"Sekarang, coba jelasin sama Mba, apa yang terjadi sama kamu semalam?" Tanya Isna pada sang adik usai dia mengantar Malik pulang.
Kedua kakak beradik itu duduk di depan ruang ICU.Hasna menunduk takut. Titik-titik air matanya mulai kembali berjatuhan."Hasna juga nggak tau Mba. Seingat Hasna, Julian ajak Hasna pergi ke sebuah tempat yang emang pemandangannya indah. Hasna sama Julian ngobrol banyak hal di sana sampai Hasna lupa waktu. Terus, pas Hasna ajakin Julian pulang, Julian tawarin Hasna minuman. Setelah itu Hasna nggak inget apa-apa lagi..." Hasna menghentikan kalimatnya akibat tangisannya yang kian merebak. Dadanya sesak, terlebih ketika ingatannya tertuju pada kejadian yang dia alami tadi pagi.Di mana ketika dirinya terbangun, Hasna sudah berada di dalam sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana.Dan...Bersama tiga orang lelaki yang jelas-jelas bukan Julian."Hasna nggak tau apa yang udah mereka lakukan samaMalik sudah memparkirkan kendaraannya di tepi jalan dekat gang rumah Isna.Itu artinya, kini waktunya dia berpisah dengan Isna yang harus kembali ke rumah."Makasih ya Om," kata Isna tersenyum."Oke, hati-hati,"Isna hendak membuka pintu mobil ketika dia teringat sesuatu. Ditariknya kembali tangannya dari handle pintu dan kembali berbalik menghadap Malik."Hm, mau mampir dulu ke rumah nggak Om? Ada yang mau saya bicarakan," ucap Isna setengah ragu.Kening Malik berkerut samar, dia menoleh jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Kayaknya udah terlalu malam. Dan lagi di rumah kamu nggak ada siapa-siapa sekarang. Nggak enak sama tetangga. Bicara di sini saja bisa?" saran Malik.Lelaki itu hanya tak ingin jika dirinya sampai lepas kontrol seperti malam itu. Berada berdekatan dengan Isna bukan hal yang mudah bagi Malik karena lelaki itu harus susah payah mengendalikan perasaannya. Dan...
"Wildan sudah menghancurkan kepercayaan saya. Dia sudah mengkhianati saya. Itulah mengapa saya memutuskan untuk memilih Om Malik, pada akhirnya...."Malik tercenung.Dia tidak bisa menebak perasaan apa yang lebih mendominasi hatinya saat ini.Apa itu perasaan senang, cemas atau takut?Semua perasaan itu bercampur menjadi satu dalam benak Malik. Lelaki itu membalas genggaman tangan Isna. Ditatapnya lekat manik mata Isna yang hitam."Sebelumnya, saya nggak pernah merasa seyakin ini dengan seorang perempuan. Tapi dengan kamu, saya yakin jika penantian saya untuk mendapatkan pasangan yang memang benar-benar cocok untuk saya telah berakhir. Sesungguhnya kamu adalah perempuan yang saya cari selama ini. Saya harap, kamu bisa menerima segala kekurangan yang saya miliki Isna..." Ungkap Malik menjelaskan.Cukup bagi Malik merahasiakan soal malam di mana terjadinya kekhilafan itu, dan Malik tidak ingin menutupi apapun tentang kisah masa lal
"Saya lelaki normal, ya wajar kalau berdekatan dengan lawan jenis pusaka saya bereaksi, iyakan?"Kening Isna berkerut. Dia benar-benar bingung.Hingga setelahnya, satu kalimat yang terucap dari bibir Isna membuat Malik kembali terkejut."Bukannya Om itu impoten?" Tanya Isna to the point. Baru melihat milik Malik dari luar saja Isna sudah ngeri karena ukurannya yang cukup besar dan... Panjang...Isna buru-buru menggeleng.Kenapa otaknya jadi kotor? Pikir Isna membatin. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.Isna menelan salivanya sendiri sebelum dia kembali menatap Malik."Jadi Om sudah sembuh?" Tanya Isna lagi dengan wajah super polos."Dari mana kamu tahu soal ini?" Tanya Malik yang benar-benar bingung.Jika memang Isna mengetahui semua rahasia Malik dari orang lain, sudah Malik pastikan tersangka utamanya hanya Emir karena sejauh ini yang Malik tahu, orang terdekat Malik yang menjalin hubungan baik den
"Kinara?" Pekik Malik kaget saat dia tak sengaja membuka mata sewaktu berciuman dengan Isna.Reflek Malik menjauhi Isna. Wajah lelaki itu memucat.Hal itu jelas membuat Isna terheran-heran."Ke-kenapa Om?" Tanya Isna saat itu ketika Malik menatapnya dengan sorot wajah ketakutan.Malik masih berada pada fase peralihan dalam alam bawah sadarnya. Seketika siluet kejadian belasan tahun silam kembali merasuk dalam ingatannya. Detik-detik di mana dirinya melihat sebuah pemandangan yang begitu mengerikan di depan matanya.Tatapan sendu Kinara saat wanita itu meregang nyawa.Darah yang mengalir deras dari kepala Kinara berlumuran di kedua tangan Malik.Dan... Satu kalimat terakhir yang berhasil diucapkan Kinara sebelum menjemput ajal justru semakin membuat Malik terpukul.*"Aku mencintaimu Mas... Aku sudah memenuhi janjiku untuk selalu mencintaimu, bahkan sampai aku mati...""KINARAAAA... JANGAN PERGI
