hancur dan stang motornya pun rusak. Alhasil motor matic itu tidak bisa digunakan dan harus masuk bengkel. Untungnya, tubuh Isna hanya lecet sedikit dan tidak mengalami benturan berat."Kenalkan, aku Julian dan ini temanku Adi. Kamu mau kemana?" tanya laki-laki bernama Julian yang tadi menabrak Isna."Aku mau ke rumah sakit, Ibuku kecelakaan," jawab Isna jujur.Kedua lelaki di hadapannya saling pandang sebelum akhirnya mereka kembali tersenyum
Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Isna.Di rumah sakit tadi Isna harus dipusingkan oleh pengunjung rumah sakit yang mengotori lantai kamar mandi dengan muntahan anaknya. Hebatnya bukannya meminta maaf, si pengunjung justru memarahi Isna karena persediaan tissue di toilet habis. Padahal seingat Isna, dia sudah mengganti tissue toilet dengan yang baru, tapi anehnya belum sampai tengah hari, tissue tersebut sudah habis?Setelah lelah bekerja di rumah sakit, Isna harus kembali tertimpa musibah saat dirinya tanpa sengaja salah menyajikan pesanan untuk pengunjung resto tempatnya bekerja.Malam ini pengunjung resto sangat ramai terlebih rekan kerja satu shift Isna yang bernama Awan tidak masuk. Jadilah Isna kerja rodi sendirian. Dari mulai membersihkan meja, kursi dan lantai resto, mengantarkan pesanan makanan dan minuman serta memastikan para pengunjung mendapatkan tempat kosong untuk makan."Saya tidak mau tau, saya mau menu ini diganti," ucap salah satu pengunjung yang merasa pesan
"Mari saya antar kamu pulang, ini sudah terlalu malam untukmu berkeliaran sendirian di luar!" ajak Malik saat itu."Apa? Berkeliaran? Saya itu habis pulang kerja! Enak saja berkeliaran! Anda pikir saya binatang ragunan berkeliaran!" omel Isna tidak terima.Sebenarnya Malik ingin tertawa, tapi sebisa mungkin dia tahan."Darimana anda tahu saya ada di sini?" tanya Isna setelah dirinya mampu mengendalikan rasa terkejut sekaligus kesal melihat kedatangan Malik secara tiba-tiba."Tadi saya mampir ke rumah dan Pak Dharma beritahu saya bahwa kamu bekerja di restoran Seafood daerah sini," jawab Malik apa adanya.Isna menatap tajam Malik. Sebuah tatapan menyelidik."Pak Dharma yang menyuruh saya untuk menjemput kamu," ucap Malik lagi."Cih! Bisa-bisanya anda pakai cara licik dengan mendekati Bapak saya? Nggak usah sok-sok baik apalagi cari perhatian dengan keluarga saya! Saya udah paham seberapa mesumnya kadar otak anda! Jangan berpikir saya akan kalah cuma gara-gara hutang! Kehidupan dan masa
"Dan inilah yang sudah saya katakan sejak awal mengenai penyakit yang Pak Malik derita selama ini, bahwa penyakit impoten yang Pak Malik derita bukan berasal dari faktor organik, tapi psikogenik. Semua ini hanya Pak Malik sendiri yang mampu menjawabnya, karena dari semua pemeriksaan medis, tidak ada yang bermasalah dalam diri Pak Malik. Pak Malik sehat secara fisik, hanya saja, batiniah Pak Maliklah yang selama ini terganggu. Mungkin, tidak cukup ketika Pak Malik dinyatakan sudah sembuh dari penyakit depresi yang pernah Pak Malik derita belasan tahun lalu, karena pada kenyataannya, dalam diri Pak Malik, Pak Malik belum bisa menerima takdir yang telah ditetapkan Tuhan terhadap diri Pak Malik," jelas seorang dokter yang selama ini menjadi Dokter pribadi Malik dalam menangani penyakit yang dideritanya.Malik dan sang Dokter kini sudah selayaknya sepasang teman karib karena semua rahasia pribadi terkelam yang pernah Malik rasakan dalam hidupnya kini sudah diketahui oleh sang Dokter."Apa s
"Halo, Wil?" ucap seorang lelaki di seberang. Dia baru saja menghubungi sahabat satu fakultasnya di Jogya yang bernama Wildan."Ya, ada apa?" tanya Wildan yang saat itu baru saja memparkirkan kendaraannya di depan restoran seafood tempat sang kekasih bekerja."Lo di mana? Clubbing yuk?""Sorry Yan, gue nggak bisa. Gue mau jemput Isna," jawab Wildan.Lelaki bernama Aryan yang menelepon Wildan tampak mengesah. Sebelah tangannya mengepal dengan ekspresi bengis yang nampak di wajah tampannya. "Gue kirain lo udah putus sama cewek itu?" ucapnya sinis."Putus? Putus gimana? Hubungan gue sama Isna baik-baik aja kali," ujar Wildan santai. Dia membuka pintu mobil untuk menunggu kedatangan Isna.Saat itu Aryan tidak berbicara apapun lagi dan langsung memutus sambungan teleponnya dengan Wildan, membuat lelaki berkemeja biru itu terheran-heran dengan tingkah sahabatnya.Palingan juga abis berantem lagi sama bokapnya!Gumam Wildan dalam hati.Wildan dan Aryan sudah saling mengenal saat mereka SD.Aw
Isna duduk termenung di Halte menunggu metromini lewat.Dia hendak pulang.Ditatapnya layar ponsel di tangannya.Tampil di wallpaper ponsel itu gambar dirinya bersama seorang lelaki yang telah memberikan ponsel itu secara cuma-cuma padanya, sekitar dua bulan yang lalu.*"Aku mau kamu terima ini. Kalau kamu tolak, aku akan marah," ucap Wildan saat lelaki itu memberikan Isna sebuah ponsel baru.Saat itu, malam terakhir Isna dan Wildan bertemu sebelum Wildan kembali ke Joyga untuk melanjutkan pendidikan.Isna terdiam dengan kedua tangan yang sudah menerima bungkusan berisi ponsel pemberian Wildan. Wildan memberikannya secara paksa."Jangan tersinggung. Aku beri kamu ponsel ini karena aku nggak mau kita sampai lose contact. Gimana aku bisa hubungi kamu di Jogya nanti kalau kamu nggak pegang Hanphone? Kalau aku kangen gimana? Kamu nggak kasian sama aku?" Suara Wildan terdengar manja. Jari telunjuknya menarik dagu Isna agar mendongak. Dia ingin menatap wajah Isna sampai puas malam ini.Sebe
"Yah? Nggak ada apa-apa? Kak Is nggak masak?" Uucap Hasna saat tak mendapati lauk pauk apapun di dapur. Padahal dia begitu lapar karena hari ini dia tidak jajan di sekolah."Kakakmu sakit, tadi pagi dia muntah-muntah pas lagi buat kue," jawab Dharma yang sedang menonton TV."Terus jadi nggak jualan hari ini?" tanya Hasna masih cemberut."Nggak. Tadi juga Bapak larang supaya nggak usah masuk kerja, tapi Isna kekeuh mau masuk kerja, yasudah. Katanya sudah minum obat."Hasna tidak menyahut. Gadis itu sibuk membuat mie di dapur. Dia tidak pernah terlalu perduli tentang apapun hal yang terjadi pada Isna, yang Hasna tau dirinya saat ini sangat lapar, dan dia harus segera makan.Selepas mie matang, Hasna memakannya di kamar.Gadis itu makan dengan lahap.Selesai makan, ketika sang Ayah tertidur, Hasna diam-diam masuk ke dalam kamar sang Kakak seperti yang biasa dia lakukan.Uang simpanan untuk ongkos kerja yang ditaruh Isna di selipan lipatan pakaian milik Isna diambilnya separuh.Hari ini H
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m