DARA dan Haidar memilih meja yang agak terpisah di pojok warung. Ini agar keduanya leluasa berbicara. Keduanya terlihat kaku meski telah saling mengenal sejak kecil. Mungkin karena terpisah belasan tahun. Keduanya kini tumbuh dewasa.
“Dar, aku minta maaf atas yang terjadi di masa lalu. Sebenarnya, yang menghasut nenek dan keluarga ayah yang datang dari Sumatera Barat untuk tidak mengajak serta kamu ke sana, adalah aku. Ego anak-anakku yang menyalahkanmu atas tragedy yang menimpa keluarga kita belasan tahun lalu,” ujar Dara memulai percakapan.
“Aku benar-benar menyesal. Bertahun-tahun aku merasa bersalah dan mencarimu. Namun tak pernah ketemu,” kata Haidar lagi.
Haidar terdiam. Ia kemudian tersenyum mendengar penuturan Dara. Sejak dulu, ia memang tak pernah menaruh dendam atau sakit hati kepada Dara dan keluarganya di Sumatera Barat yang datang pasca kecelakaan ayah dan ibu angkatnya.
“Jujur, kalau diajak pun aku akan menolak. Ini alasan aku pergi dari
Haidar kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa Dara tiba-tiba bertanya hal privasi seperti tadi. Namun karena mereka baru ketemu, ia menganggap pertanyaan tadi bagian dari basa-basi mereka setelah terpisah belasan tahun. “Belum. Ada banyak target yang harus kucapai. Setidaknya aku ingin menjalankan wasiet orangtuaku terlebih dahulu,” ujarnya kemudian. Dara menarik nafas panjang. Namun pertanyaan lainnya kembali meluncur dari mulut gadis cantik itu berselang menit kemudian. “Apakah kau sudah memilih calon?”tanyanya lagi. Pertanyaan kali ini membuat Haidar mendadak diam. Dulu ia memiliki komitmen dengan seorang gadis cantik asal Ngawi, Jawa Timur. Namun kini ia telah pulang kampung. Beberapa waktu lalu, Insani, kawan sekos-nya juga melihat wanita itu dekat dengan seorang pria berseragam militer. Ayah Sefti juga tak merestui hubungan mereka. Entah komitmen tersebut masih dipegang oleh Sefti atau kini ia telah memiliki ikatan dengan pria lain.
“Uang ini harusnya dicairkan tiap bulan untukmu. Tapi karena kau menghilang entah kemana. Jadi seperti sekarang. Awalnya, persoalan ini hanya diketahui oleh adik ayah, tapi kemudian pengacara ayah, kembali mengingatkan.” “Keluarga kami meminta maaf karena menutup hal ini selama belasan tahun. Atas dasar itu, aku minta maaf,” ujar Dara lagi. Haidar terdiam dengan pengakuan Dara. Ia memegang buku rekening tua di depannya itu dengan sangat hati-hati. Entah kenapa, ia seakan tak percaya dengan apa yang terjadi. Bertahun-tahun ia mencoba bertahan hidup. Ia mencari uang hari demi hari untuk makan dan sekolah. Namun kini seolah-olah menjadi mudah baginya. Beberapa jam lalu, ia masih memikirkan beasiswa untuk bisa meraih Magister di Australia. Tiap waktu salat, ia selalu bersujud untuk diberi solusi atas persoalan yang menderanya selama ini. Kini doanya terwujud meskipun ia belum tahu berapa isi rekening tersebut. Air mata Haidar tiba-tiba menetes. Ia
MATA Haidar hampir copot. Ia seakan tak percaya. Ia terkejut luar biasa saat melihat angka yang tertera di buku rekeningnya. Nilai yang tercantum di rekening tersebut selama hampir 12 tahun lebih, ternyata hampir mencapai angka 1 miliar. Nilai ini terlalu besar baginya. Apalagi selama ini ia hanya mampu mencari uang hari demi hari untuk bertahan hidup. Uang dengan nilai paling tinggi yang sering dilihatnya selama ini hanya ratusan ribu. Namun sejak kemarin, ia diberi kabar mendapat wasiet dari ayah angkatnya dengan nilai di luar dugaan. Beberapa hari lalu, ia masih berkutat dengan langkah alternative untuk tetap bisa berangkat ke Australia meski tidak ada beasiswa dan tabungan yang memadati. Kemarin, ia bertemu dengan Dara, dan malamnya mereka langsung berangkat ke Bireuen untuk berziarah ke makan orangtua dan keluarga angkatnya. Usai ziarah, mereka berkunjung ke bekas rumah almarhum ayah Dara untuk sekedar bernostalgia. Kemudian keduanya sama
BRAM tersenyum saat melihat Haidar dan Dara terdiam serta saling pandang. “Baiklah. Aku izin kembali ke kantor dulu. Kalian duduk dulu berdua di sini. Nanti sore kita sama sama kembali ke Banda Aceh. Aku ingin bertemu dengan keluarga Dara juga. Untuk mengurusi beberapa berkas penting yang menjadi wasiat pak Buyung,” ujar Bram tiba-tiba. “Aku jemput kalian nanti. Kalau mau keliling Bireuen, telepon saja. Aku pasti akan mengantar kalian. Tak hanya sebagai pengacara, aku juga keluarga kalian di sini,” kata Bram. Ia bangun tanpa menunggu persetujuan dari Haidar dan Dara. Haidar masih berada dalam suasana kaku pasca Bram menceritakan wasiat Buyung. Sementara Dara sedikit gelisah pasca mengetahui bahwa Haidar kini mengetahui kalau ia adalah wanita yang dijodohkan dengannya sejak kecil. Entah Haidar suka atau tidak dengan dirinya. “Kalian tidak perlu khawatir dengan makanan dan minuman di Café ini. Semuanya aku yang bayar nanti. Yang perlu kalian lak
BAGI Haidar, Dara adalah sosok lain dari Sefti. Dua dua-nya sama-sama cantik, modis dan memiliki argumentasi yang kuat dalam setiap berbicara. Yang sedikit membedakan, Dara lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi masalah. Baru dua hari ia kembali bertemu dengan Dara, namun Haidar tidak lagi merasa canggung dengan wanita itu. Sikap dan gaya bicaranya, membuat siapapun mereka nyaman. Mungkin karakter tersebut terbentuk selama ia aktif di Kementerian Pariwisata. “Satu lagi. Mulai sekarang. Kamu panggil aku Dara saja. Setidaknya aku bisa merasakan lebih muda dan sesuai untuk menjadi pendampingmu kelak,” ujar Dara sambil mendekati kepala Haidar dan memamerkan gigi putihnya. Dara setengah bercanda. Ia tak ingin Haidar terbebani dalam pembicaraan serius. Toh, masih ada dua tahun lagi ‘kemungkinan’ mereka menikah. Maka, masing-masing perlu penyesuaian diri. Sedangkan Haidar hampir terkesima dengan pesona Dara. Ia masih belum habis pikir, jika gadis it
BAU mawar semerbak. Ia seolah berada di kebun bunga. Bau khas yang selama ini cukup akrab dengan seseorang. Haidar mencoba mengamati sekeliling. Namun sosok yang dicari luput dari pandangannya. Hanya ada beberapa muslimah yang berada di barisan antrian terakhir. Haidar kemudian berlari kecil ke barisan belakang guna memastikan instingnya benar adanya. Namun beberapa muslimah tersebut justru keheranan melihat tingkahnya yang tak biasa. Mereka bukanlah sosok yang dicari oleh Haidar. Padahal, sebelumnya, ia cukup yakin jika sosok pemilik bau mawar yang dikenalnya selama ini sedang berada di sekitar bandara. Atau minimal dalam jarak yang cukup dekat. “Maaf saya pikir ada kawan saya di barisan ini,” ujarnya kepada wanita tadi. Mereka mengangguk dan tersenyum. Demikian juga dengan para bule lainnya yang sedang antri di sana untuk pulang kampung. Haidar tertunduk lesu. Entah kenapa, ia sangat berharap jika gadis ‘bau mawar’ berada di sana dan
JANTUNG Haidar berdetak kencang. Ia benar-benar tak pernah membayangkan jika keinginannya untuk berangkat program Magister ke Australia akhirnya terwujud. Ia kini berada dalam pesawat untuk berangkat ke negeri kanguru itu. Seumur hidup, ia baru dua kali naik pesawat. Seminggu lalu, ia berangkat dari Banda Aceh ke Jakarta. Dan kini, ia kembali menaiki pesawat untuk terbang ke Australia yang menjadi tempatnya menuntut ilmu untuk dua tahun kedepan. Haidar berdiri kaku di pintu pesawat. Dua pramugari tanpa jilbab tersenyum ke arahnya. “Silahkan pak ke depan. Saya bantu antar ke kursi yang tertera di tiket,” ujar salah seorang pramugari yang bernama Fecilia. Nama itu tercantum di dadanya. Haidar tersenyum dan mengangguk. Sang pramugari cantik itu juga membantunya memasukan koper serta tas. Ia mendapatkan kursi di pertengahan bagian kiri. Untuk set kiri dan kanannya masing kosong. Haidar merebahkan diri di kursi tadi. Ia mencoba membaca beberapa maj
Haidar menarik nafas panjang. Ia menduga bahwa Sefti kini memandangnya sebagai lelaki yang ingkar janji. Lelaki yang tak memiliki komitmen. Bahkan posisinya turut menjadi bahan gosip. Buktinya, Bela, sang wanita muslimah yang baru diperkenalkan oleh Sefti, turut mengetahui soal apa yang pernah terjadi antara dirinya dengan wanita asal Ngawi itu. Ada banyak hal yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Ia dan Sefti mungkin memiliki persepsi yang berbeda terkait alur kejadian yang menimpa mereka. Namun Haidar ingin menceritakan semuanya sehingga tak ada lagi miskomunikasi yang terjadi. “Begini. Aku tahu ini pertemuan pertama kita setelah hari wisudamu. Harusnya, hari ini pembahasan santai. Kita sudah lama tidak ketemu. Aku juga baru berkenalan dengan Bela.Tapi banyak hal yang perlu diluruskan,” ujar Haidar tiba-tiba. Sefti justru tersenyum senang. Ia mengangguk dengan cepat. Bela turut menjadi pendengar yang baik. Sefti telah berulangkali men