129PoV PrisaTak terasa sudah dua bulan aku mengasuh Darren. Walau capek, ternyata menyenangkan. Hidupku lebih berwarna, lebih bermakna. Aku seakan punya mainan hidup yang lucu. Darren anak yang manis, tidak pernah rewel jika menginginkan sesuatu. Tidak susah untuk makan. Dia penurut untuk ukuran anak sekecil itu. Hanya satu yang kadang membuatku kesal, saat dia tidak mau kutinggal kuliah. Perlu dibujuk extra supaya mau dititip di ibu atau di rumah Papa. Mungkin dia merasa menemukan sosok ibu yang tidak didapatkan dari Regina. Entah bagaimana wanita itu dulu mengasuhnya.Lelah sih, melanjutkan pendidikan sambil mengurus anak. Tapi lelahnya terbayar. Apalagi saat aku pulang kuliah dia akan berlari dan memelukku dengan rindu. Ah indahnya dicintai dan dibutuhkan. Yang lebih membahagiakan dari semua itu, Nino lebih perhatian padaku. Rasa sayang dan cintanya terasa semakin besar semenjak aku mengurus Darren. Sesuatu yang aku takutkan dulu. Nyatanya? Seakan terbalik. Kini Nino lebih perh
130 PoV Prisa Tadinya aku mau langsung masuk, tetapi kuputuskan untuk menguping dulu. Takutnya aku malah berbuat onar dan mempermalukan Papa. "Pergilah Mbak, kita tidak pernah punya urusan apa pun. Dan ingat! Jangan pernah datang lagi ke sini kalau hanya untuk menemui saya!" Itu suara Papa. Jelas dan tegas. "Benarkah kita tidak punya urusan apapun?" Suara wanita lembut mengalun dan terkesan ... menggoda. Aku tahu itu suara siapa. Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat, kepala dan dadaku terasa panas. Ternyata si sundal itu belum jera juga. Dia sepertinya sengaja menunggu Papa sembuh dan bekerja lagi, untuk menggodanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah akan membuka pintu saat suara Papa terdengar lagi. "Urusan kita hanya sebatas penabrak dan korban tabrak. Dan itu sudah selesai saat saya tahu anda hanya pura-pura menabrakkan diri untuk menggoda saya." Jawaban papa terdengar dingin. Aku urung membuka pintu, karena ingin tahu apa yang akan Papa katakan lagi untuk mengusir wanita itu.
131Aku berusaha bangkit dengan mengesampingkan rasa sakit. Mencoba untuk berdiri dan menoleh ke arah terakhir melihat Regina berlari. Sayangnya, dia sudah tak terlihat. Membawa Darrenku entah ke mana. "Aarrghhh...." Aku berteriak frustasi, apalagi kakiku sakit sekali bahkan sekedar untuk kuajak berjalan. "Darren...." Aku terduduk lemah di atas trotoar seraya berteriak memanggil anakku yang entah sudah dibawa ke mana. Tanganku yang mengepal memukul-mukul paping dengan keras. Aku menangis meraung, tak peduli orang-orang yang berlalu lalang berjalan kaki juga beberapa pengendara menatapku aneh."Darren...." Aku masih menangis meratapi anakku yang hilang. Wajahnya yang ketakutan menangis memanggilku sambil mengulurkan tangan meminta tolong, masih terlihat jelas di pelupuk mata. Aku memejamkan mata. Lalu menoleh ke belakang. Ternyata aku sudah berlari cukup jauh dari rumah makan, dan Papa entah tertinggal di mana. "Darreen." Aku bergumam lagi sambil menunduk. Lalu berusaha untuk bangu
132"Kembalikan Darren pada kami, Re. Lihat, dia ketakutan." Nino berusaha meminta dengan lembut. Namun Regina menggeleng. Dia malah tertawa terbahak. Benar-benar sudah tidak waras. "Jangan harap aku akan kembalikan. Dia anakku!!" teriaknya sambil mundur semakin mendekat ke tembok pembatas jembatan. "Tidak! Kamu salah sundal, dia anakku, sudah jadi anakku selamanya!!" balasku berteriak, aku sudah akan maju tetapi Nino menahan demi melihat dia yang semakin mendekati bibir jembatan. Entah apa yang akan dilakukannya. "Benarkah?" Dia tertawa lagi. "Tapi dia lahir dari rahimku!""Tapi itu benar, Re. Dia sudah menjadi anak kami. Aku sudah mengurus surat perwaliannya. Aku juga sudah memasukkan dia dalam surat KK kami. Secara hukum dia anak kami sekarang." Nino menjelaskan dan itu membuat Regina terperangah. "Dan kamu mengurus semua itu tanpa minta persetujuanku?" "Bukankah kamu sudah menyerahkan Darren padaku beserta semua surat terkait. Dan kamu bilang sudah tidak sanggup mengurus Darr
133Aku menggeleng perih seraya memejamkan mata. Aku bisa gila melihat Darren terus disakiti seperti ini. "Kamu mau apa sebenarnya Regina?" Kalimat itu akhirnya keluar dari mulutku dengan lemah. Aku sudah tidak kuat lagi melihat Darren terus disiksa ketakutan seperti itu. "Katakan. Apa yang harus aku lakukan agar kamu berhenti menyiksa Darren seperti itu?" Regina kembali tertawa. Kali ini dia menarik Darren dan mendudukan kembali tubuh mungil itu di pinggiran jembatan. Tidak lagi menggantung di udara. "Kau tanya apa mauku? Aku mau melihatmu tersiksa seperti itu. Aku suka. Aku puas!!" teriaknya lagi dengan raut wajah khas spikopat. "Kau ingat tadi? Betapa puasnya kamu juga ayahmu menghinaku?" Dia melotot lagi ke arahku. "Aku juga begitu sekarang. Aku sangat puas melihatmu tersiksa menangisi anak yang bahkan tidak ada pertalian darah sedikit pun denganmu!""Kalau begitu, lepaskan dia sekarang. Kembalikan dia pada kami. Bukankah kau sudah puas menyiksaku?"Dia tertawa lagi. "Oh, tid
134Posisinya di belakang Regina beberapa meter. Dia memberi kode agar kami tak bereaksi berlebihan hingga wanita itu tidak menyadari kehadirannya. Dia ingin menyelamatkan Darren, tapi ini beresiko menurutku. Mas Ruri akan menjalankan motor dengan cepat lalu menyambar tubuh mungil Darren dengan sebelah tangannya? Kalau dia berhasil. Kalau tidak, tubuh Darren akan terjun bebas ke bawah. Atau lebih buruknya Regina menyadari kehadirannya lebih awal lalu dengan sengaja mendorong anak itu. Atau Mas Ruri berhasil menyambar tubuh Darren, tapi ikut celaka bersamanya.Entahlah, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Bahkan yang terburuk sekalipun. Tapi kami tidak akan merubah apapun kalau terus diam seperti ini. Mungkin Mas Ruri termasuk nekat. Tapi setidaknya dia punya keberanian untuk berusaha menolong. Kami berdoa saja semoga dia berhasil menyelamatkan Darren tanpa ada yang terluka. "Cepat! Kalian tunggu apa lagi. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Cepat atau lambat polisi akan tahu!"
135Nino dan Mas Ruri saling pandang. Aku heran. Kenapa mereka diam? Bukankah kemungkinan salah satu di antara mereka ayah biologis Darren? Bukankah Mas Ruri begitu yakin dialah ayah Darren? "Ada apa ini? Kenapa kalian diam?” tanyaku lagi.“Cepat! Darren butuh darah itu untuk kelanjutan hidupnya!" Aku berteriak di depan mereka. Tapi mereka berdua menggeleng pasti. “Golongan darahku berbeda dengan Darren,” lirih Nino dengn lemah.“Aku juga, dolongan darah kami tidak sama,” timpal Mas Ruri tak kalah lemah.Kedua bola mataku melebar sempurna. Fakta baru terungkap. Darren tidak memiliki golongan darah yang sama dengan salah satu dari dua kakak beradik itu.Tapi itu bisa saja. Karena anak tidak selalu memiliki golongan darah yang sama dengan ayahnya. Bisa saja gen ibu lebih dominan, dan si anak memiliki golongan darah yang sama dengan ibunya. Itu menurut dokter setelah kami berkonsultasi lagi. Masalahnya, Regina sudah meninggal beberapa saat yang lalu. Aku mengusap wajah dengan frustras
136Nino membelai kepalaku lembut. "Terus berdoa sayang, semoga Tuhan memberi keajaiban. Semoga Darren diberi kesembuhan. Darren anak yang kuat. Dia pasti sedang berjuang untuk sembuh, agar bisa memelukmu lagi. Agar bisa berkumpul dengan kita lagi.”Tangisku semakin membesar seiring perkataannya. Nino semakin memelukku erat. Hingga seorang perawat memanggil kami. Mengabarkan ada gerakan dari tangan Darren. Secercah harapan pun hadir, Darrenku akan sadar, Darrenku akan sembuh. Aku segera berganti pakaian khusus untuk masuk ke sana. Aku berharap kehadiranku, sentuhanku akan dapat mempercepat kesembuhannya. Di sini aku sekarang. Duduk di sebelah blankar Darren. Menggenggam tangan mungilnya yang menurut perawat sempat bergerak tadi. Kugenggam dan kuciumi tangan mungil nan lemah itu berulang kali. Kusentuh pipi putihnya yang kini tirus dan pucat. Sungguh aku ingin memeluknya. Aku ingin membawanya dalam dekapanku. Tapi berbagai alat yang menempel di tubuhnya menjadi penghalang di antara
Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d
Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse
Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa