BAGI Sefti kuliah di Aceh adalah pilihan paling sulit. Ia belum rela pisah dengan Si Mbok. Ia juga belum rela pisah dengan Bela dan Tri.
Dari kecil, ia tidak pernah pergi jauh dari Ngawi. Ia sekolah dasar hingga menengah atas, yang cuma berjarak tiga kilo dari rumahnya. Namun di sisi lain, ia juga sudah terlanjur janji dengan ayahnya untuk menyusul ke Aceh begitu ia lulus SMA. Ayahnya kini menagih janji itu. Ia juga sudah didaftar di salah satu universitas di Aceh.
Sefti sendiri, banyak menerima informasi tak sedap soal Aceh belakangan ini.
“Ganja, GAM dan tsunami,” kata Supriadi, tetangganya saat ditanya soal Aceh.
“Orang GAM tak suka orang Jawa. Orang Jawa diusir dari Aceh. Banyak yang dibunuh,” kata Bayu, teman sekolahnya.
“Di sana sering terjadi gempa dan rawan Tsunami. Jika pindah ke sana, kamu bisa jadi korban tsunami,” ulas Tante Uti, adik ayahnya, saat ditanya pertanyaan yang sama soal Aceh.
Dari s
UJIAN akhir sekolah berjalan dengan mulus. Sefti yakin bakal dapat nilai bagus dan lulus dengan prediket terbaik. Namun hal itu semakin membuatnya dilema.Dilema karena ia bersyukur bakal segera bertemu dengan ayahnya di Aceh. Namun di sisi lain, ia juga bakal segera berpisah dengan Si Mbok, Tante Uti dan teman-temannya di Ngawi.Ada banyak kenangannya di Ngawi. Ia juga tak lagi berziarah di makam ibunya saat sedih atau rindu.Ia tak bisa lagi makan Tepo Tahu kesukaannya di warung Mang Vijay dan menghabis waktu di sana bersama Tri dan Bela.Ia akan kangen dengan kedua sahabatnya itu. Tawa dan canda mereka yang selalu mengisi hari-harinya selama ini.Aceh, adalah nama asing yang kian akrab dengannya selama beberapa tahun terakhir. Negeri asing yang akan segera ditempatinya nanti selama beberapa tahun kedepan, atau minimal hingga ayahnya kembali pindah tugas ke tempat lainnya.Ia berat untuk pergi ke Aceh. Namun di sanalah, ayahnya kini berada
Sefti terpaku lama. Dia mengamati sekeliling. Ada nuansa yang berbeda begitu ia tiba di Aceh. Ia kini tiba di tanah para aulia. Tanah kelahiran para pejuang Indonesia. Negeri yang menjadi modal bangsa besar ini.Negeri yang begitu setia di awal-awal kemerdekaan, kemudian beralih sebagai basis pemberontakan hingga puluhan tahun lamanya.“Selamat datang di Bandara Sultan Iskandar Muda.”Itu yang tertulis di sana. Langit yang biru serta perpohonan hijau mulai terlihat dari pintu pesawat.Para penumpang terlihat sibuk dengan barang bawaan masing-masing. Beberapa bule berpakaian tipis terlihat mengamati sekeliling seperti dirinya. Mereka memikul ransel besar di punggungnya.Para penumpang pria local terlihat santun. Mereka tak langsung serobot turun berdesak-desakan hingga menyentuh tubuh penumpang wanita. Demikian juga dengan petugas bandara yang berulang kali tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Ini berbeda jauh dengan informasi yang di
MOBIL yang ditumpangi Sefti melaju dengan kecepatan sedang. Rina ternyata sopir yang mahir. Dari dalam mobil, Sefti mengamati hamparan sawah yang menguning sejauh mata memadang serta deretan pohon yang tumbuh subur.Rina kemudian menghentikan laju kendaraan di depan kuburan massal Siron.“Apa ini Rin?” tanya Sefti.“Ini kuburan massal korban tsunami Sef. Mungkin kamu mau lihat-lihat kayak bule yang datang ke Aceh. Aku pemandumu hari ini,” kata Rina tersenyum.Sefti mengangguk. Dia senang mendapat teman baru yang baik seperti Rina.Sefti keliling komplek kuburan massal Siron. Ada nuansa berbeda yang ia rasakan begitu memasuki komplek ini. Seseolah ada banyak orang yang sedang beraktivitas di sana. Namun tak kasat mata.Sefti berdoa dan kemudian kembali ke mobil.“Tidak foto-foto, Sef?” tanya Rina.Sefti tersenyum. Ia kemudian menggeleng.“Pengen tapi takut aku. Takut yang di dalam
SEPERTI janji Rina, mereka menghabiskan hari bersama hingga menjelang magrib. Rina menjadi pemandu yang baik bagi Sefti. Keduanya bahkan singgah ke SMP 1 dan SMA I Banda Aceh yang menjadi sekolah ibu-nya Sefti semasa tinggal di Banda Aceh.Kedua sekolah ini berdekatan. Mereka minta izin ke petugas setempat untuk melihat-lihat ke komplek sekolah.“Mamak-mu pasti pintar ya Sef! Ini kan sekolah favorit di Banda Aceh,” ujar Rina saat mereka di komplek SMP 1 Banda Aceh.Sefti mengangguk tanda setuju.“Iya Rina. Mamak-ku cerdas dan kata Si Mbok-ku, ia jadi idola sejak remaja. Sayang, aku tak bisa mengenalnya dengan baik. Mamak meninggal saat melahirkanku.”“Dia wanita yang super cantik. Makanya ayahku patah hati bertahun-tahun setelah ia meninggal,” kata Sefti lagi.Rina tersenyum. Ia tak ingin sahabat barunya itu berduka ketika mengenang kisah hidupnya. Rina mencoba mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat yan
HARI-hari berlalu dengan cepat. Sefti mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya di Aceh. Ia juga mulai sibuk dengan orientasi perkenalan kampus serta seabrek aktivitas mahasiswa baru lainnya. Untuk itu, sang ayah membeli sepeda motor untuk memudahkan aktivitasnya pulang pergi ke kampus atau aktivitas lainnya.Ia mulai hafal dengan jalur lalu lintas yang ada di Banda Aceh. Namun sesekali ia masih tetap saja nyasar. Padahal Rina sudah berulangkali mengingatkannya tentang rute yang ada di Banda Aceh.Ia kadang ke sasar ke Krueng Cut atau Alue Naga. Saat itu terjadi, Rina-lah yang datang menjemput.Namun hari ini, Rina memiliki agenda tersendiri di kampusnya. Aktivitas tersebut baru selesai pukul 14.00 WIB nanti. Sedangkan saat ini masih pukul 11.00 WIB.Sefti mencoba bertahan di kampus hingga aktivitas Rina selesai. Ia sudah janji dengan gadis mungil itu.Mereka janji akan menghabiskan waktu hingga magrib tiba sambil melihat matahari terbenam.
Sefti cemberut saat melihat Rina melambai dari kejauhan. Gadis mungil itu memasang wajah tanpa dosa meski molor dari janji hampir satu jam lamanya.Mereka janji bertemu pukul 14.00 WIB, namun kini sudah pukul 15.14 WIB. Padahal, menunggu merupakan pekerjaan yang sangat membosankan.Sefti kesal dengan kejadian di perpustakaan tadi dan kini juga bertambah gara-gara Rina. Hampir tiga jam lebih ia menungu di kantin dengan tiga gelas jus apel, satu piring mie Aceh dan 5 potong kue kering.Belum lagi para mahasiswa yang melihat ke arahnya dengan sorotan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Sefti mulai risih.“Hai cantik. Sorry telat. Maaf ya,” ujar Rina.Sefti tetap memasang wajah cemberut. Ia benar-benar kesal.“Sorry. Sebagai gantinya, aku yang traktir hari ini. Kamu bisa makan apapun, aku yang bayar,” kata Rina lagi.Lobi Rina kali ini sedikit membuat cemberut di wajah Sefti menghilang. Namun gadis berd
USAI salat Ashar di masjid jamik kampus, Rina dan Sefti mengarah ke bantaran sungai Lamnyong. Mereka membeli beberapa cemilan dan duduk di sana sambil menikmati sore hari di kota pelajar itu.Sungai Lamnyong tak sejernih sungai-sungai di Eropa. Bahkan terkadang, air berubah keruh saat musim hujan tiba. Banyak juga sampah yang mengapung di sana.Namun Sefti tampaknya cukup menikmati suasana yang nyaman di sana. Sosok itu terlihat mematung sambil memandang jauh ke depan. Entah apa yang dipikirnya. Rina membiarkan Seftidengan lamunannya.Ia asyik dengan bakso bakar yang dibeli tadi. Rina melahab satu persatu.“Enak.”Sefti memalingkan wajahnya ke arah Rina. Wajah gadis cantik itu terlihat serius.“Rin. Seperti apa Aceh semasa konflik,” ujar Sefti.Rina tahu bahwa pertanyaan kali ini tak sekedar pertanyaan biasa. Pertanyaan ini erat kaitannya dengan masa lalu orangtuanya yang harus meninggalkan Aceh karena fa
“Haidar?” tanya Sefti usai salat Magrib. Saat itu, ia dan Rina berada di kamarnya. Sefti sepertinya masih penasaran dengan sosok pria muda yang baru dikenalnya di perpustakaan tadi.“Kami satu letting dan sama-sama jurusan Sejarah FKIP Umayah,” kata Rina lagi.Saat menceritakan hal tadi, wajah Rina terlihat memerah. Namun tiba-tiba gadis mungil itu menggeleng kepala berulang kali. Rina seperti sedang menyadarkan diri dari lamunannya.“Jadi pria itu gay?” tanya Sefti lagi penasaran. Ia seperti kecewa.Rina tertunduk lesu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Sefti.“Gak tahu sih. Soalnya banyak yang naksir sama Haidar tapi ditolak semua. Mulai dari kakak letting hingga mahasiswa baru seperti...”“Sepertinya Haidar memang gak suka sama perempuan. Makanya berhembus isu kalau dia sebenarnya gay,” ujar Rina lagi.Sefti kesal dengan jawaban Rina.“Masak sembarangan menudu
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp