Bang Malik menjadi maju paling depan mengingat Ivan masih bergelut dengan sebagian ingatannya yang belum kembali. Sementara Kak Dian lebih mengusulkan langkah persuasif, terutama ketika nama Candra ikut terbawa.“Aku kenal ibu, aku kenal Aya. Aku yakin cara ibu mendidik Candra sama dengan cara ibu mendidik Aya. Firasatku sama dengan Aya, rasanya nggak mungkin Candra ngelakuin hal serendah itu. Dia terlihat sangat peduli pada kakaknya, pada keluarganya, termasuk pada hubungan kalian. Hati-hati ngambil langkah, karena sekali kamu salah langkah maka kamu akan nyakitin banyak orang.”Itu yang dinasehatkan Kak Dian pada adiknya sebelum kami bubar dan masuk ke kamar masing-masing.***“Pi.”Aku menyentuh lengan Ivan ketika pria itu belum berbicara sepatah kata pun sejak kami masuk ke kamar.“Hmmm.” Ia hanya menjawab dengan gumaman.Aku membicarakan hal-hal remeh, tentang Kia yang tadi sepertinya protes karena beberapa waktu belakangan ini aku jarang menemaninya di rumah, tentang laporan Bi
“Tolong atur Ivan biar nggak gegabah ngambil keputusan, Aya. Jangan sampai kejadian ini bikin kalian berantem. Nggak gampang perjuangan kalian bisa sampai di titik ini, mungkin ada yang nggak suka dengan kebahagiaan kalian. Perusahaan bisa dirintis kembali, aku dan Bang Malik siap bantu kalian kapan saja. Tapi kebahagiaan kalian nggak bisa dibeli dengan apapun. Tolong kendalikan Ivan agar tak menyakiti banyak hati.” Seperti itu pesan Kak Dian padaku hari ini sebelum pulang ke kotanya.Sebuah pesan yang sarat makna bagiku. Kak Dian adalah saksi jatuh bangunnya hubungan kami. Kak Dian satu-satunya orang yang waktu itu memahami meski tetap tak suka dengan hubungan kami. Kak Dian pula satu-satunya orang yang tahu semua tentang adiknya, yang padanya Ivan selalu cerita semuanya. Kak Dian yang sengaja menunda kepulangannya ke Surabaya ketika pagi itu mengetahui Ivan pergi tanpa pamit bahkan semalam sebelumnya sengaja menghindariku.Kak Dian ... sosok yang selalu ada dan menormalkan hubungank
Pagi ini, aku kembali duduk berhadapan dengan Nindya di kantin rumah sakit. Aku datang ke sini tadi setelah menerima pesan darinya dan mengajak bertemu. Bagiku, Nindya juga adalah salah satu PR. Banyak hal yang membuatku tiba-tiba saja peduli pada wanita itu padahal dulu aku sudah berniat tak peduli.Menatap wajah sendu wanita itu, aku seperti melihat diriku beberapa tahun silam. Atau mungkin justru Nindya mengalami situasi yang lebih tak mengenakkan. Karena dulu aku masih punya Mama Indah, dan Nindya sepertinya tak memiliki perhatian dari Mama seperti padaku dulu.Nindya masih sama dengan saat bertemu kemarin di tempat ini, masih berkelu kesah tentang kesepian dan kehilangannya.“Jangan menyerah, Nindya. Kamu punya cinta Mas Adam, bahkan jauh sebelum kalian menikah. Temukan kembali dirimu yang dulu membuatnya jatuh cinta.”Wanita itu menggeleng. “Aku bahkan sudah kehilangan diriku sendiri, Aya. Aku tak punya apa-apa.”Kutatap kembali wajah wanita yang dulu selalu terlihat energik itu
“Maafin aku.” Hanya kata itu yang terucap lirih untuk menggambarkan penyesalanku.Sayangnya kata maafku tak membuat langkah Ivan berhenti, tetapi pria itu justru gegas menyusul Tari dengan langkah lebarnya. Aku terpaku menatap punggungnya, tetapi aku tak mampu menghentikan langkahnya.“Dia siapa, Ay? Siapa yang kejang-kejang?”Ah, aku baru menyadari bahwa Nindya sedang mengantarku ke parkiran tadi. Dan kurasa ia bisa mendengar pembicaraanku dengan suamiku tadi, juga melihat langkah lebar Ivan yang pergi meninggalkanku.“Bukan siapa-siapa, Nin.”“Are u okay, Aya?”Terlambat sudah. Kurasa Nindya mulai mencium ada yang aneh dengan pembicaranku dan Ivan tadi. Padahal selama ini keberadaan Wira hanya menjadi rahasia di keluarga kami, banyak pertimbangan yang membuat Ivan membiarkan Tari memilih tetap menggunakan identitas mantan suaminya sebagai ayah kandung Wira. Maka Wira akan tetap menjadi orang lain secara hukum meski Ivan menanggung seluruh biaya hidup dan biaya pengobatan anak itu me
Sesekali masih kulirik wajah tampan yang memang terlihat sangat lelah itu sambil mengendara. Beberapa kali masih kudengar embusan napas kasarnya sebelum kemudian tergantikan oleh dengkuran halusnya.Kubiarkan pria itu terlelap sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju rumah kami.***“Kak,” panggilku menepuk lembut pipinya. “Udah sampai rumah,” ucapku lagi.“Hmmm.” Pria itu hanya menggeliat sebentar, lalu kemudian kembali terlelap.Kubiarkan dia terlelap, sementara aku menikmati dengan menatap wajah lelahnya.“Maafin aku,” desisku sambil mengusap lembut pipinya yang terasa kasar oleh rambut-rambut halus yang tumbuh di sana.Entah sudah berapa kali kata maaf itu terucap dari bibirku, karena sungguh aku merasa bersalah atas kejadian hari ini.“Hmmmmhhh.” Pria itu kembali menggeliat pada usapanku yang kesekian.“Aya?” matanya membuka.“Kita udah sampai rumah,” ucapku.“Kita dari mana emang, Ay?”Rupanya ia masih sedang mengumpulkan kesadarannya.“Dari rumah sakit,” kataku.Matanya mem
[Gimana kabarmu, Dek? Kata Ibu lama nggak pulang ke rumah.]Sebuah pesan kembali kukirimkan ke nomor Candra meski deretan pesanku sebelumnya masih saja bertanda centang satu. Entah di mana adik bungsuku itu berada. Semalam aku sudah mendengar banyak hal dari Ivan.“Aku nggak main-main, Aya. Candra terlibat terlalu jauh.”“Kalau saja dia bukan adikmu, kalau saja dia bukan walimu yang waktu itu memberikan tanganmu untuk kunikahi, mungkin aku sudah membuatnya membayar pengkhianatannya.”“Kalau saja nggak mikirin Ibu, mungkin Candra sudah berada di dunia lain sekarang.”Dari deretan kalimat-kalimat penuh emosi Ivan semalam, aku menyadari bahwa situasi ini memang tak mudah. Aku percaya Ivan, dia tak mungkin mengada-ada dengan semua ini, tetapi aku juga percaya Candra, percaya bahwa adik laki-lakiku satu-satunya itu tak mungkin seserakah itu.“Ck!” Aku membanting ponsel dengan kesal ketika lagi-lagi tak bisa terhubung ke nomor Candra.“Kenapa?” Ivan rupanya melihatku membanting ponsel.“Can
Tiba-tiba saja lelaki itu menarik tubuhku, lalu menenggelamkanku ke dalam dekapannya. Kami berdua berpelukan, sambil memperhatikan bagaimana Tari dengan hati-hati memposisikan putranya untuk duduk di ranjang pasien. Dekapan Ivan padaku terurai, ia melepas tubuhku kemudian menghampiri Tari dan membantu wanita itu memindahkan Wira ke kursi roda, dibantu seorang petugas medis lagi.Aku berdiri mematung melihat mereka berdua bersiap mendorong kursi roda Wira ditemani seorang petugas. Kuremas map di tangan kanan ketika mereka bergerak perlahan ke arah pintu.“Tolong urus administrasinya, Sayang.” Ivan melabuhkan kecupan ringan di keningku saat ia melewatiku. Petugas yang ikut membantu dan mengiringi Wira berkali-kali menatap padaku dan Ivan lalu Tari bergantian, kurasa ia bingung melihat interaksi kami bertiga di sana.Mereka semua sudah menghilang di balik pintu menyisakan aku dan Bude di ruang perawatan ketika aku baru saja menyadari satu hal. Ada aroma yang tak asing yang tertangkap ind
Aku terbelalak ketika petugas kantin mengantarkan lima gelas milo hangat di atas meja bersama segelas kopi kental dan dua mangkuk soto ayam, sementara Ivan hanya menatap datar tanpa ekspresi. Tadi memang dia yang berjalan ke arah lemari kaca yang berisi makanan tanpa menunggu pelayan yang datang menanyakan pesanan pada kami. Gerakan gesitnya memesan makanan tadi kuanggap sebagai upayanya untuk segera menuntaskan rasa lapar setelah tadi perutnya berbunyi keroncongan.“Kok sebanyak ini, Kak?” protesku masih melotot.“Biar nggak kepikiran milo dari mantan tadi.” Ia menjawab dengan tawa kecil. Kurasa bukan saja karena ekspresi kagetku, tetapi ia memang selalu tertawa saat mendengarku memanggilnya Kak.Jawaban yang sebenarnya ingin kubalas, ingin sekali kubahas tentang pelukan Tari padanya tadi yang kurasa jauh lebih keterlaluan dari pada sekadar segelas milo dari Mas Adam yang bahkan tak kusentuh sama sekali. Namun aku menahan diri untuk tak membuat keributan, kondisi Wira kurasa sudah c
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber