Isna duduk termenung di Halte menunggu metromini lewat.
Dia hendak pulang.Ditatapnya layar ponsel di tangannya.Tampil di wallpaper ponsel itu gambar dirinya bersama seorang lelaki yang telah memberikan ponsel itu secara cuma-cuma padanya, sekitar dua bulan yang lalu.*"Aku mau kamu terima ini. Kalau kamu tolak, aku akan marah," ucap Wildan saat lelaki itu memberikan Isna sebuah ponsel baru.Saat itu, malam terakhir Isna dan Wildan bertemu sebelum Wildan kembali ke Joyga untuk melanjutkan pendidikan.Isna terdiam dengan kedua tangan yang sudah menerima bungkusan berisi ponsel pemberian Wildan. Wildan memberikannya secara paksa."Jangan tersinggung. Aku beri kamu ponsel ini karena aku nggak mau kita sampai lose contact. Gimana aku bisa hubungi kamu di Jogya nanti kalau kamu nggak pegang Hanphone? Kalau aku kangen gimana? Kamu nggak kasian sama aku?" Suara Wildan terdengar manja. Jari telunjuknya menarik dagu Isna agar mendongak. Dia ingin menatap wajah Isna sampai puas malam ini.Sebelum dia kembali ke Jogya besok."Tunggu aku pulang ya Isna, tunggu aku sampai aku lulus kuliah nanti."*Satu titik air mata Isna terjatuh.Buru-buru gadis itu menyekanya.Perpisahaannya dengan Wildan malam itu masih terasa membekas di hati Isna.Bahkan satu ciuman yang diberikan Wildan di bibirnya masih terus saja terbayang dalam benak Isna.Sebuah ciuman hangat yang manis.Sebut Isna bodoh.Dirinya yang bahkan tak mampu mengungkapkan apa yang diketahuinya tentang Wildan selama ini. Wildan yang sudah berselingkuh di belakangnya. Isna sudah berusaha menyelidikinya sendiri dengan mengecek ponsel Wildan diam-diam, hanya saja Isna tak menemukan adanya hal-hal aneh di ponsel itu.Baik itu di file pesan, email, medsos, atau foto-foto yang tersimpan.Bahkan selama Wildan melalui waktu bersamanya, lelaki itu tak pernah bersikap aneh seperti lelaki kebanyakan yang diam-diam menerima panggilan telepon dari selingkuhannya.Itulah sebabnya Isna tak sama sekali menemukan celah untuk membahas tentang masalah perselingkuhan itu dengan Wildan. Sikap Wildan yang manis membuat hati Isna selalu meleleh dalam setiap pertemuan mereka.Sudah hampir satu bulan lebih berlalu setelah Wildan kembali ke Joyga. Kehidupan Isna tetap berjalan seperti biasa.Bedanya, Isna kini tidak lagi bekerja sebagai Cleaning Service di rumah sakit, tapi sebagai salah satu staff HRD di sebuah perusahaan besar.Perusahaan milik keluarga Wildan.Sebenarnya sudah lama Wildan menawarkan Isna untuk bekerja di perusahaan itu, hanya saja Isna terus menolak karena dia paling tidak mau berhutang budi pada siapapun terlebih itu kekasihnya sendiri.Kali ini Isna terpaksa menerima karena dia ingin segera dapat melunasi hutang-hutangnya kepada Malik.Ya, lelaki itu.Lelaki yang terus saja mengganggunya selama ini.Padahal Isna sudah berulang kali mengatakan pada Malik untuk tidak terus datang ke rumah memberikan ini-itu kepada Ayahnya dan Hasna.Lelaki itu benar-benar bermuka dua.Dia pintar mencari cara untuk membuat Ayah Isna simpatik padanya.Tanpa dia sadar, justru dengan caranya yang culas seperti itu, Isna bukannya tertarik tapi jadi semakin muak padanya.Isna menggeser tubuhnya saat ada seorang perempuan yang duduk di sebelahnya, di bangku tunggu Halte.Perempuan itu sibuk dengan ponselnya. Sepertinya dia hendak menelepon seseorang."Halo, Ras?" ucap perempuan yang duduk di sebelah Isna.Awalnya Isna tidak terlalu memperhatikan isi percakapan perempuan cantik di sisinya itu dengan lawan bicaranya di telepon, tapi saat Isna mendengar perempuan itu menyebut nama Malik Indra Wahyuda, Isna sempat melirik sekilas ke arah perempuan itu dan memasang kuping lebar-lebar."Ya kalau tau nasib gue bakal kayak gini, gue juga nggak akan minta cerai sama Malik, Ras! Apartemen sama mobil gue udah di sita sama Bank, lo tau gue sekarang lagi di mana? Gue lagi di halte nunggu metromini! Gila kan? Mana panas banget tau nggak!" keluh perempuan itu yang sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya.Isna masih terus mendengarkan perkataan si perempuan sambil berpura-pura main handphone."Apa? Lo suruh gue balikan sama Malik? Gila lo Ras! Gue emang lagi butuh uang sekarang, tapi gue juga masih punya harga diri kali! Lagian, gue nggak mau terjebak sama lelaki lemah kayak Malik!"Perempuan itu melirik ke arah Isna. Dia melihat Isna sedang menggunakan hands free yang menyumpal kedua telinga gadis itu. Setelah memastikan bahwa keadaan sekitar aman untuknya kembali bicara, barulah si perempuan melanjutkan percakapannya di telepon."Cukup lo aja yang tau tentang ini ya Ras, gue percaya sama lo, makanya gue cerita. Karena sebelum gue cerai sama Malik, Malik minta gue tanda tangan surat perjanjian supaya gue nggak menyebarluaskan masalah pribadi Malik ke orang luar."Mendengar hal itu, entah kenapa hati Isna mendadak was-was. Dia menunggu dengan gelisah apa sebenarnya hal yang ingin diungkapkan perempuan itu tentang Malik."Malik itu punya penyakit kronis. Dia impoten! Itulah kenapa, selama ini dia selalu gagal dalam pernikahannya. Ya karena dia bener-bener nggak berguna jadi lelaki! Nggak bisa memberi nafkah batin sama istri-istrinya, termasuk ke gue!"Isna menelan salivanya bulat-bulat.Entah kenapa, hatinya mendadak terenyuh.Jadi, semua berita miring tentang Malik yang selama ini beredar di media itu tidak benar?Sepanjang perjalanan pulang menuju kediamannya, pikiran Isna tak lepas dari apa yang diketahuinya tentang Malik.Logikanya masih sulit menerima jika seorang lelaki gagah dengan wajah tampan dan tubuh tinggi yang proporsional seperti Malik itu ternyata memiliki penyakit yang begitu mengerikan bagi pria.Sebagai seorang perempuan normal, Isna tidak ingin munafik.Penilaiannya tentang sosok Malik diluar sikap culas lelaki itu, secara fisik Malik adalah sosok lelaki yang sangat tampan.Terlebih dengan brewok tipis yang menghiasi wajah lelaki itu. Malik terlihat sangat maskulin dan jantan.Jadi, mana mungkin Malik impoten?Memikirkan kata Impoten, pikiran Isna langsung melayang tak tentu arah.Nggak!Nggak!Lo mikirin apa sih Isna?Gumam gadis itu seraya menggeleng pelan.Dia terus berusaha untuk membuang segala pikiran kotor yang tiba-tiba saja hinggap di kepalanya.Gara-gara Malik!Setelah turun dari metromini, Isna terus berjalan menunduk memasuki gang rumahnya, ketika tiba-tiba seorang lelaki menyentuh bahunya dari belakang."Isna?"Isna terperanjat hebat. Dia berbalik dan melihat orang yang sejak tadi memenuhi pikirannya kini berdiri di hadapannya."Aku bawa brownis kesukaan Ayah kamu," ucap Malik seraya mengangkat sebuah jinjingan di tangannya yang berisi kotak brownis dan buah-buahan segar.Isna tidak bereaksi. Dia malah menatap Malik dengan tatapan yang sulit diartikan."Hei, ayo ke rumah, kenapa malah bengong?" ajak Malik saat Isna terus saja diam dengan tatapan yang tak lepas dari wajahnya.Merasa ada hal yang aneh, akhirnya Malik terpaksa menyentuh dan mengguncang kecil bahu Isna.Isna pun tersadar. Gadis itu tampak salang tingkah, terlebih saat tatapannya kini justru tertuju tepat ke arah retsleting celana jeans yang Malik kenakan.Karena celana itu cukup ketat dan Malik mengenakan kemeja yang dimasukkan rapi ke dalam celana, Isna jelas melihat bahwa ada sesuatu benda yang menonjol dari balik celana itu."Isna, kamu kenapa?" tanya Malik semakin bingung."Ng, nggak kenapa-napa kok!" jawab Isna terbata. "Aku duluan!" Isna berbalik cepat dan langsung berlari lebih dulu ke arah rumahnya.Entah kenapa, wajahnya tiba-tiba memanas.*****Malam harinya, Isna tidak bisa tidur.Dia terus saja memikirkan tentang Malik dan penyakit yang lelaki itu derita.Isna benar-benar penasaran dengan kebenaran berita itu.Bahkan saking penasaran Isna sampai mencari tahu di internet tentang siapa saja mantan-mantan istri Malik sebelumnya.Sebab dari berita yang beredar di media, semua mantan istri Malik menggugat cerai Malik dengan alasan sudah tidak adanya kecocokan di antara mereka.Bahkan ada yang mengatakan bahwa Malik berselingkuh.Tak ada satu pun mantan istri Malik yang berkoar di media dengan mengatakan mengenai kekurangan Malik dalam hal fisik.Dan benar saja setelah memastikan lebih lanjut bahwa perempuan yang tadi ditemuinya di Halte itu adalah salah satu mantan istri Malik yang bernama Dara. Dia mantan istri Malik yang terakhir.Dalam artikel itu mengatakan, alasan Dara menggugat cerai Malik karena Dara tidak terima hidupnya diatur ini-itu oleh Malik.Dari sini, Isna bisa mengambil kesimpulan bahwa Malik memang tak ingin jika kekurangannya itu terekspos media.Selain mencari tahu tentang kehidupan Malik, Isna juga membaca berbagai artikel yang membahas tentang segala hal yang bisa menjadi penyebab seorang lelaki menderita Impoten.Dan sebuah artikel yang membahas tentang kejadian naas yang dialami seorang wanita bernama Kirana Larasati yang merupakan istri pertama Malik, berhasil mencuri perhatian Isna.Dia membuka artikel tersebut dan membacanya.Kedua bola mata Isna terbelalak lebar saat dia mengetahui bahwa penyebab istri pertama Malik meninggal adalah karena bunuh diri!"Yah? Nggak ada apa-apa? Kak Is nggak masak?" Uucap Hasna saat tak mendapati lauk pauk apapun di dapur. Padahal dia begitu lapar karena hari ini dia tidak jajan di sekolah."Kakakmu sakit, tadi pagi dia muntah-muntah pas lagi buat kue," jawab Dharma yang sedang menonton TV."Terus jadi nggak jualan hari ini?" tanya Hasna masih cemberut."Nggak. Tadi juga Bapak larang supaya nggak usah masuk kerja, tapi Isna kekeuh mau masuk kerja, yasudah. Katanya sudah minum obat."Hasna tidak menyahut. Gadis itu sibuk membuat mie di dapur. Dia tidak pernah terlalu perduli tentang apapun hal yang terjadi pada Isna, yang Hasna tau dirinya saat ini sangat lapar, dan dia harus segera makan.Selepas mie matang, Hasna memakannya di kamar.Gadis itu makan dengan lahap.Selesai makan, ketika sang Ayah tertidur, Hasna diam-diam masuk ke dalam kamar sang Kakak seperti yang biasa dia lakukan.Uang simpanan untuk ongkos kerja yang ditaruh Isna di selipan lipatan pakaian milik Isna diambilnya separuh.Hari ini H
Isna hamil.Jalan 8 minggu.Itulah yang dikatakan oleh dokter klinik yang memeriksa Isna tadi.Kini, keadaan Isna terlihat kacau.Gadis itu tak henti menangis di dalam mobil Malik, sementara Malik sendiri tidak tahu harus melakukan apa.Rasa bersalahnya semakin besar pada Isna. Sayangnya Malik terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya kepada gadis itu.Gadis yang telah dia rusak masa depannya."Isna, apa sebaiknya kita pulang saja?" Tanya Malik memberanikan diri.Isna tersadar saat mendengar suara Malik menyapanya. Tangisnya perlahan mereda meski rasa sesak di dadanya tak kunjung menghilang.Dia sudah diperkosa dan kini dia harus mendapati dirinya hamil hasil pemerkosaan itu.Isna yang kalut, bingung dan takut hanya bisa menangis dan menangis. Dia bahkan tak tahu kemana dirinya harus mengadu saat ini. Bahkan Isna merasa dirinya kini kehilangan harga diri di hadapan Malik.Pasti lela
"Sekarang, coba jelasin sama Mba, apa yang terjadi sama kamu semalam?" Tanya Isna pada sang adik usai dia mengantar Malik pulang.Kedua kakak beradik itu duduk di depan ruang ICU.Hasna menunduk takut. Titik-titik air matanya mulai kembali berjatuhan."Hasna juga nggak tau Mba. Seingat Hasna, Julian ajak Hasna pergi ke sebuah tempat yang emang pemandangannya indah. Hasna sama Julian ngobrol banyak hal di sana sampai Hasna lupa waktu. Terus, pas Hasna ajakin Julian pulang, Julian tawarin Hasna minuman. Setelah itu Hasna nggak inget apa-apa lagi..." Hasna menghentikan kalimatnya akibat tangisannya yang kian merebak. Dadanya sesak, terlebih ketika ingatannya tertuju pada kejadian yang dia alami tadi pagi.Di mana ketika dirinya terbangun, Hasna sudah berada di dalam sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana.Dan...Bersama tiga orang lelaki yang jelas-jelas bukan Julian."Hasna nggak tau apa yang udah mereka lakukan sama
Malik sudah memparkirkan kendaraannya di tepi jalan dekat gang rumah Isna.Itu artinya, kini waktunya dia berpisah dengan Isna yang harus kembali ke rumah."Makasih ya Om," kata Isna tersenyum."Oke, hati-hati,"Isna hendak membuka pintu mobil ketika dia teringat sesuatu. Ditariknya kembali tangannya dari handle pintu dan kembali berbalik menghadap Malik."Hm, mau mampir dulu ke rumah nggak Om? Ada yang mau saya bicarakan," ucap Isna setengah ragu.Kening Malik berkerut samar, dia menoleh jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Kayaknya udah terlalu malam. Dan lagi di rumah kamu nggak ada siapa-siapa sekarang. Nggak enak sama tetangga. Bicara di sini saja bisa?" saran Malik.Lelaki itu hanya tak ingin jika dirinya sampai lepas kontrol seperti malam itu. Berada berdekatan dengan Isna bukan hal yang mudah bagi Malik karena lelaki itu harus susah payah mengendalikan perasaannya. Dan...
"Wildan sudah menghancurkan kepercayaan saya. Dia sudah mengkhianati saya. Itulah mengapa saya memutuskan untuk memilih Om Malik, pada akhirnya...."Malik tercenung.Dia tidak bisa menebak perasaan apa yang lebih mendominasi hatinya saat ini.Apa itu perasaan senang, cemas atau takut?Semua perasaan itu bercampur menjadi satu dalam benak Malik. Lelaki itu membalas genggaman tangan Isna. Ditatapnya lekat manik mata Isna yang hitam."Sebelumnya, saya nggak pernah merasa seyakin ini dengan seorang perempuan. Tapi dengan kamu, saya yakin jika penantian saya untuk mendapatkan pasangan yang memang benar-benar cocok untuk saya telah berakhir. Sesungguhnya kamu adalah perempuan yang saya cari selama ini. Saya harap, kamu bisa menerima segala kekurangan yang saya miliki Isna..." Ungkap Malik menjelaskan.Cukup bagi Malik merahasiakan soal malam di mana terjadinya kekhilafan itu, dan Malik tidak ingin menutupi apapun tentang kisah masa lal
"Saya lelaki normal, ya wajar kalau berdekatan dengan lawan jenis pusaka saya bereaksi, iyakan?"Kening Isna berkerut. Dia benar-benar bingung.Hingga setelahnya, satu kalimat yang terucap dari bibir Isna membuat Malik kembali terkejut."Bukannya Om itu impoten?" Tanya Isna to the point. Baru melihat milik Malik dari luar saja Isna sudah ngeri karena ukurannya yang cukup besar dan... Panjang...Isna buru-buru menggeleng.Kenapa otaknya jadi kotor? Pikir Isna membatin. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.Isna menelan salivanya sendiri sebelum dia kembali menatap Malik."Jadi Om sudah sembuh?" Tanya Isna lagi dengan wajah super polos."Dari mana kamu tahu soal ini?" Tanya Malik yang benar-benar bingung.Jika memang Isna mengetahui semua rahasia Malik dari orang lain, sudah Malik pastikan tersangka utamanya hanya Emir karena sejauh ini yang Malik tahu, orang terdekat Malik yang menjalin hubungan baik den
"Kinara?" Pekik Malik kaget saat dia tak sengaja membuka mata sewaktu berciuman dengan Isna.Reflek Malik menjauhi Isna. Wajah lelaki itu memucat.Hal itu jelas membuat Isna terheran-heran."Ke-kenapa Om?" Tanya Isna saat itu ketika Malik menatapnya dengan sorot wajah ketakutan.Malik masih berada pada fase peralihan dalam alam bawah sadarnya. Seketika siluet kejadian belasan tahun silam kembali merasuk dalam ingatannya. Detik-detik di mana dirinya melihat sebuah pemandangan yang begitu mengerikan di depan matanya.Tatapan sendu Kinara saat wanita itu meregang nyawa.Darah yang mengalir deras dari kepala Kinara berlumuran di kedua tangan Malik.Dan... Satu kalimat terakhir yang berhasil diucapkan Kinara sebelum menjemput ajal justru semakin membuat Malik terpukul.*"Aku mencintaimu Mas... Aku sudah memenuhi janjiku untuk selalu mencintaimu, bahkan sampai aku mati...""KINARAAAA... JANGAN PERGI
Seharian ini Malik benar-benar membuktikan kata-katanya dengan mengajak Isna jalan-jalan.Awalnya Malik mengajak Isna jalan-jalan ke Dufan.Mereka berdua layaknya ABG yang baru melihat dunia luar. Semua wahana permainan dicoba terkecuali yang memang dilarang untuk ibu hamil. Meski Isna mengatakan dirinya berani, tapi Malik melarang karena tak mau mengambil resiko.Siang hari mereka membeli makanan di restoran cepat saji. Malik sengaja mencari lokasi sepi untuk mereka makan karena tak mungkin Malik membuka masker wajah yang dia gunakan di tempat umum, bisa bahaya jika sampai ada wartawan infotainment yang memergoki mereka.Setelah mendapat tempat yang aman dan nyaman untuk makan, Malik menyuapi Isna seperti biasa agar Isna makan banyak."Berasa jadi seleb, mau makan aja harus ngumpet-ngumpet," celetuk Isna sambil cekikikan."Ya beginilah nasib orang terkenal," Malik jadi terkekeh."Ihhh sombong! Hahaah..."Mereka
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m