Seharian ini Malik benar-benar membuktikan kata-katanya dengan mengajak Isna jalan-jalan.Awalnya Malik mengajak Isna jalan-jalan ke Dufan.Mereka berdua layaknya ABG yang baru melihat dunia luar. Semua wahana permainan dicoba terkecuali yang memang dilarang untuk ibu hamil. Meski Isna mengatakan dirinya berani, tapi Malik melarang karena tak mau mengambil resiko.Siang hari mereka membeli makanan di restoran cepat saji. Malik sengaja mencari lokasi sepi untuk mereka makan karena tak mungkin Malik membuka masker wajah yang dia gunakan di tempat umum, bisa bahaya jika sampai ada wartawan infotainment yang memergoki mereka.Setelah mendapat tempat yang aman dan nyaman untuk makan, Malik menyuapi Isna seperti biasa agar Isna makan banyak."Berasa jadi seleb, mau makan aja harus ngumpet-ngumpet," celetuk Isna sambil cekikikan."Ya beginilah nasib orang terkenal," Malik jadi terkekeh."Ihhh sombong! Hahaah..."Mereka
Malik baru saja kembali dari kantor polisi setelah pihak kepolisian memberi kabar bahwa pelaku atas pelecehan seksual terhadap Hasna berhasil ditangkap.Lelaki itu berjalan linglung ke arah mobil. Menghempaskan tubuhnya di jok mobil seraya menghembuskan napas berat melalui mulut.Dia memijit pangkal hidungnya saat rasa nyeri perlahan merambat di area kepalanya.Pertemuannya dengan lelaki bernama Julian yang merupakan tersangka atas kasus pelecehan seksual terhadap Hasna tadi membuat Malik merasakan kecemasan berlebih di benaknya.Meski saat ini pihak kepolisian berjanji untuk segera menindak tegas Julian dengan memberinya hukuman sesuai dengan kejahatan dan undang-undang yang berlaku, tapi tetap saja hal itu tak mampu membuat Malik tenang*"Jadi, anda bukan anggota kepolisian? Cih! Sialan!" Maki Julian saat dirinya diberi kesempatan bertatap muka dengan Malik di dalam ruang interogasi tadi.Julian yang memang baru kemba
"Apa?" Pekik Emir kaget saat Lani memberitahunya bahwa kini Isna sudah mengetahui penyebab sebenarnya Kinara meninggal."Maaf Mas, habis Isna terus-terusan mencecar aku," balas Lani membela diri. Dari ekspresi kaget yang ditunjukkan Emir padanya, Lani sudah bisa menebak dia pasti akan terkena marah oleh suaminya tersebut."Ya tapikan kamu nggak harusnya kasih tau Isna juga, Lani! Terus selain itu kamu bilang apalagi ke Isna tentang Kinara?" Emir memang kelihatan emosi, tapi sebenarnya dia lebih khawatir akan keadaan Malik jika Isna sampai mengungkapkan apa yang diketahuinya tersebut ke Malik."Udah sih Mas itu doang. Tadi pas Isna tanya ke aku siapa yang sebenarnya membunuh Kinara, aku bilang aja kalau aku nggak tau,""Terus Isna percaya?""Kayaknya sih iya," jawab Lani yakin tak yakin.Emir mengesah berat. "Lain kali jangan ceroboh Lani! Kamukan tahu, seluruh keluarga Malik termasuk kita yang mengetahui tentang kejadian kematian
Selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Malik keluar dengan tubuh yang lebih segar.Lelaki itu melirik sekilas ke arah tempat tidur tapi tidak menemukan keberadaan Isna di sana.Dan pintu kamar yang terbuka membuat Malik tahu bahwa Isna mungkin sedang keluar.Usai berpakaian, Malik kembali sibuk dengan laptopnya, namun belum sempat dia melanjutkan pekerjaan, suara dering telepon dari ponsel Isna mengalihkan perhatiannya lebih dulu.Diambilnya ponsel yang tergeletak di nakas itu untuk melihat siapa orang yang baru saja melakukan misscall di ponsel istrinya.Kening Malik berkerut samar ketika mendapati sebuah nomor tak dikenal yang tertera di sana.Hingga setelahnya, sebuah pesan gambar masuk di ponsel itu.Saat Malik membukanya, ternyata itu adalah beberapa foto yang memperlihatkan kemesraan Wildan dengan seorang wanita. Di salah satu foto itu terdapat posisi Wildan yang membelakangi kamera terlihat seolah-olah Wildan
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m