125PoV PrisaTak ada yang bersuara. Semua masih diam. Tangan Nino menyentuh punggung Darren yang masih memelukku erat. "Darren, Nenek mau bicara dulu sama Darren, ya. Ayo duduk dulu." Nino membujuk anak itu agar mau berbalik. Kepalanya terasa menggeleng. Tangannya semakin erat memeluk leherku. Ibu mengangguk ke arah Nino. Memberi isyarat agar dia tak memaksa Darren. Ibu berjalan mendekatiku, lalu menyuruh Nino pindah duduk, dan dia duduk di bekas anaknya. "Darren sayang, di sini ada Papa, ada Mama, ada Om Ruri juga. Mereka semua sayang sama Darren." Ibu mulai mengajaknya bicara walaupun anak itu terus bersembunyi di balik pundakku. Tangan ibu mengelus kepala dan punggungnya. Anak itu masih diam. "Mereka semua mau ngajak Darren tinggal di rumahnya. Papa mau ngajak Darren tinggal di rumahnya. Mama juga mau ngajak tinggal Darren di rumahnya. Om Ruri juga. Darren mau ikut siapa, sayang?" Ibu bertanya lembut agar anak itu tak merasa takut atau tertekan. Darren masih diam. Dia hanya
126Nino dan Ruri menyeret wanita gila itu hingga ke jalan. Dia masih terdengar berteriak-teriak di luar bahkan hingga Nino dan Ruri masuk lagi. "Ya Allah, Ibu malu sekali dengan kejadian ini. Lihat, tetangga sampai berkerumun." Ibu terduduk lesu di sebelahku. Wajah tuanya terlihat sangat menyesali kejadian ini. "Ruri, kamu juga, pulanglah! Biarkan Darren tenang. Kasihan dia harus terus menyaksikan pertengkaran orang dewasa. Itu tidak baik untuk psikisnya. Kalau dengan Regina ibu kandungnya saja dia tidak mau, apalagi sama kamu yang asing baginya. Mengertilah!" Ibu menatap Ruri yang hendak duduk lagi tetapi urung. Wajahnya terlihat kecewa. "Baiklah Bu, aku mengerti. Tapi tolong, izinkan aku sering mengunjungi Darren yang aku yakin anak kandungku." Ruri memohon dengan menangkupkan tangannya. "Tidak Mas!" jawab Nino cepat. "Hmm, maksudku, kalau kau mau menemuinya, kita bisa janjian di sini saja. Nanti aku bawa Darren ke sini.""Kenapa Nin? Apa kamu tidak mempercayiaku?" tanyanya kec
127PoV AlvinaAku berusaha untuk bangkit, rasanya sangat haus. Tidak mungkin mengandalkan Mas Pandu. Dia juga masih sakit. Bahkan hanya beraktivitas dengan satu tangan."Kamu mau apa, sayang?" tanyanya seraya membantuku duduk dengan sebelah tangannya. Bau keringatnya yang entah sudah berapa hari tidak mandi itu terhidu dengan jelas. Entahlah, tetap enak di indera penciumanku. Rasanya segar. Aku memejamkan mata beberapa saat, menikmati aroma itu. Bayi ini sangat terikat dengan ayahnya. Aku tidak bisa membayangkan kalau kami harus berjauhan dengannya. Apalagi kalau benar suamiku sampai jatuh dalam pelukan wanita lain. Entahlah, aku bahkan tidak akan sanggup membayangkannya."Kamu sudah makan, Mas?" tanyaku setelah meneguk setengah gelas air yang disodorkannya.Dia menggeleng pelan. Matanya terlihat sayu."Kenapa belum makan? Kamu ju
128PoV AlvinaAku menaruh gelas di meja sebelah brankar dengan posisi duduk dan kaki menjuntai ke bawah. Mas Pandu masih duduk di kursi sebelah. Aku baru selesai menyuapinya, juga diriku sendiri. Ya, sekarang kami selalu makan bersama, untuk menghemat tenaga. Aku selalu menyuapinya juga diriku sendiri bergantian.Sebenarnya kalau dia mau, dia masih bisa melakukannya dengan tangan kiri. Entahlah, mungkin benar yang dikatakan Prisa, dia memang manja. Namun, aku tidak keberatan melakukannya. Ini malah membuat hubungan kami semakin romantis. Setiap hari kami makan dari sendok yang sama. Jika rangsumku tak membuat perut kami kenyang, tinggal tambah dengan makanan yang selalu Nino dan Prisa antarkan. Atau dia pesan via jasa antar. "Mas, apa tidak sebaiknya kamu juga dirawat lagi. Tulang belikatmu yang patah harus segera dioperasi." Aku menatapnya setelah dia membuang sampah bekas makan kami. "Nanti saja kalau kamu sudah sembuh" jawabnya santai sambil duduk lagi di kursi dekat brankar.
129PoV PrisaTak terasa sudah dua bulan aku mengasuh Darren. Walau capek, ternyata menyenangkan. Hidupku lebih berwarna, lebih bermakna. Aku seakan punya mainan hidup yang lucu. Darren anak yang manis, tidak pernah rewel jika menginginkan sesuatu. Tidak susah untuk makan. Dia penurut untuk ukuran anak sekecil itu. Hanya satu yang kadang membuatku kesal, saat dia tidak mau kutinggal kuliah. Perlu dibujuk extra supaya mau dititip di ibu atau di rumah Papa. Mungkin dia merasa menemukan sosok ibu yang tidak didapatkan dari Regina. Entah bagaimana wanita itu dulu mengasuhnya.Lelah sih, melanjutkan pendidikan sambil mengurus anak. Tapi lelahnya terbayar. Apalagi saat aku pulang kuliah dia akan berlari dan memelukku dengan rindu. Ah indahnya dicintai dan dibutuhkan. Yang lebih membahagiakan dari semua itu, Nino lebih perhatian padaku. Rasa sayang dan cintanya terasa semakin besar semenjak aku mengurus Darren. Sesuatu yang aku takutkan dulu. Nyatanya? Seakan terbalik. Kini Nino lebih perh
130 PoV Prisa Tadinya aku mau langsung masuk, tetapi kuputuskan untuk menguping dulu. Takutnya aku malah berbuat onar dan mempermalukan Papa. "Pergilah Mbak, kita tidak pernah punya urusan apa pun. Dan ingat! Jangan pernah datang lagi ke sini kalau hanya untuk menemui saya!" Itu suara Papa. Jelas dan tegas. "Benarkah kita tidak punya urusan apapun?" Suara wanita lembut mengalun dan terkesan ... menggoda. Aku tahu itu suara siapa. Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat, kepala dan dadaku terasa panas. Ternyata si sundal itu belum jera juga. Dia sepertinya sengaja menunggu Papa sembuh dan bekerja lagi, untuk menggodanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah akan membuka pintu saat suara Papa terdengar lagi. "Urusan kita hanya sebatas penabrak dan korban tabrak. Dan itu sudah selesai saat saya tahu anda hanya pura-pura menabrakkan diri untuk menggoda saya." Jawaban papa terdengar dingin. Aku urung membuka pintu, karena ingin tahu apa yang akan Papa katakan lagi untuk mengusir wanita itu.
131Aku berusaha bangkit dengan mengesampingkan rasa sakit. Mencoba untuk berdiri dan menoleh ke arah terakhir melihat Regina berlari. Sayangnya, dia sudah tak terlihat. Membawa Darrenku entah ke mana. "Aarrghhh...." Aku berteriak frustasi, apalagi kakiku sakit sekali bahkan sekedar untuk kuajak berjalan. "Darren...." Aku terduduk lemah di atas trotoar seraya berteriak memanggil anakku yang entah sudah dibawa ke mana. Tanganku yang mengepal memukul-mukul paping dengan keras. Aku menangis meraung, tak peduli orang-orang yang berlalu lalang berjalan kaki juga beberapa pengendara menatapku aneh."Darren...." Aku masih menangis meratapi anakku yang hilang. Wajahnya yang ketakutan menangis memanggilku sambil mengulurkan tangan meminta tolong, masih terlihat jelas di pelupuk mata. Aku memejamkan mata. Lalu menoleh ke belakang. Ternyata aku sudah berlari cukup jauh dari rumah makan, dan Papa entah tertinggal di mana. "Darreen." Aku bergumam lagi sambil menunduk. Lalu berusaha untuk bangu
132"Kembalikan Darren pada kami, Re. Lihat, dia ketakutan." Nino berusaha meminta dengan lembut. Namun Regina menggeleng. Dia malah tertawa terbahak. Benar-benar sudah tidak waras. "Jangan harap aku akan kembalikan. Dia anakku!!" teriaknya sambil mundur semakin mendekat ke tembok pembatas jembatan. "Tidak! Kamu salah sundal, dia anakku, sudah jadi anakku selamanya!!" balasku berteriak, aku sudah akan maju tetapi Nino menahan demi melihat dia yang semakin mendekati bibir jembatan. Entah apa yang akan dilakukannya. "Benarkah?" Dia tertawa lagi. "Tapi dia lahir dari rahimku!""Tapi itu benar, Re. Dia sudah menjadi anak kami. Aku sudah mengurus surat perwaliannya. Aku juga sudah memasukkan dia dalam surat KK kami. Secara hukum dia anak kami sekarang." Nino menjelaskan dan itu membuat Regina terperangah. "Dan kamu mengurus semua itu tanpa minta persetujuanku?" "Bukankah kamu sudah menyerahkan Darren padaku beserta semua surat terkait. Dan kamu bilang sudah tidak sanggup mengurus Darr
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok