120PoV PrisaWaktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Nino sudah tertidur pulas di sofa, aku tahu dia sangat lelah.Mengambil alih tanggung jawab Papa sekaligus mengerjakan pekerjaannya sendiri, tentu sangat melelahkan. Sebenarnya aku juga ingin segera beristirahat, setelah seharian juga banyak aktivitas.Ke sini, ke kampus, kemudian membantu Nino di rumah makan. Sangat melelahkan. Ingin segera menyusul Nino ke alam mimpi, tetapi Papa belum juga tidur.Dari tadi kuperhatikan, tampak gelisah. Entah sudah berapa kali mengutak-atik ponsel di tangan kirinya. Sesekali mengusap wajah kasar. Kuajak bicara tidak merespon. Bahkan tadi sore saat kusuapi makan tak berselera. Pandangannya kosong.“Pa, tidurlah. Kata dokter harus banyak istirahat, biar cepat sembuh. Tadi Alvina juga bilang begitu, kan?”"Papa tidak akan bisa tidur, Pris, sebelum mendengar suaranya. Tapi HP-nya tidak aktif. Sudah
121PoV PrisaYa Tuhan, ada apa dengan keluarga kami? Bahkan saat keadaan Papa dan istrinya seperti ini, ibu mertua juga menelepon Nino, mengabari kalau Darren juga sakit. Badannya panas tinggi, dia terus menanyakan Nino yang beberapa hari ini belum sempat menengoknya karena sibuk mengurusi Papa. Nino pamit pulang, sementara aku tak mungkin meninggalkan Papa dalam keadaan seperti ini. Rumah makan sengaja kami tutup. Aku dan Papa masih menunggu di depan IGD rumah sakit yang sama yang kami tinggalkan beberapa jam lalu. Papa terus saja menundukkan kepala mengutuki dirinya sendiri. Keadaan Papa sangat menyedihkan saat ini. Dengan sebelah tangan di topang karena tulang belikat yang patah. Perban yang masih menempel di beberapa bagian tubuhnya. Memar-memar di wajah yang tidak bisa disembunyikan. Sekarang harus menghadapi kenyataan, kalau istri dan calon anak mereka entah bisa selamat atau tidak. Aku kasihan melihat Papa saat ini. Bahkan selama hidup, baru kali ini aku melihat Papa seemo
122PoP Prisa"Kamu jahat, Do!!" teriakku dengan suara keras tetapi serak. Rasa sesak sudah menguasai dada. "Maaf, Pris, tapi aku sangat mencintai Vina sejak kami kecil. Dia belum bisa tergantikan dalam hatiku dengan gadis mana pun. Kenangan masa kecil kami sangat membekas dalam hatiku hingga sekarang. Aku bahkan tidak peduli dia sudah bersuami dan mengandung, aku hanya ingin memilikinya kembali. Aku ingin mendapatkannya lagi dengan cara apa pun." Kalimat itu keluar dari mulutnya tanpa malu. "Termasuk mempermainkan perasaanku maksudmu?"Dia mengangguk, dan itu sangat menyakitkan. Aku memejamkan mata untuk menahan gemuruh dalam dada yang siap meledak, hingga sebuah deguman keras terdengar sangat dekat. Gegas aku membuka mata, Aldo nampak terhuyung ke samping memegangi rahangnya. Sudut bibirnya nampak pecah dan mengeluarkan darah. Ternyata suara deguman itu berasal dari tinju yang mengenai wajah Aldo. Dan pemilik tinju itu, adalah ... Nino, suamiku. "Itu, karena kamu sudah memperma
123PoV PrisaKami langsung menuju rumah ibu mertua begitu Nino kuberitahu. Wajah Nino langsung berubah pucat. Aku tahu dia mencemaskan anak itu. Ya, dia sangat menyayangi Darren.. Sesuatu yang baru akan kumulai. Sebenarnya, apa yang diinginkan kedua orang itu. Kenapa mereka selalu saja mencari masalah? Kemarin mereka seolah tak peduli dengan Darren. Seolah lepas tangan, menyerahkan anak seolah barang yang bisa dengan mudah di pindahtangankan. Lalu sekarang, mereka datang untuk memperebutkan anak itu. Di mana otak mereka?“Tenang Mas, tetap fokus bawa motornya. Kita hadapi bareng, ya. Aku akan selalu ada buat kamu.” Aku berbisik sedetik sebelum dia menjalankan motornya, karena aku yakin dia akan sangat kalap. Sepanjang jalan aku juga terus menghiburnya. Kuharap ini dapat membantu dia tetap tenang.Sampai di rumah orang tua Nino, telinga kami langsung disambut jerit tangis Darren yang cukup keras. Setengah berlari kami menuju asal suara. Nampak Regina ingin merebut paksa Darren dari
124PoV PrisaAku turun dari tempat tidur sangat hati-hati. Takut membangunkan Darren. Gedoran di pintu belum berhenti. Sudah bisa ditebak siapa pelakunya. Kukuak pintu sedikit, lalu keluar diantara celah yang sedikit itu. Sengaja tidak kubuka lebar agar Darren tidak terganggu. Buru-buru kututup lagi lalu menghadap si penggedor yang sedang bertolak pinggang. Aku melipat tangan di dada. Kita lihat, apa maunya. "Mana anakku?" tanyanya masih bertolak pinggang. Matanya melotot. Di ruang tamu, terdengar Nino masih berdebat dengan kakaknya."Anakmu? Maksudnya Darren?" tanyaku santai. "Iyalah, siapa lagi?" Dia sewot. "Ada tuh, lagi tidur. Dia manis banget, cuma aku peluk aja langsung tidur.""Bangunkan dia, aku mau bawa pulang!" perintahnya tak tahu diri. "Bawa pulang? Enak banget ya, setelah diberikan begitu saja, sekarang mau diambil lagi? Oh, betapa tidak tahu dirinya anda," ucapku masih dengan santai tetapi sukses membuatnya meradang. "Jangan banyak omong ya, cepat bangunkan anakk
125PoV PrisaTak ada yang bersuara. Semua masih diam. Tangan Nino menyentuh punggung Darren yang masih memelukku erat. "Darren, Nenek mau bicara dulu sama Darren, ya. Ayo duduk dulu." Nino membujuk anak itu agar mau berbalik. Kepalanya terasa menggeleng. Tangannya semakin erat memeluk leherku. Ibu mengangguk ke arah Nino. Memberi isyarat agar dia tak memaksa Darren. Ibu berjalan mendekatiku, lalu menyuruh Nino pindah duduk, dan dia duduk di bekas anaknya. "Darren sayang, di sini ada Papa, ada Mama, ada Om Ruri juga. Mereka semua sayang sama Darren." Ibu mulai mengajaknya bicara walaupun anak itu terus bersembunyi di balik pundakku. Tangan ibu mengelus kepala dan punggungnya. Anak itu masih diam. "Mereka semua mau ngajak Darren tinggal di rumahnya. Papa mau ngajak Darren tinggal di rumahnya. Mama juga mau ngajak tinggal Darren di rumahnya. Om Ruri juga. Darren mau ikut siapa, sayang?" Ibu bertanya lembut agar anak itu tak merasa takut atau tertekan. Darren masih diam. Dia hanya
126Nino dan Ruri menyeret wanita gila itu hingga ke jalan. Dia masih terdengar berteriak-teriak di luar bahkan hingga Nino dan Ruri masuk lagi. "Ya Allah, Ibu malu sekali dengan kejadian ini. Lihat, tetangga sampai berkerumun." Ibu terduduk lesu di sebelahku. Wajah tuanya terlihat sangat menyesali kejadian ini. "Ruri, kamu juga, pulanglah! Biarkan Darren tenang. Kasihan dia harus terus menyaksikan pertengkaran orang dewasa. Itu tidak baik untuk psikisnya. Kalau dengan Regina ibu kandungnya saja dia tidak mau, apalagi sama kamu yang asing baginya. Mengertilah!" Ibu menatap Ruri yang hendak duduk lagi tetapi urung. Wajahnya terlihat kecewa. "Baiklah Bu, aku mengerti. Tapi tolong, izinkan aku sering mengunjungi Darren yang aku yakin anak kandungku." Ruri memohon dengan menangkupkan tangannya. "Tidak Mas!" jawab Nino cepat. "Hmm, maksudku, kalau kau mau menemuinya, kita bisa janjian di sini saja. Nanti aku bawa Darren ke sini.""Kenapa Nin? Apa kamu tidak mempercayiaku?" tanyanya kec
127PoV AlvinaAku berusaha untuk bangkit, rasanya sangat haus. Tidak mungkin mengandalkan Mas Pandu. Dia juga masih sakit. Bahkan hanya beraktivitas dengan satu tangan."Kamu mau apa, sayang?" tanyanya seraya membantuku duduk dengan sebelah tangannya. Bau keringatnya yang entah sudah berapa hari tidak mandi itu terhidu dengan jelas. Entahlah, tetap enak di indera penciumanku. Rasanya segar. Aku memejamkan mata beberapa saat, menikmati aroma itu. Bayi ini sangat terikat dengan ayahnya. Aku tidak bisa membayangkan kalau kami harus berjauhan dengannya. Apalagi kalau benar suamiku sampai jatuh dalam pelukan wanita lain. Entahlah, aku bahkan tidak akan sanggup membayangkannya."Kamu sudah makan, Mas?" tanyaku setelah meneguk setengah gelas air yang disodorkannya.Dia menggeleng pelan. Matanya terlihat sayu."Kenapa belum makan? Kamu ju
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok